Madani

Tentang Kami

Update Ekonomi Politik, dari Jokowi The King of Lips Service Hingga Utang Indonesia Tembus Rp 6.000 Triliun

Update Ekonomi Politik, dari Jokowi The King of Lips Service Hingga Utang Indonesia Tembus Rp 6.000 Triliun

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (21 Juni – 29 Juni 2021), berikut cuplikannya:

1. Kritik Presiden Jokowi The King of Lip Service

BEM UI mengkritik sekaligus menjuluki Presiden Jokowi sebagai The King of Lip Service alias Raja Membual lantaran sering mengobral janji manis yang kerap tidak direalisasikan.
Rektorat UI merespons itu dengan memanggil sejumlah pengurus BEM UI lewat surat nomor: 915/UN2.RI.KMHS/PDP.00.04.00/ 2021 yang ditandatangani oleh Direktur Kemahasiswaan UI, Tito Latif Indra.

Sebanyak 44 BEM dan organisasi masyarakat sipil, yang di antaranya Aliansi BEM Seluruh Indonesia, Greenpeace Indonesia, dan Pusako Fakultas Hukum Universitas Andalas. Menurut mereka, pihak Rektorat UI telah mengerdilkan kebebasan sipil.

Kelompok BEM dan masyarakat sipil menilai konten yang dipublikasikan BEM UI sesuai dengan kondisi kebebasan sipil dan berpendapat di Tanah Air saat ini. Mereka menilai kebebasan sipil diberangus melalui represifitas aparat terhadap massa aksi, kebebasan berpendapat dibungkam melalui pasal karet UU ITE, pelemahan KPK terjadi secara sistematis, dan ada intervensi presiden terhadap supremasi hukum. Berkaca pada insiden tersebut, kelompok BEM dan masyarakat sipil mengecam dan mendesak pemerintah menjamin kebebasan berpendapat berdasarkan peraturan yang berlaku.

Sejumlah elite partai politik juga mengecam hal tersebut. Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah menyebut mental Orde Baru (Orba) telah pindah ke Rektorat UI lantaran memanggil mahasiswa kritis. Menurutnya, kampus harus bebas dari pengekangan.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Irwan mengatakan kampus tak boleh menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan mahasiswa berpendapat. Ia pun meminta perguruan tinggi tak mematikan daya kritis mahasiswa.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon menyatakan sikap Rektorat UI dalam merespons tindakan BEM UI menjuluki Presiden Jokowi The King of Lip Service memalukan. Menurutnya, rektorat UI seharusnya masuk ke substansi dan argumentasi dari tindakan BEM UI tersebut.

Tak lama setelah kritik terhadap Presiden Jokowi, Empat akun media sosial dan WhatsApp milik empat pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia diretas. Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra menjelaskan, pada 27 dan 28 Juni 2021, telah terjadi peretasan akun media sosial kepada beberapa pengurus BEM UI 2021. Dengan kejadian ini, Leon mengecam keras atas upaya peretasan yang dialami aktivis BEM UI.

2. Asosiasi petani sawit minta pemerintah melanjutkan moratorium sawit

Asosiasi petani sawit yang tergabung dalam Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (POPSI) meminta Presiden Jokowi untuk memperpanjang Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang evaluasi izin dan peningkatan produktivitas atau moratorium sawit.

Ketua Umum POPSI, Pahala Sibuea mengatakan, total luasan perkebunan sawit Indonesia seluas 16,38 juta hektar (ha) saat ini. Produksi crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah setiap tahunnya mengalami overstock CPO di kisaran 4,5 juta – 5 juta ton per tahun.

POPSI meminta Pemerintah fokus pada peningkatan produktivitas petani sawit. Salah satunya melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang dinilai sudah tepat dilakukan. Setelah PSR, petani diperkirakan bisa memiliki produktivitas 20 ton – 25 ton/TBS (tandan buah segar) per tahunnya. Sebelumnya, produktivitas petani hanya kisaran 10 ton sampai 15 ton per tahunnya. Artinya akan ada tambahan produksi sawit Indonesia dari petani yang cukup signifikan.

Selain meminta untuk memperpanjang Inpres No 8 tahun 2018 tentang moratorium, POPSI meminta pemerintah mempertegas beberapa hal dalam melanjutkan moratorium sawit.

Pertama, secara bersama berhenti melakukan deforestasi dan optimalkan kerjasama dengan petani swadaya melalui peningkatan produktivitas petani dan pembelian langsung ke petani. Kedua, melakukan penanganan rendahnya harga jual dengan menghilangkan biaya ekonomi tinggi di lapangan dan menjadikan petani swadaya menjadi salah satu sumber pasokan program pemerintah seperti B30 secara transparan dan berkelanjutan.

Ketiga, membantu petani kelapa sawit swadaya untuk pemetaan, revitalisasi kelembagaan, dan legalisasi lahan. Dengan upaya ini, petani akan memperoleh ISPO dan sawit rakyat Indonesia ada kepastian legalitas untuk menjadi bagian sustainable palm oil.

Keempat, kejelasan dan kepastian data, kelembagaan dan legalitas akan memudahkan petani mengakses pendanaan baik dari lembaga keuangan dan BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit). Kelima, Kementerian/Lembaga terkait agar dapat membantu petani swadaya dalam mengambil bagian dari revitalisasi perkebunan kelapa sawit. Sebagai ilustrasi, BPDPKS membantu pendanaan dan Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) membantu pensertifikatan (sebagai bagian dari program reformasi agraria). Kemudian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk penyelesaian tumpang tindih lahan petani swadaya dengan kawasan hutan. Serta Kementerian Pertanian, melakukan pendataan Bersama Dinas Perkebunan Kabupaten dan melakukan penguatan SDM petani sawit secara luas.

Keenam, para pihak memberikan dukungan untuk berkolaborasi bersama petani swadaya Indonesia dengan prinsip kemitraan yang adil dan berkelanjutan serta menyejahterakan petani. Ketujuh, mempertimbangkan ulang besaran pungutan sawit yang diregulasikan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan dikelola oleh BPDPKS agar tidak menggerus harga TBS di tingkat petani plasma maupun petani swadaya.

Kedelapan, pendanaan peremajaan sawit rakyat untuk meningkatkan produktivitas perkebunan, harus didukung 100% pembiayaannya dari BPDPKS dengan prosedur birokrasi pendanaan yang mudah dan transparan.

3. Pajak Karbon RI Rp 75/kg Jauh dari Rekomendasi Bank Dunia

Direktur Eksekutif Institute For Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, usulan besaran pajak karbon minimal Rp 75 per kg tersebut masih jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan Lembaga Pendanaan Moneter Internasional (International Monetary Fund/ IMF). Bank Dunia maupun IMF merekomendasikan pajak karbon untuk negara berkembang berkisar antara US$ 35 – US$ 100 per ton atau sekitar Rp 507.500 – Rp 1,4 juta (asumsi kurs Rp 14.500 per US$) per ton.

Fabby menyarankan agar harga karbon disesuaikan dengan target untuk mencapai emisi nol (net zero emission) Indonesia pada 2050 dan kebutuhan investasi untuk melakukan transformasi sistem energi menuju net zero emission.

Indonesia sendiri dalam melakukan upayanya dalam pengendalian perubahan iklim selalu kekurangan biaya. Hal ini tercermin dari gap pembiayaan yang dibutuhkan dengan besaran anggaran yang ditetapkan dalam APBN setiap tahunnya. Pada tahun 2016 jumlah belanja yang disediakan pemerintah dalam APBN sebesar 19,7% dan kekurangan pembiayaan 80,3%.

Lalu pada tahun 2019 pendanaan yang tersedia 31,4% saja dan kekurangan pendanaan sekitar 68,6% dari total anggaran penanganan perubahan iklim yang dibutuhkan. Oleh karenanya, penerimaan dari pajak karbon sangat dibutuhkan oleh pemerintah dalam mengendalikan perubahan iklim ini.

4. Tax Amnesty II Bakal Dimulai 1 Juli

Pemerintah berencana kembali memberikan pengampunan pajak atau tax amnesty pada tahun depan. Tarif yang akan dikenakan dalam tax amnesty jilid II ini akan lebih besar dibandingkan yang pertama, yakni mencapai 12,5% hingga 30%.

Berdasarkan draf RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengampunan pajak akan dibagi kedalam dua golongan. Pertama, pengakuan harta yang diperoleh wajib pajak sejak 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015 yang kurang atau belum diungkapkan saat tax amnesty jilid 1. Kedua, pengakuan harta yang diperoleh sejak 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2019 yang kurang atau belum diungkapkan dalam surat pemberitahuan pajak tahunan.

Wajib pajak (WP) yang ingin mengungkapkan harta bersih yang diperoleh sebelum atau setelah amnesti pajak jilid pertama dapat menyampaikannya melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada Ditjen Pajak Periode 1 Juli 2021 hingga 31 Desember 2021. Adapun WP yang boleh mengikuti pengungkapan harta tersebut harus memenuhi ketentuan yakni, tidak sedang dilakukan pemeriksaan, tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, tidak sedang dilakukan penyidikan atas tindak pidana perpajakan, tidak sedang dalam peradilan ataupun menjalani hukuman pidana perpajakan.

5. Utang Indonesia Tembus Rp 6.000 Triliun

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah di angka Rp 6.418,15 triliun pada akhir Mei 2021. Posisi utang ini setara dengan 40,49 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Dikutip dari buku APBN Kita, utang pemerintah ini didominasi Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 86,94 persen dan pinjaman sebesar 13,06 persen. Secara rinci, utang dari SBN tercatat Rp 5.580,02 triliun yang terdiri dari SBN domestik Rp 4.353,56 triliun dan valas Rp 1.226,45 triliun.

Sedangkan utang melalui pinjaman tercatat Rp 838,13 triliun. Pinjaman ini terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 12,32 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 825,81 triliun. Adapun utang dari pinjaman luar negeri ini terdiri dari pinjaman bilateral Rp 316,83 triliun, pinjaman multilateral Rp 465,52 triliun dan pinjaman dari commercial banks Rp 43,46 triliun.

Besarnya utang negara menuai kewaspadaan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam rilis Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 mengkhawatirkan utang pemerintah Indonesia yang sudah mencapai lebih dari Rp 6.000 triliun.

Secara rinci, BPK menyebutkan rasio utang Indonesia melampaui batas yang direkomendasikan IMF, yaitu rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 hingga 35 persen. Pandemi Covid-19 meningkatkan defisit utang dan silpa. Hal ini juga dapat meningkatkan risiko pengelolaan fiskal.

Menurut Ketua BPK Agung Firman Sampurna, rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara juga mencapai 19,06 persen. Hal ini dianggap telah melampaui rekomendasi International Debt Relief (IDR) yang hanya sebesar 4,6 sampai dengan 6,8 persen. Sementara itu rasio utang terhadap penerimaan negara yang mencapai 369 persen, dianggap Agung juga telah melewati batas rekomendasi IDR (92%-167%) dan IMF (90-150%).

Related Article

Ekonomi Politik Updates, Jokowi Lantik Dua Menteri Hingga Industri Sawit Tidak Terdampak Covid-19

Ekonomi Politik Updates, Jokowi Lantik Dua Menteri Hingga Industri Sawit Tidak Terdampak Covid-19

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir ya (26 April-2 Mei 2021), berikut cuplikannya:

1. Presiden Jokowi Lantik Dua Menteri dan Kepala BRIN

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) dan Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Investasi, di Istana Negara pada Rabu (28/4). Ini merupakan pos kementerian baru setelah Jokowi memutuskan menggabung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Riset dan Teknologi serta membentuk Kementerian Investasi.

Ada pula nama Laksana Tri Handoko yang dilantik sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menggantikan Bambang Brodjonegoro. Handoko sebelumnya menjabat Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pemisahan BRIN dari Kemenristek ini sendiri sudah sejak lama diusulkan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, pada 2019. Alasannya, ini merupakan gagasan lama era Sukarno demi pembangunan yang berbasis inovasi.

Target Investasi dan Perbedaan Fungsi Kementerian Investasi

Menurut Bahlil, Presiden memberikan target pada dirinya untuk menjaring investasi senilai Rp 900 triliun sepanjang 2021 dan mengundang investor-investor besar yang salah satunya adalah Tesla. Salah satu langkah yang diambil Bahlil untuk memenuhi target tersebut adalah mengimplementasikan UU Cipta Kerja. Berbagai sumber daya juga harus ditingkatkan seperti penyempurnaan Online Single Submission (OSS).

Selanjutnya, menurut Bahlil, perbedaan antara BKPM dengan Kementerian Investasi adalah jika BKPM selama ini hanya mengeksekusi regulasi seperti Peraturan Menteri, Undang-Undang, atau Peraturan Pemerintah, maka Kementerian Investasi dapat membuat regulasi secara langsung sehingga tidak hanya berperan sebagai eksekutor saja. Selain itu, Kementerian Investasi juga dapat mengelaborasi investasi di kementerian lainnya.

2. Indonesia-AS Kerja Sama Atasi Perubahan Iklim Melalui USAID BIJAK

Indonesia dan Amerika Serikat bekerja sama dalam mengatasi perubahan iklim melalui program Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat Build Indonesia to Take Care of Nature for Sustainability (USAID BIJAK). Sejak 2016, program USAID BIJAK dengan dana USD19,6 juta (Rp284,2 miliar) bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan mitra utama lainnya dalam merevisi kebijakan, pedoman, dan prosedur untuk memperkuat pelestarian lingkungan hidup.

Kemitraan ini membantu Indonesia melindungi ekosistem yang berisiko, menurunkan perambahan dan sengketa lahan, serta memanfaatkan data untuk mengelola sumber daya alam secara lebih efektif dan transparan. Menurut USAID, program ini juga meningkatkan permintaan aksi konservasi taman nasional dan satwa liar.

Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno mengatakan pemerintah Indonesia akan menggunakan instrumen yang dikembangkan bersama dengan USAID BIJAK untuk mencapai tujuan mengatasi sengketa lahan seluas 1,8 juta hektar di kawasan konservasi dan melindungi 43 juta hektar habitat dengan stok karbon dan nilai konservasi yang tinggi.

3. Standar Global tentang Risiko Perubahan Iklim Ditargetkan Terbit Pertengahan 2022

Dewan penyusun standar pengungkapan informasi keuangan perusahaan yang berhubungan dengan risiko perubahan iklim akan segera terbentuk. Pemerintah dan regulator keuangan dari berbagai negara telah meminta International Financial Reporting Standards Foundation (IFRS) yang berbasis di London untuk membentuk badan baru yang akan menyusun standar tentang bagaimana perusahaan terbuka harus mengungkapkan risiko dari perubahan iklim pada kegiatan operasi mereka. Mereka menginginkan seperangkat norma global yang konsisten untuk menggantikan pendekatan sektor publik dan swasta saat ini yang tambal sulam, dan mempersulit investor dalam melakukan perbandingan.

Kelompok pertama standar itu akan menyesuaikan norma yang telah ditetapkan oleh Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD), yang merupakan regulator dunia saat ini. Beberapa perusahaan sudah menerapkan secara sukarela standar tersebut. Dewan Standar Keberlanjutan atau Sustainability Standard Board (SSB) akan menetapkan standar global minimum, yang bersifat sukarela dan penerapannya diserahkan ke setiap negara anggota. Pendekatan semacam ini memberi peluang ke setiap negara untuk meningkatkan standar yang disusun SSB.

SSB akan memiliki, setidaknya, ketua dan wakil ketua, atau bahkan seluruh anggota, pada konferensi perubahan iklim COP 26 PBB di Skotlandia pada November yang akan dihadiri oleh para pemimpin dunia. Dukungan pembentukan SSB datang dari berbagai kalangan seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, IMF, PBB, Inggris, dan badan pengatur keuangan global seperti IOSCO dan Dewan Stabilitas Keuangan yang mengkoordinasikan peraturan keuangan di kelompok G20.

4. Mayoritas Investasi Asing Sektor Pertanian di Kebun Sawit

Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat mayoritas investasi asing di sektor pertanian masih berupa perkebunan sawit pada periode 2015-Maret 2021. Kepala Sub Direktorat Sektor Agribisnis Kementerian Investasi/BKPM Jumina Sinaga mengungkapkan sebagian besar investasi subsektor tanaman pangan, perkebunan dan peternakan di Indonesia berasal dari Singapura (53,7 persen) dan Malaysia (15,8 persen).


Jumina merinci realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) sektor pertanian mencapai US$9,5 miliar atau berkontribusi sekitar 5,2 persen dari terhadap total PMA di Indonesia selama periode 2015-Maret 2021. Di sisi lain, penanaman modal dalam negeri (PMDN) pada periode tersebut mencapai Rp173,9 triliun atau berkontribusi 9,1 persen terhadap total PMDN di Indonesia.

5. Industri sawit Indonesia Tidak Terdampak Covid-19

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan industri sawit Indonesia tidak terdampak covid-19. Ini menyebabkan jumlah ekspor minyak sawit melonjak tajam 62,7 persen secara bulanan (mtm) dari 1,99 juta ton menjadi 3,24 juta ton di Maret 2021. Sejalan dengan pertumbuhan ekspor, harga rata-rata minyak sawit pada sebesar US$1.116/ton di CIF Rotterdam, naik 19 persen atau US$21 dibandingkan Februari. Kombinasi kenaikan harga dan volume ekspor mendongkrak nilai ekspor sawit hingga 80 persen dari US$2,08 miliar menjadi sekitar US$3,74 miliar pada Maret 2021.

Sementara itu, produksi minyak sawit Indonesia naik lebih dari 20 persen menjadi 3,71 juta ton ribu ton pada Maret. Mukti mengatakan kenaikan ini merupakan limpahan produksi pada bulan sebelumnya. Namun, ia menyatakan ketersediaan akhir minyak sawit justru turun dari 4,02 juta ton menjadi 3,20 juta ton di Maret. Ini disebabkan kenaikan produksi pada Maret lalu lebih kecil dari kenaikan ekspor dan konsumsi dalam negeri yang totalnya diperkirakan mencapai sekitar 1,4 juta ton.

Related Article

Shadow Report: Kemana Arah Implementasi Inpres No. 8 Tahun 2018 (Moratorium Sawit) Berjalan?

Shadow Report: Kemana Arah Implementasi Inpres No. 8 Tahun 2018 (Moratorium Sawit) Berjalan?

Luas perkebunan sawit di Indonesia saat ini sudah mencapai 22,2 juta hektare (Sawit Watch, 2018) dengan 30% diantaranya dimiliki oleh petani. Industri perkebunan sawit saat ini memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional, dengan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil (CPO)) mencapai 12% dari ekspor nasional dengan total produksi pada 2016 mencapai 31 juta ton. Kontribusi ekspor tersebut mencapai US$ 17, 8 Miliar atau senilai dengan Rp231,4 Triliun. Di dalam negeri, penggunaan bahan bakar biosolar yang bersumber dari minyak sawit semakin gencar digalakkan oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah sendiri menargetkan produksi CPO sampai 40 juta ton/ tahun pada tahun 2020.


Namun demikian, perkebunan sawit di Indonesia mempunyai beragam masalah mulai dari kerusakan lingkungan, konflik agraria, kondisi buruh yang terabaikan, ancaman terhadap ketersediaan pangan dan lain-lainnya. Sawit Watch (2016) mencatat terdapat 782 komunitas berkonflik dengan perkebunan besar sawit.


Presiden Joko Widodo pada 14 April 2016 menyatakan akan menghentikan sementara (moratorium) perizinan kelapa sawit dan batubara. Komitmen ini akhirnya terealisasi dalam sebuah kebijakan berupa Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.


Lewat kebijakan ini, pemerintah mencoba untuk melakukan peningkatan tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan, memberikan kepastian hukum, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), serta untuk peningkatan pembinaan petani sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit.

Related Article

Visi Indonesia Melupakan Janji Lingkungan Hidup Jokowi

Visi Indonesia Melupakan Janji Lingkungan Hidup Jokowi

Jakarta, 16 Juli 2019 – Presiden Joko Widodo dalam Visi Indonesia telah melupakan 20% janjinya untuk mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan dalam memimpin Indonesia periode 2019-2024. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam visi keempat Pasangan Jokowi-Maruf Amin saat kampanye pemilihan Presiden 2019 yang belum lama usai.

Visi mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan, akan dicapai Jokowi melalui tiga misi yaitu program pengembangan kebijakan tata ruang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, serta penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup. Adapun isu pengelolaan hutan dan gambut mendapat perhatian paling besar, tercermin dalam 13 kebijakan pengelolaan hutan dan lahan. Oleh karena itu, sudah selayaknya Jokowi menegaskan kembali visi dan misi terkait lingkungan hidup dalam Visi Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hijau.

Demikian disampaikan oleh M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, dalam Diskusi Media “Moratorium Permanen Hutan dan Visi Indonesia, Akan Kemana?” yang dilaksanakan di Creative Hub #TemenanLagi Yayasan Madani Berkelanjutan.

“Harapan masyarakat sangat besar atas kepemimpinan kedua Jokowi, khususnya di sektor lingkungan hidup, mengingat janji beliau saat Pilpres dan terdapat beberapa kebijakan pro-lingkungan telah diterbitkan meskipun beberapa diantaranya akan segera berakhir masa berlakunya,” jelas Teguh. Tak ingin kecolongan, Yayasan Madani Berkelanjutan, Walhi Eksekutif, Kemitraan-Partnership, Sawit Watch, dan Pantau Gambut kembali mengingatkan agar Presiden Joko Widodo meneguhkan komitmennya dan berani untuk menyelamatkan hutan tersisa, serta meneruskan pemulihan gambut setelah berakhirnya masa kerja BRG pada 2020.

Komitmen tersebut dapat diwujudkan dengan mengintegrasikan kebijakan moratorium pembukaan hutan primer dan gambut yang akan segera dipermanenkan dengan penguatan implementasi restorasi gambut 2020. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga perlu meningkatkan kekuatan hukum perlindungan permanen hutan alam dan gambut dari instruksi presiden menjadi peraturan presiden. “Peningkatan status kebijakan dari instruksi presiden menjadi peraturan presiden diperlukan untuk memastikan pembenahan dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Peraturan Presiden (Perpres) diharapkan akan menjadi solusi. Apalagi saat ini belum ada aturan mengenai sistem monitoring dan evaluasi dari Inpres Moratorium,” ujar Abimanyu Sasongko Aji, Project Manager Kemitraan-Partnership.

Dalam catatan Pantau Gambut, terjadi pengurangan wilayah moratorium sekitar 2,8 juta hektare pada periode 2011-2019 dan hutan seluas 2.739 hektare telah dilepaskan untuk dijadikan perkebunan sawit.

“Moratorium hutan primer dan gambut yang sudah ada sebelumnya tidak memandatkan tinjauan perizinan yang sudah ada. Adapun terbitnya PIPPIB tidak berkaitan dengan upaya pemulihan ekosistem gambut. Sementara, lahan gambut sebagian besar sudah terlanjur rusak,” kata Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch. “Seharusnya pemulihan ekosistem gambut yang bersifat wajib bagi perusahaan terus diawasi dan dipastikan berjalan”, tambahnya.

“Persoalannya, peraturan yang dikeluarkan oleh KLHK masih saling menegasikan. Dalam PermenLHK Nomor 16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut bertentangan dengan PermenLHK Nomor 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut yang memperbolehkan pengelolaan puncak kubah gambut. Selain itu, Kepdirjen-PPKL-Nomor-SK.40-2018 tentang penetapan status kerusakan ekosistem gambut yang di dalamnya mengatur soal pemulihan oleh perusahaan, dan juga dokumen seperti HGU hanya diketahui oleh KLHK dan Perusahaan. Jadi tidak ada transparansi,” tambah Inda.

“Perlindungan permanen hutan alam dan gambut diharapkan dapat memperkuat komitmen pemerintah dalam menata kembali pengelolaan hutan dan gambut. Apalagi, saat ini KLHK telah mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif dengan PermenLHK Nomor 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut,” tegas Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut.

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI, menerangkan bahwa pengaturan moratorium harus mempertimbangkan dan memperkuat wilayah Kelola Rakyat, yang selama ini telah hidup turun temurun selaras dengan alam di kawasan hutan, termasuk pengaturan perhutanan sosial pada ekosistem Gambut. Pengaturan moratorium harusnya menutup kemungkinan masuknya penguasaan korporasi dalam bentuk apapun. Masih dikecualikan PAJALE (Padi, Jagung, Kedelai) bisa menjadi pintu masuk pelepasan kawasan hutan, jika tidak diatur dengan ketat.

Masyarakat sipil turut mendukung upaya pemerintah untuk memberi perlindungan hukum secara permanen terhadap kawasan hutan dan gambut dengan membuat petisi. Adalah Piter Masakoda, Ketua himpunan pemuda Suku Moskona di Papua Barat bersama-sama Yayasan Madani Berkelanjutan meluncurkan petisi tersebut pada tanggal 1 Juli 2019 pada laman Change.org dan per 16 Juli 2019 telah meraih 37.000 pendukung. Dan dukungan ini masih terus bertambah. Bagi Suku Moskona, hutan laksana mama sekaligus sumber penghidupan. “Hutan tiada, maka kehidupan pun hilang”, terang M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Kebijakan perlindungan permanen hutan alam dan gambut perlu dukungan serius agar dapat memberikan kepastian perlindungan hutan alam Indonesia yang luasnya mencapai 89,4 juta hektare. Lebih jauh, upaya pengaturan “moratorium permanen” seharusnya juga mengatur upaya pemulihan lingkungan, khususnya di kawasan hutan dan ekosistem gambut. Empat hal strategis yang perlu dipertimbangkan Jokowi dalam satu tahun pertama adalah menerbitkan Perpres penghentian izin baru di hutan alam dan gambut, melanjutkan restorasi gambut pasca 2020, memperkuat komitmen iklim, dan memimpin implementasi moratorium perkebunan sawit.

Kontak Narasumber:

Abimanyu Sasongko Aji, Project Manager Kemitraan-Partnership
0821 6512 0204
abimanyu.aji@kemitraan.or.id

Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut
0812 6370 9484
iola.abas@pantaugambut.id

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch
0811 448 677
inda@sawitwatch.or.id

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819 1519 1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI
0812 8985 0005
zenzi.walhi@gmail.com

Related Article

Debat Capres Jilid 2: Komitmen Iklim Nasional Gagal Menjadi Perhatian Capres

Debat Capres Jilid 2: Komitmen Iklim Nasional Gagal Menjadi Perhatian Capres
Dalam debat ini, isu kerusakan hutan, deforestasi, serta rehabilitasi lingkungan hidup tidak disebut oleh kedua kandidat sementara isu korupsi sumber daya alam serta masyarakat adat hanya disebut sekali oleh Jokowi.

Jakarta, 18 Februari 2019 – Kedua kandidat Presiden yang bertarung dalam Debat Capres II yang diselenggarakan oleh KPU malam tadi gagal melihat komitmen iklim nasional sebagai benang merah sekaligus penentu dari kelima isu yang dibahas dalam debat, yakni infrastruktur, pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. Hal ini terungkap dalam diskusi Rekap Debat Pilpres II dan Apa yang Harus Diperkuat terkait Komitmen Iklim Nasional yang diselenggarakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan pada hari Senin, 18 Februari 2019 di bilangan Kemang, Jakarta Selatan.

Secara umum, Kandidat Presiden Nomor Urut 1, Joko Widodo lebih menekankan pada berbagai langkah kebijakan, program, dan proyek terkait kelima isu debat, namun kurang mengelaborasi permasalahan dan solusi mendasar, yakni permasalahan tata kelola. Pembahasannya pun masih parsial atau terpisah-pisah seakan tidak ada benang merah. Sementara itu, Kandidat Presiden Nomor Urut 2, Prabowo Subianto, cenderung menekankan pada ‘blanket concept’ berupa kemandirian, swasembada, serta kepemilikan nasional versus asing untuk membungkus semua isu, namun miskin dalam hal elaborasi program kerja atau langkah konkret untuk mencapai tujuan tersebut. Terkait infrastruktur, Jokowi menekankan capaian pada masa pemerintahannya seperti pembangunan jalan desa dan unit irigasi, pembangunan konektivitas antar-wilayah seperti jalan tol, tol laut, bandara, serta pembangunan infrastruktur telekomunikasi untuk mendukung Revolusi Industri 4.0. Sementara itu, Prabowo menekankan pada hal-hal normatif seperti peran rakyat dalam perencanaan, dampak lingkungan hidup dan sosial dalam pembangunan infrastruktur, serta infrastruktur untuk rakyat. Namun, keduanya sama sekali tidak melihat keterkaitan erat antara infrastruktur dan perubahan iklim. Dalam debat, kedua kandidat tidak berhasil mengelaborasi desain utuh terkait pembangunan infrastruktur dalam kacamata kerentanan terhadap dampak perubahan iklim, juga bagaimana pembangunan infrastruktur akan berdampak pada upaya penurunan emisi. Selain itu, solusi peningkatan ganti rugi yang ditekankan kedua kandidat cenderung salah fokus. seharusnya yang didorong adalah PADIATAPA (Persetujuan Berdasarkan Informasi di Awal Tanpa Paksaan) dari masyarakat terdampak sebelum proyek infrastruktur dimulai untuk menjamin kemanfaatan dan mencegah pelanggaran HAM. Terkait energi dan pangan, Jokowi menekankan pada keseimbangan ketersediaan dan stok pangan serta stabilitas harga, yang dikritik Prabowo karena sebagian strateginya bertumpu pada impor pangan. Namun, keduanya lagi-lagi tidak menyebut dampak negatif perubahan iklim terhadap produksi pangan serta dampak negatif dari upaya ‘menggenjot’ produksi pangan melalui ekspansi tanaman monokultur seperti sawit terhadap lingkungan hidup yang juga mengancam keragaman pangan lokal. “Kedua kandidat sama-sama menekankan penggunaan sawit sebagai bahan bakar alternatif serta untuk mencapai swasembada energi. Namun, kedua kandidat tidak memaparkan solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial dan lingkungan yang timbul akibat praktik perkebunan kelapa sawit yang tidak berkelanjutan, di antaranya potensi perusakan hutan alam yang masih baik serta lahan gambut yang kaya akan karbon,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan. ”Penguatan kebijakan tata kelola di hulu seperti moratorium sawit serta penguatan standar keberlanjutan sawit agar tidak lagi menimbulkan deforestasi dan kerusakan gambut harus dijalankan Presiden terpilih nanti karena sangat penting untuk mencapai target penurunan emisi dalam NDC di sektor hutan dan lahan.” “Terkait energi, pernyataan Jokowi tentang pengurangan penggunaan bahan bakar fosil melalui program B20 hingga B100 justru kontradiktif dengan keinginannya untuk meningkatkan eksplorasi ladang minyak offshore,” ujar Nuly Nazlia, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia. “Indonesia telah menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen hingga 2025, tapi sebagian besar pembangkit listrik masih didominasi batu bara, yaitu sebesar 31 persen. Padahal, ketergantungan energi fosil terbukti membebani perekonomian, baik secara fiskal maupun lingkungan. Di dalam debat, kendati kedua capres memasukkan visi-misi pengembangan energi terbarukan, mekanisme percepatan pengembangan energi terbarukan belum jelas, termasuk strategi memperbaiki tata kelola energi dan ketenagalistrikan. Mereka fokus pada pengembangan biodiesel/bioetanol bahkan hingga ke B100, padahal sumber energi terbarukan yang bisa dikembangkan Indonesia sangatlah banyak. Lebih tepat bila menempatkan biofuel sebagai jawaban sementara bagi sektor transportasi.” Menurutnya, pembahasan energi terbarukan seharusnya bisa diangkat sebagai solusi strategis saat muncul video dampak lubang tambang batu bara. Tapi, keduanya sama sekali tidak menyentuh rencana rehabilitasi sisa-sisa aktivitas tambang sebagai awal dari upaya pemulihan. Revolusi Industri 4.0 pun tidak dimanfaatkan untuk menjelaskan bahwa era ini menjadi era disrupsi bagi cara kita memproduksi dan menggunakan listrik, mulai dari teknologi efisiensi energi, surya atap, baterai, mobil listrik, dan smart home system yang makin murah. “Indonesia akan ketinggalan zaman apabila masih mengutamakan energi fosil dan tidak secara agresif berpaling pada industri energi terbarukan. Apalagi ada banyak potensi green jobs di berbagai sektor dan poin pemikat bagi para pemilih muda untuk mendukung mereka,” tambah Nuly lagi. Terkait SDA dan lingkungan hidup, kedua kandidat sama-sama menekankan penegakan hukum bagi aktor-aktor perusak lingkungan, misalnya pencemaran, pembalakan liar, pencurian ikan, dan kebakaran hutan dan lahan. Komitmen ini baik akan tetapi sangat normatif dan tidak memberikan nilai tambah jika mereka terpilih dikarenakan tidak disertai pemaparan lebih lengkap terkait upaya penegakan hukum yang akan dilakukan di sektor sumber daya alam. Kajian KPK menemukan bahwa 18 dari 22 aturan perizinan rentan menyebabkan korupsi. Di sektor kehutanan saja, kerugian negara mencapai 6,5 miliar dollar AS karena pelaporan yang tidak sesuai sementara nilai kayu sebesar 60-80 miliar dollar AS tidak terlaporkan, dan biaya suap perizinan setiap tahunnya mencapai 22 miliar rupiah untuk tiap konsesi. Sementara itu, perubahan iklim akan mempengaruhi kualitas lingkungan hidup dan termasuk ketersediaan bahan pangan, ikan, kondisi hutan dan lahan, kebakaran, dan sebagainya. Sekali lagi kedua kandidat tidak ada pemaparan mengenai bagaimana kedua kandidat akan berkontribusi pada pengurangan emisi untuk mencapai komitmen iklim nasional guna menjamin terjadinya swasembada pangan, swasembada energi, keberlanjutan infrastruktur, serta pembangunan ekonomi berkelanjutan. “Jika mengacu pada debat Capres kedua ini, komitmen kedua paslon dalam perubahan iklim diragukan. Energi kotor batu bara yang menjadi salah satu penyumbang emisi, biofuel yang akan memicu deforestasi dan penghasil emisi tidak mau ditinggalkan, melainkan digadang-gadangkan sebagai energi terbarukan. Mereka gagal paham menerjemahkan energi terbarukan, biofuel justru akan semakin meningkatkan penghancuran hutan, meningkatkan emisi gas rumah kaca, dan semakin melanggengkan praktik perampasan tanah, khususnya tanah-tanah masyarakat adat. Moratorium sawit tidak sama sekali menjadi pertimbangan keduanya, padahal kebijakan moratorium adalah jalan pembenahan tata kelola sumber daya alam,” ujar ujar Khalisah Khalid, Desk Politik Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Dalam debat ini, isu kerusakan hutan, deforestasi, serta rehabilitasi lingkungan hidup tidak disebut oleh kedua kandidat sementara isu korupsi sumber daya alam serta masyarakat adat hanya disebut sekali oleh Jokowi. “Pengelolaan hutan dan lahan gambut berkelanjutan oleh masyarakat dalam bentuk perhutanan sosial sebetulnya dapat mendukung pencapaian komitmen iklim nasional, sekaligus mendukung program ketahanan pangan, energi, keberlanjutan sumber daya alam, serta perlindungan lingkungan hidup di tingkat lokal,” ujar Emmy Primadona, Koordinator Program KKI-Warsi. “Oleh karenanya, siapapun yang terpilih, realisasi perhutanan sosial harus menjadi program prioritas dan harus didukung oleh strategi nasional berupa program pemberdayaan dari berbagai pihak di dalamnya, agar kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat benar-benar membawa dampak perbaikan ekonomi bagi masyarakat dan hutan dapat dikelola dengan baik secara berkelanjutan.” Yayasan Madani Berkelanjutan menyampaikan rekomendasi dan langkah strategis bagi kedua kandidat untuk memperkuat komitmen iklim nasional Indonesia jika terpilih nanti, yaitu menyusun kebijakan terintegrasi terkait pembangunan infrastruktur, energi, pangan, SDA, dan LH dalam kerangka pembangunan rendah karbon dan pencapaian komitmen iklim nasional dan global (Nationally Determined Contribution/NDC) yang lebih ambisius dan kuat, menyusun kebijakan terintegrasi yang mengakomodasi penghentian deforestasi, penundaan dan evaluasi izin-izin pemanfaatan sumber daya alam skala besar, serta perbaikan tata kelola terkait lahan dan SDA dengan dibarengi dengan transisi segera menuju energi bersih, memperkuat langkah-langkah kebijakan yang sudah baik terkait hutan dan lahan, termasuk memperkuat kebijakan moratorium hutan, implementasi moratorium sawit, implementasi restorasi gambut, dan rehabilitasi lahan kritis, mencanangkan target menuju nol deforestasi, dan menyusun serta menjalankan rencana aksi konkrit untuk memperkuat pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal atas lahan, wilayah dan sumber daya alam dalam kebijakan terkait infrastruktur, energi, pangan, pengelolaan SDA dan lingkungan hidup. *** Narahubung: Anggalia Putri, Manajer Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan 0856-211-8997 anggalia.putri@madaniberkelanjutan.id Khalisah Khalid, Desk Politik Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) 0813-1118-7498 khalisah@walhi.or.id Nuly Nazlia, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia 0811-1012-853 nulynazlia@gmail.com Emmy Primadona, Koordinator Program KKI-Warsi 0811-7453-700 emmy.than@gmail.com Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan 0815-1986-8887 luluk@madaniberkelanjutan.id

Related Article

Analisis Dokumen Visi & Misi Joko Widodo-Ma’ruf Amin 2019-2024

Analisis Dokumen Visi & Misi Joko Widodo-Ma’ruf Amin 2019-2024

Pada awal Oktober 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan visi dan misi kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden kepada publik. Sebagai perwakilan masyarakat sipil, Yayasan Madani Berkelanjutan yang fokus menjembatani antarpihak (pemerintah, swasta, dan masyarakat) untuk memperbaiki keadaan hutan dan gambut Indonesia, telah menyoroti dokumen visi dan misi keduanya secara kritis untuk memahami perspektif dan komitmen calon pemimpin bagi lingkungan hidup. Apa saja persoalan lingkungan yang telah maupun belum diakomodasi pada visi dan misi keduanya, serta komitmen seperti apa yang mesti mereka miliki untuk perbaikan kondisi lingkungan dan masyarakat secara menyeluruh?

Kajian ini memaparkan analisis terhadap dokumen visi-misi Jokowi-Ma’ruf terkait lingkungan hidup dengan fokus pada 5 isu utama yaitu pengelolaan hutan dan gambut secara berkelanjutan, ketimpangan penguasaan lahan, penegakan hukum, perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat, serta energi baru terbarukan (EBT). Studi ini mengidentifikasi poin-poin program aksi yang ditemukan dalam visi dan misi Jokowi dan Ma’ruf yang berkaitan dengan isu-isu tersebut.

Simak laporan selengkapnya dengan mengunduh di bawah ini.

Related Article

id_IDID