Madani

Tentang Kami

Potensi Bahan Baku Bakar Nabati di Indonesia, Apa Saja?

Potensi Bahan Baku Bakar Nabati di Indonesia, Apa Saja?

Sebagai upaya mengatasi krisis iklim dunia, mengurangi bahkan menghentikan pemanfaatan energi fosil menjadi sebuah keniscayaan. Namun, banyak negara yang terlihat sulit untuk menghentikan pemanfaatan energi fosil karena efek ketergantungan yang sangat kuat, misalnya pada minyak bumi dan gas, bahkan pada batubara yang harganya relatif murah .

Kesulitan dalam mengatasi hal tersebut membuat banyak pihak menganjurkan untuk mengalihkan dan mengurangi pemanfaatan sumber energi dari bahan bakar fosil dengan memanfaatkan bahan bakar nabati (BBN).

Menurut Departemen Energi Amerika Serikat, biofuel seperti etanol menghasilkan karbon dioksida hingga 48 persen lebih sedikit daripada bensin konvensional. Sementara itu, penggunaan biodiesel hanya melepaskan seperempat jumlah karbon dioksida yang dikeluarkan diesel konvensional. Hal ini menjadi pilihan yang jauh lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil.

Suatu saat bahan bakar fosil akan tidak dimanfaatkan lagi karena dampak kerusakan lingkungan salah satunya krisis iklim yang diakibatkannya. Menuju transisi energi bersih yang lebih terbarukan, meninggalkan energi fosil dengan beralih memanfaatkan biofuel dinilai cukup realistis.

Menurut Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan (2015), beragam bahan baku hasil pertanian dapat digunakan untuk memproduksi BBN, seperti bioavtur, biodiesel, dan bioetanol. Bahan baku pertanian tersebut bisa dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu minyak/lemak, pati/gula dan lignoselulosa. Tanaman penghasil minyak dan lemak, antara lain, ialah kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, nyamplung, kemiri sunan, dan mikroalga. Tanaman penghasil pati/gula misalnya tebu, ubi kayu, jagung, sagu, aren, sorgum, dan makroalga. Tanaman penghasil lignoselulosa contohnya limbah kehutanan, limbah pertanian, dan rumput gajah. 

Meskipun banyak tanaman yang dapat digunakan untuk memproduksi BBN, tidak semua tanaman yang potensial untuk diproduksi menjadi BBN. Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan (2015) menentukan tujuh kriteria jenis tanaman yang potensial untuk diproduksi menjadi BBN di Indonesia. Pertama, bahan pangan yang sudah surplus. Kedua, produktivitas tanaman. Ketiga, rendemen BBN. Keempat, tanaman energi multiguna. Kelima, kesiapan pengembangan tanaman. Keenam, kebijakan pemerintah. Ketujuh, lahan tidak bersaing dengan tanaman pangan/kemudahan tumbuh di lahan marginal.

Berdasarkan pada tujuh kriteria dan produk yang ditetapkan untuk dikembangkan, Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan (2015) menyebut 13 tanaman di Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi biodiesel dan bioetanol.

  1. Kelapa sawit. Kelapa sawit di Indonesia termasuk tanaman yang sudah surplus untuk memenuhi bangan pangan. Produktivitas kelapa sawit 24 ton/ha/tahun. Rendemen kelapa sawit untuk diolah menjadi biodiesel sebesar 5.950 biodiesel/ha. 
  2. Kelapa. Kelapa di Indonesia termasuk tanaman yang sudah surplus untuk memenuhi bangan pangan. Produktivitas kelapa 1,2—7,5 ton/ha/tahun. Rendemen kelapa untuk diolah menjadi biodiesel sebesar 2.689 biodiesel/ha. 
  3. Jarak pagar. Jarak pagar di Indonesia termasuk tanaman nonpangan. Produktivitas jarak pagar 5—10 ton/ha/tahun. Rendemen jarak pagar untuk diolah menjadi biodiesel sebesar 1.892 biodiesel/ha. 
  4. Nyamplung. Nyamplung di Indonesia termasuk tanaman nonpangan. Produktivitas nyamplung 20 ton/ha/tahun. Rendemen nyamplung untuk diolah menjadi biodiesel sebesar 2.200 biodiesel/ha. 
  5. Kemiri sunan. Kemiri sunan di Indonesia termasuk tanaman nonpangan. Produktivitas kemiri sunan 15 ton/ha/tahun. Rendemen kemiri sunan untuk diolah menjadi biodiesel sebesar 6.000 biodiesel/ha. 
  6. Pongamia. Pongamia di Indonesia termasuk tanaman nonpangan. Produktivitas pongamia 7—29 ton/ha/tahun. Rendemen pongamia untuk diolah menjadi biodiesel sebesar 3.600—5.000 biodiesel/ha. 
  7. Karet. Karet di Indonesia termasuk tanaman non pangan. Produktivitas karet 1,7 ton/ha/tahun. Rendemen karet untuk diolah menjadi biodiesel sebesar 353 biodiesel/ha. 
  8. Tebu. Tebu di Indonesia termasuk tanaman pangan yang belum surplus. Produktivitas tebu 75—95 ton/ha/tahun. Rendemen tebu untuk diolah menjadi bioetanol sebesar 5.000—6.000 bioetanol/ha. 
  9. Ubi kayu. Ubi kayu di Indonesia termasuk tanaman pangan yang belum surplus. Produktivitas ubi kayu 30-40 ton/ha/tahun. Rendemen ubi kayu untuk diolah menjadi bioetanol sebesar 4.500 bioetanol/ha. 
  10. Jagung. Jagung di Indonesia termasuk tanaman pangan yang belum surplus. Produktivitas jagung 8—14 ton/ha/tahun. Rendemen jagung untuk diolah menjadi bioetanol sebesar 5.000—6.000 bioetanol/ha. 
  11. Sagu. Sagu di Indonesia termasuk tanaman pangan yang sudah surplus. Produktivitas sagu 25 ton/ha/tahun. Rendemen jagung untuk diolah menjadi bioetanol sebesar 4.000—5.000 bioetanol/ha. 
  12. Aren. Aren di Indonesia termasuk tanaman pangan yang belum surplus. Produktivitas aren 80 ton/ha/tahun. Rendemen aren untuk diolah menjadi bioetanol sebesar 11.428 bioetanol/ha. 
  13. Sorgum. Sorgum di Indonesia termasuk tanaman nonpangan. Produktivitas sorgum 30—50 ton/ha/tahun. Rendemen sorgum untuk diolah menjadi bioetanol sebesar 5.000—6.000 bioetanol/ha. 

Dari semua tanaman yang potensial untuk diproduksi menjadi BBN itu, sawit lebih banyak dimanfaatkan oleh pemerintah. 

Dikutip dari Ebtke.Esdm.go.id (2019), pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM menggalakkan Program Mandatori BBN melalui Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan Bakar Lain sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015. 

Menurut Ebtke.Esdm.go.id (2019), tujuan implementasi Program Mandatori BBN ialah untuk memenuhi komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% dari BAU pada 2030; meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi; stabilisasi harga CPO; meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri kelapa sawit; memenuhi target 23% kontribusi EBT dalam total energi mix pada 2025; mengurangi konsumsi dan impor BBM; mengurangi emisi GRK; dan memperbaiki defisit neraca perdagangan.

Pemerintah juga telah memasukkan sawit ke dalam salah satu dari lima program untuk meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan. Program itu masuk ke dalam Prioritas Riset Nasional 2020—2024 yang berada di bawah Kemenristek/BRIN (Kompas.com, 2021). Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro, mengatakan bahwa target penggunaan BBN dari sawit sebagai BBM ialah menghasilkan bensin, diesel, maupun avtur 100 persen dari bahan baku kelapa sawit sehingga bisa mengurangi impor BBM (Kompas.com, 2021).

Namun dominasi sawit sebagai bahan bakar nabati ini rentan menimbulkan permasalahan, mengingat Indonesia kaya dengan bahan bakar nabati lainnya. Jika hanya bergantung pada satu sumber bahan (feedstock) saja maka akan muncul ermasalahan seperti monokultur, persoalan lingkungan hidup, ancaman fungsi hutan dan lahan hingga “perebutan” sumber pangan dan energi.  [ ]

Sumber: 

  • “Apa Itu Biofuel (Bahan Bakar Nabati)?” (Madaniberkelanjutan.id, 5 Oktober 2021).

  • Buku Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan, 2015).

  • “Program Mandatori Biodiesel 30% (B30)” (Ebtke.Esdm.go.id, 19 Desember 2019).

  • “Pemerintah Siapkan 5 Prioritas Program Energi Terbarukan Hingga 2024” (Kompas.com, 20 April 2021).

Related Article

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam LTS-LCCR

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam LTS-LCCR

LTS-LCCR atau Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience merupakan strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan iklim. Dokumen LTS-LCCR memuat arahan atau visi jangka panjang yang memandu peningkatan ambisi mitigasi iklim dalam NDC-NDC selanjutanya hingga tahun 2050.

Ambisi dalam LTS-LCCR leih tinggi dibandingkan dengan ambisi pada update NDC 2030. Untuk sektor energi, pengembangan BBN untuk transportasi dan pembangkit listrik menjadi arahan umum LTS-LCCR, di sektor transportasi (target 2050) penggunaan BBN untuk transportasi mencapai 46% dan energi listrik untuk kendaraan listrik mencapai 30%.

Biofuel diproyeksi akan berperan penting dalam mitigasi gas rumah kaca di sektor pembangkit listrik. Kapasitas pembangkit listrik bahan bakar nabati (skenario paling ambisius) yakni 14 GW pada 2050. 

Perlu menjadi catatan bahwa LTS-LCCR menyadari bahwa strategi penggunaan BBN memiliki dampak negatif pada ketahanan pangan dan ekspansi lahan. Untuk itu, LTS-LCCR merekognisi adanya kebutuhan memproduksi BBN dari sumber-sumber yang berkelanjutan.

Related Article

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam RPJMN 2020-2024

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam RPJMN 2020-2024

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Bahan Bakar Nabati (BBN) masuk sebagai tahapan terakhir dari pencapaian. Teradapat tujuh target agenda prioditas pembangunan pada RPJMN 2020-2024, pengembangan BBN sendiri masuk pada agenda Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan.

Pengembangan BBN menjadi salah satu strategi pembangunan rendah karbon. Pengembangan BBN sendiri melalui produksi Biodiesel dan Green Fuel. Kapasitas produksi bahan bakar nabati berbasis sawit dipenuhi melalui pemberdayaan perkebunan sawit rakyat.

Dalam target RPJMN 2020-2024, bauran EBT mencapai 23% hingga 2024, pemanfaatan BBN Domestik mencapai 17,4 kiloliter hingga 2024, dan pembangunan energi terbarukan green fuel berbasis kelapa sawit menjadi proyek prioritas strategis (major project).

Related Article

BBN (Bahan Bakar Nabati) Dalam RUEN (Rencana Umum Energi Nasional)

BBN (Bahan Bakar Nabati) Dalam RUEN (Rencana Umum Energi Nasional)

Rencana Umum Energi Nasional atau RUEN merupakan kebijakan pemerintah pusat mengenai rencana pengelolaan energi tingkat nasional. Kebijakan ini juga merupakan pedoman untuk mengarahkan pengelolaan energi nasional. Kemudian, BBN juga menjadi salah satu jenis EBT (energi baru terbarukan) yang dirujuk oleh RUEN.

Dalam RUEN terdapat target bauran EBT sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Sementara itu target minimal produksi BBN pada 2025 mencapai 11,6 juta KL dalam bentuk biodiesel (B30), 3,4 juta KL untuk BioEthanol (B20), dan 0,1 juta KL untuk Bioavtur.

Sedangkan strategi pengembangan BBN yakni dengan menugaskan BUMN dan atau BUMD untuk memproduksi dan membeli BBN, menyusun peta jalan tanaman prioritas untuk bahan baku BBN, penyediaan lahan seluas 4 juta ha untuk memenuhi target produksi 2025, menyiapkan peraturan terkait alih fungsi lahan untuk lahan energi (lahan bekas tambang, lahan terlantar, dan lahan hutan energi), dan memprioritaskan penggunaan bahan baku BBN di luar produk tanaman pangan prioritas.

Related Article

BBN (Bahan Bakar Nabati) Dalam Peta Jalan NDC Indonesia

BBN (Bahan Bakar Nabati) Dalam Peta Jalan NDC Indonesia

NDC Atau Nationally Determined Contribution merupakan dokumen yang memuat komitmen dan aksi iklim sebuah negara yang dikomunikasikan kepada dunia melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).


Peta Jalan NDC Indonesia memuat rincian strategi pelaksanaan aksi mitigasi untuk mencapai target penurunan emisi Gas Rumah Kaca dalam NDC. Sektor Hutan dan Lahan (FOLU) dan energi akan menjadi fokus pengurangan emisi untuk mencapai target NDC 2030.

Target penurunan emisi dari sektor energi pada tahun 2030 adalah sebesar 11%. Salah satu strategi dari sektor energi adalah penggunaan bahan bakar Nabati menjadi bagian dari energi baru terbarukan (EBT) di sub sektor: industri, power, dan transportasi.

Subsitusi BBM ke BBN (biofuel) adalah strategi utama untuk penurunan emisi di sektor transportasi.

Related Article

Perjalanan Kebijakan Bahan Bakar Nabati (BBN) Nasional Periode 2016-2021

Perjalanan Kebijakan Bahan Bakar Nabati (BBN) Nasional Periode 2016-2021

Setelah dunia menyepakati Perjanjian Paris atau Paris Agreement, pada 2016, Indoensia meratifikasi perjanjian tersebut dan memasukkan dokumen NDC sebagai target penurunan emisi nasional. 

Isi dokumen NDC yakni, target bauran EBT sebesar 23% di 2025 dan sebesar 31% di 2050. Kemudian, penggunaan BBN yaitu Biodiesel (B30) pada sektor transportasi diproyeksikan mereduksi emisi 90%-100% di sektor energi. 

Pada 2017, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dengan instruksi menjadikan biodiesel sebagai BBN utama untuk transportasi.

Setelah itu pada 2021, Indonesia merilis dokumen updated NDC 2030 dan Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. Dalam Update NDC, Indonesia kembali mengimplementasikan penggunaan BBN sebagai salah satu strategi dalam mitigasi pengurangan emisi dan mengkhusukan kelapa sawit sebagai bahan baku utama BBN. 

Sedangkan dalam LTS-LCCR, direncakan struktur bauran energi pada sektor transportasi pada 2050 sebesar 46% untuk BBN pada skenario yang paling ambisius. Persentase tersebut paling besar di antara BBM (20%), Kendaraan Listrik (30%), dan Gas Alam (4%).

Related Article

Perjalanan Kebijakan Bahan Bakar Nabati (BBN) Nasional Periode 2006-2015

Perjalanan Kebijakan Bahan Bakar Nabati (BBN) Nasional Periode 2006-2015

Pada awalnya, kebijakan bahan bakar nabati (BBN) Nasional diperuntukkan guna mengurangi ketergantungan pada minyak bumi. Tepatnya sejak 2006, Pemerintah Indonesia telah memulai dengan menerbitkan Perpres No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menargetkan bauran BBN lebih dari 5% pada 2025.

Kemudian, terbit pula Inpres No.1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Inpres ini menyampaikan bahwa Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah turut serta dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mempercepat pemanfaatan BBN.

Setelah itu, pada 2008, Pemerintah melalui Kementerian ESDM mengeluarkan Permen ESDM No.32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

Regulasi ini menginstruksikan bahwa Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga BBM wajib mengusahakan BBN sebagai Bahan Bakar Lain. Tertulis juga bahwa kewajiban Biodiesel  (B20), Bioetanol (E15), dan Minyak Nabati Murni sebesar 10% pada 2025. 

Pada 2014, regulasi terkait dengan BBN didukung oleh terbitnya PP No.79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dengan instruksi bahwa target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) paling sedikit 23% pada 2025 dan paling sedikit 31% pada 2050. 

Related Article

Terdapat 2,27 Juta Ha Lahan Potensial untuk Pengembangan BBN Selain Sawit

Terdapat 2,27 Juta Ha Lahan Potensial untuk Pengembangan BBN Selain Sawit

[Madani News] Yayasan Madani Berkelanjutan menemukan sekitar 2,27 juta hektar (ha) lahan yang berpotensi digunakan untuk pengembangan feedstock bahan bakar nabati (BBN) selain sawit. Jumlah ini meliputi 1,55 juta ha areal penggunaan lain (APL), 438,26 ribu ha hutan produksi tetap (HPT), dan 278 ribu ha hutan produksi konversi (HPK).

Hal tersebut disampaikan oleh Geographic Information System (GIS) Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan, Fadli Ahmad Naufal, dalam Workshop dan Fellowship bertajuk “Tak Hanya Sawit, Indonesia Kaya Beragam Bahan Bakar Nabati” yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan bekerjasama dengan Mongabay pada Rabu, 17 November 2021. 

Fadli juga mengatakan, angka tersebut diperoleh usai memperhatikan aspek ekologi, izin eksisting, rencana perlindungan, dan fokus pada tutupan lahan yang mungkin diusahakan.

Lebih lengkap Fadli menjabarkan, lahan seluas 371,92 ribu hektar tersedia di Jambi dan 142,91 ribu ha di Sumatera Selatan. Kemudian, sebesar 286,69 ribu ha berada di Kalimantan Timur, sekitar 267,56 ribu ha di Kalimantan Tengah, serta 104,68 ribu ha di Kalimantan Barat. Selebihnya, 123,81 ribu ha di Nusa Tenggara Timur dan 281,77 ribu ha di Papua.

Dari luasan-luasan ini, kita ingin coba melihat komoditas yang berada di sekitar daerah tersebut yang sedang eksisting berjalan. Tentu jika menetapkan komoditas apa yang cocok itu harus ada penelitian lebih lanjut terkait kesesuaian lahan, kapasitas tanah, dan sebagainya,” Ujar Fadli. 

Berdasarkan perhitungannya, potensi lahan eksisting paling luas berupa kebun kelapa yaitu 969,28 ribu ha. Kemudian, terdapat lahan ubi kayu seluas 913,13 ribu ha, ubi jalar 912,47 ribu ha, jagung 912,23 ribu ha, pinang 574,71 ribu ha, aren 538,82 ribu ha, tebu 172,88 ribu ha, serta jarak 100,75 ribu ha.

Dalam diskusi yang sama hadir beberapa Narasumber yakni Peneliti Ahli Utama Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Kementerian Pertanian, Prof.Dr.Ir.Budi Leksono,M.P, Peneliti Perubahan Iklim, Energi, dan Rendah Karbon CIFOR, Himlah Barai, dan Direktur Utama PT Clean Power Indonesia, Joyo Wahyono.

Saksikan Workshop dan Fellowship bertajuk “Tak Hanya Sawit, Indonesia Kaya Beragam Bahan Bakar Nabati di channel Youtube Yayasan Madani Berkelanjutan dan dapatkan materi presentasi narasumber di lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Mengurangi Ketergantungan BBN terhadap Bahan Baku dari Sawit

Mengurangi Ketergantungan BBN terhadap Bahan Baku dari Sawit

Suatu saat bahan bakar fosil akan tidak dimanfaatkan lagi karena dampak kerusakan lingkungan, salah satunya krisis iklim yang diakibatkannya. Menuju transisi energi bersih yang lebih terbarukan, meninggalkan energi fosil dengan beralih memanfaatkan biofuel dinilai cukup realistis (Madaniberkelanjutan.id, 5 Oktober 2021).

Untuk melepaskan diri dari energi fosil dan mendorong bauran energi, pemerintah Indonesia menginisiasi kebijakan bahan bakar nabati (BBN) sejak 2006. Langkah itu kemudian menjadi strategi mencapai target penurunan emisi nasional yang tertuang dalam dokumen nationally determined contribution (NDC) 2030 dan pencapaian net zero emission di sektor energi. Dengan pencampuran BBN dalam bahan bakar untuk transportasi, diharapkan impor solar menurun dan potensi dalam negeri dapat ditingkatkan (Mongabay.co.id, 2021).

Definisi dan Jenis BBN

Biofuel atau BBN adalah bahan bakar yang berasal dari bahan-bahan nabati dan/atau dihasilkan dari bahan-bahan organik lain (Ebtke.Esdm.go.id, 2019). BBN adalah semua bentuk minyak nabati, yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar, baik dalam bentuk esternya (biodiesel) atau anhydrous alkoholnya (bioetanol) maupun minyak nabati murninya (pure plant oil atau PPO). Dengan beberapa persyaratan tertentu, biodiesel dapat menggantikan solar, bioetanol dapat menggantikan premium, sedangkan bio-oil dapat menggantikan minyak tanah (Prastowo, 2007). 

Biodiesel merupakan bentuk ester dari minyak nabati setelah adanya perubahan sifat kimia karena proses transesterifikasi yang memerlukan tambahan metanol. Bioetanol merupakan anhydrous alkohol yang berasal dari fermentasi jagung, sorgum, sagu atau nira tebu (tetes) dan sejenisnya. Bio-oil merupakan minyak nabati murni atau dapat disebut minyak murni, tanpa adanya perubahan kimia, dan dapat disebut juga pure plant oil atau straight plant oil, baik yang belum maupun sudah dimurnikan atau  disaring. Bio-oil dapat disebut juga minyak murni (Prastowo, 2007).

Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan (2015) menetapkan 13 tanaman di Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi biodiesel dan bioetanol, yakni kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, nyamplung, kemiri sunan, pongamia, karet, tebu, ubi kayu, jagung, sagu, aren, dan sorgum.  

Dari semua tanaman yang potensial untuk diproduksi menjadi BBN itu, pemerintah Indonesia baru memanfaatkan sawit. Program mandatori biodiesel sudah mulai diimplementasikan pada tahun 2008 dengan kadar campuran biodiesel sebesar 2,5%. Secara bertahap kadar biodiesel meningkat hingga 7,5% pada 2010. Pada periode 2011 hingga 2015  persentase biodiesel ditingkatkan dari 10% menjadi 15%. Selanjutnya, pada 1 Januari 2016, ditingkatkan kadar biodiesel hingga 20% (B20). Program Mandatori B20 berjalan baik dengan pemberian insentif dari BPDPKS untuk sektor PSO. Mulai 1 September 2018 pemberian insentif diperluas ke sektor non-PSO (Ebtke.Esdm.go.id, 2019).

Pemerintah Indonesia kemudian memberlakukan program B30 (campuran biodiesel 30% dan 70% solar). Dikutip dari Kominfo.go.id (2019), Presiden Jokowi meluncurkan Program Mandatori B30 di SPBU Pertamina MT Haryono 31.128.02 Jakarta pada 23 Desember 2019. Program itu akan diimplementasikan secara serentak di seluruh Indonesia mulai 1 Januari 2020. Indonesia pun tercatat sebagai negara pertama yang mengimplementasikan B30 di dunia.

Pemerintah Indonesia juga telah memasukkan sawit ke dalam salah satu dari lima program untuk meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan. Program itu masuk ke dalam Prioritas Riset Nasional 2020—2024 yang berada di bawah Kemenristek/BRIN (Kompas.com, 2021). Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro, mengatakan bahwa target penggunaan BBN dari sawit sebagai BBM ialah menghasilkan bensin, diesel, maupun avtur 100 persen dari bahan baku kelapa sawit sehingga bisa mengurangi impor BBM (Kompas.com, 2021).

BBN yang saat ini mengandalkan sawit digadang-gadang bakal berperan penting dalam mencapai target NDC 2030. Dalam dokumen NDC terbaru yang diserahkan pemerintah Indonesia kepada PBB Juli lalu, implementasi biofuel di sektor transportasi mesti mencapai 90—100% dengan target sawit sebagai bahan baku utama (Mongabay.co.id, 2021).

Menurut Yayasan Madani Berkelanjutan, pengembangan BBN nasional masih banyak tantangan, terutama karena didominasi satu komoditas feedstock, yakni, sawit. Dengan pertimbangan ekonomi yang dilematis, dampak dari single feedstock ini akan mengancam ketersediaan lahan yang berkaitan hutan dan gambut. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, Penurunan emisi jadi tidak terlalu relevan jika dilihat life cycle analysis-nya (Mongabay.co.id, 2021).

Menurut Aksel Tomte dari Universitas Oslo, kebijakan pemerintah Indonesia yang mewajibkan campuran 30% bahan bakar hayati dalam bensin sejak Januari 2020 untuk meningkatkan jumlah penggunaan biodiesel akan meningkatkan permintaan akan sawit, ekspor pertanian nomor satu bagi Indonesia. Pemerintah telah mencanangkan program tersebut sebagai cara untuk menurunkan impor bahan bakar fosil dan emisi gas rumah kaca. Namun, program itu akan memperparah deforestasi, meningkatkan emisi gas rumah kaca, dan menghilangkan keanekaragaman hayati, serta mengakibatkan konflik agraria (Theconversation.com, 2020).

Kata Tomte  lagi, kalangan industri sawit sering kali berargumen bahwa jika permintaan global untuk minyak nabati mesti terpenuhi dari kedelai, bunga matahari, dan kanola (dan tidak oleh sawit), maka lebih banyak lahan akan dibutuhkan, dan hal itu akan mendorong tingginya deforestasi. Hal itu kontroversial karena tidak semua tanaman tersebut berdampak setara terhadap deforestasi. Laporan dari Uni Eropa menyimpulkan bahwa kelapa sawit terkait dengan tingkat deforestasi yang lebih tinggi dibanding bahan bakar nabati lainnya.

Tomte menambahkan bahwa dengan demikian, kebijakan biodiesel bertujuan untuk menggantikan bahan bakar fosil sehingga perbandingannya harus dengan bahan bakar fosil, bukan jenis minyak nabati lainnya. Banyak studi menemukan bahan bakar minyak dari sawit memproduksi emisi karbon lebih banyak daripada bahan bakar fosil.

Mengenai kebijakan B30, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan bahwa permintaan BBN dipengaruhi laju elektrifikasi transportasi. Tanpa kendaraan listrik, katanya, kebijakan B30 hanya menggantikan 7% dari konsumsi bahan bakar pada 2050. Peningkatan kontribusi BBN lebih besar dapat terjadi dengan produksi drop in biofuel (Mongabay.co.id, 2021).

Elektrifikasi moda transportasi, kata Fabby, akan menurunkan kebutuhan minyak sawit untuk produksi BBN. Penggunaan kendaraan listrik di transportasi darat juga dapat menurunkan permintaan BBM. Jika merujuk peta jalan Kementerian Perindustrian, kendaraan listrik dapat membatasi kenaikan konsumsi BBM 40% saat ini.

Dekarbonisasi sistem energi memerlukan bahan bakar rendah karbon dari hasil berkelanjutan serta harga kompetitif dengan teknologi bahan bakar lain. Fabby mengatakan bahwa jika produksi BBN dari CPO (crude palm oil) dengan membuka lahan baru, jelas menyebabkan carbon footprint BBN lebih tinggi dan tidak compatible dengan tujuan transisi energi menuju dekarbonisasi.

Pertimbangan lain, kata Fabby, perlu eksplorasi penggunaan bahan baku BBN lain, generasi kedua dan ketiga sebagai pilihan. CPO yang sustainable tidak cukup memenuhi kebutuhan bahan bakar di masa depan.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Walhi, Yuyun Harmono, mengatakan bahwa konteks kebijakan sawit yang diharapkan sebenarnya bukanlah revisi perpres biofuel, melatinkan moratorium sawit. BBN bukan jadi alternatif bagi bahan bakar fosil itu sendiri kalau dilihat dari persoalan lingkungan hidup dan perubahan iklim (Mongabay.co.id, 2018).

Karena biofuel mampu mengemisi tiga kali lipat, bukan mereduksi emisi. Ia mengacu pada produksi hulu sawit—bahan baku biofuel—yang diperoleh dengan menciptakan berbagai masalah dari deforestasi, kebakaran hutan dan lahan sampai konflik sosial,” ujar Yuyun.

Sumber: 

Praswoto, Bambang. 2007. “Bahan Bakar Nabati Asal Tanaman Perkebunan Sebagai Alternatif Pengganti Minyak Tanah Untuk Rumah Tangga” dalam Jurnal Perspektif Volume 6 Nomor 1, Juni 2007. 

Buku Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan, 2015).

“Apa Itu Biofuel (Bahan Bakar Nabati)?” (Madaniberkelanjutan.id, 5 Oktober 2021).

“Menimbang Kebijakan Bahan Bakar Nabati dari Sawit” (Mongabay.co.id, 13 September 2021).

“Program Mandatori Biodiesel 30% (B30)” (Ebtke.Esdm.go.id, 19 Desember 2019).

“Pertama di Dunia, Indonesia Terapkan Biodiesel 30 Persen (B30)” (Kominfo.go.id, 23 Desember 2019).

“Indonesia menyiapkan biodiesel dari sawit. Ini kemungkinan dampak sosial dan lingkungannya” (Theconversation.com, 30 Oktober 2020)

“Kebijakan Dorong Biofuel, Peluang Tekan Emisi atau Sebaliknya?” (Mongabay.co.id, 9 Agustus 2018).

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup

Related Article

Yayasan Madani Berkelanjutan: Perlu Peta Jalan Bahan Bakar Nabati untuk Kurangi Emisi Karbon Indonesia

Yayasan Madani Berkelanjutan: Perlu Peta Jalan Bahan Bakar Nabati untuk Kurangi Emisi Karbon Indonesia

[Madani News] Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indarto mengatakan bahwa untuk membuat bahan bakar nabati (BNN) mampu memenuhi komitmen iklim maka perlu dibuatkan road map (peta jalan) BBN dalam upaya mengurangi emisi karbon. Hal ini diungkapkan Giorgio atau yang akrab disapa Jojo dalam webinar “Pangan Vs Energi: Menelaah Kebijakan BBN di Indonesia”, pada Selasa, 16 November 2021 yang bekerjasama dengan Mongabay Indonesia.

Madani mengajak semua pihak yang berbicara BBN agar BBN tidak dijadikan alat untuk dikatakan sebagai solusi palsu. Madani ingin mengatakan apapun solusinya selama dapat dipikirkan secara tepat, ia mampu menjadi solusi,” kata Giorgio.

Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon sampai 29 persen dengan usaha sendiri dan sampai 41 persen dengan dukungan internasional. Untuk itu, menurut Giorgio, Indonesia semestinya tidak hanya bergantung pada BBN yang berbahan dasar minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).

BBN tidak hanya biodiesel, kalau hanya biodiesel, makna BBN menjadi sempit, akhirnya BBN sulit menjadi solusi perubahan iklim yang sesungguhnya. Dan agak pilih kasih ketika hanya membicarakan satu komoditas,” katanya. 

Selain bahan baku BBN yang masih berfokus pada CPO, Giorgio juga memandang perluasan penggunaan BBN di dalam negeri masih menghadapi masalah berupa harga yang mahal sehingga belum mampu bersaing dengan Bahan Bakar Minyak (BBM). 

Kita harus mencari bagaimana BBN bersaing dengan minyak bumi. Sekarang tanpa insentif BBN lebih mahal, orang tidak mau membeli,” kata Giorgio.

Dalam diskusi yang sama hadir beberapa Narasumber seperti Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (APROBI), Alin Halimatussadiah, Kepala Tim Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM Universitas Indonesia, dan Sub Koordinator Supervisi Biofuel Direktorat Bioenergi Kementerian ESDM, Herbert Hasudungan. 

Saksikan diskusi “Pangan Vs Energi: Menelaah Kebijakan BBN di Indonesia” channel Youtube Yayasan Madani Berkelanjutan dan dapatkan bahan presentasi narasumber di lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

id_IDID