Madani

Tentang Kami

Inpres Penghentian Pemberian Izin Baru: Butuh Lompatan Besar

Inpres Penghentian Pemberian Izin Baru: Butuh Lompatan Besar

Jakarta, 22 Agustus 2019
Pemerintah Indonesia mempermanenkan kebijakan penundaan pemberian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut menjadi penghentian izin baru melalui Inpres 5/2019. Menurut pemerintah, kebijakan ini adalah kebijakan utama dalam menurunkan deforestasi Indonesia, yang sudah menurun 20 persen setelah kebijakan moratorium diberlakukan, dan 38 persen jika perhitungan hanya dilakukan di wilayah PIPPIB.

Penghentian pemberian izin baru adalah sebuah langkah maju. Sayangnya, selama delapan tahun kebijakan ini diberlakukan dari tahun 2011 hingga dipermanenkan pada tahun 2019, belum terlihat penguatan dalam hal cakupan dan tingkat perlindungan terhadap seluruh hutan alam dan lahan gambut Indonesia yang tersisa.

Dibutuhkan lebih dari sekadar baby steps atau langkah-langkah kecil untuk menyelamatkan Indonesia dari bencana lingkungan hidup dan kemunduran ekonomi akibat kerusakan sumber daya alam dan dampak buruk perubahan iklim. Yang kita butuhkan adalah lompatan besar ke depan, langkah drastis untuk menyelamatkan seluruh hutan alam dan lahan gambut yang tersisa,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Kenyataannya, Inpres 5/2019 masih membatasi diri pada hutan alam primer saja. Padahal, untuk mencapai komitmen iklim Indonesia, sangat penting untuk turut melindungi hutan alam sekunder yang kaya karbon, keanekaragaman hayati, dan menjadi tumpuan hidup masyarakat adat dan lokal.

Berdasarkan data pemerintah, dari 43,3 juta hektare hutan alam sekunder Indonesia, yang saat ini dilindungi karena berada di Hutan Lindung dan Konservasi hanya 13,1 juta hektare. Sisanya, 30,2 juta hektare, terancam deforestasi akibat pemberian izin baru. Dari jumlah ini, ada 9,2 juta hektare hutan alam Indonesia yang paling terancam karena berada di Hutan Produksi Konversi atau HPK (3,8 juta hektare) dan Area Penggunaan Lain (5,4 juta hektare) yang sewaktu-waktu dapat diberi izin untuk konversi.

Fakta lainnya yang Madani temukan, wilayah hutan alam primer dan lahan gambut yang dilindungi dalam Peta Indikatif Penghentian Izin Baru atau PIPPIB tidak turut dipermanenkan dikarenakan masih akan direvisi setiap 6 bulan. Wilayah yang dilindungi masih bisa berkurang atau bertambah meski kecenderungan yang ada selama ini adalah berkurang. Selama periode 2011-2018, telah terjadi pengurangan seluas 3 juta hektare tanpa penjelasan secara utuh pada publik. Pengurangan besar-besaran ini masih bisa terjadi ke depan.

Analisis awal Madani memperlihatkan terdapat area perkebunan sawit yang tumpang tindih dengan PIPPIB Revisi XV di 23 Provinsi, yakni Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, Gorontalo, Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Riau, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat dengan luas 1.001.182 hektare.

Terkait temuan awal ini, Madani berharap pemerintah membuka ruang diskusi untuk sama-sama melakukan pengecekan ulang. “Inpres 5/2019 juga masih mengandung pengecualian-pengecualian yang melemahkan perlindungan hutan dan lahan gambut yang justru bertambah banyak jumlah dan jenisnya, dan hanya berlandaskan Inpres. Inpres tidak memiliki konsekuensi hukum jika tidak diterapkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Pengecualian yang sangat melemahkan komitmen perlindungan hutan alam dan lahan gambut adalah pengecualian terhadap permohonan yang telah mendapatkan persetujuan prinsip atau izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan eksplorasi dari Menteri Kehutanan sebelumnya yang diberikan sebelum 20 Mei 2011, serta perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada,” tambah Teguh. “Seharusnya klausul persetujuan prinsip ini dihilangkan karena sudah berjalan lebih dari delapan tahun, bukan justru ditambah dengan izin eksplorasi.

Presiden juga belum memberikan instruksi yang jelas dan tegas untuk mengkaji ulang perizinan dan melakukan penegakan hukum. Selama ini, dua hal tersebut tidak pernah tuntas dilakukan sehingga menyebabkan Indonesia merugi hingga triliunan rupiah dari praktik buruk pengelolaan hutan.

Sembilan langkah bijak perlu dilakukan Presiden untuk melanjutkan upaya perlindungan hutan dan gambut. Pertama, segera mengkaji hutan alam sekunder yang paling terancam dan harus dilindungi untuk kemudian dimasukkan ke dalam cakupan perlindungan Inpres 5/2019; Kedua, membangun mekanisme pemantauan kolaboratif terhadap pelaksanaan Inpres 5/2019 di antara pemerintah dan masyarakat sipil , akademisi dan kelompok kepentingan (interest groups) termasuk dalam proses revisi PIPPIB setiap 6 bulan;

Ketiga, segera melakukan kaji ulang/evaluasi perizinan terhadap permohonan lahan yang telah mendapat persetujuan izin prinsip dan izin eksplorasi dari Menteri Kehutanan pada pemerintahan sebelumnya dengan melibatkan KPK dan menghilangkan klausul ini dari daftar pengecualian. Keempat, segera memasukkan diktum yang mengatur kaji ulang/ evaluasi perizinan menyeluruh terhadap semua izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan dari aspek kepatuhan terhadap hukum dan aspek persyaratan kelestarian sesuai dengan rekomendasi KPK dalam Laporan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam. Kelima, memasukkan agenda harmonisasi dan sinkronisasi regulasi hutan dan gambut dengan melibatkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai leading sector bersama kementerian-kementerian dan lembaga terkait dengan melibatkan partisipasi efektif masyarakat sipil. Keenam, membangun mekanisme untuk meningkatkan akses data dan informasi bagi publik dan masyarakat sipil agar dapat melakukan pengawasan secara efektif, terutama data spasial yang dapat dianalisis terkait tutupan hutan dan lahan, izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, termasuk persetujuan prinsip dan izin eksplorasi yang dikecualikan dari kebijakan ini, serta revisi PIPPIB beserta alasan berkurang/bertambahnya wilayah PIPPIB;

Ketujuh, melibatkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai pihak yang diinstruksikan dalam Inpres Moratorium Hutan/Lahan; Kedelapan, Presiden agar segera memberikan dasar hukum yang lebih kuat untuk kebijakan ini, apakah dengan menerbitkan kebijakan ini dalam bentuk regulasi (misalnya Peraturan Presiden) atau segera mengintegrasikan wilayah yang dilindungi Inpres No. 5 Tahun 2019 ini ke dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW);

Kesembilan, memasukkan perhutanan sosial secara eksplisit ke dalam pengecualian kebijakan ini karena perhutanan sosial adalah bagian dari kebijakan pemerataan ekonomi Presiden Joko Widodo dan tercantum pada regulasi Proyek Strategis Nasional (PSN), serta tercantum dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 sebagai salah satu prioritas dalam pengentasan kemiskinan.[ ]

***
Narahubung:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan,
teguh@madaniberkelanjutan.id, +62 819-1519-1979

Anggalia Putri Permatasari, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan,
anggi@madaniberkelanjutan.id, +62 856-2118-997

Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan,
luluk@madaniberkelanjutan.id, +628 151-986 -8887

Related Article

Visi Indonesia Melupakan Janji Lingkungan Hidup Jokowi

Visi Indonesia Melupakan Janji Lingkungan Hidup Jokowi

Jakarta, 16 Juli 2019 – Presiden Joko Widodo dalam Visi Indonesia telah melupakan 20% janjinya untuk mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan dalam memimpin Indonesia periode 2019-2024. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam visi keempat Pasangan Jokowi-Maruf Amin saat kampanye pemilihan Presiden 2019 yang belum lama usai.

Visi mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan, akan dicapai Jokowi melalui tiga misi yaitu program pengembangan kebijakan tata ruang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, serta penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup. Adapun isu pengelolaan hutan dan gambut mendapat perhatian paling besar, tercermin dalam 13 kebijakan pengelolaan hutan dan lahan. Oleh karena itu, sudah selayaknya Jokowi menegaskan kembali visi dan misi terkait lingkungan hidup dalam Visi Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hijau.

Demikian disampaikan oleh M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, dalam Diskusi Media “Moratorium Permanen Hutan dan Visi Indonesia, Akan Kemana?” yang dilaksanakan di Creative Hub #TemenanLagi Yayasan Madani Berkelanjutan.

“Harapan masyarakat sangat besar atas kepemimpinan kedua Jokowi, khususnya di sektor lingkungan hidup, mengingat janji beliau saat Pilpres dan terdapat beberapa kebijakan pro-lingkungan telah diterbitkan meskipun beberapa diantaranya akan segera berakhir masa berlakunya,” jelas Teguh. Tak ingin kecolongan, Yayasan Madani Berkelanjutan, Walhi Eksekutif, Kemitraan-Partnership, Sawit Watch, dan Pantau Gambut kembali mengingatkan agar Presiden Joko Widodo meneguhkan komitmennya dan berani untuk menyelamatkan hutan tersisa, serta meneruskan pemulihan gambut setelah berakhirnya masa kerja BRG pada 2020.

Komitmen tersebut dapat diwujudkan dengan mengintegrasikan kebijakan moratorium pembukaan hutan primer dan gambut yang akan segera dipermanenkan dengan penguatan implementasi restorasi gambut 2020. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga perlu meningkatkan kekuatan hukum perlindungan permanen hutan alam dan gambut dari instruksi presiden menjadi peraturan presiden. “Peningkatan status kebijakan dari instruksi presiden menjadi peraturan presiden diperlukan untuk memastikan pembenahan dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Peraturan Presiden (Perpres) diharapkan akan menjadi solusi. Apalagi saat ini belum ada aturan mengenai sistem monitoring dan evaluasi dari Inpres Moratorium,” ujar Abimanyu Sasongko Aji, Project Manager Kemitraan-Partnership.

Dalam catatan Pantau Gambut, terjadi pengurangan wilayah moratorium sekitar 2,8 juta hektare pada periode 2011-2019 dan hutan seluas 2.739 hektare telah dilepaskan untuk dijadikan perkebunan sawit.

“Moratorium hutan primer dan gambut yang sudah ada sebelumnya tidak memandatkan tinjauan perizinan yang sudah ada. Adapun terbitnya PIPPIB tidak berkaitan dengan upaya pemulihan ekosistem gambut. Sementara, lahan gambut sebagian besar sudah terlanjur rusak,” kata Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch. “Seharusnya pemulihan ekosistem gambut yang bersifat wajib bagi perusahaan terus diawasi dan dipastikan berjalan”, tambahnya.

“Persoalannya, peraturan yang dikeluarkan oleh KLHK masih saling menegasikan. Dalam PermenLHK Nomor 16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut bertentangan dengan PermenLHK Nomor 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut yang memperbolehkan pengelolaan puncak kubah gambut. Selain itu, Kepdirjen-PPKL-Nomor-SK.40-2018 tentang penetapan status kerusakan ekosistem gambut yang di dalamnya mengatur soal pemulihan oleh perusahaan, dan juga dokumen seperti HGU hanya diketahui oleh KLHK dan Perusahaan. Jadi tidak ada transparansi,” tambah Inda.

“Perlindungan permanen hutan alam dan gambut diharapkan dapat memperkuat komitmen pemerintah dalam menata kembali pengelolaan hutan dan gambut. Apalagi, saat ini KLHK telah mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif dengan PermenLHK Nomor 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut,” tegas Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut.

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI, menerangkan bahwa pengaturan moratorium harus mempertimbangkan dan memperkuat wilayah Kelola Rakyat, yang selama ini telah hidup turun temurun selaras dengan alam di kawasan hutan, termasuk pengaturan perhutanan sosial pada ekosistem Gambut. Pengaturan moratorium harusnya menutup kemungkinan masuknya penguasaan korporasi dalam bentuk apapun. Masih dikecualikan PAJALE (Padi, Jagung, Kedelai) bisa menjadi pintu masuk pelepasan kawasan hutan, jika tidak diatur dengan ketat.

Masyarakat sipil turut mendukung upaya pemerintah untuk memberi perlindungan hukum secara permanen terhadap kawasan hutan dan gambut dengan membuat petisi. Adalah Piter Masakoda, Ketua himpunan pemuda Suku Moskona di Papua Barat bersama-sama Yayasan Madani Berkelanjutan meluncurkan petisi tersebut pada tanggal 1 Juli 2019 pada laman Change.org dan per 16 Juli 2019 telah meraih 37.000 pendukung. Dan dukungan ini masih terus bertambah. Bagi Suku Moskona, hutan laksana mama sekaligus sumber penghidupan. “Hutan tiada, maka kehidupan pun hilang”, terang M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Kebijakan perlindungan permanen hutan alam dan gambut perlu dukungan serius agar dapat memberikan kepastian perlindungan hutan alam Indonesia yang luasnya mencapai 89,4 juta hektare. Lebih jauh, upaya pengaturan “moratorium permanen” seharusnya juga mengatur upaya pemulihan lingkungan, khususnya di kawasan hutan dan ekosistem gambut. Empat hal strategis yang perlu dipertimbangkan Jokowi dalam satu tahun pertama adalah menerbitkan Perpres penghentian izin baru di hutan alam dan gambut, melanjutkan restorasi gambut pasca 2020, memperkuat komitmen iklim, dan memimpin implementasi moratorium perkebunan sawit.

Kontak Narasumber:

Abimanyu Sasongko Aji, Project Manager Kemitraan-Partnership
0821 6512 0204
abimanyu.aji@kemitraan.or.id

Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut
0812 6370 9484
iola.abas@pantaugambut.id

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch
0811 448 677
inda@sawitwatch.or.id

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819 1519 1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI
0812 8985 0005
zenzi.walhi@gmail.com

Related Article

Indonesia adalah Kunci Penyelamatan Iklim Dunia

Indonesia adalah Kunci Penyelamatan Iklim Dunia

Jakarta, 2 Juli 2019 – Pemerintahan Jokowi jilid II harus lebih serius dan tegas dalam menunjukkan kepemimpinan politik untuk memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia, salah satunya dengan memperkuat implementasi restorasi gambut saat ini dan pasca-2020. Hal ini bisa dilakukan dengan memastikan kepatuhan korporasi, meningkatkan pengawasan, serta melakukan penegakan hukum yang tegas. Karena Indonesia adalah kunci penyelamatan iklim dunia.

Selain penguatan restorasi gambut, pelaksanaan kebijakan moratorium hutan (yang rencananya akan dipermanenkan), evaluasi perizinan melalui implementasi moratorium sawit, serta perhutanan sosial adalah kunci untuk mencapai komitmen iklim Indonesia di tahun 2030 agar Indonesia bisa kembali memimpin di meja perundingan internasional. Penguatan ini penting mengingat masih terdapat kesenjangan yang sangat besar antara apa yang ditargetkan oleh Indonesia dengan kebijakan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Demikian disampaikan oleh M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Media “Karhutla di Momentum Politik: Saat Ini & Pasca Tahun 2020” yang dilaksanakan di Creative Hub #TemenanLagi Yayasan Madani Berkelanjutan.

“Indonesia membutuhkan penguatan sejumlah kebijakan apabila benar-benar ingin mencapai target penurunan emisi dengan moratorium hutan dan restorasi gambut sebagai kebijakan paling besar dampaknya terhadap penurunan emisi,” sambung Teguh.

Kebakaran hutan dan lahan yang masih terus terjadi masih menjadi ancaman serius bagi pelaksanaan komitmen iklim dan sekaligus indikator apakah restorasi gambut telah dilakukan dengan tepat dan masif sebagaimana diperintahkan dalam Perpres No. 1 tahun 2016. Kajian Madani bersama Kelompok Advokasi Riau (KAR) di wilayah Riau pada kurun waktu Januari-Maret 2019 menunjukkan bahwa terdapat 737 hotspot di Provinsi Riau dan 96 persen di antaranya berada di wilayah prioritas restorasi gambut. Dan diperkirakan area terbakar seluas 5.400 ha di wilayah konsesi. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan karena merujuk pada data KLHK, kebakaran hutan dan lahan gambut menyumbang 34 hingga 80 persen dari total emisi Indonesia tahun 2015.

“Secara historis, ada konsesi-konsesi yang terus terbakar setiap tahunnya, setidaknya sejak tahun 2015. Di lokasi ini, kami juga tidak menemukan adanya upaya restorasi sebagaimana yang dimandatkan dalam Peraturan Presiden No. 1 tahun 2016,” papar Rahmaidi Azani, GIS Specialist dari Kelompok Advokasi Riau (KAR).

Kajian ini dilakukan dengan melakukan analisis hotspot di Provinsi Riau menggunakan data dengan tingkat kepercayaan tinggi (≥ 80%) dan investigasi lapangan untuk menelisik kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada periode Januari-Maret 2019.

Prof. Bambang Hero, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, menegaskan bahwa yang paling penting dilakukan adalah memastikan bahwa korporasi benar-benar telah melakukan upaya restorasi gambut dengan mengikuti standar yang ada. Itu adalah kunci untuk mengawal agar target penurunan emisi 2030 tercapai.

“Jika wilayah konsesi sudah dinyatakan masuk wilayah prioritas restorasi, seharusnya di tahun ke-4 konsesinya sudah direstorasi. Kenyataannya, wilayah konsesi masih menjadi biang kerok. Ini harus segera dicari penyelesaiannya,” tandasnya. “Dalam memastikan kepatuhan korporasi, BRG dan KLHK seharusnya bersinergi seperti kepingan puzzle yang saling melengkapi.”

Sementara itu, Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menyoroti adanya wilayah yang dikuasai masyarakat dalam areal konsesi sawit dan HTI yang kembali terbakar di Riau.

“Titik api dan karhutla tidak berdiri sendiri, tapi selalu ada pemicunya, salah satunya adalah konflik. Jika kita mau menyelesaikan karhutla, kita harus menyelesaikan konfliknya juga. Urusan karhutla bukan hanya sekat kanal dan sumur bor, tapi juga penyelesaian konflik. Gubernur Riau sudah mencanangkan Riau hijau. Maka, penyelesaian konflik harus menjadi prioritas juga,” ujar Inda.

“Mengingat mandat BRG yang wilayahnya luas, komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah daerah, perusahaan, dan jaringan masyarakat di daerah harus dikuatkan. Sinergi agenda BRG dan jaringan masyarakat harus diakselerasi. Selain itu, Nota Kesepahaman dengan RSPO harus ditindaklanjuti karena banyak perusahaan yang punya konsesi di wilayah prioritas restorasi adalah anggota RSPO,” tambahnya.

Pemerintahan Jokowi Jilid II hanya memiliki waktu sekitar satu tahun untuk menyusun strategi penguatan dan akselerasi restorasi gambut pasca-mandat BRG berakhir tahun 2020. Kepemimpinan politik yang tegas dari Presiden, wewenang yang memadai, serta kelembagaan yang kuat adalah syarat mutlak untuk memecahkan permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang sudah terpola selama berpuluh-puluh tahun melalui restorasi gambut.

“Dalam 100 hari pemerintahan Jokowi Jilid II, ada tiga hal yang harus dilakukan untuk mencapai komitmen iklim Indonesia, yaitu memperkuat implementasi restorasi gambut sekarang dan pasca2020 melalui penguatan pengawasan dan penegakan hukum, menjalankan evaluasi perizinan yang dipertegas melalui implementasi moratorium sawit untuk mencegah hilangnya pendapatan negara, dan mempermanenkan serta memperkuat kebijakan moratorium hutan,” tutup Teguh.

Kontak Narasumber:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819 1519 1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Rahmaidi Azani, GIS Specialist, Kelompok Advokasi Riau (KAR)
0813 7182 2940
comet.azani@gmail.com

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch
0811 448 677
inda@sawitwatch.or.id

Bambang Hero Saharjo, Guru Besar bidang Perlindungan Hutan IPB
0816 1948 064
bhherosaharjo@gmail.com

Related Article

P.10 Membahayakan Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

P.10 Membahayakan Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Jakarta, 23 Mei 2019 – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia sepatutnya mencabut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.10 Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut karena isinya bertentangan dengan semangat perlindungan dan restorasi gambut, mengancam pencapaian komitmen iklim Indonesia.

Peraturan Menteri P.10/2019 yang seharusnya hanya mengatur masalah teknis penetapan puncak kubah gambut untuk menentukan area fungsi lindung ekosistem gambut ini justru ‘menyelipkan’ norma baru yang secara keseluruhan melemahkan perlindungan ekosistem gambut.

Pertama, aturan ini mengecilkan ruang lingkup ekosistem gambut yang tidak boleh lagi dieksploitasi untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Aturan ini memperbolehkan perusahaan sawit dan HTI untuk terus mengeksploitasi ekosistem gambut dengan fungsi lindung hingga jangka waktu izin berakhir apabila lokasinya berada di luar puncak kubah gambut. Lebih parah lagi, aturan ini memperbolehkan eksploitasi puncak kubah gambut untuk sawit dan HTI apabila di dalam satu KHG (Kesatuan Hidrologis Gambut) ada lebih dari satu puncak gambut.

“Memberikan keringanan kepada pelaku izin usaha sawit dan HTI untuk terus melakukan usahanya di ekosistem gambut dengan fungsi lindung tanpa proses evaluasi dan audit perizinan pemanfaatan lahan gambut bertentangan dengan semangat restorasi gambut untuk mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. “Keterlanjuran pemberian izin di ekosistem gambut lindung seharusnya dikoreksi, bukan justru dibiarkan hingga izin berakhir. Ini bahaya karena jangka waktu izin konsesi sangat lama sementara ekosistem gambut dapat rusak dalam waktu singkat.”

Data pemerintah dalam Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 menyebutkan 23,96 juta hektare ekosistem gambut atau 99,2 persen berada dalam kondisi rusak. Studi Bappenas tahun 2015 juga menyebutkan kebakaran gambut menyumbang 23 persen dari total emisi Indonesia pada tahun 2010, melepas 0,8 sampai 1,1 GtCO2e atau setara dua kali lipat emisi sektor energi di tahun yang sama.

P.10 berpotensi memperburuk kerusakan gambut ini. Temuan awal Madani, pada Januari-Maret 2019 ini, di Riau saja sudah muncul 319 titik panas (hotspot) di lokasi perkebunan sawit dan HTI yang merupakan wilayah prioritas restorasi BRG (tingkat kepercayaan tinggi). Di sisi lain, masa tugas Badan Restorasi Gambut (BRG) akan berakhir pada 2020. Tinggal 1 tahun lagi bagi BRG untuk menyelesaikan tugas restorasi gambut yang diembannya.

“Agar tidak mencederai upaya mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut dan komitmen iklim pemerintah, aturan ini harus segera dicabut dan dikembalikan ke ‘trah’-nya, yaitu aturan yang lebih teknis untuk menentukan puncak kubah gambut saja tanpa ada pengaturan tentang pemanfaatan puncak kubah gambut,” ujar Teguh. “Selain itu, Presiden harus mulai memikirkan bagaimana kelanjutan keberadaan BRG karena kerja-kerja restorasi gambut adalah kerja-kerja yang bersifat jangka panjang,” tutupnya.

Narahubung:
Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819-1519-1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan
0856-211-8997
anggi@madaniberkelanjutan.id

Luluk Uliyah, Senior Strategic Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan
0815-1986-8887
luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Perlindungan Permanen Hutan Alam dan Gambut Tersisa, Kunci Keberhasilan Komitmen Iklim Indonesia

Perlindungan Permanen Hutan Alam dan Gambut Tersisa, Kunci Keberhasilan Komitmen Iklim Indonesia

Jakarta, 19 Mei 2019. Yayasan Madani Berkelanjutan mendukung rencana pemerintah untuk mempermanenkan perlindungan hutan alam dan gambut tersisa, pasca berakhirnya masa berlaku INPRES tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (Moratoroium Hutan) pada 17 Juli 2019.

“Diperpanjangnya kebijakan perlidungan hutan alam dan lahan gambut secara permanen memperbesar peluang pencapaian komitmen iklim Indonesia,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani. “Namun, perpanjangan saja belum cukup. Jika ingin mencapai target iklim, pemerintah harus memperkuat komitmen perlindungan hutan alam dan gamnbut dengan turut melindungi jutaan hektar hutan sekunder yang saat ini terancam dibabat.”

Riset World Resources Institute pada 2017 menunjukkan bahwa moratorium hutan adalah kebijakan mitigasi kehutanan dengan potensi penurunan emisi paling tinggi. Memperkuat kebijakan ini dengan melindungi hutan sekunder dapat mengurangi emisi sebesar 437 MtCO 2 pada 2030 sehingga target iklim Indonesia bisa tercapai.

Data Pemerintah Indonesia dalam Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 43,3 juta hektare atau 48,4 persen hutan alam Indonesia dikategorikan sebagai hutan sekunder yang terlepas dari perlindungan moratorium. Lebih dari setengahnya atau 24,8 juta hektare diperuntukkan untuk eksploitasi dengan status hutan produksi. “Yang paling mendesak adalah melindungi hutan alam yang masih bagus dan paling terancam,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Madani. “Ada 3,8 juta hektare hutan sekunder berstatus Hutan Produksi untuk Konversi (HPK), yang dapat dilepas dan ditebang untuk izin-izin non-kehutanan seperti perkebunan dan lain-lain. Pasca berakhirnya masa berlaku Moratorium, perlindungan secara permanen hutan alam dan gambut seharusnya melindungi wilayah tersebut.”

“Kami berharap Pemerintah Indonesia periode ini benar-benar dapat mempermanenkan perlindungan hutan dengan cara mengakomodasinya dengan landasan aturan perundang-undangan yang lebih kuat dan menuangkannya dalam rencana tata ruang nasional,” ujar Teguh. “Dengan demikian, ada garansi hukum dan politik lebih besar untuk mencapai komitmen iklim dan juga dapat meminimalkan konflik di masyarakat.”

Selama delapan tahun, status perlidungan hutan alam dan gambut masih bersifat sementara (moratorium). Madani juga mengkhawatirkan berbagai aturan pengecualian yang ada seperti permohonan izin yang telah mendapat persetujuan prinsip sebelum Mei 2011, panas bumi, migas, dan ketenagalistrikan, ditambah produksi padi, tebu, jagung, sagu dan kedelai untuk kedaulatan pangan nasional. “Ada 31,2 juta hektare lahan tidak berhutan dalam kawasan hutan. Selayaknya pemerintah dapat memaksimalkan penggunaan lahan tidak berhutan atau memanfaatkan lahan-lahan ex- perusahaan untuk mengamankan kedaulatan pangan, dengan demikian meminimalkan kerusakan hutan,” ujar Anggalia.

Di samping emisi dari sektor hutan dan lahan, pemerintah juga harus mewaspadai emisi dari sektor energi karena berpotensi jadi kuda hitam yang dapat menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia. “Jika konsisten dengan inisiatif baik di dua sektor ini, Indonesia dapat membusungkan dada di perundingan iklim COP-25 yang akan dilaksanakan di Chili bulan Desember ini,” tutup Teguh.

Narahubung:
Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819-1519-1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan
0856-211-8997
anggi@madaniberkelanjutan.id

Luluk Uliyah, Senior Strategic Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan
0815-1986-8887
luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Presiden Terpilih Harus Pertahankan Agenda Hutan untuk Rakyat demi Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Presiden Terpilih Harus Pertahankan Agenda Hutan untuk Rakyat demi Pencapaian Komitmen Iklim Indonesia

Jakarta, 23 April 2019 – Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih haruslah konsisten meningkatkan akses hutan untuk masyarakat demi kuatnya perlindungan hutan dan mengangkat kesejahteraan rakyat dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia. Perhutanan sosial dan komitmen iklim nasional Indonesia atau NDC (Nationally Determined Contribution) adalah dua agenda penting yang harus dijaga oleh pemimpin Indonesia dikarenakan berkaitan langsung dengan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, serta pertumbuhan ekonomi masa depan.

Di bawah Perjanjian Paris, Indonesia memiliki kewajiban hukum untuk mengurangi emisi sebesar 29 hingga 41 persen pada 2030 serta meningkatkan ketahanan terhadap berbagai dampak negatif perubahan iklim. Dari target ini, sektor kehutanan menyumbang target penurunan emisi terbesar. Di sisi lain, pemerintah telah mengalokasikan 12,7 juta hektare kawasan hutan untuk masyarakat melalui program perhutanan sosial dengan capaian distribusi sebesar 2.613.408 hektare per 1 April 2019. Target distribusi perhutanan sosial yang harus dicapai hingga akhir tahun 2019 masih cukup besar, yakni 1,77 juta hektare sementara sisanya bergantung pada kepemimpinan politik Presiden terpilih mendatang beserta jajarannya.

“Perhutanan sosial yang dikelola secara lestari oleh masyarakat akan membantu pencapaian komitmen iklim Indonesia, baik mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. “Oleh karena itu, di tengah keriuhan politik saat ini, sangat penting menjaga konsistensi agenda pencapaian komitmen iklim Indonesia dan penguatan perhutanan sosial.”

Kedua kandidat Presiden memberi penekanan pada peningkatan akses masyarakat kepada hutan dan/atau lahan. Joko Widodo – Ma’ruf Amin menjanjikan akan mempercepat pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial guna memberikan peluang bagi rakyat yang selama ini tidak memiliki lahan atau aset untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi serta melanjutkan pendampingan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan dan produksi atas tanah objek reforma agraria dan perhutanan sosial sehingga lebih produktif. Sementara itu Prabowo Subianto – Sandiaga Uno berjanji akan menjalankan agenda reforma agraria untuk memperbaiki kesejahteraan petani sekaligus mendukung peningkatan produksi di sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Kedua kandidat pun mencantumkan upaya mengatasi perubahan iklim dalam dokumen visi-misi mereka meski tidak rinci.

“Sayangnya, belum ada benang merah yang dapat ditarik secara tegas di antara kedua agenda tersebut,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan.” Oleh karena itu, penting untuk memperjelas bagaimana dan seberapa besar perhutanan sosial dapat berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim Indonesia agar masyarakat pengelola hutan juga dapat menikmati insentif dari berbagai skema pendanaan iklim, misalnya REDD+.” Saat ini, telah banyak pembelajaran dari pengelolaan hutan oleh masyarakat yang sangat berharga untuk memperkuat kontribusi perhutanan sosial terhadap pencapaian komitmen iklim Indonesia.

Melalui Pertemuan Strategis Pemangku Kepentingan: Memperkuat Kontribusi Perhutanan Sosial untuk Mendukung Pencapaian Target NDC Indonesia yang mengumpulkan pegiat perhutanan sosial di tingkat nasional dan daerah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bappenas, dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Yayasan Madani Berkelanjutan berupaya memfasilitasi proses pembelajaran dari pengembangan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di wilayah perhutanan sosial dan menginisiasi komunikasi untuk menumbuhkan benih-benih kolaborasi di antara para pemangku kepentingan. Beberapa isu yang dikupas dalam kaitannya dengan perhutanan sosial di acara ini antara lain perencanaan pembangunan rendah karbon, Program Kampung Iklim, REDD+, rehabilitasi hutan dan lahan, restorasi gambut, pendanaan iklim, dan pemberdayaan masyarakat desa.

“Sudah waktunya kita tidak lagi memisahkan antara peningkatan kesejahteraan dan pelestarian lingkungan maupun adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam perhutanan sosial karena di tingkat tapak dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat keduanya saling bertautan dan tidak bisa dipisahkan,” tutup Teguh.

Narahubung:
Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819-1519-1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan
0856-211-8997
anggi@madaniberkelanjutan.id

Luluk Uliyah, Senior Strategic Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan
0815-1986-8887
luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Jokowi-Ma’ruf Amin, Perkuat Komitmen Hutan, Gambut, dan Masyarakat Adat 2019-2024

Jokowi-Ma’ruf Amin, Perkuat Komitmen Hutan, Gambut, dan Masyarakat Adat 2019-2024

“Nawacita II tidak lagi menyebutkan target-target rinci penyelamatan hutan dan lahan gambut serta perlindungan hak-hak masyarakat adat.”

SIARAN PERS – Untuk disiarkan segera
Jakarta, 23 Oktober 2018

Enam puluh tiga persen (63%) daratan Indonesia adalah kawasan hutan dengan tutupan hutan alam mencapai 89,4 juta hektare atau 47,5 persen dari luas daratan Indonesia. Sementara itu, luas lahan gambut Indonesia yang kaya akan karbon mencapai 15 juta hektare. Sayangnya, selama 73 tahun Indonesia merdeka, hutan dan lahan gambut Indonesia belum dikelola dengan baik dan justru menjadi penyumbang emisi Gas Rumah Kaca terbesar negara ini (63 persen pada 2010 dan 47,8 persen pada 2016) akibat alih guna lahan, deforestasi dan Karhutla. Sementara itu, meskipun pernah menjadi penyokong utama pertumbuhan ekonomi selama beberapa dekade, persentase kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional semakin lama semakin menurun. Di sisi lain, korupsi perizinan yang melemahkan tata kelola hutan dan lahan secara keseluruhan masih sangat marak baik di level pusat maupun daerah. Menurut Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Institut Pertanian Bogor, potensi uang suap Indonesia terkait perizinan dalam satu tahun mencapai Rp51 triliun, termasuk proses penilaian dan pengesahan analisis mengenai dampak lingkungan atau AMDAL.

Di tengah kompleksnya permasalahan yang ada, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 membawa harapan sekaligus risiko bagi lingkungan hidup dan sumber daya alam Indonesia. Kuat atau tidaknya kepemimpinan politik Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada 2019-2024 akan sedikit banyak mempengaruhi kondisi hutan dan lahan gambut. Pada tingkatan yang paling awal, kepemimpinan politik tersebut tercermin dalam visi, misi, dan program aksi yang diusung para kandidat sejak masa pemilihan.

Mengingat pentingnya komitmen para calon pemimpin bangsa, Yayasan Madani Berkelanjutan membedah dokumen Nawacita II yang dikeluarkan oleh Kandidat No. 1, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dalam kontes politik 2019 dari perspektif Pasal 28H dan Pasal 33 UUD 1945, yaitu hak masyarakat Indonesia untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik serta pengelolaan bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lima isu utama yang disoroti dalam dokumen ini adalah pengelolaan hutan dan gambut berkelanjutan, ketimpangan penguasaan lahan, penegakan hukum dan korupsi, masyarakat adat, dan energi terbarukan.

Visi Misi Jokowi-Ma’ruf secara umum mendukung pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dengan 3 (tiga) program aksi dan 13 (tiga belas) butir kebijakan yang fokus pada kebijakan tata ruang yang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, serta penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup. Dari 260 butir penjabaran program aksi visi misi Jokowi-Ma’ruf, isu terkait lingkungan hidup berkelanjutan hanya 20 persen, 17 persen di antaranya terkait pengelolaan hutan dan gambut, ketimpangan penguasaan lahan, dan penegakan hukum. Sementara itu, isu perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat serta energi baru terbarukan (EBT) hanya berkisar 3 persen. Dibandingkan Nawacita I, Nawacita II banyak menghilangkan target-target rinci dan spesifik terkait lingkungan hidup/perlindungan hutan dan gambut serta hak-hak masyarakat adat sementara penyelesaian konflik tenurial tidak lagi disebutkan secara eksplisit. Hanya butir-butir kebijakan tentang reforma agraria yang bertambah. Selain itu, meski isu pemberantasan korupsi disebutkan, korupsi SDA tidak disebutkan secara khusus.

Para pegiat dan pakar lingkungan hidup, energi terbarukan, hutan dan lahan gambut menyampaikan langkah bijak yang harus diambil oleh Presiden dan Wapres terpilih 2019-2024 nanti harus tercermin dalam visi-misi dan program aksi kandidat dalam Pilpres 2019.

Forest Watch Indonesia menekankan pentingnya Presiden terpilih untuk memperhatikan keterbukaan informasi perizinan, termasuk akses terhadap dokumen serta peta yang menyertainya. “Publik membutuhkan tidak hanya keterbukaan sistem perizinan, tetapi juga sistem pengawasan dan evaluasi dampaknya,” ujar Soelthon Nanggara, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia. “Peraturan yang ada saat ini sudah cukup lengkap mengatur keterbukaan informasi, namun yang terpenting adalah bagaimana badan publik mengimplementasikan keterbukaan data dan informasi tersebut kepada publik.”

Sementara itu, Direktur Wetlands International Indonesia, I Nyoman Suryadiputra, mengutarakan lima langkah yang perlu dilakukan oleh Presiden terpilih untuk memperkuat perlindungan gambut, yakni (1) mewajibkan pemegang konsesi di lahan gambut untuk memetakan ulang keberadaan gambut di areal konsesinya dengan memuat luas dan ketebalan gambut, kondisi genangan, dan produktivitas lahan gambut; (2) menyiapkan peta jalan untuk mengeluarkan seluruh kegiatan perkebunan atau Hutan Tanaman Industri (HTI) dari lahan gambut berbasis pengeringan/drainase; (3) menjalankan upaya rehabilitasi gambut yang berada di dalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), terutama pembasahan kembali, secara serentak dan segera oleh semua pihak dengan menerapkan sistem penghargaan dan sanksi (misal melalui pengurangan atau peningkatan nilai PBB); (4) menyiapkan peta jalan untuk mengatasi pengaruh perubahan iklim dan subsidensi di kawasan pesisir yang mengancam keberadaan gambut dan bakau karena mengancam bisnis, infrastruktur dan pemukiman di sekitarnya; (5) melakukan moratorium terhadap pemberian izin pembukaan bakau untuk sekurang-kurangnya lima tahun ke depan guna mempertahankan keberadaan dan meningkatkan luasan bakau serta menjadikan moratorium izin di lahan gambut dan hutan primer permanen dengan menetapkan wilayah moratorium sebagai kawasan lindung untuk selamanya.

Terkait energi baru terbarukan, Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia, Rebekka Angelyn, memfokuskan pentingnya komitmen dari Presiden dan Wakil presiden terpilih untuk mengakselerasi pencapaian target pemenuhan kebutuhan energi masyarakat Indonesia dengan menjadikan energi terbarukan dan pemanfaatan energi secara efisien sebagai pilihan pertama perencanaan ketenagalistrikan di Indonesia, berdasarkan potensi lokal, dengan didukung kebijakan, pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

“Khusus mengenai kebijakan pemerintah terkait bahan bakar nabati sebagai bagian dari energi terbarukan, ke depan harus melalui kegiatan pemantauan dan evaluasi yang terukur dari hulu ke hilir sehingga tidak hanya memperhatikan kepentingan ekonomi tetapi juga mencakup kepentingan sosial dan lingkungan hidup,” ujarnya.

“Komitmen pada kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan juga harus diperlihatkan dengan perbaikan tata kelola energi yang menjunjung prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik, serta penegakan hukum dan transisi berkeadilan dari energi fosil yang menekankan pada upaya pemulihan menyeluruh,” tutupnya.

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Institut Pertanian Bogor, menekankan pentingnya pemberantasan korupsi sebagai titik ungkit penyelesaian berbagai masalah di atas. “Ada dua pokok masalah struktural yang terakumulasi dari masa lalu, yaitu fakta lapangan berbeda secara nyata dengan data pemerintah dan terjadinya konflik kepentingan para pengambil kebijakan,” ujar Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo. Untuk itu, pemerintah perlu meneropong fakta lapangan secara lebih detail agar visi-misi dan program aksinya tidak menjawab masalah yang salah. “Selain itu, pembenahan ukuran kinerja birokrasi, sistem insentif, dan keterbukaan informasi bagi publik menjadi sangat penting dan mendesak agar birokrasi mengatasi masalah substansi, bukan hanya administrasi,” ujarnya lagi.

Namun, pemberantasan korupsi harus menjadi landasan dan prasyarat bagi keberhasilan upaya-upaya lainnya. “Tanpa membenahi korupsi perizinan, upaya-upaya yang dilakukan seperti sertifikasi, verifikasi legalitas, maupun instrumen-instrumen CSR, moratorium, perhutanan sosial maupun reforma agraria ibarat pelaksanaan ‘minus malum’ atau second best. Bahkan, instrumen seperti one-map dapat terhenti karena keterbukaan informasi perizinan tidak mungkin bisa diwujudkan ketika masih terjadi korupsi perizinan,” tuturnya.

Siapapun pemimpin bangsa dalam lima tahun ke depan harus menjawab kelima permasalahan di atas melalui sinergi dan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk KPK. “Kelima isu di atas adalah permasalahan lintas rezim pemerintahan. Oleh karena itu, berbagai upaya perbaikan yang telah dimulai oleh pemerintahan sebelumnya tidak boleh terputus, melainkan harus menjadi benchmark yang harus dilampaui oleh pemerintahan selanjutnya,” tutup Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

***Narahubung:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
teguh.surya@madaniberkelanjutan.id / +62 819-1519-1979

Anggalia Putri Permatasari, Direktur Program Hutan dan Perubahan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan
anggalia.putri@madaniberkelanjutan.id / +62 856-2118-997

Melodya Apriliana, Juru Kampanye Komunikasi Digital Yayasan Madani Berkelanjutan
melodya.a@madaniberkelanjutan.id / +62 838-4227-2452

Dapatkan siaran pers dan presentasi narasumber pada konferensi pers di bawah ini.

Related Article

id_IDID