Madani

Tentang Kami

Webinar Nasib Hutan di Tengah Pilkada

Webinar Nasib Hutan di Tengah Pilkada

Riset Center for International Forestry Research (CIFOR) yang dipublikasikan pada jurnal Forestry Review menunjukkan, hingga 2017 atau sebelum pilkada, izin untuk kepemilikan lahan cenderung meningkat. Izin tersebut dikeluarkan oleh kepala daerah petahana maupun calon kandidat bupati maupun wali kota, di kawasan konservasi, hutan lindung maupun konsesi korporasi.

Kajian Yayasan Madani Berkelanjutan pada September 2020 juga menemukan adanya pola penerbitan izin lokasi sawit yang cenderung terkumpul di tahun penyelenggaraan pilkada. Dari 9 provinsi yang akan menyelenggarakan pilkada serentak, terdapat 3 provinsi yang memiliki hutan alam terluas yang berada di fungsi produksi dan APL

Bagaimana nasib hutan alam Indonesia di tengah pilkada? Simak Katadata Forum Virtual Series bertajuk “Nasib Hutan Di Tengah Pilkada“, pada:

Kamis, 26 November 2020
14:00 – 15:30 WIB

Bersama:

  1. Hari Nur Cahya Murni – Dirjen Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri
  2. Habib Ismail bin Yahya – Plt Gubernur Kalimantan Tengah
  3. Nurul Ghufron – Wakil Ketua KPK
  4. M. Teguh Surya – Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan

Related Article

Deforestasi dan Bencana di Provinsi Penyelenggara Pilkada

Deforestasi dan Bencana di Provinsi Penyelenggara Pilkada

Deforestasi mengancam hutan alam di lima provinsi penyelenggara pemilihan kepala daerah (pilkada). Deforestasi bruto di Kalimantan Tengah seluas 1,4 juta hektar (ha) merupakan yang tertinggi selama periode 2003-2018. Sementara di Jambi, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, dan Sumatera Barat, deforestasi bruto mencapai 844 ribu ha, 590 ribu ha, 562 ribu ha, dan 274 ribu ha. Deforestasi bruto merupakan gabungan deforestasi hutan alam dan hutan tanaman di provinsi tersebut.

Kerusakan hutan kemudian menimbulkan berbagai bencana alam di wilayah terdeforestasi. Berdasarkan Kajian Madani Berkelanjutan, provinsi penyelenggara pilkada dengan hutan alam yang terdeforestasi rentan terhadap kejadian bencana alam seperti banjir, longsor, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Sebagai provinsi dengan angka deforestasi tertinggi, Kalimantan Tengah dilanda bencana banjir 107 kali dan longsor 11 kejadian dalam lima tahun terakhir. Tak hanya itu, di provinsi tersebut juga terjadi kebakaran hutan sebanyak 69 kejadian. Selain menimbulkan bencana, kerusakan hutan juga berimplikasi pada menurunnya kualitas oksigen, terganggunya siklus air, hingga hilangnya keanekaragaman hayati.

Data ini sudah dirilis di laman Katadata.co.id.

Related Article

Deforestasi Bruto di 9 Provinsi Penyelenggara Pilkada 2020

Deforestasi Bruto di 9 Provinsi Penyelenggara Pilkada 2020

Sembilan provinsi akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada Desember 2020 mendatang. Madani Berkelanjutan menghimpun data deforestasi bruto, yaitu gabungan deforestasi di hutan alam dan hutan tanaman di sembilan provinsi terkait. Berdasarkan data yang dihimpun, setidaknya ada empat provinsi yang besar deforestasi brutonya lebih dari 500 ribu hektare (ha) dalam periode 2003-2018.

Kalimantan Tengah menjadi provinsi yang menderita kehilangan luas hutan paling besar, mencapai lebih dari 1,4 juta ha. Diikuti Jambi 844 ribu ha, Kalimantan Utara 589 ribu ha, dan Sulawesi Tengah 562 ribu ha.

Lima provinsi lainnya juga menyumbang angka hilang hutan yang juga tidak kecil angkanya. Berturut-turut ada Sumatera Barat 273 ribu ha, Kalimantan Selatan 209 ribu ha, Bengkulu 153 ribu ha, Sulawesi Utara 80 ribu ha, dan Kepulauan Riau 47 ribu ha.

Data ini telah dipublikasi di Databoks Katadata.co.id.

Related Article

Yuk Asuh Pohon Untuk Selamatkan Hutan

Yuk Asuh Pohon Untuk Selamatkan Hutan

Tentu kita semua sudah tahu mengapa hutan harus terus kita jaga. Iya, benar, karena hutan adalah paru-paru dunia, pusat bernafas dari semua yang ada di bumi ini. Dapat kita bayangkan jika hutan rusak. Maka sumber udara bersih akan hilang. Itu mengapa kita harus selalu menjaga hutan agar tetap lestari.

Lantas, apakah kita yang tinggal jauh dari hutan masih bisa ikut serta dalam menjaga hutan? Jawabannya tentu saja bisa. Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk ikut menjaga hutan, meskipun kita tinggal jauh dari hutan. Salah satunya adalah dengan menjadi pengasuh pohon dalam Program Pohon Asuh.

Apa itu Pohon Asuh?

Pohon Asuh adalah sebuah program penyelamatan hutan dengan metode Crowdfunding. Yakni sebuah bentuk pendanaan yang dikumpulkan dari banyak pihak secara kolektif. Lewat program pohon asuh inilah kemudian dananya digunakan untuk  memelihara dan melindungi hutan agar tetap lestari.

Program Pohon Asuh ini dipelopori oleh KKI Warsi, dan saat ini sudah dikembangkan di banyak wilayah dampingan Warsi. Seperti di Hutan Adat Rantau Kermas, di Kabupaten Merangin, Jambi. Juga di empat hutan nagari yang ada di Sumatera Barat, seperti hutan nagari di Simancuang, Kabupaten Solok Selatan, hutan nagari Sungai Buluh di Kabupaten Padang Pariaman serta Hutan Nagari Sirukam dan Simanau di Kabupaten Solok.

Pohon yang akan diasuh ini sebelumnya ditentukan terlebih dahulu, yaitu dipilih pohon yang memiliki diameter minimal 60 cm. Setelah ditentukan dengan GPS, kemudian datanya dimasukkan ke dalam website pohon asuh www.pohonasuh.org . Data pohon asuh di website inilah yang dapat diketahui oleh masyarakat luas. Kemudian masyarakat bisa memilih pohon asuhnya lewat website.

Di dalam website, pengasuh bisa memilih jenis pohon, letaknya dan juga jangka waktu berdonasinya. Bisa setahun atau lebih. Biayanya cukup murah. Hanya 200 ribu untuk satu pohon selama satu tahun. Dan jika sudah lewat waktunya, bisa diperpanjang lagi.

Pengasuh pohon akan dikabarkan letak pohon asuhnya, dan perkembangan pohon tersebut lewat email setiap enam bulan sekali. Jika telah lewat masa waktunya, pengasuh pohon akan diberikan kabar lewat email apakah akan memperpanjang lagi atau tidak. Pengelola akan mencantumkan nama pengasuh dan keterangan pohon yang telah diasuh dalam bentuk papan nama yang dipasang pada pohon yang diasuh.

Foto Pohon Asuh Nagari Sirukam. (Kiki Andianto @Yayasan Madani Berkelanjutan)

Kontribusi dari program pohon asuh ini selain digunakan untuk melakukan kegiatan penyelamatan hutan dengan mengembangkan perhutanan sosial hingga kegiatan patroli jaga hutan, juga digunakan untuk menunjang kerja masyarakat.

Program pohon asuh ini tidak hanya diikuti oleh masyarakat Sumatera Barat dan Jambi saja, tetapi juga diikuti oleh masyarakat dari beragam kalangan. Daniel Mananta dan Dian Sastro juga menjadi contoh warga dan artis ibukota ikut serta dalam program pohon asuh. Pohon asuhnya terletak di Hutan Nagari Sirukam, Kabupaten Solok.

Bagi kamu yang tertarik lebih lanjut dengan program ini, kamu juga bisa menelisik lebih lanjut program pohon asuh ini di www.pohonasuh.org. Ayo Sobat Madani, pohon-pohon di sana telah memanggilmu untuk mengasuh mereka. Yuk, asuh pohon di pohon asuh!

Related Article

[1000 gagasan] EKONOMI MARTABAK

[1000 gagasan] EKONOMI MARTABAK

Mengapa Model Pembangunan Ekonomi saat ini masih eksploitatif dan banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial? Apa Tantangan Terbesar Indonesia dalam Mengembangkan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan? 

Anindya F Utami, atau yang biasa disapa Afu,  Co-Founder Think Policy Society punya jawaban menarik untuk memecahkan persoalan di atas. Afu menyebut gagasan Ekonomi Martabak.  Penasaran apa itu ekonomi martabak, dan gimana gagasan ini berkontribusi menyumbang ide pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan. 

Yuk simak gagasan Afu untuk #1000GagasanEkonomi berjudul: EKONOMI MARTABAK – Pembangun Ekonomi Mengusung Kearifan Lokal. 



Related Article

[1000 gagasan] WISATA BAHARI KERAKYATAN BERKELANJUTAN

[1000 gagasan] WISATA BAHARI KERAKYATAN BERKELANJUTAN

Salah satu penyumbang devisa ekonomi Indonesia adalah sektor pariwisata.  Secara empiris, sebagian besar destinasi wisata berkelas dunia di Indonesia berbasis wisata bahari. Sayangnya, pengelolaannya belum optimal. Dalam visi poros maritim dunia pemerintah, wisata bahari jadi salah satu sebagai prioritasnya. Namun, dibalik pesatnya kemajuan wisata bahari menyimpan soal yang mengusik kehidupan masyarakat lokal, terutama masyarakat yang bermukim di pesisir maupun pulau kecil. Mereka kerap terabaikan hingga jadi korbannya. Salah satu kasus yang menarik perhatian publik yaitu perampasan Pulau Pari tahun 2017 oleh korporasi dengan cara mengusir penduduk lokal. Mereka berdalih telah menggenggam sertifikat dan izin usaha pengembangan pariwisata. Padahal, masyarakat lokal telah mendiaminya sebelum Indonesia merdeka. Kondisi ini mengisyaratkan adanya perampasan sumber daya dan ruang laut (ocean grabbing) buat bisnis wisata bahari. Pemerintah mestinya memperhatikan soal krusial semacam ini. 

Keunggulan

Indonesia mengenjot pariwisata karena berkontribusi signifikan bagi pembangunan ekonomi nasional. Tahun 2019, kontribusinya terhadap PDB nasional sebesar 15 persen dan meraup devisa Rp 275 triliun.  Wisata bahari baru mampu menyumbang devisa sektor pariwisata US$ 1 miliar. Nilainya lebih kecil dibandingkan Malaysia yang mampu meraup devisa hingga 40 persen senilai US$8 miliar. Padahal, Indonesia memiliki 33 destinasi wisata bahari ketimbang Malaysia yang hanya 11. Indonesia pun punya keunggulan unik. Pasalnya, negara kita memiliki kawasan pesisir dan laut yang ideal buat aktivitas wisata bahari.  Diantaranya: buat berjemur, berenang, menyelam, snorkeling, memancing, surfing, boating, yachting, parasailing, cruising, marine parks, dan whale watching. Destinasi wisata bahari yang mendunia diantaranya pulau Bali, Taman Laut Bunaken, Wakatobi, Raja Ampat, Riung Tujuh, Labuhan Bajo, Pulau Komodo, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Semuanya jadi ikon Indonesia di dunia internasional yang menyedot kunjungan wisata setiap tahunnya. Data BPS mencatat wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia tahun 2018 berjumlah 15,81 juta melonjak  12,63 persen ketimbang tahun 2017 sebesar 14,04 juta.

Sebagai pusat segitiga terumbu karang dunia (Coral Triangle) Indonesia memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi. Di antaranya, 590 jenis karang, 2.057 jenis ikan karang, 12 jenis lamun, 34 jenis mangrove, 1.512 jenis krustasea, 6 jenis penyu, 850 jenis sponge, dan 24 jenis mamalia laut.  Letak geografi Indonesia daerah tropis dengan iklim yang hangat dan matahari bersinar sepanjang tahun jadi keunggulan lain dari wisata bahari. Utamanya buat aktivitas scientific diving, konservasi, pendidikan, dan fotografi bawah air. Semua keunggulan ini mesti diberdayakan buat meningkatkan devisa negara dan menyediakan lapangan kerja baru. Namun, pemberdayaannya mesti mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya dan ekosistemnya serta kehidupan ekonomi masyarakat lokal. Masyarakat lokal jangan sampai jadi korban industri wisata bahari. Begitu pula keberlanjutan, sumber daya, ekologi, ekosistemnya. Maraknya perampasan sumber daya dan ruang laut maupun pesisir lewat industri wisata bahari masih jadi problem struktural maupun kultural. Makanya, pendekatan baru pengembangan wisata bahari berbasis kearifan dan budaya masyarakat lokal jadi keniscayaan. 

Alternatif

Problem struktural maupun kultural di balik pesatnya perkembangan wisata bahari, pertama, maraknya perampasan ruang laut, pesisir dan pulau kecil yang mengabaikan masyarakat lokal. Kedua, adanya penguasaan eksklusif pulau-pulau kecil di Indonesia oleh warga negara asing dengan dalih investasi berlabelkan adopsi pulau. Awal mulanya berupa kebijakan pemerintah menawarkan 31 pulau kecil ke pihak asing. Hasilnya 19 pulau kecil telah dikelola asing dan membatasi akses masyarakat lokal (KIARA, 2015). Umpamanya, investor Malaysia mengelola pulau Maratua di Kalimantan Timur, Pulau Dua dan sebagian lahan di pulau Enggano di Bengkulu Utara (Kompas 21/11/2016). 

BACA JUGA: Blue Economy Sebagai Model Pembangunan Wilayah Pesisir

Ketiga, perilaku wisatawan yang membuang sampah plastik sembarangan. Tindakan ini  mengancam kehidupan fauna dan flora laut jenis mamalia, seperti ikan paus, duyung, lumba-lumba, penyu, dan ekosistem terumbu karang. Keempat, minimnya keterlibatan masyarakat lokal sebagai pelaku industri wisata bahari ketimbang korporasi. Imbasnya, akumulasi kapital mendominasi ketimbang kepentingan keberlanjutan sumber daya, ekosistem dan kearifan lokal masyarakatnya.

Di sinilah pentingnnya pendekatan alternatif yang tak menghambat industri wisata bahari dan anti asing. Dibutuhkan keadilan ekonomi dan ekologi sehingga mereduksi hegemoni korporasi dalam mengelola wisata bahari. Model pendekatannya ialah degrowth dalam tata kelola wisata bahari berkelanjutan (degrowth in sustainable marine tourism governance). Pendekatan ini merupakan suatu proses kolektif-deliberatif yang mengendalikan mekanisme pasar serta menjamin pertukaran barang dan jasa secara adil kehidupan manusia (Schneider et al, 2013). Model ini juga memprioritaskan jaminan kualitas hidup manusia ketimbang kuantitas, kooperasi ketimbang kompetisi sehingga mewujudkan keadilan sosial (Latouche, 2003). 

Secara ekologi-ekonomi, model ini akan menjamin keberlanjutan sosial dan mencegah ketidakadilan (Kallis, 2010). Ia juga menjamin keberlanjutan ekologis, pengelolaan ekonomi secara partisipatif,  pemenuhan  kebutuhan dasar dan kualitas hidup manusia yang lebih baik sehingga menciptakan keadilan distributif, baik ruang maupun sumber dayanya (Research and Degrowth, 2010).  Konsep degrowth dalam wisata bahari ini dapat diilustrasikan dalam kehidupan biologi hewan dan tumbuhan yang tetap menjamin keberlanjutan ekosistem/ekologis secara alamiah. Kebijakan tata kelola wisata bahari tak mesti mengejar pertumbuhan bisnisnya yang tinggi. Melainkan bagaimana tata kelola pariwisata bahari berorientasi ekologi yang menjamin proses metabolisme alam dalam sistem jaring-jaring kehidupan di wilayah pesisir dan lautan. Mirip proses metabolisme dalam tubuh manusia. Apabila manusia mengkonsumsi makanan secara berlebihan tanpa memperhatikan dampaknya bagi kesehatannya, proses metabolisme tubuhnya bakal terganggu. Akibatnya menimbulkan pelbagai penyakit kronis semacam jantung, darah tinggi, hingga obesitas.  

Tubuh manusia tak bisa memaksakan pasokan asupan makanan tanpa kendali masuk dalam tubuhnya. Mesti mempertimbangkan ekologi tubuhnya sehingga proses metabolisme tetap berlangsung normal. Bila, mengasumsikan “asupan” makanan berlebihan masuk ke tubuh manusia berorientasi “pertumbuhan”. Imbasnya, manusia menderita penyakit kronis hingga berujung kematian. Itu sama artinya ulah manusia mengejar pertumbuhan ekonomi pariwisata yang tinggi dan mengabaikan metabolisme alamiahnya sehingga berujung kehancuran sumber daya alam pesisir dan lautan (antroposentrisme) (Karim, 2013). Timbul pertanyaan, bagaimana kontribusi wisata bahari terhadap pertumbuhan ekonomi nasional maupun daerah? Apakah akan memperlambat pertumbuhan atau sama sekali tidak ada? Kontribusi pertumbuhan bakal  dihasilkan di bagian akhir dari model pendekatan ini. Apabila aktivitas yang berlangsung telah mencapai pemerataan pendapatan, keadilan ekonomi, dan keadilan ekologi.  Maka, berkontribusi terhadap pemerataan pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional.

Secara konsepsional pemikiran ini dimodifikasi dari Andriotik (2009) yang memposisikan “masyarakat lokal” (local community) sebagai pelaku utamanya. Tujuannya adalah memaksimalkan kesejahteraan bukan akumulasi kapital semata. Model tata kelolanya yaitu, pertama, berorientasi dan  menitikberatkan aktivitas padat karya (labour intensive) ketimbang padat modal (capital intensive). Orientasi ini menyerap lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Masyarakat yang bermukim di wilayah destinasi wisata bahari tak perlu lagi jadi TKI/TKW di luar negeri. Tugas pemerintah lokal ialah memperkuat kapasitas dan sumber daya manusianya serta menyediakan insentif yang memudahkan pengembangan wisata berbasis kerakyatan ini. Diantaranya,  pajak, kepastian hukum dan mereduksi biaya transaksi yang berpotensi menimbulkan moral hazard.

Kedua, kepemilikan akses dan aset serta kontrol sumber dayanya mengutamakan keterlibatan masyarakat lokal (endogen) ketimbang korporasi (eksogen) yang kerap menutup akses mereka. Artinya, prinsip kolektif-deliberatif dan pengelolaan partisipatif mengutamakan masyarakat lokal. Hal ini bakal mendorong inovasi dan kreasi masyarakat lokal berbasiskan teknologi digital. Disini bakal muncul wirausaha-wirausaha sosial berbasis teknologi yang mendukung aktivitas wisata bahari. Imbasnya, bakal tercipta kesejahteraan hidup yang berkualitas, keadilan distribusi ruang dan sumber daya serta sosial. 

BACA JUGA: Menggelorakan Usaha Agroedutourism

Ketiga, karena sifatnya  padat karya, skala usaha pengembangan wisatanya berskala usaha kecil dan menengah termasuk berbasiskan kelembagaan koperasi dan badan usaha milik desa. Negara berperan menyediakan skema permodalan dan kebijakan afirmatif (insentif pajak, perizinan dan pelatihan sumber daya manusia profesional) untuk meningkatkan kapasitas di level lokal dalam tata kelolanya. Bagaimana dengan infrastrukturnya? Pemerintah tak perlu membangun infrastruktur besar-besaran yang padat modal. Pemerintah lebih baik merevitalisasi bio-infrastruktur di wilayah pesisir dan lautan yang selama ini mengalami degradasi, seperti rehabilitasi hutan mangrove dan terumbu karang. Fasilitas akomodasi wisata lebih berorientasi etnik berbahan baku lokal, seumpama cottage dan losmen buat wisatawan. Ini tak membutuhkan biaya mahal karena memanfaatkan sumber daya  alam lokal seperti kayu batang kelapa yang sudah tua. Di samping itu, dikembangkan pula model kerajinan rumah tangga (home industry) untuk buah tangan, kuliner lokal dan camilan buat wisman yang berkunjung.

Keempat, pengembangannya tidak bersifat massal. Melainkan adaptif dan selaras dengan sumberdaya, budaya maupun kearifan lokal sehingga tidak menimbulkan perilaku destruktif terhadap lingkungan dan masyarakat hingga tak mengurangi nilai manfaat ekonominya. Pengembangan ini memudahkan dalam mengontrol dan mengawasinya. Terutama terkait perilaku wisatawan yang membuang sampah plastik sembarangan yang merusak ekosistem terumbu karang, mangrove dan biota perairan jika masuk ke laut.     

Kelima, mengembangkan wisata bahari yang menggambarkan cara hidup unik dan bercirikan rasa kekeluargaan, persaudaraan serta kolektivisme sehingga tercipta interaksi sosial masyarakat lokal/adat dengan wisatawan. Wisatawan yang sadar  ekologi otomatis menikmati kehidupan alami dan menyelami cara hidup, kuliner dan budaya lokal masyarakat tanpa merubah bentang alam, serta merusak ekosistemnya.  

Keenam, modelnya bersifat demokrasi deliberatif yang mengedepankan partisipasi dan budaya masyarakat  lokal dalam pengambilan keputusan pengelolaannya. Persis yang diaplikasikan oleh desa-desa adat pesisir di Bali. Apakah model ini dapat diaplikasikan dalam konteks yang bukan bersifat adat maupun budaya? Sangat mungkin, asalkan ada kebijakan ekonomi politik pemerintah pusat maupun daerah yang memposisikan wisata bahari tidak hanya berorientasi korporatisme semata. Melainkan memberikan ruang partisipasi masyarakat lokal dan adat dalam tata kelolanya. 

Model pendekatan ini sejatinya sebagai antitesa dari model  kapitalistik-eksploitatif yang meminggirkan masyarakat lokal dan adat. Model ini amat cocok dikembangkan di daerah yang masih asli (virgin) termasuk yang masuk kawasan konservasi laut. Kita berharap lewat penerapan model ini tak lagi timbul pengusiran dan perampasan ruang laut dan sumber dayanya (ocean grabbing). Contohnya, perampasan hak kepemilikan pulau wisata oleh korporasi terutama asing. Soalnya melalui pendekatan ini akan berdampak terhadap perekonomian nasional dan daerah berbasis kepulauan, mengurangi pengangguran, serta meminimalisir degradasi sumberdaya alam maupun ekologi. Semoga!


Oleh: Muhamad Karim

Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim/ Dosen Universitas Trilogi

Related Article

[1000 gagasan] HUKUM, PERUSAHAAN, DAN LINGKUNGAN: KOLABORASI MAUT DEMI EKONOMI YANG BERKELANJUTAN

[1000 gagasan] HUKUM, PERUSAHAAN, DAN LINGKUNGAN: KOLABORASI MAUT DEMI EKONOMI YANG BERKELANJUTAN

Bisnis dan Lingkungan kerap kali dianalogikan layaknya air dan minyak, dua hal yang tidak mungkin bersatu. Hal tersebut tidaklah salah, mengingat profit adalah tujuan utama dalam menjalankan bisnis. Sehingga, tidak jarang pelaku usaha tega untuk menumbalkan lingkungan sekitarnya untuk mendapatkan profit sebesar-besarnya.

Di sisi lain, terdapat aspek hukum yang mengeratkan bisnis dan lingkungan. Perusahaan diwajibkan untuk mengikuti aturan main yang ada di bawah payung peraturan hukum. Ide maupun pelaksanaan ekonomi berkelanjutan yang baik pun akan menjadi kurang efektif tanpa dilengkapi dengan kerangka hukum yang menunjang, layaknya taring yang tidak runcing. Sehingga saya kira diperlukan peraturan hukum untuk menjadi penyokongnya.

1. Hukum, Perusahaan dan Lingkungan

Dari segi hukum, peraturan di Indonesia mewajibkan para pelaku usaha tergantung dari dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkannya untuk memiliki dokumen-dokumen lingkungan hidup berupa (i) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), (ii) Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/UPL) atau (iii) Surat Pernyataan kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup dan juga (iv) Izin Lingkungan sebagaimana diatur dalam Undang Undang No. 32 Tahun 2009, sebelum para pelaku usaha dapat menjalankan bisnisnya.

Idealnya, dengan adanya kewajiban perusahaan untuk memperoleh izin lingkungan sebelum menjalankan kegiatan usaha diharapkan akan mengurangi jumlah kerusakan lingkungan yang ada atau paling tidak mengurangi potensi timbulnya kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi. 

BACA JUGA: Gagasan Prima Gandhi “Menggelorakan Usaha Agroedutourism” 

Namun, kenyataannya di lapangan berkata lain. Kemudahan untuk memperoleh perizinan dan juga lalainya pengawasan terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan menjadi salah satu faktor utama dari kerusakan lingkungan yang kerap terjadi. 

2. Hukum Lingkungan dan Kenyataannya di Lapangan

Penerbitan perizinan lingkungan sekarang semakin mudah. Saya pernah mengurus izin lingkungan untuk perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan. Perusahaan ini tidak tergolong usaha yang diwajibkan untuk memperoleh UKL-UPL atau AMDAL, sehingga saya hanya harus membuat surat pernyataan template yang juga dipakai oleh perusahaan-perusahaan lain, bahwa perusahaan tersebut akan menaati peraturan-peraturan yang berlaku. Setelah melalui proses administratif yang sederhana, Izin Lingkungan perusahaan tersebut bisa terbit dan berlaku efektif. 

Pemerintah juga semakin giat untuk mempermudah pengusaha untuk mendapatkan izin. Pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, Izin Lingkungan dapat diterbitkan terlebih dahulu berdasarkan komitmen meskipun perusahaan belum memenuhi persyaratan untuk memiliki izin tersebut. 

Terlebih lagi, kurangnya pengawasan pemerintah daerah, mudahnya manipulasi data dan tentunya politik uang merupakan “pelicin” terhadap kemudahan penerbitan izin tersebut. Perusahaan cukup duduk santai dan memastikan bahwa dana yang diperlukan tersedia. 

BACA JUGA: Gagasan Emil Salim “Pembangunan Berkelanjutan”

Apabila anda melakukan pencarian di situs google dengan kata kunci “Perusahaan dan Kerusakan Lingkungan”, maka anda akan dihadapkan dengan ratusan, bahkan ribuan artikel yang membahas mengenai kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan di berbagai ruang lingkup usaha: baik dari industri, perdagangan, konstruksi maupun komoditas. 

Lantas, apakah perlindungan terhadap lingkungan ini cukup sebatas mengantongi “izin” saja? Bagaimana jika kerusakan lingkungan terjadi ketika perusahaan telah mengantongi izin tersebut? 

3. Hukuman terhadap Pelanggar, Efektifkah?

Kita kembali mengadu kepada hukum untuk menghakimi perusahaan-perusahaan yang telah merusak lingkungan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (1) dari Undang Undang Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup), “setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

Namun pada kenyataannya, berapa jumlah perusahaan yang benar-benar membayar ganti rugi tersebut? Untuk ruang lingkup pembakaran hutan di tahun 2019 saja, ganti rugi lebih dari 18 triliun belum dibayarkan oleh 11 perusahaan pembakar hutan. Sehingga, kita tidak bisa menunggu sampai pengusaha melakukan kerusakan lingkungan hidup dan hanya meminta ganti rugi.

Dapatkan gagasan Ruth Margaretha Ginting lebih lengkap dengan mengunduh gagasan yang tersedia di bawah ini. 

Oleh: Ruth Margaretha Ginting

Pengacara di Kasih Hukum (NGO)

Related Article

The Guardian Sang Pendamping Parimbo Hutan Nagari Sirukam

The Guardian Sang Pendamping Parimbo Hutan Nagari Sirukam

Saat menjelajah Hutan Nagari Sirukam yang terletak di Nagari Sirukam, Kecamatan Payung Sekaki, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, kita pasti akan dikenalkan dengan Guardian. Guardian ini menjadi salah satu pelindung Hutan Nagari Sirukam. Namun jangan membayangkan sosok Guardian ini seperti Harrison Ford yang ganteng dan gagah dengan baju lapangan seperti di Film “Indiana Jones”. Dan juga bukan seperti sosok Joo Ji Hoon, sang penjaga hutan di Gunung Jiri dalam Drama Korea Mount Jiri. 

The Guardian adalah alat sensor akustik  yang berbasis teknologi artificial intelligence (AI). Alat ini mampu mendeteksi dan merekam suara yang ada di dalam hutan, seperti suara binatang, suara mesin gergaji (chainsaw), suara truk pengangkut, hingga suara tembakan yang ada di dalam hutan. Radiusnya bisa mencapai 1,5 kilometer. Ketika mendeteksi suara tersebut, alat Guardian akan mengirimkannya secara real time melalui notifikasi atau pemberitahuan ke telepon para Parimbo atau petugas Patroli Hutan Nagari Sirukam. Selanjutnya Tim Patroli akan melakukan patroli dan pemeriksaan langsung ke lokasi yang ditunjukkan.

Kami menggunakan sistem digital atau biasa dikenal dengan artificial intelligence untuk memantau terjadinya perusakan hutan. Alat ini nanti akan memberikan notifikasi ke handphone kami para Parimbo,” tutur Jasmir Jumadi Parimbo Hutan Nagari Sirukam.

Alat ini bisa mendeteksi suara chainsaw yang digunakan oleh penebang kayu, hingga di jarak 1,5 kilometer dari tempat pemasangan alat,” kata Bukhtiar, Parimbo Hutan Nagari Sirukam lainnya.

Alat The Guardian ini dirakit dari ponsel bekas, kotak dengan baterai, mikrofon perekam suara dan panel surya. Ponsel bekas dimasukkan ke dalam kotak agar terlindungi dari hujan, panas dan angin. Kemudian dihubungkan dengan panel surya sebagai sumber energi dan mikrofon perekam suara untuk menangkap suara dalam radius 1,5 kilometer. Selanjutnya alat ini dipasang di dahan pohon di ketinggian 50 meter. Pemasangan di ketinggian 50 meter dimaksudkan agar alat tersebut dapat menangkap sinyal telepon. Selain itu juga bertujuan agar alat tersebut tidak dapat dicuri oleh orang-orang yang memiliki maksud untuk mengganggu alat. Alat ini juga dapat terdeteksi jika rusak, mati atau ada yang mengambil. Lokasi pemasangan juga memperhatikan cuaca sekitar, perubahan suhu dan sebagainya.

Alat The Guardian ini tidak hanya dipasang di Hutan Nagari Sirukam. KKI WARSI bersama Rainforest Connection (RFCx) telah memasang alat ini di beberapa wilayah di kawasan Lanskap Mudiak Badua yang terbentang di empat kabupaten di Sumatera Barat, mulai dari Dharmasraya, Solok, Solok Selatan dan Sijunjung. Pantauan alat Guardian ini mencapai 18.096 hektare.

Pemasangan pertama dilakukan pada Juli 2019 sebanyak 12 unit yang dipasang tersebar di empat nagari, yakni Nagari Sirukam yang berada di Kabupaten Solok, Nagari Pakan Rabaa Timur, Nagari Pakan Rabaa, dan Nagari Pasir Talang Timur di Kabupaten Solok Selatan. Pada setiap Nagari terpasang 3 alat di 3 titik yang berbeda. Pemasangan kedua dilakukan pada Februari 2020 sebanyak lima buat guardian dan dipasang di Nagari Sumpur Kudus sebanyak tiga unit dan dipasang di Nagari Jorong Simancuang Nagari Alam Pauh Duo sebanyak dua unit.

Di hutan Nagari Sirukam ini telah terpasang tiga alat Guardian. Satu di jalan menuju ke sumber air ini, dua yang lainnya dipasang di tempat yang berbeda. Dan semua alat memiliki jarak jangkauan 1,5 kilometer,” kata Bukhtiar sambil menunjukkan letak alat guardian yang ada di dahan pohon dengan ketinggian di atas 30 meter.

Guardian sangat membantu dan memudahkan kerja-kerja tim Patroli LPHN atau para Parimbo di enam nagari tersebut dalam melakukan pemantauan. Dan juga mengefektifkan kinerja tim patroli LPHN dalam mengumpulkan barang bukti terkait temuan lapangan yang dapat berupa foto temuan lapangan, rekaman suara, hingga titik koordinat lokasi temuan.

Alat ini membantu kami dalam menjaga hutan Nagari Sirukam. Dulu sebelum ada alat, kami patroli sebulan sekali keliling hutan Nagari Sirukam. Dengan adanya alat ini, membantu kami mempercepat mendapatkan informasi jika ada ada temuan. Jadi mempercepat kerja kami,” kata Bukhtiar.

Jasmir Jumadi menjelaskan bahwa alat Guardian ini membantu Tim Patroli Hutan LPHN, mengingat luas Hutan Nagari Sirukam yang cukup luas, 1.789 hektare. Sementara jumlah Parimbo Hutan Nagari Sirukam tidak banyak. “Jika sebelum adanya alat ini, kami patroli di titik-titik tertentu yang rawan terjadinya penebangan ilegal. Namun setelah adanya alat ini, kami bisa memantau hutan Nagari Sirukam lebih luas, secara digital. Alat ini memberikan kemudahan kepada kami untuk terus menjaga hutan.”

Sejak alat Guardian dipasang, para Parimbo di Nagari Sirukam telah beberapa kali menggagalkan aksi penebangan liar. Jasmir menuturkan, bahwa dari tiga alat yang terpasang tersebut, dua alat sering mengirimkan notifikasi. Di Agustus 2019 lalu, Guardian mendeteksi perusakan hutan di kawasan hutan nagari tersebut. Ini berawal ketika di alat Guardian ini memunculkan notifikasi bahwa ada suara chainsaw yang mengindikasikan sedang terjadi kegiatan penebangan kayu di kawasan hutan nagari Sirukam. Kemudian Parimbo Tim Patroli Hutan LPHN melakukan pengecekan di lapangan dan ditemukan pelaku dan barang bukti. 

The Guardian ini membantu masyarakat dan Parimbo untuk memantau dan menjaga hutan dari kegiatan pembalakan liar dan perusakan hutan. Ia menjadi pendamping Parimbo Hutan Nagari Sirukam menjaga Hutan Nagari Sirukam tetap terjaga dan lestari. [Luluk Uliyah]

Related Article

1.253 Perusahaan Bertanggungjawab Terhadap Gas Beracun Karhutla

1.253 Perusahaan Bertanggungjawab Terhadap Gas Beracun Karhutla

Jakarta, 19 November 2019. Di tengah berlarut-larutnya Karhutla, pemerintah memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada hanya memadamkan api, yaitu menangani  warga korban asap yang menghirup asap beracun PM2.5 yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan. Sudah selayaknya penegakan hukum tidak hanya sekadar mengejar tanggung jawab pemilik lahan atau konsesi, tetapi juga pertanggungjawaban atas korban asap beracun. Karhutla mungkin berhenti saat ini (sementara) akan tetapi dampaknya akan terus berlanjut sampai dengan 20-30 tahun kedepan. Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Media “Asap Beracun Karhutla 2019, Siapa yang Bertanggung Jawab?” di Jakarta.

Hingga tahun 2019, Madani menemukan titik panas (hotspot) setidaknya di 836 perkebunan sawit, 247 konsesi HTI, 170 konsesi HPH, dan 111 area PIAPS yang belum diberikan izin perhutanan sosial. Terdapat perusahaan yang terbakar berulang dari tahun 2016 hingga 2019, ditunjukkan dengan adanya bekas terbakar. Hal ini mengindikasikan perlu terbosan untuk menghentikan bencana asap.

Dapat dikatakan bahwa 1.253 perusahaan patut bertanggungjawab terhadap gas beracun PM2.5 selama periode Karhutla 2019,” ujar Fadli, GIS Specialist Madani.

Madani dan Kelompok Advokasi Riau (KAR) melakukan kajian secara khusus untuk Provinsi Riau, di mana terdapat titik panas terbanyak selama periode pengamatan Januari-Agustus 2019, yaitu 13.656 titik panas. Berdasarkan analisis tumpang tindih atas data titik panas yang dikeluarkan oleh LAPAN dan VIRS pada September 2019, ditemukan bahwa titik panas terbanyak di Provinsi Riau terdapat di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Indragiri Hilir, Indragiri Hulu dan Rokan Hilir.

Banyaknya titik panas di Riau sangat membahayakan karena sebagian besar wilayah Riau adalah lahan gambut. Hasil kajian spasial Madani menunjukkan bahwa sebagian besar titik panas di Riau terjadi di wilayah gambut dengan kedalaman 0,5 hingga 2 meter atau wilayah gambut dangkal hingga menengah. Titik panas di Riau juga banyak terjadi di wilayah prioritas restorasi gambut, sebagian besar bahkan terjadi di wilayah prioritas restorasi dengan zona lindung. Total luas indikasi area terbakar di wilayah prioritas restorasi gambut di Riau mencapai 49.117,9 hektare, dengan rincian di wilayah prioritas restorasi gambut tidak berkanal (zona lindung) seluas 16.467,2 hektare, wilayah kubah gambut (zona budidaya) sekitar 16.027,9 hektare, gambut berkanal (zona lindung) sekitar 7.866,7 hektare, dan wilayah pasca-kebakaran 2017 seluas 8.756,1 hektare.

Dari investigasi yang dilakukan di 14 desa di Riau, 11 desa mengalami kebakaran pada periode April hingga 20 September 2019, termasuk 7 desa yang menerima program restorasi gambut BRG, di mana 5 desa pernah mengalami kebakaran sebelumnya sedangkan 2 desa tidak pernah mengalami kebakaran sebelumnya. Asap beracun PM2.5 yang timbul akibat Karhutla menyebabkan meningkatnya penyakit yang diderita masyarakat korban terdampak. Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Provinsi Riau, proporsi terbesar penyakit yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan bencana kabut asap yang menyertainya terhitung dari Januari 2014 hingga Agustus 2019 adalah batuk, ISPA, pneumonia, infeksi kulit, TB paru dan beberapa penyakit degeneratif lainnya. Jumlah kasus ISPA di Provinsi Riau paling tinggi dibandingkan penyakit lainnya dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Sementara itu, di tahun 2018, 31,4 persen penderita pneumonia pada balita di Indonesia berada di provinsi Riau, yang terbesar di Kabupaten Siak (86,9 persen), disusul Kabupaten Pelalawan (72,8 persen), Kabupaten Kota Dumai (64,4 persen), dan kepulauan Meranti (59,6 persen).

Terganggunya kesehatan masyarakat akibat Karhutla yang menimbulkan asap beracun PM2.5 adalah tanggung jawab dari para pemilik lahan dan konsesi yang lahannya terbakar selain pemerintah. Sehingga mereka pun harus bertanggung jawab terhadap korban asap.

Selain itu, mitigasi Karhutla dan penanganan korban asap harus menjadi prioritas utama pemerintah dan terintegrasi ke dalam rencana pembangunan daerah dan nasional,” tambah Teguh.

Sehingga pemerintah harus mempersiapkan infrastruktur untuk menangani korban asap beracun, baik saat bencana terjadi maupun dalam jangka panjang, termasuk langkah-langkah mitigasinya. Pemerintah pun selayaknya merancang program sosialisasi bahaya asap dan rencana tanggap bencana. Di samping itu, wajib bagi wilayah terdampak untuk memiliki fasilitas kesehatan secara gratis bagi para korban yang dibiayai oleh APBN/APBD. Yang terakhir, pemerintah harus mempercepat dan memperkuat upaya restorasi gambut pasca 2020 serta melaksanakan review izin dan penegakan hukum lingkungan untuk memberantas Karhutla dari akarnya sehingga cita-cita Presiden Joko Widodo untuk menciptakan SDM berkualitas unggul dapat terwujud.

***

Narahubung:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, 0819-1519-1979, teguh@madaniberkelanjutan.id

Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan, 0813-1916-1932, fadli@madaniberkelanjutan.id

Luluk Uliyah, Senior Strategic Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815-1986-8887, luluk@madaniberkelanjutan.id

Silahkan download file yang berkaitan:

Related Article

5 Provinsi Penyelenggara Pilkada 2020 dengan Hutan Alam Terluas

5 Provinsi Penyelenggara Pilkada 2020 dengan Hutan Alam Terluas

Madani Berkelanjutan melakukan kajian terhadap provinsi-provinsi dengan hutan alam terluas yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada Desember 2020. Hasil kajian menunjukkan, pada 2019 lima provinsi dengan hutan alam terluas berada di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra.


Kalimantan Tengah menempati posisi pertama dengan luas hutan alam sejumlah 7,1 juta hektare (ha). Di urutan kedua, Kalimantan Utara dengan hutan alam seluas 5,6 juta ha. Disusul Sulawesi Tengah 3,8 juta ha, Sumatra Barat 1,9 juta ha, dan Jambi 1 juta ha.

Calon kepala daerah, khususnya di daerah kaya hutan alam berperan untuk menjaga kekayaan alam yang ada. Apabila keberadaan hutan alam terancam, lingkungan menjadi rusak, pelepasan karbon pun tidak terhindarkan. 

Data ini sudah diangkat di laman Databoks Katadata.co.id.

Related Article

id_IDID