Madani

Tentang Kami

PENTINGNYA KEMITRAAN YANG INKLUSIF DALAM IMPLEMENTASI ATURAN BARU UNI EROPA TENTANG PRODUK-PRODUK BEBAS DEFORESTASI

PENTINGNYA KEMITRAAN YANG INKLUSIF DALAM IMPLEMENTASI ATURAN BARU UNI EROPA TENTANG PRODUK-PRODUK BEBAS DEFORESTASI

Pada 6 Desember 2022, Parlemen dan Dewan Uni Eropa menyepakati aturan terkait produk-produk bebas deforestasi sebagai bentuk kontribusi negara-negara Eropa dalam mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di seluruh dunia dan mengendalikan perubahan iklim.

Aturan ini mewajibkan beberapa komoditas seperti cokelat, kopi, karet, kedelai, kayu, daging sapi, hingga sawit yang menjadi salah satu unggulan ekspor Indonesia, harus lulus beberapa persyaratan seperti harus berasal dari lahan yang bebas dari deforestasi, kejelasan legalitas, sampai dengan ketertelusuran hingga ke kebun, sebelum masuk ke pasar Eropa.

Aturan ini mendapatkan tanggapan beragam dari berbagai pihak. Di satu sisi, regulasi ini dinilai positif lantaran dibuat dengan alasan upaya mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di seluruh dunia. Di sisi lain, regulasi ini dinilai tidak bersahabat karena dianggap akan memberikan dampak buruk secara ekonomi, apalagi dibuat di tengah ketidakpastian ekonomi bahkan resesi yang mengancam banyak negara. 

Sebelum regulasi ini diresmikan, Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Kementerian Perdagangan Republik Indonesia telah menggelar diskusi terfokus multipihak pada Selasa dan Rabu, 8-9 November 2022 di Jakarta untuk menanggapi rencana Uni Eropa atas kebijakan ini dengan mengusung tema “Menuju Keberterimaan Sawit Berkelanjutan di Pasar Eropa: Menakar Kesiapan Para Pihak Menghadapi Aturan Uji Tuntas Uni Eropa terkait Produk-Produk Bebas Deforestasi”.

Pandangan Para Pihak

Dalam diskusi multipihak tersebut, beberapa pandangan, baik positif maupun negatif mengapung ke permukaan. Dari sisi positif, peserta diskusi menganggap bahwa regulasi ini memiliki peluang berupa insentif maupun harga yang tinggi dari pasar Uni Eropa untuk para pelaku pasarnya. Kemudian, regulasi ini juga dinilai dapat mendukung upaya perlindungan hutan, adanya peluang kemitraan untuk mendukung petani, meningkatkan serta memperkuat upaya membangun tata kelola sawit yang berkelanjutan melalui penguatan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), membantu Indonesia dalam membangun sistem ketertelusuran nasional, dan mempercepat perjanjian bilateral. 

Di sisi lain, regulasi ini dinilai dapat membatasi akses pasar Indonesia. Kemudian, motif regulasi yang tidak murni untuk melindungi hutan, kemungkinan dampak buruk bagi petani swadaya dan pendapatan daerah, bahkan dapat menciptakan keresahan sosial. Tidak hanya itu, perbedaan definisi deforestasi dan petani sawit swadaya juga menjadi pertanyaan, ditambah lagi dengan kemungkinan biaya yang besar untuk memenuhi persyaratan uji tuntas. Bahkan, dalam diskusi juga terkemuka pandangan untuk mempertimbangan pasar lain selain Eropa.

Pentingnya Keberpihakan Kepada Pekebun Swadaya

Studi Madani di 4 kabupaten penghasil sawit menemukan bahwa petani atau pekebun swadaya masih menghadapi tantangan untuk memenuhi syarat legalitas dan ketertelusuran  atau traceability. Dari lebih dari 500 pekebun swadaya yang disurvei, indeks kesiapan mereka dalam memenuhi rencana aturan ini berada dalam rentang 40,4-50,5% yang berarti “kurang siap” hingga “cukup siap.” 

Pekebun swadaya masih kesulitan untuk memenuhi persyaratan legalitas usaha, yakni Surat Tanda Daftar Budidaya atau STD-B dan surat pemantauan dan pengelolaan lingkungan atau SPPL. Selain itu, pekebun juga menghadapi tantangan memenuhi legalitas lahan dalam bentuk Surat Hak Milik (SHM) yang disyaratkan dalam sertifikasi ISPO. 

Pekebun swadaya juga menghadapi tantangan dalam ketertelusuran karena rantai pasok yang panjang dan banyaknya pekebun yang belum melakukan pencatatan saat melakukan transaksi. Di empat kabupaten yang di studi, hanya 0,17% responden yang memiliki akses penjualan TBS langsung ke perusahaan (PKS) maupun melalui koperasi. Panjangnya rantai pasok TBS ini juga mengurangi keuntungan pekebun. Selain itu, hanya 12,82% responden yang memiliki catatan penjualan di setiap transaksi. 

Unduh riset Kesiapan Pekebun Sawit Swadaya dan Pemerintah Daerah dalam Menghadapi Aturan Uni Eropa tentang Produk-Produk Bebas Deforestasi: Studi Kasus di Empat Kabupaten.

Selain itu, dari diskusi ini juga mengemuka beberapa pendapat terkait dengan kebutuhan, baik dari sisi pekebun maupun pemerintah daerah untuk dapat mengikuti aturan ini. Bagi pekebun sendiri sebagai pihak yang dianggap paling terdampak, hal yang paling dibutuhkan adalah insentif pasar maupun harga jual komoditas yang terbaik. Hal ini tentu berkait dengan sulitnya bagi pekebun untuk memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. 

Kemudian, penting bagi pekebun untuk mendapatkan dukungan untuk memenuhi persyaratan seperti legalitas termasuk juga untuk mendapatkan sertifikat ISPO, dukungan untuk praktik perkebunan yang baik, penguatan kelembagaan, bantuan operasional untuk mendukung ketertelusuran yang baik, dan mendorong kemitraan yang adil dengan perusahaan sebagai kunci membenahi ketertelusuran. 

Sementara itu, pemerintah daerah membutuhkan peningkatan kapasitas untuk memahami regulasi ini. Pemerintah daerah juga perlu dukungan untuk memitigasi risiko terhadap pendapatan daerah, memberikan dukungan kepada petani untuk mencegah keresahan sosial, membantu masyarakat untuk mencari mata pencaharian alternatif saat ekspansi tidak diperbolehkan, serta untuk mengimplementasikan peraturan perundang-undangan terkait, baik dalam hal pemahaman, anggaran, maupun sumber daya manusia. 

Mengapa Kemitraan yang Inklusif Penting 

Dengan adanya banyak kebutuhan untuk memenuhi regulasi bebas deforestasi ini, pihak Uni Eropa sebagai pembuat kebijakan harus mengedepankan prinsip kemitraan yang inklusif dengan pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan di negara produsen sehingga kedua belah pihak, baik Uni Eropa sendiri maupun negara produsen, sama-sama diuntungkan. 

Tidak semata-mata upaya membersihkan rantai pasok Uni Eropa dari deforestasi, kebijakan ini juga seharusnya diartikan sebagai sebuah stimulus yang mampu mendongkrak perbaikan dalam negeri bagi negara-negara yang terdampak kebijakan ini. 

Pemerintah Indonesia telah menginisiasi beberapa inisiatif yang perlu didukung untuk mengurangi deforestasi dan mewujudkan tata kelola sawit berkelanjutan, antara lain Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) yang mencakup penguatan data perkebunan sawit, peningkatan kapasitas pekebun, pengelolaan lingkungan hidup, penyelesaian konflik, dan percepatan ISPO serta peningkatan akses pasar. 

Pemerintah juga telah menyatakan target mencapai net sink di sektor hutan dan lahan pada 2030 (Indonesia Net Sink FOLU) yang dapat mengurangi deforestasi lebih jauh melalui implementasi Rencana Operasionalnya. Penguatan standar ISPO dan sistem ketertelusuran sawit nasional pun sangat perlu didukung.  

Tanpa adanya perbaikan tata kelola dalam negeri yang didukung kemitraan, produk-produk terkait deforestasi memang tidak akan masuk ke pasar Eropa, namun, dapat berpindah ke pasar yang lain. Ini jelas bukan solusi konkrit untuk menyelesaikan permasalahan deforestasi dan degradasi lahan di dunia.

Penulis: Delly Ferdian

Editor: Anggalia Putri

Unduh riset Kesiapan Pekebun Sawit Swadaya dan Pemerintah Daerah dalam Menghadapi Aturan Uni Eropa tentang Produk-Produk Bebas Deforestasi: Studi Kasus di Empat Kabupaten di sini.

Related Article

LEMBAR FAKTA FOLU NET SINK 2030

LEMBAR FAKTA FOLU NET SINK 2030

Dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) 2022, Indonesia memperkuat target pengurangan emisi GRK-nya menjadi 31,89% dengan usaha sendiri dan 43,2% dengan dukungan internasional. Indonesia juga berambisi untuk mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih cepat, sebagaimana tertera dalam Strategi Jangka Panjang menuju Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience/LTSLCCR). Salah satu strategi Indonesia untuk mencapai net zero emission adalah Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030, kebijakan publik untuk mewujudkan sektor hutan dan lahan Indonesia yang menyerap lebih banyak emisi daripada yang dikeluarkan.

Pelajari tentang cara Indonesia mencapai FOLU Net Sink 2030 dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemenuhannya dengan mengunduh dokumen di bawah ini.

Related Article

SUMATERA DAN KALIMANTAN DOMINASI AREA SAWIT TERLUAS DI INDONESIA

SUMATERA DAN KALIMANTAN DOMINASI AREA SAWIT TERLUAS DI INDONESIA

                                            Luas Area Sawit 2011-2020

Secara rata-rata nasional, luas perkebunan kelapa sawit Indonesia tumbuh 53,09% dalam kurun waktu 2011-2020. Luas lahan tertinggi dicapai pada tahun 2020, yakni sebesar 14.586.599 Juta ha

Berdasarkan data area sawit (2011-2020) yang diolah Yayasan Madani Berkelanjutan, dapat dikatakan bahwa pulau Sumatera dan Kalimantan menjadi sentra sawit terbesar di Indonesia. Sumatera tercatat sebagai pulau dengan area sawit tertanam terluas dengan 7.907.812 ha. Kemudian, disusul Kalimantan yang memiliki area sawit tertanam seluas 5.990.789 ha.

Walaupun Sumatera memiliki area sawit lebih luas dibandingkan Kalimantan, kenaikan luasan area sawit di Sumatera tidak seluas Kalimantan. Pada 2011, Sumatera tercatat memiliki luas sawit 5.736.729 ha. Artinya hanya mengalami kenaikan area sawit seluas 2.171.083 ha hingga 2020.

Sementara itu, Kalimantan memiliki tren kenaikan yang positif tiap tahunnya. Pada 2011, Kalimantan tercatat memiliki area sawit seluas 2.782.929 ha yang artinya mengalami kenaikan area sawit seluas 3.207.860 ha.

Meskipun angkanya masih kecil, luas area sawit di pulau lainnya seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua juga meningkat. Di Sulawesi, sejak 2011 hingga 2020 terjadi penambahan luas area sawit seluas 158.670 ha dari 257.955 ha pada 2011 menjadi 416.625 ha pada 2020. Pada 2017, terjadi peningkatan pesat luas area sawit menjadi 530.087 ha.

Kenaikan luas area sawit juga terjadi di Maluku dan Papua seluas 179.314 ha. Kenaikan lebih dari dua kali lipat ini berawal dari area sawit seluas 59.077 ha di 2011 menjadi 238.391 ha di 2020.

Related Article

POLICY BRIEF: MEMPERKUAT INPRES MORATORIUM HUTAN UNTUK MENDUKUNG INDONESIA FOLU NET SINK 2030

POLICY BRIEF: MEMPERKUAT INPRES MORATORIUM HUTAN UNTUK MENDUKUNG INDONESIA FOLU NET SINK 2030

Sejak penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam dan Lahan Gambut (Inpres Moratorium hutan), kami melihat sebuah sinyal positif dari pemerintah dalam upaya menahan laju perusakan ekosistem hutan. Demikian juga dengan upaya pembenahan dan evaluasi perizinan melalui SK.01/MenLHK/Setjen/Kum.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan yang diterbitkan pada 5 Januari 2022. Berbagai upaya ini merupakan tulang punggung dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia untuk menurunkan emisi 29% dengan upaya sendiri hingga 41% dengan bantuan internasional serta mencapai target net sink FOLU pada 2030.

Untuk mencapai target iklim tersebut, Pemerintah Indonesia telah menjalankan banyak langkah korektif, salah satunya melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut atau yang dikenal dengan INPRES Moratorium Hutan. Kebijakan ini bertujuan tidak hanya untuk memberi jeda waktu terhadap pemberian izin-izin baru yang ekstraktif, namun juga untuk menata kembali pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia untuk mewujudkan pembangunan nasional yang adil dan berkelanjutan. Sejalan dengan tujuan tersebut, juga sebagai upaya mengurangi emisi dari hutan alam primer dan lahan gambut untuk pencapaian Persetujuan Paris. 

Dari berbagai upaya dan kebijakan yang telah dilakukan, analisis Yayasan Madani Berkelanjutan masih menunjukkan beberapa celah terhadap upaya perlindungan ekosistem hutan dan lahan. (1) Terdapat indikasi seluas 1,39 juta ha hutan alam primer yang belum terlindungi oleh Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB). Hutan alam primer yang belum terlindungi tersebut berpotensi untuk terdeforestasi sehingga mengancam komitmen iklim Indonesia. (2) Rendahnya peluang partisipasi publik untuk mendukung pemerintah dalam upaya pengawasan terhadap perlindungan hutan alam primer dengan memberikan kemudahan akses data dan informasi PIPPIB. (3) Implementasi Proyek Strategis Nasional (PSN) dikhawatirkan dapat mengancam komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi di sektor hutan dan lahan.

Atas dasar beberapa catatan tersebut, kami memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan Inpres Moratorium Hutan untuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia yaitu (i) memverifkasi indikasi dari analisis Madani atas hutan alam primer seluas 1,39 juta ha yang belum tercakup dan terlindungi ke dalam PIPPIB Tahun 2022 Periode I; (ii) menjadikan PIPPIB sebagai informasi yang terbuka dan tersedia setiap waktu sesuai amanat Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; dan (iii) melakukan proses due diligence dalam setiap Proyek Strategis Nasional, terutama bagi proyek yang bersinggungan dengan ekosistem hutan alam dan gambut.

Baca kajian kami selengkapnya dengan klim tombol di bawah.

Related Article

MENJAGA YANG TERSISA: ULASAN PENURUNAN LUAS TUTUPAN HUTAN ALAM 2020-2021

MENJAGA YANG TERSISA: ULASAN PENURUNAN LUAS TUTUPAN HUTAN ALAM 2020-2021

Pada tahun 2022, Pemerintah Indonesia telah memperbarui komitmen iklim melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). Dalam dokumen tersebut, komitmen penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan upaya sendiri meningkat dari 29% menjadi 31,89%. Komitmen penurunan emisi dengan dukungan internasional pun meningkat dari 41% menjadi 43,2%. Meski kontribusi beberapa sektor lain meningkat, sektor hutan dan lahan masih menjadi tulang punggung pencapaian komitmen iklim Indonesia. Dalam ENDC skenario dengan upaya sendiri, sektor hutan dan lahan menanggung 55% dari beban penurunan emisi.

Indonesia juga memiliki target untuk menjadikan sektor hutan dan lahan sebagai penyerap karbon bersih atau net sink pada 2030. Target ini dikenal sebagai Indonesia FOLU Net Sink 2030, yang rencana aksinya dijabarkan dalam SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 168/2022. Untuk mencapai berbagai target di atas, mengurangi laju hilangnya hutan alam menjadi suatu keharusan. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan hutan alam seluas 4,7 juta ha  Sementara itu, sisa hutan alam Indonesia yang tersisa tercatat 89,7 juta ha. 

Tulisan ini mengulas penurunan luas hutan alam Indonesia pada kurun 2020-2021 dengan menekankan pentingnya perlindungan hutan alam yang tersisa. Hutan alam berperan dalam mengatasi krisis iklim, mencegah bencana, dan menjadi sumber kehidupan masyarakat adat dan lokal. Oleh karena itu, kebutuhan lahan untuk program pembangunan harus diarahkan pada lahan-lahan yang sudah tidak ditutupi hutan alam dan bebas dari potensi konflik dan lahan.

Related Article

Madani’s Insight: Hutan, Perubahan Iklim, dan Hak Masyarakat Adat dalam Rencana Kerja Pemerintah 2022

Madani’s Insight: Hutan, Perubahan Iklim, dan Hak Masyarakat Adat dalam Rencana Kerja Pemerintah 2022

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang disusun setiap tahun merefleksikan prioritas pembangunan nasional yang akan dijalankan pemerintah satu tahun ke depan, termasuk ke arah mana pemerintah akan menggelontorkan dana negara. RKP 2022 merupakan rencana kerja ketiga yang disusun untuk memenuhi target RPJMN 2020-2024 dan rencana kerja kedua di tengah pandemi COVID-19.

RKP 2022 mengusung tema “Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural.” Tema ini masih berkesinambungan dengan upaya pengendalian COVID-19 yang menjadi prioritas dalam RKP 2021. Pemerintah akan melanjutkan berbagai upaya pengendalian COVID-19 seperti pembatasan sosial; pengetesan, pengobatan, serta pelacakan; dan vaksinasi untuk mencapai herd immunity. Pemerintah juga memprioritaskan pemulihan ekonomi nasional untuk menanggulangi dampak pandemi sekaligus mewujudkan transformasi ekonomi yang dicita-citakan RPJMN 2020-2024, yaitu peralihan dari perekonomian yang sangat bergantung kepada sumber daya alam menuju perekonomian yang menekankan daya saing manufaktur dan jasa modern bernilai tambah tinggi.

Berbeda dengan RKP 2021, RKP 2022 mencantumkan pemulihan hijau atau green recovery. Melalui green recovery, pemulihan ekonomi pascapandemi diharapkan tidak membangun ekonomi semata, tetapi juga membangunnya dengan cara yang lebih baik. Dari tujuh (7) Prioritas Nasional dalam RKP 2022, isu lingkungan hidup masuk sebagai salah satu Prioritas Nasional, yakni Prioritas Nasional 6 (PN 6): “Membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim.” Sayangnya, alokasi dana bagi PN 6 relatif kecil.  

Kajian ini dibentuk untuk mendorong pemerintah mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan secara utuh sebagai tujuan akhir dari pembangunan mengingat saat ini sektor ekonomi yang menyumbang pendapatan tertinggi masih didominasi sektor tinggi karbon. Adanya peluang bisnis teknologi hijau seperti pengembangan baterai yang akan meningkatkan kebutuhan tambang juga perlu diperhatikan agar tidak berujung pada ekspansi pembukaan lahan dan eksplorasi yang masif sehingga upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan tidak menggagalkan upaya pembangunan hijau.

Baca selengkapnya dalam Madani Insight – Hutan, Perubahan Iklim, dan Hak Masyarakat Adat dalam Rencana Kerja Pemerintah 2022

Related Article

Afirmasi Masyarakat Penjaga Hutan dalam Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon

Afirmasi Masyarakat Penjaga Hutan dalam Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon

Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 (Perpres 98/2021) tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional merupakan cerminan serius Pemerintah Indonesia dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan sekaligus sebagai landasan hukum dalam mewujudkan kewajiban Pemerintah dalam kontribusi pengurangan emisi Gas Rumah Kaca.

Selain untuk mengakselerasi dan mengukur pemenuhan target NDC Indonesia, penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) juga diharapkan dapat mempercepat pelaksanaan strategi pembangunan jangka panjang yang rendah karbon dan berketahanan iklim.

Namun, dari kebijakan Perpres 98/2021, kami menganalisis masih terdapat hal-hal yang perlu diperjelas terkait dengan 1) peran dan posisi masyarakat penjaga hutan dalam penyelenggaraan NEK; 2) kepastian legalitas dan pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal untuk mengelola hutan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan NEK; dan 3) pengintegrasian skema jasa lingkungan dalam tata laksana penyelenggaraan NEK.

Berangkat dari permasalahan di atas, kami memberikan rekomendasi kebijakan untuk pelaksanaan penyelenggaraan NEK kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Menteri Keuangan untuk 1) memperkuat posisi dan peran masyarakat penjaga hutan dalam penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon melalui peraturan pelaksana Perpres 98/2021; 2) mengakselerasi pemberian hak legal-formal perhutanan sosial sekaligus memperkuat kapasitas masyarakat penjaga hutan agar dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon; dan 3) merekognisi skema imbal jasa lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat penjaga hutan dalam penyelenggaraan NEK sehingga bermanfaat bagi masyarakat desa pada umumnya dan masyarakat pengelola hutan pada khususnya.

Kejelasan pengaturan dan mekanisme NEK untuk masyarakat penjaga hutan menjadi sangat penting untuk memastikan perolehan manfaat karbon dan pelaksanaan mekanisme pembagian manfaat yang setara bagi masyarakat penjaga hutan yang telah berkontribusi dalam melindungi hutan, mempertahankan cadangan karbon hutan, serta mengurangi pelepasan emisi ke atmosfer.

Dapatkan Kertas Kebijakan Afirmasi Masyarakat Penjaga Hutan dalam Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Memperkuat Pendanaan Lingkungan Hidup yang Inklusif, Transparan, dan Akuntabel

Memperkuat Pendanaan Lingkungan Hidup yang Inklusif, Transparan, dan Akuntabel

Pada 2019, Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) resmi terbentuk di bawah naungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Republik Indonesia setelah melewati proses pendirian dan penyesuaian selama delapan tahun. Peruntukannya juga tidak hanya dibatasi untuk kegiatan REDD+, tetapi sebagai Badan Layanan Umum (BLU) yang mendorong dan mengelola pembiayaan di bidang Lingkungan Hidup. 

Keberadaan bahan ini diharapkan berbagai pendanaan terkait lingkungan hidup, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri, dapat dioptimalkan untuk pencapaian target komitmen iklim Indonesia. Prinsip-prinsip integritas lingkungan hidup, partisipasi efektif masyarakat sipil, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dan lokal yang berangkat dari instrumen pendanaan REDD+ telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembentukan BPDLH. Artinya, keberadaan dan kejelasan terkait kerangka pengaman atau safeguards sosial dan lingkungan menjadi penting untuk memastikan bahwa pendanaannya memenuhi prinsip-prinsip tadi.

Sejak awal BPDLH terbentuk, Madani mengadvokasikan perumusan safeguards yang mengedepankan prinsip-prinsip di atas. Mulai dari analisis dan rekomendasi terkait “hal-hal yang harus diperhatikan agar menjadi instrumen pendanaan yang adil dan inklusif” pada saat operasional BPDLH disiapkan, meluncurkan studi yang mengidentifikasi ruang kosong atau gap yang belum ada dalam kebijakan BPDLH pada 2021 yang mencakup belum adanya kriteria kelembagaan multipihak baik proses maupun strukturnya, cara memantau penerapan safeguards, dan lainnya.

Meski demikian, masih terdapat banyak hal yang harus dipastikan dalam operasionalisasi BPDLH. Pertama, memastikan masyarakat adat dan lokal yang selama ini melindungi hutan alam dapat terfasilitasi dengan baik. Kemudian memastikan kepatuhan terhadap konsep safeguards hingga ke tingkat tapak, memastikan mekanisme pengambilan keputusan yang inklusif, memastikan pencegahan korupsi, dan lain sebagainya. 

Kajian ini dibuat untuk melanjutkan studi yang telah dilakukan sebelumnya sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Harapannya, studi ini dapat digunakan sebagai rekomendasi terhadap mekanisme operasionalisasi dan safeguards kelembagaan, mulai dari kriteria proses sampai strukturnya. Kehadiran studi ini diharapkan dapat menjadi kontribusi Madani untuk mengisi ruang kosong dalam pengimplementasian penyaluran dana BPLDH untuk meminimalkan dampak negatif yang mungkin akan ditimbulkan. Dengan begitu, dana-dana yang disalurkan BPDLH dapat memberikan manfaat maksimal bagi negara, masyarakat, dan pencapaian komitmen iklim Indonesia.

Baca Madani Insight Memperkuat Pendanaan Lingkungan Hidup yang Inklusif, Transparan, dan Akuntabel lebih lengkap dengan mengunduh bahan di tautan di bawah ini:

Related Article

Mendorong Prinsip Keberlanjutan dan Diversifikasi Bahan Baku Bahan Bakar Nabati dalam RUU Energi Baru Terbarukan

Mendorong Prinsip Keberlanjutan dan Diversifikasi Bahan Baku Bahan Bakar Nabati dalam RUU Energi Baru Terbarukan

arget untuk mencapai kemandirian energi nasional dan target pencapaian komitmen iklim sesuai Nationally Determined Contribution (NDC) menjadi dua tujuan besar Nasional saat ini, dan pencapaian keduanya mutlak mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan. Untuk mencapainya, solusi yang dipilih oleh Pemerintah adalah melalui penerapan energy mix policy (kebijakan bauran energi).

Pada sektor bahan bakar, kebijakan yang dipilih adalah melalui penerapan Bahan Bakar Nabati (BBN), baik untuk sektor PSO maupun non-PSO dengan menggunakan biodiesel berbahan dasar kelapa sawit (crude palm oil). Namun pilihan ini masih sangat rentan, karena sangat tergantung dengan satu jenis komoditas saja dan masih memiliki berbagai tumpukan permasalahan sosial–ekologis lainnya. 

Usulan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang telah masuk ke dalam PROLEGNAS 2020-2024 merupakan peluang untuk mempertimbangkan berbagai hal yang diperlukan untuk lebih memperjelas arah kebijakan energi (khususnya Bahan Bakar Nabati) Indonesia. 

Namun, dalam draft terakhir dari RUU EBT masih belum mengatur mengenai diversifikasi bahan baku untuk BBN maupun aspek keberlanjutan lain dari penerapan BBN. Oleh karena itu, ringkasan kebijakan ini memberikan dua rekomendasi untuk dipertimbangkan dalam penyusunan RUU EBT, terutama terkait:

1) Penguatan pengaturan terkait pemenuhan prinsip keberlanjutan sosial dan lingkungan dalam pengembangan BBN, mencakup industri hulu hingga hilir dari BBN;

2) Penguatan pengaturan terkait ketentuan pengembangan BBN dengan mengedepankan diversifikasi komoditas sebagai bahan baku dan penekanan terhadap pemanfaatan teknologi BBN generasi 2 (pemanfaatan limbah sebagai bahan baku).

Dapatkan dokumen Policy Brief Mendorong Prinsip Keberlanjutan dan Diversifikasi Bahan Baku Bahan Bakar Nabati dalam RUU Energi Baru Terbarukan dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Mengoptimalkan Perlindungan Hutan Alam dan Ekosistem Gambut Pasca-Moratorium Sawit untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia

Mengoptimalkan Perlindungan Hutan Alam dan Ekosistem Gambut Pasca-Moratorium Sawit untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia

Pemerintah Indonesia telah menetapkan komitmen iklim dalam Updated NDC di mana Indonesia harus menurunkan target deforestasi di bawah 3,25 juta hektare pada periode 2020-2030. Pemerintah juga telah mengumumkan aspirasi untuk mencapai net sink FOLU pada tahun 2030 yang artinya angka deforestasi dan karhutla Indonesia harus ditekan lebih jauh lagi. 

Kebijakan moratorium sawit yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit (Inpres 8/2018) dapat mendukung Indonesia untuk mencapai dua tujuan tersebut. Namun, Inpres ini telah berakhir pada 19 September 2021 dan hingga saat ini tidak ada keputusan untuk memperpanjangnya.

Tidak diperpanjangnya Inpres 8/2018 menimbulkan dua kekhawatiran. Pertama, meningkatnya risiko deforestasi dan kerusakan gambut akibat kembali diperbolehkannya pemberian izin perkebunan sawit di Kawasan Hutan. Hal ini berpotensi berdampak pada sekitar 1,73 juta hektare hutan alam di area Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) di luar perlindungan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB), di luar Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS), dan di luar izin dan konsesi eksisting.

Kedua, kekhawatiran akan terjadinya pembukaan hutan alam dan ekosistem gambut di dalam izin perkebunan sawit yang berada di Kawasan Hutan yang belum terbangun (ditanami sawit), yang berpotensi untuk diputihkan berdasarkan UUCK. Hal ini berpotensi berdampak pada 1,16 juta hektare hutan alam dan 1 juta hektare ekosistem gambut tersisa di dalam land bank izin perkebunan sawit yang berada di Kawasan Hutan. Dari luasan tersebut, hingga 0,8 juta hektare hutan alam dan 0,76 juta hektare ekosistem gambut berisiko terdeforestasi karena tidak tumpang tindih dengan izin kehutanan dan berada di Hutan Produksi sehingga dapat dilepaskan dari Kawasan Hutan.

Jika seluruh hutan alam yang berpotensi terdampak di atas hilang, hingga 78% “jatah” deforestasi Indonesia untuk mencapai target Updated NDC pada 2020- 2030 akan habis. Padahal, potensi deforestasi terencana Indonesia ke depan dari sektor lain juga masih tinggi. Luas hutan alam di dalam Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) saja masih mencapai 2,9 juta hektare. Hutan alam yang terdapat di Area of Interest Food Estate yang merupakan Proyek Strategis Nasional mencapai 1,5 juta hektare di 4 provinsi saja. Belum lagi potensi kebutuhan akan lahan dari Kawasan Hutan untuk pemukiman dan lahan pertanian serta risiko deforestasi tidak terencana seperti pembalakan liar, perambahan, dan karhutla yang belum bisa dihilangkan sepenuhnya. Jika deforestasi di atas terjadi, kuota deforestasi Indonesia untuk mencapai komitmen iklim akan terlampaui dan aspirasi net sink FOLU di 2030 akan sulit tercapai.

Pemerintah telah berhasil menurunkan laju deforestasi hutan alam hingga ke titik terendah dalam 10 tahun pada 2019-2020. Memperpanjang Inpres 8/2018 atau kebijakan moratorium sawit dapat membantu Indonesia mempertahankan capaian ini, memenuhi komitmen iklim, sekaligus meningkatkan citra keberlanjutan produk sawit Indonesia di mata internasional. Apabila kebijakan moratorium sawit tidak diperpanjang, Pemerintah perlu mempertegas langkah- langkah untuk mengurangi risiko deforestasi dan kerusakan gambut dari sektor sawit untuk mencapai komitmen iklim Indonesia dan agenda net sink FOLU 2030, yakni dengan:

  1. Menghentikan pemberian izin baru dan perluasan perkebunan sawit ke seluruh wilayah berhutan alam dan ekosistem gambut dan memfokuskan pembangunan industri sawit pada peningkatan produktivitas, terutama produktivitas petani sawit,
  2. Menjalankan safeguards PP 23/2021 untuk tidak melepaskan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) yang masih produktif (berhutan alam), termasuk untuk perkebunan sawit,
  3. Menuangkan komitmen penghentian pelepasan dan konversi HPK yang masih berhutan alam sebagai bagian dari implementasi agenda net sink  FOLU 2030 ke dalam kebijakan tertulis atau peraturan perundang- undangan yang mengikat.
  4. Menginventarisasi dan mengevaluasi izin usaha perkebunan sawit di Kawasan Hutan yang masih memiliki land bank berupa tutupan hutan alam dan ekosistem gambut; dan
  5. Membatasi penyelesaian keterlanjuran izin perkebunan sawit di Kawasan Hutan hanya pada wilayah-wilayah izin yang sudah ditanami sawit dengan mengecualikan seluruh land bank yang masih bertutupan hutan alam dan ekosistem gambut yang belum ditanami sawit.

Dapatkan Madani Insight Mengoptimalkan Perlindungan Hutan Alam dan Ekosistem Gambut Pasca-Moratorium Sawit untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia dengan mengunduh di tautan ini.

Related Article

id_IDID