Madani

Tentang Kami

Ekonomi Politik Updates, dari Leaders Summit on Climate Hingga KTT ASEAN

Ekonomi Politik Updates, dari Leaders Summit on Climate Hingga KTT ASEAN

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir ya (19-26 April 2021), berikut cuplikannya:

1. Leader Summit on Climate

Amerika Serikat mengadakan Leaders’ Summit on Climate pada 22-23 April 2021 yang diadakan selama dua hari dan dihadiri 40 negara perwakilan dari seluruh dunia. Leaders’ Summit on Climate membahas pentingnya negara-negara dunia mempertahankan batas kenaikan suhu global di 1,5°C agar tidak menimbulkan dampak kerusakan yang berbahaya.

Indonesia sebagai salah satu negara yang diundang juga hadir dalam pertemuan tersebut. Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi memaparkan upaya Indonesia dalam menangani perubahan iklim. Presiden Jokowi mengatakan Indonesia berhasil menghentikan konversi hutan alam dan lahan gambut seluas 66 juta hektare serta mampu menekan kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, Presiden Jokowi mengajak para pemimpin negara yang hadir untuk memajukan pembangunan hijau. Presiden Jokowi juga menyebutkan, Indonesia telah memutakhirkan NDC untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim.

Sayangnya, dalam pidatonya, tidak seperti beberapa negara lain yang menargetkan net zero emission di tahun yang spesifik, Presiden Jokowi tidak menyatakan secara eksplisit target net zero emission Indonesia yang akan dicapai.

2. Peringatan Hari Bumi

Peringatan Hari Bumi yang jatuh pada 22 April menuai sejumlah kritik terkait komitmen Pemerintah soal Perubahan Iklim. Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana menyebutkan bahwa pemerintah tak responsif dalam beberapa hal.

Salah satunya yaitu sampai saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih mengacu pada standar lama yang membatasi kenaikan suhu hingga 2 derajat Celcius. Padahal Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau panel iklim PBB telah merekomendasikan batas rata-rata kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat Celcius.

Dampak perubahan iklim ini, telah dirasakan masyarakat. Merujuk pada data-data yang dihimpun Badan Nasional penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan jumlah bencana yang berkaitan dengan perubahan iklim. Bencana tersebut antara lain seperti angin topan, siklon, dan bencana ekologis lainnya. BMKG sendiri mengonfirmasi salah satu faktor yang membuat fenomena siklon tropis terjadi masih di wilayah Indonesia dan berdampak pada bencana hidrometeorologi itu tak lepas dari pemanasan global.

Senada dengan Wahyu, Direktur Lingkungan Hidup Partai Solidaritas Indonesia, Mikhail Gorbachev Dom mengatakan bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini juga merupakan imbas dari kebijakan-kebijakan dan tingkah laku manusia dalam mengelola alam. Global Climate Risk Index 2021 sendiri menempatkan Indonesia dalam ranking 3 dunia untuk resiko bencana. Karena itu, menurut Gorba sangat tidak layak KLHK mengeluarkan target 2070 untuk Indonesia nol emisi dalam Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience Indonesia (LTS LCCR) Indonesia.

3. KTT ASEAN soal Myanmar

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang membahas krisis Myanmar digelar di Jakarta pada Sabtu (24/4) dan dihadiri oleh petinggi-petinggi negara ASEAN termasuk Pemimpin Junta Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing.

Dalam konferensi ini disepakati lima konsensus, yakni kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan, harus ada dialog konstruktif mencari solusi damai, ASEAN akan memfasilitasi mediasi, ASEAN akan memberi bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre, dan akan ada utusan khusus ASEAN ke Myanmar. Terkait pertemuan ini, pihak oposisi junta militer Myanmar bernama NUG, yang merupakan pemerintahan sipil sebagai tandingan dari pemerintahan junta militer menyebut bahwa KTT ASEAN sudah gagal. Menurut NUG, poin-poin perjanjian tadi berpihak pada junta militer yang justru sudah melakukan pelanggaran HAM.

KTT ini juga menjadi sorotan global maupun domestik lantaran dihadiri oleh pemimpin kudeta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing. Di Indonesia sendiri sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat sipil juga menolak kehadiran junta militer. Koalisi itu terdiri dari KontraS, Amnesty International Indonesia, FORUM ASIA, AJAR, Milk Tea Alliance Indonesia, Serikat Pengajar HAM, Human Rights Working Group, Migrant CARE, Asia Democracy Network, Kurawal Foundation, hingga SAFEnet. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid pun menganggap keputusan ASEAN mengundang Aung Hlaing akan menghalangi hubungan blok Asia Tenggara tersebut dengan rakyat Myanmar.

Related Article

[1000 gagasan]MENINGKATKAN PEREKONOMIAN BERKELANJUTAN MELALUI REGULASI DAN PENGAWASAN

[1000 gagasan]MENINGKATKAN PEREKONOMIAN BERKELANJUTAN MELALUI REGULASI DAN PENGAWASAN

Laman resmi Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) menyebutkan sebagaimana dikutip oleh kompas.com bahwa Asia Tenggara menjadi salah satu keranjang pertanian paling produktif di dunia. Dan Indonesia menjadi salah satu negara di kawasan tersebut yang menjadikan sektor agraris sebagai penopang perekonomian nasional yang dominan. Oleh karena itu wajar apabila Indonesia disebut sebagai negara agraris. Indonesia menjadi negara agraris tropis terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Dari 27 persen zona tropis di dunia, 11 persennya terdapat di Indonesia.

Indonesia memiliki hutan hujan tropis yang keberadaannya memegang peranan penting bagintuk banyak aspek, baik aspek lingkungan, sosial, hingga perekonomian. Namun, posisinya yang penting tampaknya belum begitu banyak disadari oleh sebagian orang. Beberapa dari mereka seringkali mengesampingkan hal tersebut sehingga tidak sedikit yang melakukan perusakan hingga pembakaran dengan tujuan pembukaan lahan baru untuk meraup keuntungan pribadi lainnya. Padahal dengan pembakaran tersebut, bukan hanya hutan yang akan rusak, tetapi banyak dari fauna penghuni hutan tersebut akan kehilangan habitatnya dan mati.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2019 luas hutan Indonesia adalah sekitar 93,52 juta ha. Padahal pada tahun 2011 luas hutan Indonesia mencapai 98,7 juta ha. Hal ini menunjukkan bahwa dalam rentang waktu 2011-2018 luas hutan di Indonesia terus mengalami penurunan yang cukup tinggi. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat satu dekade ke belakang masyarakat dunia telah membicarakan tentang ancaman krisis iklim (Climate Crisis yang dapat mengakibatkan bencana hidrometeorologi yang salah satu penyebabnya yaitu kerusakan kawasan hutan.

BACA JUGA: Perpanjangan Moratorium Sawit: Momentum Build Back Better 

Perusakan kawasan hutan terus-menerus terjadi. Penebangan dan pembakaran dilakukan di banyak tempat. Misalnya pembakaran hutan yang populer sampai ke mancanegara pada tahun 2019 lalu di daerah Riau yang memakan banyak korban dan waktu untuk mengatasinya karena musim kemarau ditambah angin kencang. Bahkan yang baru-baru ini menjadi sorotan publik adalah pembakaran dan pembukaan hutan di daerah Papua yang dilakukan oleh salah satu perusahaan asal Korea Selatan untuk perluasan lahan kebun sawit. Hal tersebut tentu saja akan menimbulkan kerugian yang lebih besar daripada keuntungannya karena kerugian yang didapat adalah kerugian jangka panjang.

Perlu diperhatikan bahwa adanya tindakan-tindakan dari investor asing yang menyebabkan banyak kerugian terhadap kawasan hutan Indonesia salah satunya adalah karena lemahnya regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia dan kurangnya pengawasan yang dilakukan. Jika saja pemerintah menetapkan kebijakan, regulasi dan pengawasan ketat terhadap berbagai kegiatan ekonomi yang melibatkan kawasan hutan, maka perusakan-perusakan hutan dan alih fungsi hutan dengan dalih perluasan lahan sawit dan sebagainya akan dapat diminimalisir dan besar harapan dapat dihentikan. 

Apa yang sedang kita bicarakan saat ini adalah tentang ekonomi berkelanjutan, dalam arti ekonomi yang memperhatikan aspek lingkungan dan bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tapi juga untuk anak cucu kita di masa yang akan datang. Apabila pemerintah tidak mengambil kebijakan tegas terhadap persoalan ini, dalam waktu dekat luas hutan di Indonesia akan mengalami pengurangan yang sangat cepat dari periode sebelumnya disertai kepunahan berbagai satwa dan keanekaragaman hayati yang menjadikannya sebagai habitat. 

Saya menawarkan gagasan kepada pemerintah untuk merevisi berbagai regulasi bagi kegiatan ekonomi yang melibatkan hutan agar dapat menerapkan AMDAL dan tidak melakukan eksploitasi berlebihan. Regulasi tersebut juga disertai ancaman pidana yang berat serta kewajiban melakukan pemulihan fungsi hutan yang dirusak. Misalnya, untuk penebangan satu pohon harus diganti dengan penanaman sepuluh pohon. Untuk satu nyawa fauna dilindungi yang terbunuh harus diganti dengan dua fauna sejenis, dan seterusnya. Bahkan apabila akibat kerusakan hutan itu terjadi bencana hidrometeorologi, maka pelaku perusakan hutan harus juga mengganti kerugian yang dialami masyarakat sekitar yang terkena bencana tersebut. 

BACA JUGA: Anggaran Perubahan Iklim Masuk RPJMN 2020-2024

Hal yang tak kalah penting dari penetapan sebuah regulasi adalah penerapan dan pengawasan terhadap regulasi tersebut.  Sebaik apapun regulasi, tanpa adanya penerapan dan pengawasan yang baik hanya akan menjadi sesuatu yang percuma. Oleh karena itu, regulasi yang sudah ditetapkan harus diterapkan secara menyeluruh dan pengawasannya dilakukan secara masif oleh aparat penegak hukum. Perlu diperhatikan juga aparat penegak hukum yang dipilih haruslah aparat yang jujur serta tidak dapat disuap oleh siapapun dan oleh apapun.

Ada lagi satu hal lain yang ingin saya sampaikan meskipun berada di luar regulasi yang saya maksudkan tetapi akan sangat mempengaruhinya. Tetapi semoga saja ini tidak benar-benar terjadi. Semoga saja. Salah satu hal yang sudah menjadi rahasia umum di negara kita adalah adanya money politic. Hal ini sudah menjadi hal yang lumrah tampaknya untuk Pilkada dan Pemilu di sebagian daerah Indonesia. Misalnya salah seorang pasangan calon berkampanye dengan menggunakan banyak dana sedangkan jumlah kekayaannya saja tidak mencapai setengah dari dana kampanye yang ia gunakan. Ternyata dana kampanye yang ia gunakan diperoleh dari pengusaha-pengusaha dengan jaminan apabila pasangan calon tersebut terpilih harus membuat kebijakan yang mempermudah pengusaha-pengusaha dalam mengembangkan usahanya meskipun akan merusak lingkungan. 

Maksud dari pernyataan saya di atas adalah bukan untuk mendiskreditkan pihak manapun. Tetapi sebagai hal yang perlu kita perhatikan bersama bahwa untuk menetapkan suatu kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan tidak cukup hanya dengan regulasi tentang lingkungan saja, -dalam hal ini hutan- tetapi juga harus diperhatikan regulasi-regulasi lain yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung. Diantaranya adalah regulasi yang berkaitan dengan proses pemilihan dan pembentukan pemerintahan. Karena biar bagaimanapun pemerintah adalah agen sentral dan pemangku kebijakan yang dapat menjadi faktor utama dalam perlindungan hutan di Indonesia guna tercapainya ekonomi yang berkelanjutan.

Oleh: Muhammad Mufti

Mahasiswa Universitas Padjajaran

Related Article

GERAKAN TUKAR BAJU

GERAKAN TUKAR BAJU

Pakaian Bekasmu adalah Pakaian Baru Bagi Orang Lain. Tukar atau berikan kebahagian kecil ini untuk orang sekitarmu“.

Sebagian besar wanita sangat suka mengikuti tren pakaian mulai dari baju kaos, gaun musim panas  summer untuk liburan, hingga berbagai celana untuk padu-padan busana agar dapat tampil menarik. Namun, di balik kegemaran membeli pakaian baru, ada harga tak terlihat yang harus dibayar. Selain itu, pakaian lama menjadi terbengkalai, karena jarang dipakai dan pada akhirnya terlupakan begitu saja hingga berujung  sampah yang menumpuk. Kebiasaan ini  menyebabkan masa hidup pakaian menjadi sangat pendek, padahal semua pakaian tersebut masih sangat layak pakai dan berkualitas. 

Berdasarkan data yang dilansir dari website Zero Waste, bahwa limbah mode merupakan salah satu limbah industri yang paling berpolusi seiring dengan maraknya fast fashion. Bahkan, setelah minyak dan gas, industri pakaian dan tekstil adalah pencemar terbesar di dunia (sumber: Fashion Industry Waste Statistics). Secara global, industri mode menyumbang 20% dari limbah air di dunia dan 10% dari total emisi karbon dunia (sumber: Unfashionalliance.org).

Angka tersebut diperkirakan akan naik terus dan semakin mengkhawatirkan jika tidak ada langkah intervensi. Salah satu untuk mengatasinya adalah dengan membuat  gerakan Tukar Baju. Gerakan ini merupakan sebuah inisiasi untuk memperpanjang usia pakaian dengan cara menukarkannya dengan pakaian orang lain, dan sudah dijalankan oleh Zero Waste pada tahun 2019 sebagai solusi sampah fesyen dan limbah tekstil.

Tahukah kamu bahwa Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan pergerakan fashion paling cepat di Asia Tenggara? Oleh karena itu, Zero Waste melalui Amanda Zahra Marsono, Head of Public Relations and Marketing Project Manager berharap Gerakan Tukar Baju ini dapat mengurangi limbah tekstil dan dapat mengurangi 30-50% total emisi karbon. (Sumber : Liputan6)

BACA JUGA: Jalan Tengah Penerapan Extended Producers Responsibility Produsen Plastik

Di Indonesia limbah industri tekstil juga semakin mengkhawatirkan seperti pada kasus sungai Citarum sepanjang 300 km telah dicemari oleh 440 pabrik pengolahan tekstil yang mayoritas tidak memiliki atau tidak mengoperasikan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL). Padahal sejatinya sungai ini sangat berperan untuk kelangsungan hidup manusia di Tatar Pasundan Jawa Barat.. (Sumber: Pikiran Rakyat)

Di sisi lain, maraknya produk fast fashion adalah buah dari permintaan pasar yang terus menginginkan mode dan tren terbaru setiap saat.. Untuk mengatasinya, maka harus mulai menumbuhkan kesadaran diri sendiri dan mengedukasi orang sekitar untuk menerapkan konsep slow fashion/sustainable fashion seperti mendaur ulang pakaian sendiri, menjahit atau merombak sesuai keinginan, membeli di toko bekas atau menerima pakaian bekas orang terdekat. 

Namun, jika diamati Gerakan Tukar Baju ini masih sangat terbatas. Padahal, sangat potensial untuk terus dikembangkan sebagai salah satu solusi strategis yang menjanjikan untuk meminimalkan sampah pakaian dan menumbuhkan kesadaran akan limbah industri mode. Di samping itu, untuk menciptakan kepedulian akan sampah pakaian, gerakan ini sejatinya dapat mematahkan stigma masyarakat untuk tidak malu / gengsi memakai pakaian bekas karena kualitas pakaian bekas juga tidak kalah dengan berbagai merek fast fashion. Selain itu, harapannya masyarakat dapat beralih ke mode slow fashion atau bisa juga turut serta belajar menghasilkan pakaian sendiri sesuai dengan preferensi dan keinginan si pemakai.

BACA JUGA: Sampah Elektronik: Jadi Ancaman Jika Kita Lupakan

Dari sisi ekonomi, Gerakan Tukar Baju juga dapat menggandeng berbagai thrift store local untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pakaian jadi yang keren namun dengan harga yang terjangkau. 

Untuk menciptakan gerakan yang masif dan mengikuti perkembangan zaman digital, maka Gerakan Tukar Baju dapat tersedia di kanal website, sosial media dan aplikasi digital di sini, para penggunanya dapat mengunggah pakaian dan berbagai item mode seperti tas, kain, sepatu, dan banyak lainnya untuk ditawarkan sebagai produk yang ingin ditukar. Nantinya, pengguna lain dapat melihat dan jika merasa cocok, dapat menawarkannya dengan produk yang mereka miliki. Setelah tercapai kesepakatan antara kedua pihak, mereka pun dapat saling mengirimkannya ke alamat masing-masing.

Pada aplikasi Gerakan Tukar Baju, pengguna juga dapat mengirimkan pakaian yang sudah tidak diinginkan maupun pakaian tidak layak yang kemudian akan dikumpulkan di suatu tempat lalu disortir. Pakaian yang masih bisa dipakai dapat diberikan kepada panti asuhan atau daerah yang membutuhkan sedangkan sisanya bisa diberikan kepada pelaku UMKM untuk didaur ulang menjadi kain perca, alas kaki, kantong belanja dan berbagai produk lainnya yang mempunyai nilai jual.

Dengan begini, pakaian yang awalnya hanya teronggok di dalam lemari saja, dapat dimanfaatkan dan menjadi pakaian baru buat orang lain. Konsep Tukar Baju ini pun mudah direplikasi dan diterapkan dalam skala yang lebih kecil misal antar komunitas, komplek perumahan dan lain-lain sehingga tidak dibutuhkan prosedur / kompleksitas yang berlebihan untuk memulai aksi ini.

Harapan ke depannya, dengan men-digital-kan aksi ini lewat Gerakan Tukar Baju menjadi roda penggerak bagi semua sektor untuk lebih mawas diri akan dampak negatif penggunaan produk fashion dan garmen yang berlebihan. Dengan menggunakan konsep recycle economy, gerakan Tukar Baju dapat menjadi gagasan ekonomi yang dapat diterapkan di seluruh penjuru Indonesia tanpa harus mengorbankan lingkungan. 

Oleh: Lenny

Wiraswasta

Related Article

[1000 gagasan]SAGU GAMBUT: ALTERNATIF PANGAN BERKELANJUTAN DALAM MENGHADAPI KRISIS LINGKUNGAN

[1000 gagasan]SAGU GAMBUT: ALTERNATIF PANGAN BERKELANJUTAN DALAM MENGHADAPI KRISIS LINGKUNGAN

Pernahkan kita mendengar anggapan “kalo orang Indonesia gak makan kalo bukan nasi?” Ternyata itu bisa dibilang hampir 100 persen benar, jika dilihat rata-rata konsumsi langsung rumah tangga pada tahun 2019, data BPS menyebutkan beras menjadi sumber penyedia energi dan karbohidrat tertinggi dengan besaran 94,9 kg/kapita/tahun. Ini sama saja kurang lebih diperlukan 2,5 juta ton beras per bulan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tapi seiring perkembangan saat ini, pola konsumsi nasi perlahan sudah beralih ke gandum.

Pemerintahan Presiden Jokowi  mengeluarkan kebijakan mencetak sawah dalam proyek Food Estate salah satunya di Provinsi Kalimantan Tengah, guna mengantisipasi kelangkaan pangan dalam menghadapi kemungkinan kemarau panjang dan menangani masa pandemi Covid-19 yang katanya mengancam produksi beras nasional.

Proyek ini, mendapatkan kritikan dan kecaman bertubi-tubi dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan lingkungan termasuk penolakan dari masyarakat adat, mengingat proyek serupa saat pemerintahan Presiden Soeharto  yaitu pembukaan lahan gambut (PLG) satu juta hektare yang sembarangan dan berakhir pada krisis ekologi terparah di negeri ini.

Usaha mengganti sifat alami gambut yang seharusnya basah menjadi kering untuk tanaman pangan seperti padi menjadi sumber utama kerusakan gambut. Gambut yang kering sangat rentan tersulut api, merambat sangat cepat, sulit dipadamkan dan kerap kali menimbulkan polusi asap hingga melepaskan emisi ke atmosfer. Beberapa pengamat menyatakan proyek food estate ini dianggap populis, kajian serba cepat tanpa menganalisis dampak yang ditimbulkan di masa yang akan datang.

BACA JUGA: Pertumbuhan Ekonomi, Ketahanan Pangan, dan Keseimbangan Ekosistem

Padahal seperti yang banyak dikembangkan oleh peneliti tanaman pangan dalam mendukung upaya restorasi dan revitalisasi ekonomi masyarakat, lahan gambut basah tetap bisa menjadi andalan dalam produksi pangan, salah satunya adalah sagu, ada beberapa faktor kuat tanaman yang disebut rumbia ini juga dianggap yang paling menguntungkan. Sifat sagu yang menyesuaikan pada hampir semua jenis lahan termasuk gambut, serta tidak perlu ada perlakuan khusus dan minim input eksternal, berbeda dengan  tanaman pangan lainnya sehingga dapat menekan biaya produksi. 

Sagu di Lahan Gambut: Optimalisasi bagian Hulu

Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana sagu mampu menyelamatkan pangan Indonesia yang selama ini bergantung pada beras, namun di satu sisi juga berperan dalam penyelamatan ekosistem gambut? Dalam mencermatinya perlu dilihat dari masyarakat yang hidup di lahan gambut, yang justru memiliki ketergantungan makanan pokok pada beras yang begitu tinggi, padahal seperti yang dijelaskan sebelumnya, sagu bisa menjadi pilihan selain beras itulah yang terjadi di Papua. 

Lahan gambut yang ditanami wajib hukumnya di lahan budidaya, yang memang pemanfaatannya untuk produktivitas dan kesejahteraan masyarakat, bukan di kawasan konservasi dan area lindung yang seharusnya difungsikan untuk menjaga ekosistem. Realisasi di lapangan perlu memenuhi kaidah berkelanjutan, yang meliputi tiga aspek sederhana yaitu: 

  1. Pertama aspek ekologis, bagaimana menjaga gambut agar tetap basah sesuai dengan karakteristik aslinya, 

  2. Kedua berkaitan dengan peran sosial di mana masyarakat adat maupun komunitas lokal juga dilibatkan secara partisipatif, 

  3. Terakhir praktik tanamnya, lamanya waktu panen mulai dari 8 sampai 12 tahun perlu diatur waktu penanamannya, penyesuaian bibit, pupuk alami serta, yang tentunya berdampak pada keberlangsungan profitabilitas yang dihasilkan. 

Sagu sebagai Pilihan: Bekerja dari Hilir

Sebesar 83 persen lahan sagu dunia ada di Indonesia, mencapai lebih dari 5 juta hektare dan potensi produksi yang mencapai seratus juta ton tiap tahunnya (Nasution, 2020). Peluang tersebut menandakan jika sagu dioptimalkan, terutama bagi sebagian masyarakat yang mengkonsumsi sagu, dapat menyeimbangkan dominasi beras di dalam negeri sebagai sumber makanan pokok. 

Masih rendahnya komitmen pemerintah dalam mengembangkan sagu terlihat dari tidak terserapnya produksi sagu di sungai Tohor, Riau untuk pangan lokal, pasokan yang melimpah banyak menumpuk karena terkendala ekspor akibat pandemi korona.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ikut berperan melakukan inovasi produk dari sagu sebagai substitusi terigu. Mengingat permintaan masyarakat Indonesia sebagai konsumen mie instan tertinggi kedua di dunia. Di sisi lain sudah banyak terobosan inovatif yang mencampurkan tepung sagu sebagai bahan substitusi tepung gandum dalam membuat mie, kue, maupun makanan berbahan terigu lainnya.

Tantangan tersulit dalam memasarkan sagu di Indonesia adalah masih menguatnya politik beras serta mafia tani dan impor dengan mencari keuntungan di tengah produksi yang terus menurun. Merebaknya Covid-19 menjadi pembelajaran bahwa yang ditanam langsung di lahan paling dekat dengan masyarakat adalah sumber pangan paling efisien.

BACA JUGA: Menggelorakan Usaha Agroedutourism

Dari segi harga pasaran, tepung sagu lebih mahal dibandingkan dengan beras dan gandum. Selisih harga dapat mencapai dua kali lipat. Daya saing harga bisa ditingkatkan produksi dan konsumsi secara massif, sehingga menjadi lebih terjangkau. 

Berbagai aspek yang diperlukan dalam mendukung sagu baik dari hulu maupun hilir adalah sarana-prasarana pendukung dan pelatihan intensif terhadap masyarakat yang berpartisipasi dalam budidaya maupun pengolahan sagu menjadi makanan jadi.

Langkah Ke depan bersama Madani Berkelanjutan

Ketergantungan pada satu jenis pangan tidak bisa dilepas dari pemerintah dalam menyamakan jenis makanan pokok hanya pada beras, hal tersebut berdampak pada skala prioritas pengembangan padi yang jauh lebih diutamakan dibanding pangan lokal lainnya. Namun saat ini inisiasi untuk kembali meragamkan panganan khususnya di tingkat masyarakat dan daerah terus digalakkan khususnya saat Covid-19 mewabah yang tiba-tiba terjadi di daerah bergambut. Selain pembangunan sarana-prasarana dan pendampingan masyarakat, diperlukan juga terobosan kebijakan dan program yang berani mengangkat sagu sebagai makanan sehari-hari seperti pembangunan kawasan terintegrasi yang berfokus produksi serta pengolahan dan pemasaran. 

Bersama Madani Berkelanjutan, kampanye sagu yang kreatif dan tepat-guna di lahan gambut budidaya adalah salah satu upaya yang paling memungkinkan, melalui pendekatan ke anak muda yang saat ini sedang booming di media sosial salah satunya #tiktokchallange atau bisa kreasi konten visual dalam mempromosikan sagu sebagai alternatif makanan pengganti nasi.

Di tingkat lokal, kampanye berbasis kearifan lokal, kebudayaan, kesejarahan bisa jadi andalan dalam merayu warga agar ikut andil dalam budidaya dan konsumsi sagu, di waktu yang bersamaan juga didorong pemahaman terkait sumber daya pangan lokal dan restorasi ekosistem, sekaligus memulihkan ekonomi masyarakat daerah pasca-Covid 19. 

Oleh:  Andika Julianto Trilaksana

Pegiat Lingkungan Youth for Peatland

Related Article

[1000 gagasan] MENGEMBANGKAN PARIWISATA HALAL BERKELANJUTAN

[1000 gagasan] MENGEMBANGKAN PARIWISATA HALAL BERKELANJUTAN

Berbicara Indonesia, maka terlintas dalam diri kita yaitu negara kepulauan besar yang memiliki beragam suku dan budaya. Merujuk laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok suku/etnik dan memiliki lebih dari 1.001 bahasa daerah yang berbeda. Sedangkan jumlah pulau kurang lebih 17.504 pulau dengan panjang garis pantai adalah 108.000 km2. Kondisi geografi dan keragaman budaya tersebut membuat Indonesia sangatlah strategis dan potensial dalam mengembangkan sektor pariwisata. Pada tahun 2019 berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, jumlah devisa yang dihasilkan sebesar Rp 280 triliun dan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 5,5%, serta menyerap tenaga kerja sebanyak 13 juta orang. 

Peran sektor pariwisata dalam meningkatkan ekonomi menjadi bukti bahwa sektor pariwisata dapat dikatakan sektor unggulan Indonesia. Pariwisata di Indonesia saat ini tidak hanya berorientasi kepada infrastruktur dan banyaknya kunjungan wisatawan, tapi juga membuat konsep diversifikasi ramah Muslim. Konsep inilah yang dikenal dengan pariwisata halal. 

BACA JUGA: Menginisiasi Ruang Terbuka Hijau Berkelanjutan

Pariwisata halal bukan berarti non Muslim dilarang berkunjung ke Indonesia, tapi perlu dipahami bahwa definisi pariwisata halal menurut Global Muslim Travel Index (GMTI) yaitu memiliki ekosistem layanan berbasis agama misalnya makanan halal, fasilitas ibadah, kamar kecil yang memiliki air untuk berwudhu, dan bukan lingkungan yang Islamofobia. Perihal utama dalam wisata halal ialah bagaimana tempat wisata dapat meningkatkan kenyamanan dengan tidak melupakan kewajiban keimanan serta memahaminya melalui perjalanan warisan sejarah, dan budaya. 

Implementasi aturan pariwisata halal di Indonesia sendiri dalam bentuk Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019 – 2024, penerbitan UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah. Bukti penerapan aturan wisata halal telah banyak mendorong perkembangan sektor pariwisata halal, bahkan beberapa tempat wisata di Indonesia menjadi yang terbaik di dunia, seperti pada laporan GMTI tahun 2019 yang bertajuk World Halal Tourism Award 2018, yang mana Lembah Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat memperoleh penghargaan destinasi bulan madu halal terbaik di dunia. Ada pula Kota Padang yang mendapat predikat destinasi halal terbaik, serta Provinsi Aceh sebagai destinasi budaya halal terbaik. 

Penerapan pariwisata halal di Indonesia tidak terlepas dari sisi agama dan sudut pandang sumber daya berkelanjutan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Dalam sudut pandang agama, orientasi pariwisata halal bukan hanya memperoleh pendapatan dalam bentuk devisa dan pendapatan langsung di masyarakat, namun juga mengutamakan prinsip, nilai serta etika Islami/akhlak. 

Nilai dan etika Islami sebagaimana tercantum dalam Fatwa MUI bahwa penyelenggaraan pariwisata syariah/pariwisata halal harus terhindar dari kemusyrikan (percaya kepada selain Allah), maksiat, keburukan dan menciptakan kebermanfaatan secara material maupun spiritual. 

Keseluruhan aspek pariwisata halal meliputi destinasi wisata, alat transportasi, hotel dan akomodasi, restoran dan kafe serta biro jasa perjalanan harus menjadi ekosistem halal. Ekosistem halal dapat menjadikan pariwisata halal menjadi pariwisata berkelanjutan, artinya bahwa dari segi sumber daya alam, pelaku bisnis, masyarakat sekitar objek wisata akan menerima manfaat dari perkembangan pariwisata yang tentunya halal. 

BACA JUGA: Wisata Bahari Kerakyatan Berkelanjutan

Menurut hemat penulis, ekosistem pariwisata halal yang dikembangkan secara berkelanjutan adalah solusi untuk membangun ekonomi tanpa merusak lingkungan. Kita wisatawan yang melancong untuk menikmati keindahan alam mampu memahami aspek halal dari konsep pariwisata yang ditawarkan, maka dengan itu pula pengembangan ekonomi yang tidak merusak lingkungan terwujud. 

Percayalah bahwa penerapan nilai – nilai Islami yang komprehensif dalam pariwisata akan mendorong banyaknya wisatawan berkunjung ke Indonesia dan mereka akan semakin percaya bahwa Indonesia ramah terhadap semua wisatawan, maka timbullah kepedulian halal (halal awareness). Ingat Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, maka dengan meningkatkan kepedulian halal maka potensi besar untuk perekonomian dapat dielaborasi. 

Namun dalam pengembangan pariwisata halal memerlukan tenaga kerja yang profesional yang berwawasan Islami. Peran pemerintah, swasta, masyarakat sipil serta banyak pihak menjadi penting demi kemajuan pariwisata halal berkelanjutan tersebut. Pariwisata halal sangatlah baik untuk mendukung dan menciptakan lapangan pekerjaan dan devisa yang cukup tinggi, apalagi dikembangkan dengan konsep berkelanjutan yang ramah lingkungan. Berkembangnya kepariwisataan yang ada akan sangat membantu memajukan daerah-daerah, maka pemerintah daerah dan pusat senantiasa melakukan monitoring terhadap daerah yang telah menerapkan konsep pariwisata halal agar senantiasa terjaga nilai – nilai Islaminya dan ramah terhadap lingkungan.

Oleh: Sunarmo

Dosen Prodi Manajemen Universitas Al Azhar Indonesia


Related Article

[1000 gagasan] BENCANA IKLIM DAN PELUANG EKONOMI HIJAU

[1000 gagasan] BENCANA IKLIM DAN PELUANG EKONOMI HIJAU

Gempa bumi, tsunami, likuifaksi, dan erupsi gunung api adalah bencana menakutkan yang kerap menghantui penduduk Indonesia. Berbagai bencana tersebut terjadi karena faktor geologis alam pada wilayah Indonesia sebab keberadaannya tepat di jalur-jalur pertemuan lempeng tektonik –baik darat maupun di lantai samudera. Bencana faktor geologi tersebut mustahil dielakkan, kecuali bila negara Indonesia pindah ke wilayah yang bukan pertemuan lempeng tektonik, walau tentu saja, itu sama tidak mungkinnya.

Akan tetapi, bencana geologi bukanlah bencana utama atau terbanyak mendera tanah air. Selama kurun waktu tahun 2019, BNPB mencatat sebanyak 3.768 kejadian bencana di Indonesia. Dari 3.768 kejadian bencana sepanjang tahun lalu, ternyata hanya 1% yang merupakan bencana geologi, sementara 99% di antaranya ialah bencana hidrometeorologi (Kompas, 1/12020). Kekeringan, banjir, badai, kebakaran hutan, el nino, la nina, longsor, tornado, angin puyuh, topan, angin puting beliung, Gelombang dingin, Gelombang panas, Angin fohn (angin gending, angin brubu, angin bahorok, angin kumbang) adalah beberapa contoh bencana hidrometeorologi tersebut.

BACA JUGA: Memberi Ruang Praktik Ekonomi Prokonservasi

Bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang diakibatkan oleh curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin ―yang juga merupakan komponen-komponen dari iklim bumi. Sejumlah media internasional bahkan sudah memakai term Climate Disaster atau “Bencana Iklim” supaya masalah serius ini tidak menjadi gajah dipelupuk mata bagi masyarakat. Misalnya pada artikel  Climate Disaster Is Upon Us yang diwartakan The Nation, 15 Januari 2019; Do We Really Have Only 12 Years to Avoid Climate Disaster? oleh New York Times, 19 September 2019; 2019 Has Been a Year of Climate Disaster. Yet Still Our Leaders Procrastinate di laman The Guardian, 19 Desember 2019; dan We Live in an Age of Climate Disaster. Now What? pada harian Washington Post, 17 Januari 2020.

Tiga Tingkat Persiapan

Bila bencana iklim ini sudah di depan mata, maka kita harus mempersiapkan pencegahan dan mitigasi serta upaya adaptasinya. Pertama, pada tingkat internasional lambat laun para pemimpin dunia mulai menyadari akan ancaman perubahan iklim. Di bawah langit Paris, akhir tahun 2015, Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa dilakukan dan menghasilkan suatu sumber hukum internasional yang disebut dengan Paris Agreement. Poin penting dalam perjanjian itu ialah (i) komitmen bersama untuk menahan laju kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C di atas suhu di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas suhu di masa pra-industrialisasi; (ii) Meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim, meningkatkan ketahanan iklim, dan melaksanakan pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca tanpa mengancam produksi pangan; dan (iii) suplai finansial yang konsisten demi tercapainya pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca dan tahan terhadap perubahan iklim. 

Kedua, dalam konteks nasional yang mana tiap negara saat ini didera krisis akibat pandemi, dapat melakukan pemulihan hijau. Sebab, dalam pembangunan ekonomi untuk lebih cepat bangkit dari krisis, pemerintah membutuhkan proyek yang disebut oleh para pakar dengan istilah shovel ready. Ini melebihi dari proyek padat karya, proyek tersebut juga tidak perlu keterampilan tingkat tinggi atau pelatihan ekstensif, dan menyediakan infrastruktur yang menguntungkan ekonomi. Konstruksi infrastruktur energi bersih adalah salah satu contohnya, yang mana menghasilkan pekerjaan dua kali lebih banyak dari dibandingkan proyek bahan bakar fosil. 

Kita bisa melihat kebutuhan infrastruktur ramah pengendara sepeda dan pejalan kaki di kota-kota. Kemudian membangun infrastruktur koneksi jaringan internet broadband, karena sistem sekolah dan kerja daring akan semakin marak dilakukan. Serta jaringan untuk pengisian kendaraan listrik. Dengan itu ke depan kita pasti akan membutuhkan lebih banyak listrik. Dibutuhkan juga proyek massal pembangkit listrik tenaga surya, angin, mikrohidro dan biogas.

BACA JUGA: Peluang Industri Syariah Hijau

Cameron Hepburn dari Universitas Oxford baru-baru pun mempublikasikan sebuah studi menarik terkait rencana pemulihan krisis global akibat pandemi Covid-19. Penelitian tersebut berjudul Will Covid-19 Fiscal Recovery Packages Accelerate or Retard Progress on Climate Change? (2020). Fokus penelitiannya adalah membandingkan proyek-proyek stimulus hijau dengan stimulus tradisional, seperti langkah-langkah yang diambil setelah krisis keuangan global 2008. Para peneliti menemukan bahwa, proyek-proyek hijau menciptakan lebih banyak pekerjaan, memberi pengembalian jangka pendek yang lebih tinggi, dan mengarah pada penghematan biaya peningkatan jangka panjang. 

Ketiga, aksi pada tingkat individu. Banyak hal sederhana yang dapat dilakukan untuk melestarikan alam. Seperti menghemat penggunaan energi listrik. Tahukah Anda bahwa sumber utama emisi gas rumah kaca global adalah listrik (31%), baru diikuti pertanian (11%), transportasi (15%), kehutanan (6%) dan manufaktur (12%). Produksi energi dari semua jenis menyumbang bahkan 72% dari semua emisi (data: WRI (2017)). Sektor energi menjadi faktor paling dominan penyebab emisi gas rumah kaca. Begitulah laku hidup kita yang masih bergantung pada energi fosil pada “normal lama”. “Normal baru” harusnya dapat menggantikan sumber energi lama ke energi terbarukan. 

Peluang Ekonomi Hijau

Kini, bencana iklim yang sudah di depan mata seharusnya tidak hanya menjadi stimulus bagi peningkatan kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan tapi juga membuka kesadaran bahwa ekonomi hijau berpeluang besar untuk direalisasikan. Kita dapat memulainya dengan hal-hal sederhana seperti mendaur-ulang sampah menjadi produk kreatif, memprioritaskan transportasi umum agar terjadi pengurangan konsumsi bahan bakar fosil, menanam atau mengadopsi pohon seperti halnya Pohon Asuh yang kini dikembangkan KKI Warsi, dan sebisa mungkin menghentikan penggunaan produk-produk hasil industri yang merusak lingkungan hidup. 

Kerusakan lingkungan yang semakin masif yang juga ditandai oleh kemunculan bencana iklim adalah titik balik bagi peningkatan kepedulian terhadap lingkungan sehingga agenda pembangunan tanpa merusak lingkungan dapat benar-benar diwujudkan. 

Ingat, kita (Manusia) sangat berhubungan dengan lingkungan dan kita harus berperilaku baik terhadapnya itulah sebuah kepastian. Namun, untuk melakukan itu kita perlu suatu pemahaman ekologis. Kita harus mempelajari tiap aktivitas yang akan memberi dampak buruk pada ekosistem di sekitar kita. Karena jika ekosistem rusak, kehidupan kita juga yang terancam. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mulai berfikir bahwa bencana iklim yang terjadi adalah tamparan bagi dunia untuk meninggalkan cara-cara yang merusak lingkungan dan beralih kepada cara-cara yang ramah terhadap lingkungan. Sudah saatnya ekonomi hijau berkelanjutan tanpa merusak lingkungan diterapkan.


Oleh: Alek Karci Kurniawan

Analis Kebijakan di Komunitas Konservasi Indonesia

Related Article

[1000 gagasan] PERTUMBUHAN EKONOMI, KETAHANAN PANGAN, DAN KESEIMBANGAN EKOSISTEM

[1000 gagasan] PERTUMBUHAN EKONOMI, KETAHANAN PANGAN, DAN KESEIMBANGAN EKOSISTEM

Produktivitas lahan pertanian dan perkebunan Indonesia tidak meningkat signifikan dan cenderung turun, kecuali kelapa sawit. Padahal, subsidi pupuk merupakan subsidi terbesar kedua di Indonesia, yang menghabiskan sekitar Rp. 30 triliun setiap tahunnya. Selain permasalahan pada pendistribusian subsidi pupuk, ada permasalahan lain di luar pupuk yang menyebabkan produktivitas rendah. Di antaranya menurunnya kualitas irigasi, degradasi kualitas tanah, dan cuaca ekstrem yang menyebabkan banjir dan kekeringan. Data BNPB menunjukkan bahwa peristiwa bencana seperti banjir dan kekeringan telah meningkat dalam lima tahun terakhir, dari 1.967 kasus di tahun 2014 menjadi 3.721 kasus di tahun 2019. Pada tahun 2019, tercatat 31.000 hektare ladang gagal panen karena kekeringan, dan 10.000 hektare gagal karena banjir. Dua kondisi ekstrem yang berbeda, di saat yang sama. 

Selain permasalahan produktivitas, ada juga permasalahan sosio-politik yang mengancam sektor pertanian Indonesia, yaitu tenaga kerja sektor pertanian semakin menurun, dan di saat yang sama Indonesia semakin banyak mengimpor berbagai bahan pangan yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri, seperti beras, bawang putih, dan kedelai, karena produksi dalam negeri lebih mahal harga jualnya. 

Ketahanan Pangan = Pertanian Skala Besar?

Pemerintah berupaya menangani permasalahan-permasalahan ini dengan berbagai cara, utamanya dengan membuat lumbung pangan atau food estate. Alokasi lahan yang tidak aktif untuk food estate tercantum dalam UU Cipta Kerja, dan direncanakan bahwa luas lahan yang akan digarap adalah 164.598 hektare, dengan pengerjaan awal seluas 10.000 hektare di Kabupaten Pulang Pisau, 20.000 hektare di Kabupaten Kapuas, 30.000 hektare di Kabupaten Humbang Hasundutan, dan daerah-daerah lain termasuk Papua. Lumbung pangan diharapkan berskala besar, dengan memanfaatkan lahan terdegradasi, lahan rawa dan gambut. Diharapkan dengan produksi skala besar ini, harga produk pangan Indonesia akan turun dan kompetitif dengan produk pangan impor. 

BACA JUGA: Menginisiasi Ruang Terbuka Hijau Berkelanjutan

Namun demikian, lumbung pangan sudah pernah dilakukan di era Presiden Soeharto, dan juga di era Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Mega Rice Project. Artinya, ekspansi lahan pertanian dalam skala besar, sudah pernah dan sudah sering dilakukan, dengan berbagai tantangannya sendiri. Namun, tingkat konversi lahan pertanian komoditas pangan untuk penggunaan lain (seperti dijadikan kebun kelapa sawit, atau pemukiman, perkotaan dan sebagainya) juga sangat tinggi. Bahkan, tingkat konversi lahan pertanian ke penggunaan lain lebih cepat daripada lahan yang dialihfungsikan menjadi food estate. Sementara itu, populasi Indonesia terus meningkat per tahun, yang akan menyebabkan terus meningkatnya kebutuhan pangan. Apabila ekspansi lahan dijadikan program unggulan untuk mencapai ketahanan pangan, maka solusi tersebut hanya akan bersifat sementara, dan dalam tempo singkat akan menjadi tidak efektif. Ketahanan pangan tidak bisa dicapai hanya dengan mendorong ketersediaan lahan.  

Faktanya, Indonesia sebenarnya sudah mencapai swasembada pangan secara nasional, namun terdapat wilayah-wilayah yang masih kekurangan pangan.  Terdapat 88 kabupaten di Indonesia yang masih mengalami kekurangan pangan, dan per 2019 hampir 30% anak di Indonesia mengalami stunting akibat malnutrisi. Di awal 2020, terhitung ada 8 juta hektare lahan perkebunan / pertanian di Indonesia, dibandingkan dengan 16 juta hektare lahan kelapa sawit. Studi CPI di Berau, Kalimantan Timur mendapati bahwa kelapa sawit mendominasi 90% total lahan perkebunan. Produksi kelapa sawit menunjukkan tren yang meningkat, sedangkan tanaman lain seperti padi, jagung, dan kakao menunjukkan tren turun.  

Diversifikasi Pertanian, Keanekaragaman Hayati 

Ekspansi perkebunan demi mencapai skala besar, efisiensi dan laba telah menyebabkan deforestasi dan konversi lahan pangan menjadi lahan komoditas kelapa sawit. Kelapa sawit digadang-gadang sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan petani kecil. Hampir setengah (40%) lahan kelapa sawit di Indonesia digarap oleh petani kecil dan angka ini diperkirakan terus meningkat seiring dengan permintaan kelapa sawit yang tinggi. Namun, ternyata tingkat penghasilan dari kelapa sawit bagi petani kecil tidak seberapa. 

Berdasarkan sebuah riset yang dilakukan Climate Policy Initiative, ketergantungan pada komoditas perkebunan tunggal atau monokrop menggeser lahan pangan dan meningkatkan risiko kekurangan pangan. Selain itu, penerimaan petani dari kelapa sawit tidak signifikan. Di Berau, Kalimantan Timur, penerimaan petani yang menggarap lahan 2 hektare tidak mencapai upah minimum regional. 

Sebaliknya, ketika dilakukan pemodelan untuk memproyeksikan penerimaan petani yang tidak hanya menanam kelapa sawit tetapi juga menanam tanaman pangan seperti jagung, kakao, atau lada, maka ditemukan bahwa penerimaan petani bisa lebih besar, tanpa ekspansi lahan. Bahkan pada beberapa skenario tertentu, penerimaan petani bisa mencapai 800% (sembilan kali lipat) penerimaan yang diterimanya dari kelapa sawit saja. 

Selain penerimaan yang lebih tinggi, petani juga memperoleh berbagai keunggulan lainnya ketika melakukan diversifikasi pertanian. Pertama, risiko gagal panen keseluruhan lahan berkurang. Kedua, meningkatnya pendapatan dan arus kas dapat mempermudah akses keuangan bagi petani. Selain manfaat bagi petani, diversifikasi juga membawa manfaat bagi daerah. Diversifikasi membuka peluang bagi tanaman endemik wilayah tersebut untuk tetap dibudidayakan demi menjaga keanekaragaman hayati. 

Sistem Ekonomi Ideal: Ketahanan Pangan yang tercapai karena Ketahanan Ekosistem 

Fokus pada diversifikasi lahan pangan membawa peluang menggeser narasi penggunaan lahan. Yang tadinya penggunaan lahan digambarkan sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan pangan dan membawa keuntungan bagi perusahaan perkebunan, bergeser menjadi penggunaan lahan terbatas dengan menjaga keanekaragaman hayati dan ketahanan ekosistem. Fokus pembangunan dapat bergeser dari yang tadinya lebih fokus pada saluran irigasi dan subsidi pupuk, menjadi pembangunan yang menjaga sumber mata air dan kualitas tanah (topsoil). Pengembangan lahan pertanian dan perkebunan pun dapat bergeser dari paradigma semula yang cenderung membangun sentra-sentra pertanian atau “lumbung pangan” di lahan-lahan berskala besar, menjadi pengembangan pertanian dan perkebunan skala kecil secara terdesentralisasi dengan tanaman yang beragam (tidak monokrop). 

Tanaman yang dipilih pun tidak berdasarkan penentuan strategis dari pemerintah pusat, namun berdasarkan tanaman yang endemik dan dikenal oleh masyarakat lokal, sehingga menjaga keanekaragaman hayati setempat.  Pemerintah dapat mendukung ini bukan dengan menentukan luasan lahan, harga atau jenis tanaman yang harus ditanam, namun dengan menjamin kepemilikan lahan bagi komunitas setempat dan masyarakat adat, membantu akses ke pasar, dan membangun sentra-sentra pemasaran hasil tanam di setiap wilayah. 

BACA JUGA: Wisata Bahari Kerakyatan Berkelanjutan

Saat ini aliran dana untuk mendukung pengembangan sektor pertanian dan perkebunan skala kecil sangat minim. Dari total dana global yang mengalir untuk mengatasi isu perubahan iklim, hanya 3% yang ditujukan untuk sektor perkebunan, kehutanan dan lahan, dan dari 3% tersebut hanya 40% yang ditujukan untuk perkebunan skala kecil dan pendukungnya. Untuk itu, pemerintah juga perlu lebih cermat dalam menggelontorkan dana publik untuk sektor pertanian/perkebunan. 

Subsidi pupuk dapat ditelaah kembali dan sebagian bisa dialirkan untuk mendukung konservasi sumber daya air, penyehatan tanah, pemasaran dan rantai pasok hasil tanam yang beragam dari setiap wilayah. Subsidi kredit perkebunan dapat dibuat bersyarat, yaitu dengan mensyaratkan penggunaan teknik pertanian yang irit air dan tidak merusak kualitas tanah. Transfer fiskal ke daerah bisa menggunakan skema insentif (ecological fiscal transfer) sehingga memberi penghargaan moneter bagi wilayah yang berhasil menjaga ketahanan ekosistemnya, yang dapat diwujudkan dengan indikator tutupan wilayah hijau, diversifikasi tanaman, penggunaan energi terbarukan, dan sebagainya. 

Semua wilayah dapat memiliki kegiatan ekonomi yang berbeda-beda, iklim, topografi, sosio-budaya dan karakteristik yang berbeda-beda, namun keseimbangan ekosistem menjadi hal mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Keseimbangan ekosistem memberikan komoditas yang esensial bagi pertumbuhan ekonomi, yaitu pangan, air dan udara bersih. Sudah saatnya prioritas tersebut terwujud dalam sistem ekonomi kita. 

Oleh: Tiza Mafira

Associate Director, Climate Policy Initiative 

Referensi:

1.Mecca et. al., Fostering Economic Resilience in Berau through Smallholder Crop Diversification, (CPI, 2020), accessible at https://www.climatepolicyinitiative.org/publication/fostering-economic-resilience-in-berau-through-smallholder-crop-diversification/

2.Chiriac, Naran, & Falconer, Examining the Climate Finance Gap for Small-Scale Agriculture, (CPI, 2020), accessible at https://www.climatepolicyinitiative.org/publication/climate-finance-small-scale-agriculture/

3.Mecca et. al., Indeks Desa Membangun Plus (IDM+): Enhancing Direct Incentives for Sustainable Land Use in Indonesian Villages, (CPI, 2020), accessible at https://www.climatepolicyinitiative.org/publication/indeks-desa-membangun-plus-idm-enhancing-direct-incentives-for-sustainable-land-use-in-indonesian-villages/

Related Article

Pilkada Usai, Saatnya Untuk Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Pilkada Usai, Saatnya Untuk Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Pagelaran akbar pemilihan kepala daerah (Pilkada) telah usai, saatnya move on dan bangkit. Move on berarti legowo atas hasil pilkada serta melupakan benturan politik yang terjadi akibat silang pendapat antar kandidat. Sedangkan bangkit dari keterpurukan adalah bangkit dalam beragam krisis atau krisis multidimensi yang sedang kita hadapi. Krisis tersebut termasuk krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19, krisis perekonomian, dan krisis lingkungan akibat semakin memudarnya komitmen terhadap pelestarian alam.

Dari sisi ekonomi, COVID-19 berhasil membuat babak belur perekonomian dunia. Faktnya, hampir semua sektor perekonomian terkapar, bahkan sampai saat ini pemulihan ekonomi masih sangat lamban dan begitu dramatis.

Di Indonesia sendiri, ekonomi 2020 yang awalnya diprediksi akan tumbuh hingga 5,3 persen year on year (yoy) atau lebih tinggi daripada realisasi pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 5,02 persen. Namun nyatanya, ekonomi Indonesia berjalan minus 2,2 persen hingga minus 1,7 persen di tahun 2020. Sungguh catatan yang kelam. Dengan kondisi dan realita yang begitu mengkhawatirkan, Indonesia butuh tidak sekadar kebijakan pemulihan semata, tapi butuh kebijakan yang mampu membawa perubahan yakni dengan melakukan lompatan.

Kita sangat tahu bahwa persoalan krisis kesehatan dan perekonomian harus segera diurai, namun, bukan berarti persoalan lainnya tidak menjadi perhatian bahkan tidak dipedulikan. Oleh sebab itu, tantangan terbesar para pemenang Pilkada 2020 tidak hanya memulihkan kondisi seperti sediakala tapi juga melompati krisis multidimensi.

Krisis Lingkungan

Sebelum pandemi COVID-19 menggerogoti dunia, krisis lingkungan seperti krisis iklim sudah menjadi ancaman nyata yang tidak bisa dielakkan. Cuaca ekstrem sampai dengan bencana yang kerap terjadi, bahkan kemunculan COVID-19 dianggap sebagai bagian dari dampak krisis iklim yang begitu menakutkan.

World Economic Forum dalam riset yang berjudul Global Risks Perception Survey 2019-2020 sempat menyebut bahwa ekonomi dunia akan terpukul oleh isu-isu lingkungan semakin mengkhawatirkan. Riset ini menyebut isu lingkungan khususnya yang terkait dengan iklim, mendominasi menjadi lima besar indikator risiko jangka panjang kategori likelihood sebagai penghambat utama ekonomi global. Kelima indikator tersebut yakni; cuaca ekstrim (extreme weather), kegagalan aksi iklim (climate action failure), bencana alam (natural disaster), hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss), bencana lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia (human-made environmental disasters).

Di Indonesia sendiri, persoalan krisis lingkungan yang berakibat fatal pada krisis iklim terlihat dari kondisi hutan alam yang kian terancam. Bukan hanya karena ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla), tapi juga ancaman deforestasi dan ekspansi investasi skala besar, pembukaan lahan, dan banyak ancaman lainnya.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan terungkap bahwa sembilan provinsi yang menyelenggarakan pilkada (pemilihan gubernur dan wakil gubernur) memiliki hutan alam mencapai 21 juta hektar  Sementara 10 kabupaten pelaksana pilkada (pemilihan bupati dan wakil bupati) tercatat memiliki lebih dari 20 juta ha hutan alam.

Kondisi ini tentu menggambarkan bahwa kesembilan provinsi dan 10 kabupaten ini memiliki isu yang sangat besar yakni isu kelestarian hutan dan isu ini seharusnya menjadi gagasan yang ada dalam visi-misi para kandidat. Dari luasan hutan alam secara total tersebut, riset Madani membagi empat tingkatan risiko deforestasi dan degradasi untuk beberapa daerah tersebut. Daerah berisiko, terancam, sangat terancam, dan paling terancam. Hasilnya, dari sembilan provinsi tersebut terdapat 12,5 juta hektar hutan alam yang berada pada kategori beresiko; 2,6 juta hektar di tingkat terancam; dan 1,2 juta hektar di tingkat sangat terancam.

Provinsi Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Utara menjadi provinsi penyumbang hutan alam terbesar. Sementara kategori paling terancam seluas 2,6 juta hektar juga terdapat di Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Selatan. Sedangkan di tingkat kabupaten, 10 kabupaten penyelenggara pilkada dengan hutan alam terluas menyumbang 11,9 juta hektar hutan alam berisiko, 1,23 juta hektar hutan alam terancam, 521 ribu hektar hutan alam sangat terancam, dan 3 juta hektar hutan alam paling terancam.

Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Ancaman terhadap hutan alam tersebut seharusnya menjadi patokan bagi para pemenang pilkada nantinya. Suatu kepastian ekonomi berbasis ekologi atau ekonomi hijau berkelanjutan harus menjadi target agar keluar dari krisis. Menurut hemat penulis, model ekonomi hijau berkelanjutan dapat dimulai dengan menggerakkan beberapa model bisnis yang bersifat kreatif, mendorong inovasi kemandirian, dan tidak sekedar bertumpu pada ekstraktif sumber daya alam, seperti:

Pertama, bisnis jasa lingkungan. Kerusakan lingkungan yang semakin parah akan mendorong menculnya kepedulian atas lingkungan, hal inilah yang membuat bisnis jasa lingkungan di masa yang akan datang mampu tumbuh positif. Misalnya saja, bisnis pengelolaan sampah seperti bank sampah. Selain dapat menyelamatkan mengurangi beban lingkungan atas sampah, bank sampah dapat memberikan manfaat secara perekonomian.

Kedua, perhutanan sosial. Model bisnis perhutanan sosial ini adalah langkah yang paling tepat bagi pemerintah untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjaga hutan. Perhutanan sosial sendiri mampu merubah mitos bahwa hutan adalah kutukan menjadi hutan adalah anugerah karena selain bermanfaat untuk menahan dampak perubahan iklim, hutan juga mampu memberikan manfaat secara ekonomis.

Ketiga, pengembangan energi baru terbarukan. Meninggalkan energi kotor dan beralih ke energi yang ramah lingkungan adalah keniscayaan. Pertimbangan keberlanjutan dari sumber energi adalah faktor utama yang harus diprioritaskan, tentu bergatung dengan sumber daya fossil sudah tidak relevan di tengah krisis seperti saat ini. Beralih ke sumber energi seperti panel surya adalah langkah terbaik yang dapat dilakukan.

Kini ,sudah saatnya semua pihak sadar bahwa Pilkada Serentak 2020 harus menjadi momentum bagi para kepala daerah terpilih untuk memperkuat komitmen perlindungan lingkungan, hutan, dan alam agar ekonomi hijau berkelanjutan dapat diwujudkan.

Konsep ini bukan hanya membuat perekonomian yang tahan bating oleh krisis tapi juga berkontribusi terhadap pencapaian komitmen iklim di Indonesia di sektor kehutanan. Bukankah ini impian kita untuk masa depan?

Oleh: Delly Ferdian

Aktivis di Yayasan Madani Berkelanjutan

Artikel ini sudah dimuat di mongabay.co.id pada 5 Januari 2020.

Related Article

[1000 gagasan] EKONOMI LAPANG (LAHAN DAN PANGAN)

[1000 gagasan] EKONOMI LAPANG (LAHAN DAN PANGAN)

Isu ketahanan pangan adalah isu yang sangat penting di Indonesia saat ini bahkan dunia. Isu ini sangat erat kaitannya dengan kebutuhan pokok masyarakat atau lebih tepatnya dengan hajat hidup orang banyak. Apalagi, saat pandemi covid-19 melanda, isu ini menjadi sorotan publik lantaran bergulirnya rencana food estate.

Kebutuhan akan pangan adalah kebutuhan mutlak bagi setiap orang, oleh karena itu, kemandirian pangan menjadi kunci dari ketahanan pangan itu sendiri. Akankah kemandirian pangan dapat terwujud?

SIMAK JUGA: Ekonomi Martabak

Simak lebih lengkap gagasan tentang kemandirian pangan berjudul Ekonomi Lapang (Lahan dan Pangan) karya Alya Lihan dan Jovita Chiara di 1000 Gagasan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan di bawah ini

 

Mahasiswa ITB

Related Article

[1000 gagasan] MENGINISIASI RUANG TERBUKA HIJAU KOTA YANG BERKELANJUTAN

[1000 gagasan] MENGINISIASI RUANG TERBUKA HIJAU KOTA YANG BERKELANJUTAN

Feeling good, like I should” lirik lagu dari Band Surfaces ini sempat viral di media sosial beberapa waktu yang lalu. Bukan hanya karena lagunya yang easy listening, tetapi karena jadi latar sebuah video dengan pemandangan alam yang hijau nan segar dengan latar gunung yang indah yang berada di Ranu Manduro, Mojokerto. Setelah viral, lokasi objek wisata dadakan itu lalu dibanjiri wisatawan yang berburu keindahannya dan menyandingkannya dengan pemandangan ala-ala New Zealand. 

Bila ditilik, menjadi menarik mengapa orang rela dari tempat yang jauh antri bermacet-ria untuk dapat bisa mengunjungi area tersebut, atau mengapa di akhir pekan, jalur puncak, Bogor selalu dipadati oleh wisatawan asal Kota Jakarta dan sekitarnya, atau mengapa harus berlibur ke Raja Ampat dan Bali untuk dapat menikmati pemandangan alam nan hijau dan masih asri.

Penelitian dari Universitas Warwick dan Universitas Sheffield tahun 2018 sedikit memberikan gambaran tentang hal ini, bahwa interaksi manusia dengan alam sekitarnya bisa menimbulkan nyaman sehingga kesehatan mental membaik. “Lari” dari kepenatan kota dan menuju daerah suburban menjadi jawaban karena kota-kota besar kini dipenuhi gedung tinggi bertingkat, permukiman, perkantoran dan minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) tersedia.  

Tantangan Penyediaan RTH

Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menunjukkan, sampai saat ini, baru 13 dari 174 kota di Indonesia yang mengikuti Program Kota Hijau dan memiliki Porsi RTH sebanyak 30% atau lebih. Padahal ketentuan pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 sudah jelas mengatur proporsi setiap kota, yakni paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota.

BACA JUGA:  Sampah Elektronik: Jadi Ancaman Jangan Kita Lupakan

Tapi, menyediakan Ruang Terbuka Hijau di tengah peningkatan pertumbuhan kawasan permukiman, dan perkantoran tak semudah membalikkan tangan. Persoalan pertama terletak pada minimnya ruang terbuka hijau yang tersisa. Tingginya laju pertumbuhan penduduk di suatu daerah pasti akan diikuti dengan laju pertumbuhan kawasan terbangun seperti pemukiman, dan perkantoran. Alih fungsi lahan menjadi hal yang tak terelakkan dan akibatnya ruang terbuka hijau menjadi minim. 

Kedua, persoalan kesulitan pemerintah kota untuk mengalokasikan anggaran untuk penyediaan RTH di wilayah perkotaan. Jamak diketahui, harga pasaran tanah per meter di kawasan perkotaaan semisal Jakarta begitu mahal, sedangkan di satu sisi alokasi anggaran untuk pembebasan tanah tentu terbatas. Belum lagi proses pengadaan tanah juga memakan waktu yang tidak sebentar. 

Persoalan ketiga, alasan pragmatis pemilik lahan untuk membangun menjadi permukiman atau pertokoan karena lebih menguntungkan ketimbang sekedar menjadi ruang terbuka hijau. Apalagi bila tanah tersebut berada di wilayah yang strategis. 

Padahal, sejatinya tata ruang kota tidak hanya untuk kawasan budidaya atau terbangun, fungsi RTH diperlukan untuk menyeimbangkan kondisi ekologis kota karena pohon dan tanaman akan membantu dalam penyerapan karbon dioksida sekaligus menyimpan air, dan parahnya fungsi ini makin menurun di kota-kota besar dan makin jauh dari kesan teduh. Pada akhirnya, persoalan dan bencana seperti: banjir, longsor, dan kekeringan menjadi mudah dirasakan oleh masyarakat kota. 

Di sisi yang lain, Analisa Bank Dunia perlu jadi perhatian serius di mana diproyeksikan bahwa 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada tahun 2045. Ini artinya urbanisasi  akan terus meningkat dari 56% menjadi 70% dari total populasi secara keseluruhan. Dan ini mengartikan juga bahwa kebutuhan akan lahan terbangun semakin tahun akan semakin meningkat.   

Peluang Penyediaan RTH  

Di tengah tantangan masalah kota yang makin kompleks, sebenarnya masih ada secercah harapan yang bisa diinisiasi untuk melihat kemungkinan penyediaan Ruang Terbuka Hijau. Setidaknya, ada tiga skema menurut hemat penulis yang dapat diinisiasi dalam penyediaan ruang terbuka hijau.  Pertama, pemberian insentif pajak pada lahan yang belum terbangun atau lahan tidur. Pembebanan pajak tinggi pada lahan tidur kerap membuat pemilik lahan mengambil jalan pintas untuk segera menjual ke pihak lain untuk menjadikan kawasan terbangun. Padahal, bila tetap dibiarkan tidak terbangun, kota terbantu untuk tetap menghadirkan daerah resapan dari lahan tidur tersebut. Oleh karena itu, insentif ini diharapkan membantu pemilik lahan untuk tidak mengalihfungsikan lahannya. Dari skema ini, pemerintah kota sejatinya akan terbantu dalam penyediaan Ruang Terbuka Hijau karena tidak perlu membebaskan tanah, tapi cukup dengan memberikan insentif pajak.  

BACA JUGA: Ekonomi Martabak

Kedua, skema pemanfaatan lahan tidur untuk pengelolaan kewirausahaan kecil menengah. Bila sebelumnya, pemilik lahan hanya mendapatkan insentif keringanan pajak atas lahan tidak terbangun, pada skema ini, pemilik lahan mendapatkan keuntungan ekonomis dari lahan yang dibiarkan tidur. Dengan bekerjasama dengan pihak lain, seperti Event Organizer, lahan tersebut bisa dimanfaatkan sebagai lokasi sentra UMKM nonpermanen dengan tetap memberikan porsi besar pada lahan terbuka. Praktek ini akrab dijumpai seperti pada kegiatan pasar malam, atau pasar pagi dadakan, di mana pemilik lahan mendapatkan keuntungan dari peminjam lahan dari penyewa usaha.   

Ketiga, pengembangan potensi ekowisata. Bila pada dua skema sebelumnya, pemanfaatan ruang terbuka dari lahan tidur hanya bersifat sementara, pada skema ini pemanfaatan lahan bisa berkelanjutan. Kebutuhan ruang untuk rekreasi hijau yang dekat menjadi peluang investasi jangka panjang. Terlebih di kondisi pandemi yang belum memungkinkan orang untuk pergi jauh dan masih khawatir tertular virus. Lahan tidur dapat dikelola sebagai sarana rekreasi yang menarik. Penyediaan danau, kebun buah, mini zoo, labirin dan fasilitas gazebo menjadi tempat yang tepat untuk membebaskan diri dari tekanan kerja dan tentunya minim resiko dari kemacetan bila dibandingkan harus ke daerah suburban seperti kawasan puncak, dll.   

Pada akhirnya, skema pengelolaan ruang terbuka hijau perkotaan ini menjadi alternatif bagi pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan fungsi ekologis suatu kawasan dan dapat memberdayakan masyarakat sekitar. 

Oleh: Muhammad Wahdini

Penggerak Gerakan BangSaku, Warga Balikpapan


Related Article

id_IDID