Madani

Tentang Kami

Update Ekonomi Politik, dari BMKG Ingatkan Dampak Perubahan Iklim Hingga Pinjaman Internasional untuk Penutupan PLTU

Update Ekonomi Politik, dari BMKG Ingatkan Dampak Perubahan Iklim Hingga Pinjaman Internasional untuk Penutupan PLTU

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (3 Agustus 2021 – 9 Agustus 2021), berikut cuplikannya:

1. BMKG Ingatkan Dampak Perubahan Iklim: Badai Topis-Cairnya Es di Jaya Wijaya

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati membeberkan kemungkinan terburuk akibat perubahan iklim. Mulai dari badai tropis, longsor hingga banjir bandang hingga mencairnya es di puncak Jayawijaya, Papua. Pemerintah kabupaten/kota harus mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dari bencana alam serta dampak perubahan iklim, seperti kejadian badai tropis, banjir, banjir bandang, longsor, angin kencang dan kekeringan, yang diprediksi akan lebih sering terjadi dengan intensitas yang lebih kuat, atau pun mencairnya es di puncak Jaya Wijaya, Papua, yang diprediksi oleh BMKG akan punah di tahun 2025 dan naiknya muka air laut.

Dwikorita mendesak pemda untuk melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Hal itu untuk mencegah risiko dan kerugian yang lebih besar. Dwikorita membeberkan sejumlah fakta yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) di mana suhu tahun 2020 menjadi salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah tercatat meski terjadi La Nina. Selain itu, temperatur rata-rata global permukaan bumi saat ini sudah mencapai 1,2 derajat celcius lebih tinggi dari pada tahun 1850-an.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan pengamatan BMKG, tahun 2020 merupakan tahun terpanas kedua dalam catatan. Pengamatan dari 91 stasiun BMKG menunjukkan suhu rata-rata permukaan pada tahun 2020 lebih tinggi 0,7°C dari rata-rata periode referensi tahun 1981-2010.

2. Pertumbuhan Ekonomi RI Melesat 7,07 Persen di Kuartal II 2021

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat 7,07 persen pada kuartal II 2021. Perekonomian tanah air akhirnya lepas dari resesi yang menjerat pada beberapa kuartal terakhir akibat dampak pandemi virus corona atau covid-19. Bila dibandingkan secara kuartalan maupun tahunan, pertumbuhan ini lebih tinggi dari minus 0,74 persen pada kuartal I 2021 dan minus 5,32 persen pada kuartal II 2020. Sementara secara akumulatif, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 3,1 persen pada semester I 2021 dari semester I 2020.

Realisasi pertumbuhan ini dipengaruhi oleh pertumbuhan ekspor yang meningkat sebesar 10,36 persen dari kuartal I 2021 dan tumbuh 55,89 persen dari kuartal II 2020. Peningkatan ekspor terjadi karena pulihnya perdagangan global dan meningkatnya permintaan dari sejumlah negara mitra dagang. Selain itu juga didukung oleh peningkatan impor yang mengkonfirmasi pertumbuhan industri di dalam negeri, di mana impor naik 50,12 persen dari kuartal II 2020 dan meningkat 9,88 persen dari kuartal I 2021.

Dari dalam negeri, pertumbuhan ekonomi juga didukung oleh meningkatnya mobilitas masyarakat di kuartal II 2021. Hal ini tercermin dari peningkatan mobilitas masyarakat ke tempat berbelanja hingga ke luar kota yang terpantau melalui perjalanan menggunakan berbagai moda transportasi.

3. Survei LSI: 75 Persen Setuju Pemerintah Dapat Dipercaya Untuk Menjaga Lingkungan

Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, mayoritas masyarakat menunjukkan sikap positif terhadap pemerintah terkait pengelolaan sumber daya alam. Mayoritas responden menyatakan setuju bahwa pemerintah berupaya menyeimbangkan antara upaya mengejar pertumbuhan ekonomi dan masalah lingkungan.

Mayoritas responden alias 76 persen menyatakan setuju bahwa pemerintah sedang melakukan yang terbaik untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan masalah lingkungan. Hanya ada 16 persen yang menyatakan tidak setuju. Sebanyak 75 persen responden juga setuju bahwa pemerintah dapat dipercaya untuk menjaga lingkungan. Sebanyak 17 persen saja yang tidak setuju.

Di sisi lain, sebagian besar responden menilai potensi korupsi cukup luas terjadi di sektor sumber daya alam. bidang-bidang sumber daya alam yang dianggap berpotensi luas terjadi korupsi ialah sektor penangkapan ikan luas terjadi (48 persen), pertambangan yang dikelola oleh perusahaan asing (49 persen), pertambangan yang dikelola oleh BUMN/BUMD (45 persen), perkebunan kelapa sawit yang dikelola perusahaan asing (44 persen), kemudian perkebunan kelapa sawit yang dikelola perusahaan Indonesia (40 persen).

LSI mencatat, secara umum responden juga menilai terjadi peningkatan korupsi di Indonesia. Sebanyak 60 persen responden menilai tingkat korupsi di Indonesia naik dalam dua tahun terakhir. Tren meningkatnya persepsi korupsi ini terlihat jelas sejak November 2020. Ketika itu, sebanyak 40 persen responden menilai korupsi meningkat. Angkanya bertambah menjadi 56 persen pada Desember 2020, turun menjadi 53 persen pada sigi Juni 2021, dan menjadi 60 persen dalam survei teranyar ini.

4. Pemerintah Dorong Pemulihan Ekonomi Lewat Perpanjangan Diskon Pajak

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memastikan pemerintah akan tetap memberikan berbagai stimulus di sektor keuangan. Instrumen APBN bakal terus dimanfaatkan untuk mendukung momentum pemulihan ekonomi. Salah satunya penggunaan APBN untuk membiayai berbagai insentif pajak yang diperpanjang sampai akhir 2021.

Bagi dunia usaha, pemerintah akan memberikan bantuan kepada UMKM dan korporasi. Mulai dari subsidi bunga , penempatan dana, penjaminan kredit hingga bantuan produktif bagi usaha mikro. Peningkatan gerak ekonomi masyarakat diharapkan terus konsisten seiring dengan akselerasi vaksinasi yang dilakukan pemerintah.

5. Indonesia jadi calon penerima pertama skema pinjaman internasional untuk percepat penutupan PLTU

Indonesia dicanangkan menjadi salah satu negara pertama yang menerima skema bantuan internasional untuk mempercepat penutupan pembangkit listrik berbasis batubara. Skema itu digagas lembaga asuransi yang berbasis di Inggris, Prudential. Beberapa lembaga keuangan mendukung usul tersebut, antara lain Bank Pembangunan Asia (ADB), HSBC, dan Citibank.

Pemerintah Indonesia selama ini berjanji mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap hingga 60% sampai tahun 2050. Jika skema ini berjalan, Indonesia akan didorong lebih cepat menutup pembangkit listrik berenergi batu bara. Tujuannya adalah eliminasi emisi karbon di tengah pemanasan global.

ADB berharap usulan ini akan dibahas dalam konferensi iklim COP 26 yang diadakan di Skotlandia, November mendatang. Usulan ini, merujuk kantor berita Reuters yang pertama kali melaporkan ini, akan berbentuk kerjasama pemerintah dan badan usaha (public-private partnership). Modal yang terkumpul dalam kerjasama itu akan digunakan untuk membeli pembangkit listrik tenaga batu bara, lalu menutupnya jauh lebih cepat dari umur operasinya.

Strategi utama dalam inisiatif yang diusulkan ADB ini adalah mengumpulkan pinjaman dari lembaga keuangan untuk membeli pembangkit listrik tenaga batu bara jauh di bawah biaya normal. Utang itu lalu dapat dikembalikan kepada investor dengan suku bunga pinjaman yang lebih rendah dari biasanya.

Namun usulan ini belum tuntas membahas bagaimana meyakinkan pemilik untuk menjual pembangkit listrik bertenaga batubara. Belum jelas juga apa yang harus dilakukan terhadap pembangkit itu setelah ditutup dan bagaimana usulan ini berpengaruh terhadap kredit karbon.

Usulan ADB ini muncul saat banyak lembaga keuangan besar semakin enggan meminjamkan modal untuk proyek pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Mereka disebut tengah berupaya memenuhi target iklim di tengah tantangan pemanasan global.

Related Article

Update Ekonomi Politik, dari Hambatan Komitmen G20 Hingga Temuan Ombusman dari TWK KPK

Update Ekonomi Politik, dari Hambatan Komitmen G20 Hingga Temuan Ombusman dari TWK KPK

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (20 Juli 2021 – 26 Juli 2021), berikut cuplikannya:

1. Poin yang Menghambat G20 Membuat Komitmen untuk Atasi Perubahan Iklim

Konferensi tingkat menteri G20 gagal menyepakati kata-kata komitmen utama dalam mengatasi perubahan iklim. Menteri Transisi Ekologi Italia, Roberto Cingolani, Jumat (23/7), menyatakan, poin yang belum disepakati itu akan diteruskan untuk dibahas di pertemuan puncak G20 di Roma, pada Oktober mendatang.

Cingolani mengatakan negosiasi G20 dengan China, Rusia dan India terbukti sangat sulit. Menurut Cingolani, pada akhirnya China dan India menolak untuk menandatangani poin yang dipermasalahkan. Salah satu poin itu adalah menghapus secara bertahap pembangkit listrik tenaga batu bara. Sebagian besar negara anggota G20 ingin tujuan itu tercapai pada tahun 2025. Namun beberapa negara lainnya menyatakan, target itu mustahil mereka penuhi.

Poin lain yang diperdebatkan seputar batas kenaikan suhu global, yang menurut Perjanjian Paris 2015 berkisar 1,5 derajat Celcius hingga 2 derajat Celcius. Beberapa negara ingin lebih cepat dari apa yang disepakati di Paris dan bertujuan untuk membatasi suhu pada 1,5 derajat dalam satu dekade. Tetapi yang lain, dengan lebih banyak ekonomi berbasis karbon, mengatakan mari kita tetap berpegang pada apa yang disepakati di Paris.

Kegagalan G20 untuk menyepakati bahasa yang sama menjelang pertemuan itu kemungkinan akan dilihat sebagai kemunduran bagi harapan dunia untuk mengamankan kesepakatan yang berarti di COP 26.

2. ADB Siapkan US$80 Miliar untuk Pendanaan Program Perubahan Iklim

Asian Development Bank (ADB) menyampaikan komitmen untuk terus membantu usaha negara-negara berkembang dalam melakukan transisi ke ekonomi hijau, secara adil dan terjangkau. Presiden ADB Masatugu Asakawa mengatakan akan menyediakan US$80 miliar secara kumulatif dari 2019 hingga 2030, untuk pembiayaan program perubahan iklim.

Tidak hanya itu, Asakawa menyebut ADB mendorong program sponsor dari sektor swasta untuk mengambangkan Energy Transition Mechanism (ETM) di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Asakawa lalu menyebut ETM sebagai metode yang berbasis pasar dan adil untuk mempercepat transisi dari pembangkit tenaga batu bara, serta memulai pertumbuhan penggunaan energi terbarukan.

3. Persiapan Indonesia Hadapi Konferensi Dunia Tentang Perubahan Iklim

Menjelang perundingan COP UNFCCC ke 26 yang akan diselenggarakan di Glasgow, Britania Raya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya secara virtual pada awal pekan ini memberikan arahan kepada para calon Delegasi Republik Indonesia (DELRI) yang akan menjadi negosiator dalam berbagai persidangan COP-26 UNFCCC.

Dalam keterangan tertulis yang diterima pada Rabu (21/07/2021), Menteri Siti menyampaikan beberapa hal yang dapat menjadi wawasan bagi para calon Delri. Pertama, adalah terkait pembaruan Nationally Determined Contributions (Updated NDC) Indonesia.

Pada updated NDC yang telah disusun, Indonesia berkomitmen menaikkan ambisi adaptasi perubahan iklim, dengan memasukkan aksi-aksi yang lebih nyata, adaptasi di sektor kelautan, serta lebih terintegrasi dengan isu-isu penting lainnya, seperti keanekaragaman hayati dan desertifikasi.

Menteri Siti menyampaikan lebih lanjut, Updated NDC secara implisit menunjukkan ambisi 41% target yang akan dicapai, dengan memperkuat langkah-langkah implementasi kerjasama teknis luar negeri dalam hal teknologi dan pengembangan sektor swasta. Misalnya, dalam kegiatan electric-mobility yang telah dirintis dan dimulai seperti pengembangan listrik solar panel.

Kemudian juga mempertegas peran teknologi dan kerja sama internasional swasta dan dukungan internasional seperti dalam hal proyeksi rehabilitasi mangrove hingga 600.000 Ha sampai dengan akhir 2024, peningkatan peran rehabilitasi lahan oleh swasta hingga hingga lebih dari 200.000 hektar, hingga pengembangan kompleks green industry supported by green energy di Kalimantan Utara seluas 12.000 Ha.

Kedua, Pemerintah Indonesia telah menyusun strategi jangka panjang yang akan menjadi pedoman dalam implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta komitmen NDC lima-tahunan selanjutnya. Sejak tahun 2020, Indonesia telah berproses untuk menyusun dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050), menuju net-zero emissions dengan tetap mempertimbangkan kondisi ekonomi yang bertumbuh, berketahanan iklim dan berkeadilan. Sektor Agriculture, Forestry dan Land Use (AFOLU) dan sektor energi akan sangat menentukan pathways yang akan dituju pada tahun 2050. Dengan skenario paling ambisius yaitu Low Carbon Compatible with Paris Agreement (LCCP), secara nasional Indonesia akan mencapai peaking pada tahun 2030 dengan sektor FOLU sudah mendekati net sink.

Ketiga, Menteri Siti kemudian menyakinkan kepada calon delegasi, bahwa Indonesia cukup baik dalam upaya pengendalian perubahan iklim. Pada forum multilateral, Indonesia seringkali menjadi sorotan atas capaian, prestasi, dan kebijakan yang menawarkan solusi. Sedangkan secara bilateral, Indonesia di berbagai kesempatan didekati oleh negara yang dengan maksud untuk menjadi mitra dalam menangani perubahan iklim.

4. Bappenas: Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Perubahan Iklim Rp 115 T

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas memperkirakan kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim bisa mencapai Rp 115 triliun pada 2024. Oleh sebab itu, pemerintah terus mendorong adanya pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan. Staf Ahli Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan kerugian itu berasal dari empat sektor yakni air, kesehatan, laut pesisir, dan pertanian.

Untuk itu, sangat penting bagi Indonesia mengadopsi langkah-langkah guna menuju pembangunan rendah karbon dan mengimplementasikan konsep ekonomi sirkular. Pasalnya, ekonomi sirkular menawarkan potensi yang cukup besar untuk Indonesia.

Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mengadopsi konsep ekonomi sirkular ke dalam visi Indonesia 2045, dan telah diprioritaskan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Ekonomi sirkular menurut dia dapat meningkatkan ketahanan dan manfaat ekonomi jangka panjang. Penerapan ekonomi sirkular di lima sektor prioritas mampu menambah Produk Domestik Bruto (PDB) hingga mencapai Rp 642 triliun.

Di samping itu ekonomi sirkular juga membantu Indonesia dalam mencapai penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 126 juta ton CO2 pada tahun 2030. Selain itu, pihaknya juga mengestimasikan bahwa limbah makanan (food loss dan food waste) periode 2000-2019 menghasilkan kerugian ekonomi hingga Rp 551 triliun.

5. Ombudsman: 75 Pegawai KPK Harus Dilantik Jadi ASN Sebelum 30 Oktober

Ombudsman RI mengungkap temuan maladministrasi dalam proses tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).  Ketua Ombudsman Mokhammad Najih mengatakan pihaknya memfokuskan pemeriksaan pada tiga isu, yakni rangkaian proses pembentukan kebijakan pengalihan pegawai KPK menjadi ASN, proses pelaksanaan dari peralihan pegawai KPK menjadi ASN, dan pada tahap penetapan hasil asesmen tes wawancara kebangsaan (TWK).Tiga hal ini yang oleh Ombudsman RI ditemukan potensi maladminstasi.

Terkait temuan itu, Ombudsman memberikan catatan perbaikan untuk KPK. Salah satunya adalah pelaksanaan alih status harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK. Selain itu, alih status juga harus berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dan pernyataan presiden Joko Widodo serta temuan Ombudsman terkait maladministrasi.

Berdasarkan hal tersebut, Ombudsman menilai 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos TWK berhak menjadi ASN. Maladministrasi itu ditemukan Ombudsman RI setelah menyelesaikan serangkaian proses pemeriksaan atas pengaduan perwakilan 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan akibat adanya kebijakan tersebut. Catatan lainnya adalah KPK harus memberikan penjelasan kepada pegawai perihal konsekuensi pelaksanaan TWK dan hasilnya dalam bentuk informasi atau dokumen sah.

Lalu, Ombudsman menilai hasil TWK hendaknya menjadi bahan masukan untuk langkah-langkah perbaikan dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat. Catatan lainnya, terhadap pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat diberikan kesempatan untuk memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.

Related Article

Update Ekonomi Politik, dari Perpanjangan PPKM Darurat Hingga Komitmen Wagub Riau Terhadap Inpres Moratorium Sawit

Update Ekonomi Politik, dari Perpanjangan PPKM Darurat Hingga Komitmen Wagub Riau Terhadap Inpres Moratorium Sawit

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (13 Juli 2021 – 19 Juli 2021), berikut cuplikannya: 

 
1. PPKM Darurat Diperpanjang, Anggaran PEN Naik Jadi Rp 744,75 T

Pemerintah memutuskan untuk menaikkan dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Penanganan Covid-19 di tengah pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat yang diperpanjang hingga akhir Juli 2021. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, dana PEN dan penanganan Covid-19 dari sebelumnya Rp 699,43 triliun, naik menjadi Rp 744,75 triliun.

Secara rinci, pada dana perlindungan sosial naik dari Rp 153,86 triliun naik jadi Rp 187,84 triliun. Kemudian dana kesehatan naik dari Rp 193,93 triliun naik dari Rp 214,95 triliun. Kemudian untuk insentif usaha tetap sebesar Rp 62,83 triliun. Program Prioritas naik dari Rp 117,04 triliun menjadi Rp 117,94 triliun. Lalu kemudian Dukungan UMKM dan korporasi menjadi turun, dari Rp 171,77 triliun menjadi Rp 161,20 triliun.

2. Ekonomi Melambat, S&P Ingatkan Beban Utang RI

Economist Asia-Pacific S&P Global Ratings Vishrut Rana memperkirakan defisit pemerintah secara umum sebesar 6% dari PDB pada tahun 2021 sebagai akibat dari kondisi ekonomi yang lebih lemah di tengah wabah virus yang parah. Proyeksi defisit APBN 6% dari PDB tersebut karena pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya akan tumbuh 2,3% – 3,4% tahun ini. Adapun proyeksi defisit APBN 2021 dari S&P Global Ratings tersebut jauh dari target pemerintah yakni 5,7% dari PDB.

Vishrut mengungkapkan bahwa adanya pelebaran defisit APBN 2021 ini akan berdampak signifikan terhadap kerangka fiskal jangka menengah Indonesia, mengingat peringkat utang Indonesia saat ini berada pada level BBB/Negatif/A-2. Pemerintah pun diminta untuk hati-hati, karena pemulihan ekonomi yang berlarut-larut akan semakin memperburuk fiskal Indonesia keseluruhan, terutama beban utang Indonesia.

3. LSI: Kepuasan Warga Terhadap Kerja Jokowi Lawan Pandemi Turun

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi dalam menangani wabah virus corona (Covid-19) cenderung menurun dalam enam bulan terakhir. Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi memang masih cukup tinggi pada Juni 2021 dengan 59,6 persen. Namun, angka itu menurun dibandingkan Desember 2020 yang mencapai 68,9 persen.

Hal tersebut diketahui dari hasil survei yang dilakukan pihaknya pada 22-25 Juni 2021 terhadap 1.200 responden dari 34 provinsi. Survei dilakukan menggunakan metode simple random sampling dengan tingkat kesalahan sekitar 2,8 persen. Lebih lanjut, menurut Djayadi, tingkat ketidakpuasan masyarakat itu malah cenderung lebih besar terjadi di masyarakat yang daerahnya melaksanakan PPKM Darurat. Ia menyatakan, dari hasil survei, sebanyak 49,4 persen yang menyatakan tidak puas merupakan masyarakat DKI Jakarta. Berikutnya tingkat ketidakpuasan terhadap kinerja Jokowi di Jawa Barat 43,7 persen; Jawa Tengah 40,9 persen; dan Sulawesi 44,7 persen.

4. Pengesahan RUU Otsus Papua

DPR resmi mengesahkan RUU Otsus Papua menjadi UU lewat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (15/7). Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPR terkait Revisi UU Otsus Papua Komarudin Watubun mengungkapkan tujuh hal penting yang diubah dalam UU tersebut. Adapun UU Otsus Papua hasil revisi ini, kata dia, telah mengubah atau merevisi 18 pasal yang terdiri dari 3 pasal usulan pemerintah, dan 15 pasal di luar usulan pemerintah. Di luar 18 pasal tersebut, Pansus dan pemerintah juga menyepakati adanya tambahan 2 pasal dalam RUU Otsus Papua. Dengan demikian, total pasal dalam RUU tersebut sejumlah 20 pasal.

Pertama, RUU ini mengakomodasi perlunya pengaturan kekhususan bagi Orang Asli Papua dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan perekonomian serta memberikan dukungan bagi pembinaan masyarakat adat. Khususnya untuk masyarakat adat, pada Pasal 36 ayat (2) huruf (d) menegaskan bahwa sebesar 10 persen dari dana bagi hasil dialokasikan untuk belanja bantuan pemberdayaan masyarakat adat.

Kedua, terkait dengan lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPRP. Dalam RUU ini, diklaim bakal memberikan kepastian hukum bahwa MRP dan DPRP berkedudukan di masing-masing ibu kota provinsi dan dengan memberikan penjelasan mengenai penamaan masing-masing lembaga.

Ketiga, terkait dengan partai politik lokal. RUU Otsus Papua menghapus dua ayat dalam Pasal 28 UU Otsus Papua. Pansus dan Pemerintah selama ini menilai Pasal 28 telah menimbulkan kesalahpahaman antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat terkait partai politik lokal. Maka, agar tidak terjadi perbedaan pandangan, RUU ini mengadopsi Putusan MK Nomor 41/PUU-XVII/2019 dengan menghapus ketentuan pada ayat (1) dan (2) Pasal 28.

Keempat, terkait dengan Dana Otsus yang diubah dari 2 persen menjadi 2,25 persen. Kelima, hadirnya sebuah Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BK-P3). BK-P3 diketuai langsung oleh Wakil Presiden dan beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri Bappenas, dan Menteri Keuangan, serta masing-masing perwakilan dari setiap provinsi yang ada di Papua.

Keenam, terkait dengan pemekaran provinsi di Papua. Pansus dan Pemerintah menyepakati bahwa pemekaran provinsi di Papua selain dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP, juga dapat dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Pemerintah dan DPR juga dapat melakukan pemekaran provinsi tersebut tanpa melalui tahapan daerah persiapan. Ketujuh, terkait dengan percepatan peraturan pelaksanaan dari UU Otsus Papua yang terbaru.

Beberapa pasal dalam revisi itu disebut sebagai pasal siluman, salah satunya oleh Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Christian Warunussy. Yan menyampaikan RUU Otsus Papua hanya berisi tiga pasal saat draf diserahkan ke DPR RI. Namun, ada 17 pasal baru yang ditambahkan ke revisi undang-undang tersebut sebelum disahkan. Selain itu, sebanyak 714.066 orang Papua dan 112 organisasi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) diklaim menolak pengesahan Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 21 Tahun 2001 tersebut.

5. Komitmen Wagub Riau Terhadap Inpres Moratorium Sawit


Wakil Gubernur Riau Edy Natar Nasution mengatakan tidak akan ada izin baru bagi pengusaha yang ingin membuka lahan perkebunan kelapa sawit di Riau. Dia mengatakan hal itu dilakukan sesuai instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi), tepatnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 mengatur soal penundaan dan evaluasi perizinan kebun kelapa sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit.

Selain itu, Edy berharap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bisa memberi arah yang lebih jelas tentang perhutanan dan lahan. Terutama, katanya, untuk penyelesaian kasus terkait hutan yang sudah beralih menjadi kebun.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengaku sependapat dengan ucapan Edy Natar. Dia menilai Riau harus mendapat lebih dari perkebunan kelapa sawit seluas 4,170 juta hektare yang disebutnya terluas di Indonesia.

Related Article

Update Ekonomi Politik, dari Omnibus Law Digital Hingga Kenaikan PPN 12%

Update Ekonomi Politik, dari Omnibus Law Digital Hingga Kenaikan PPN 12%

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (8 Juni- 14 Juni 2021), berikut cuplikannya:

1. Pemerintah Bakal Membuat Omnibus Law Bidang Digital

Pemerintah berencana membuat omnibus law yang mengatur dunia digital dalam negeri. Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan, rencana pembuatan omnibus law bidang digital ini merupakan tindak lanjut setelah menerima laporan dari Badan Intelijen Negara (BIN) merujuk studi kasus yang terjadi di sejumlah negara.

BIN sendiri menyatakan, banyak serangan intelijen terhadap pertahanan negara.Selain itu, BIN menemukan sejumlah klaster yang memproduksi hoaks secara sistematis yang bisa membahayakan masyarakat dan negara.

UU ini akan mengatur perlindungan data konsumen, perlindungan data pribadi, transaksi elektronik dalam bentuk uang, hingga transaksi berita. Selain itu, omnibus law bidang digital juga dapat memperkuat pertahanan negara di bidang siber, termasuk mengantisipasi serangan intelijen. Adapun UU yang akan diintegrasikan adalah UU Perlindungan Data Pribadi, Rancangan UU Keamanan dan Ketahanan Siber, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, dan peraturan sektoral lainnya.

Nantinya, aturan omnibus law itu juga mengacu pada Rancangan Kitab Undang-Uundang Hukum Pidana (RKUHP). Ia pun memastikan, rancangan UU omnibus law ini akan dilakukan dalam jangka panjang.

2. Draf RUU KUHP

Setelah pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ditunda akibat demonstrasi penolakan besar-besaran pada 2019, pemerintah dan DPR kembali berusaha meloloskan RUU ini. Sejumlah pasal bermasalah tetap dipertahankan, termasuk menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden.

Ketentuan bermasalah itu terletak di Bab II Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden tepatnya Pasal 218 ayat 1 dan berbunyi: “Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.” Ancaman penjara tersebut meningkat menjadi empat (4) tahun enam (6) bulan jika penghinaan itu dilakukan melalui media elektronik.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan menghidupkan kembali ketentuan itu tidak akan mengakibatkan kriminalisasi terhadap kritik warga. Menurut dia, pasal itu diatur untuk melindungi presiden dan wakil presiden dari penghinaan yang sifatnya personal, bukan kritik. Selain itu, kata Yasonna, pasal itu akan dijadikan delik aduan. Artinya presiden atau wakil presiden sendiri harus mengadu lebih dulu ke kepolisian sehingga pemidanaan soal penghinaan bisa dilakukan.

Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Hibnu Nugroho menilai pemberlakuan pasal penghinaan presiden adalah kemunduran. Sebab Indonesia telah memilih sistem demokrasi sehingga kebebasan berpendapat dan berekspresi mestinya dilindungi. Menurut dia, penggunaan delik aduan tidak mengobati buruknya pasal ini. Sebab, masih tidak ada batasan yang jelas soal frasa menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri. Hibnu pun menilai rumusan pasal tersebut ganjil, sebab “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” hanya bisa dilakukan terhadap personal, sementara presiden dan wakil presiden adalah institusi negara.

Selain Pasal penghinaan Presiden, dalam Pasal 353 ayat (1) di draf RKUHP juga disebutkan bahwa setiap orang yang menghina kekuasaan umum atau lembaga negara secara tulisan maupun lisan, dapat dipidanakan hukuman penjara satu tahun enam bulan. Dalam pasal yang sama ayat (3), aduan hanya bisa dilakukan oleh pihak yang dihina. Begitu juga dengan bunyi pasal 354 dengan masa hukuman penjara 2 tahun.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai pasal penghinaan DPR dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terlalu berlebihan. Hal tersebut justru akan mendegradasi KUHP. Menurut Fickar, mestinya KUHP berlaku secara umum. Bukan untuk mengakomodir kepentingan perorangan atau lembaga-lembaga tertentu.

3. Para Pemimpin G7 Berkomitmen Tingkatkan Kontribusi Pendanaan Iklim

Para pemimpin G7 akan berkomitmen pada Minggu (13/6/2021) untuk meningkatkan kontribusi pendanaan iklim. Seperti dilaporkan Reuters, komitmen ini untuk memenuhi janji pengeluaran yang terlambat sebesar US$100 miliar (Rp 1.424 triliun) per tahun dalam membantu negara-negara miskin mengurangi emisi karbon dan mengatasi pemanasan global.

Sebagai bagian dari rencana yang disebut membantu mempercepat pembiayaan proyek infrastruktur di negara-negara berkembang dan pergeseran ke teknologi terbarukan dan berkelanjutan, tujuh negara paling maju di dunia akan kembali berjanji untuk memenuhi target tersebut.

4. Atasi Perubahan Iklim, RI Butuh Rp 3.461 Triliun

Indonesia memiliki komitmen dalam menurunkan emisi karbon sebesar 29% hingga 2030 dengan kemampuan pendanaan mandiri atau melalui APBN. Untuk memenuhi komitmen tersebut, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indonesia membutuhkan dana sebesar Rp 3.461 triliun.

Artinya, negara perlu menyiapkan dana untuk menangani perubahan iklim paling tidak Rp 266,6 triliun per tahun hingga tahun 2030. Sementara, kata Sri Mulyani, realisasi belanja pemerintah untuk perubahan iklim hanya sebesar Rp 86,7 triliun per tahun atau hanya setara 4,1% dari APBN.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu juga menuturkan kebutuhan pendanaan tersebut meningkat setelah ditetapkan peta jalan NDCs. Angkanya bertambah mencapai setara Rp3.779 triliun hingga 2030. Itu berarti, dibutuhkan rata-rata pendanaan setiap tahun sebesar Rp 343,7 triliun.

Sri Mulyani menjelaskan, pihaknya telah mengatasi masalah perubahan iklim dengan berbagai instrumen pemerintah. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui penerbitan green bond atau green sukuk bond. Terbaru, kata dia, pemerintah berhasil menerbitkan sukuk hijau global senilai US$ 750 juta atau Rp 10,5 triliun (kurs Rp 14 ribu per US$) untuk tenor selama 30 tahun.

Selain instrumen surat utang, upaya Kementerian Keuangan untuk membantu menangani masalah perubahan iklim adalah dengan instrumen perpajakan. Upaya ini dilakukan agar mendorong perusahaan agar menghasilkan produk ramah lingkungan. Terbaru, pemerintah juga akan mengenakan pajak karbon atas emisi karbon yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup. Rencananya tarif pajak yang ditetapkan, minimal Rp 75 per kilogram (Kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Hal tersebut sudah tertuang di dalam draf revisi RUU KUP yang beredar.

5. Wacana Kenaikan PPN 12%

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dari saat ini tarif PPN sebesar 10%. Hal ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan kelima atas UU nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Sri Mulyani mengatakan, kebijakan tersebut digunakan agar penerimaan pajak bisa mencapai target. Sebab tahun depan penerimaan perpajakan diproyeksikan sebesar Rp 1.499,3 triliun-Rp 1.528,7 triliun atau tumbuh 8,37% hingga 8,42% dari proyeksi akhir tahun 2021. Alasan lain yaitu menurut pertimbangan pemerintah saat ini tren dunia adalah mengoptimalkan pemungutan PPN ketimbang PPh, karena ada kecenderungan PPh terus menurun.

Berdasarkan draf RUU KUP, tarif dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Pemerintah juga akan mengenakan tarif berbeda pada setiap barang/jasa. Tarif berbeda sebagaimana dimaksud dikenakan paling rendah 5% dan paling tinggi 25%. Selain itu, sembako akan dihapus dari jenis barang yang tidak dikenai PPN.

Berdasarkan berkas rumusan RUU Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP), ada tiga opsi tarif untuk pengenaan PPN sembako. Pertama, diberlakukan tarif PPN umum yang diusulkan sebesar 12 persen. Kedua, dikenakan tarif rendah sesuai dengan skema multitarif yakni sebesar 5 persen, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Ketiga, menggunakan tarif PPN final sebesar 1 persen. Kebijakan tersebut tentulah memicu kenaikan harga sembako di pasar dan menuai kecaman dari berbagai pihak.

Selain itu, pemerintah juga akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah jasa. Hal itu tertuang dalam RUU KUP yang diajukan pemerintah dan akan segera dibahas dengan DPR. Berdasarkan RUU KUP baru, beberapa sektor yang menurut UU sebelumnya tidak dikenakan pajak, kini dikenakan pajak. Jasa yang dikenai pajak sangat beragam mulai dari jasa pelayanan medik, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, hingga pengiriman uang dengan wesel.

Related Article

Update Ekonomi Politik, dari Pajak Karbon Hingga Dugaan Diskriminasi Sawit Oleh Uni Eropa

Update Ekonomi Politik, dari Pajak Karbon Hingga Dugaan Diskriminasi Sawit Oleh Uni Eropa

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (1 Juni- 7 Juni 2021), berikut cuplikannya:

1. Pemerintah Godok Pajak Karbon

Pemerintah sedang mempertimbangkan penerapan pajak karbon (carbon tax) untuk mengembalikan defisit fiskal mencapai 3 persen pada tahun 2023. Lebih dari itu, penerapan pajak karbon merupakan upaya pemerintah menekan emisi. Meski struktur pajaknya belum jelas, regulator telah mengumumkan akan mengenakan pajak karbon di beberapa industri, seperti pulp & kertas, semen, pembangkit listrik, serta industri petrokimia.

Menurut Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro, untuk negara berkembang seperti Indonesia, tarif karbon 5-10 dollar AS/ton CO2 akan masuk akal mengingat tarif yang lebih agresif di tempat lain. Biasanya, pendapatan yang dihasilkan dari penarikan pajak karbon digunakan untuk mendukung program energi bersih, menurunkan pajak, dan mengkompensasi rumah tangga berpenghasilan rendah.

Nantinya pada tahun 2022, ada kemungkinan daftar industri di Indonesia yang terkena pajak karbon bakal diperluas ke sektor otomotif, minyak sawit, makanan & minuman (F&B), dan lain-lain. 

Berdasarkan studi Bank Dunia (World Bank), pajak karbon domestik sebesar 30 dollar AS/ton CO2 akan meningkatkan sumber daya lebih dari 1,5 persen dari PDB. Penerapan pajak karbon sendiri berpotensi akan berdampak luas pada ekonomi, baik dari sisi pendapatan dan inflasi. Dengan asumsi tarif pajak karbon yang dikenakan sebesar 5,10 dollar AS/ton CO2, pendapatan dari sektor ini bisa tembus hingga Rp 57 triliun. Dengan kata lain, potensi pendapatan dari pajak karbon mungkin saja lebih besar dibandingkan pendapatan pajak perusahaan digital.

Namun, pengenaan pajak karbon akan memiliki dampak negatif secara jangka pendek, yakni meningkatnya harga energi yang berdampak pada konsumsi rumah tangga. Menurut perkiraan IMF, jika Indonesia menerapkan pajak karbon sebesar 75 dollar AS/tCO2 secara menyeluruh, harga energi rata-rata akan meningkat cukup besar.

2. Jadwal Pilpres dan Pilkada Serentak 2024

Komisi II DPR bersama pemerintah dan penyelenggara pemilihan umum telah menyepakati hari pemungutan suara Pemilihan Umum 2024 (Pemilu Presiden dan Legislatif) akan jatuh pada Rabu (28/2/2024) sedangkan hari pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 jatuh pada Rabu (27/11/2024). Hal itu diputuskan dalam rapat antara Komisi II DPR, pemerintah, serta penyelenggara pemilu yang terdiri dari Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu pada Kamis (3/6/2021).

Selain memutuskan hari pemungutan suara, rapat juga memutuskan tahapan Pemilu 2024 dimulai 25 bulan sebelum hari pemungutan suara yakni pada Maret 2022. Selain itu, rapat juga menyepakati bahwa dasar pencalonan pada Pilkada 2024 akan didasarkan pada hasil Pemilihan Legislatif 2024.

Jika merujuk pada Pemilu Serentak 2019, pemungutan suara dilaksanakan pada bulan April tepatnya pada 17 April. Namun menurut Pelaksana tugas Ketua KPU Ilham Saputra, gelaran pemungutan suara pada bulan April 2024 dikhawatirkan mengganggu tahapan pencalonan Pilkada 2024. Indonesia belum pernah menggelar pileg dan pilpres yang bersamaan dengan pilkada. Ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan hari pemungutan suara lantaran jadwal ini akan berimplikasi cukup luas.

Faktor pertama yang harus dipertimbangkan, partai politik memerlukan cukup waktu untuk menyiapkan syarat pencalonan untuk Pilkada November 2024. Jika mengacu ke Undang-undang Pilkada, ada persyaratan minimal kursi bagi partai politik untuk dapat mengusung calon. Kedua, proses administrasi anggaran dikhawatirkan akan mengalami kendala jika dilaksanakan pada awal tahun di bulan Januari-Februari. Ketiga, ihwal kondisi cuaca yang akan mempengaruhi proses pelaksanaan tahapan, seperti distribusi logistik maupun pemungutan suara. Persoalan bencana non alam seperti pandemi Covid-19 pun turut menjadi pertimbangan.

Keempat
, hari libur keagamaan dan hari libur nasional juga perlu dipertimbangkan. Mobilisasi masyarakat pada hari libur dapat berdampak pada penggunaan hak pilih pada hari pemungutan suara.

3. Pemerintah berencana pangkas pungutan ekspor CPO

Pemerintah Indonesia berencana untuk menurunkan pungutan ekspor minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) demi meningkatkan ekspor komoditas ini. Pungutan maksimum ekspor CPO saat ini sebesar US$ 255 per ton dianggap terlalu tinggi dan mungkin akan dipotong menjadi US$ 175 per ton, yang akan dikenakan ketika harga referensi melebihi US$ 1.000 per ton. Selanjutnya, pungutan minimum senilai US$ 55 per ton untuk CPO akan dikenakan jika harga referensi ditetapkan sebesar US$ 750 per ton atau kurang. Kemudian, untuk setiap kenaikan US$ 50 harga minyak sawit, pungutan untuk produk mentah akan dinaikkan US$ 20 per ton, sedangkan untuk produk olahan atau olahan akan naik US$ 16 ton.

Saat ini, pemerintah Indonesia menetapkan pungutan ekspor CPO sebesar US$ 55 per ton ketika harga referensi mencapai US$ 670 atau kurang. Lalu, pungutan ekspor CPO maksimum ditetapkan sebesar US$ 255 per ton ketika harga referensi melebihi US$ 995 per ton.

Menurut Analis Henan Putihrai Sekuritas Meilki Darmawan, jika pemotongan pungutan ekspor resmi disahkan sesuai level yang direncanakan pemerintah, maka hal tersebut dapat mendorong ekspor CPO ke beberapa negara di Asia. Di samping itu, turunnya pungutan ekspor juga akan meringankan beban perusahaan sawit.

4. Pemerintah Target Porsi Energi Terbarukan Capai 48 Persen Hingga 2030

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan porsi pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) sebesar 48 persen atau 19.899 megawatt (MW). Hal itu tertuang dalam draft Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun 2021-2030. Adapun target itu meningkat dibanding RUPTL 2019-2028 yang masih di kisaran 30 persen. Dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan, usulan penambahan pembangkit mencapai 40.967 MW atau 41 gigawatt (GW).

Penyusunan RUPTL kali ini sejalan dengan target bauran EBT sebesar 23 persen di tahun 2025. Berbagai kebijakan ‘hijau’ yang terdapat dalam RUPTL 2021-2030 saat ini memang masih dalam pembahasan. Kebijakan tersebut antara lain konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke pembangkit EBT, co-firing Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara, retirement pembangkit tua, dan relokasi pembangkit ke sistem yang memerlukan.

Sejalan dengan pembahasan RUPTL hijau, Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM pun tengah merancang template Net Zero Emission (NZE), sebagai perwujudan realisasi komitmen Presiden Joko Widodo pada COP 21 tahun 2015.

5. Malaysia Sebut WTO Setuju Bentuk Panel untuk Selidiki Diskriminasi Sawit oleh Uni Eropa

Pemerintah Malaysia menyebutkan, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyetujui permintaan Malaysia untuk membentuk panel yang memeriksa undang-undang Uni Eropa yang membatasi penggunaan biofuel berbasis minyak sawit. Di bawah aturan energi terbarukan Uni Eropa, bahan bakar berbasis minyak sawit akan dihapuskan pada tahun 2030, karena minyak sawit telah diklasifikasikan Uni Eropa sebagai akibat dari deforestasi yang berlebihan. Selain itu, minyak sawit tidak dapat lagi dianggap sebagai bahan bakar transportasi yang dapat diperbarui.

Malaysia, produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia, dan Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir telah meluncurkan kasus terpisah dengan WTO, dengan menyatakan bahwa tindakan Uni Eropa bersifat diskriminatif. Menurut Menteri Komoditas Malaysia Mohd Khairuddin Aman Razali, WTO pada Jumat (28/5/2021), menyetujui permintaan dari Malaysia agar sebuah panel dibentuk.

Related Article

id_IDID