Madani

Tentang Kami

[1000 gagasan] SAMPAH ELEKTRONIK: JADI ANCAMAN JIKA KITA LUPAKAN

[1000 gagasan] SAMPAH ELEKTRONIK: JADI ANCAMAN JIKA KITA LUPAKAN

Pada era digital ini, kemajuan teknologi berkembang dengan sangat pesat. Aktivitas manusia pada saat ini tidak dapat lepas dari peralatan elektronik. Semakin banyak produk-produk elektronik yang dihasilkan dengan fitur yang lengkap dan harga yang cukup terjangkau. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan produksi industri komputer, barang elektronika dan optik terutama mikro dan kecil sebesar 22,03% (BPS, 2019). Perkembangan kemajuan teknologi tentunya semakin memudahkan konsumen dalam beraktivitas. Namun demikian, kemajuan teknologi tersebut juga berdampak negatif terhadap pola hidup masyarakat yang menjadi lebih konsumtif. Sebagai contoh, godaan untuk selalu membeli model telepon baru karena memiliki fitur yang lebih canggih atau karena yang lama rusak. Dengan demikian, telepon genggam yang sudah tidak terpakai tersebut menjadi sampah elektronik. 

Sampah elektronik adalah peralatan elektronik yang sudah tidak dapat digunakan, tidak terpakai atau tidak diminati lagi dan menjadi barang bekas dan perlu dibuang, dalam keadaan utuh ataupun tidak. Sampah elektronik ini dapat berupa baterai, kabel listrik, bola lampu pijar, telepon genggam, televisi, setrika, dan barang-barang elektronik lainnya yang kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan data The Global E-waste Monitor 2020, timbulan sampah elektronik selama tahun 2019 mencapai 53,6 juta ton. Dari 53,6 juta ton sampah elektronik yang dihasilkan oleh seluruh dunia, Asia (termasuk Indonesia) menyumbang sampah paling tinggi, yaitu sebesar 24,9 juta ton. Bahkan, Indonesia menjadi penyumbang sampah elektronik tertinggi di Asia Tenggara. Untuk kasus Indonesia, dilansir dari Greenpeace, negara ini menghasilkan 812 kiloton sampah elektronik pada tahun 2014. The Global E-waste Monitor 2020 (Forti et al., 2020), menyebutkan bahwa di tahun 2019 Indonesia menghasilkan 1618 kiloton sampah elektronik. Peningkatan timbulan sampah elektronik ini cukup signifikan, dimana hanya dalam kurun waktu 5 tahun sampah elektronik yang dihasilkan meningkat dua kali lipat. 

BACA JUGA: Program Eco-Woman Dalam Mewujudkan Pembangunan Ekonomi Berbasis Kepedulian Terhadap Lingkungan

Selain pola hidup masyarakat yang konsumtif, peningkatan timbulan sampah elektronik juga disebabkan dari sisi produksi, dimana di Indonesia masih belum fokus untuk membuat desain produk elektronik yang tahan lama dan mudah diperbaiki dengan komponen-komponen yang mudah dicari. Terlebih di Indonesia mayoritas hanya berupa distributor sehingga tidak membuat produknya sendiri, terutama untuk smartphone dan device untuk Internet of Things (Ramdhini, 2019), dimana jenis elektronik ini justru yang paling banyak diminati dan dibeli.

Selain itu, sistem pengelolaan sampah elektronik di Indonesia juga masih belum mumpuni padahal sampah elektronik tergolong sebagai sampah bahan berbahaya dan beracun (B3). Setelah menunggu 12 tahun, Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Peraturan Pemerintah tersebut merupakan payung hukum pengelolaan sampah elektronik. Dalam jangka waktu tersebut, selain peningkatan kesadaran masyarakat yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan beberapa instansi Pemerintah Daerah, upaya konkrit pengelolaan sampah elektronik di Indonesia kurang mendapatkan perhatian dari Pemerintah. Pedoman untuk pengelolaan sampah elektronik di rumah tangga dan sumber lainnya masih belum tersedia. Pengumpulan sampah elektronik oleh Pemerintah Daerah masih sangat minim, walaupun perlu diingat bahwa upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengelola sampah elektronik melalui program “Penjemputan Limbah Elektronik” yang diinisiasi pada tahun 2017 (DLH DKI Jakarta, 2017) dan penyebaran beberapa wadah khusus atau dropbox untuk sampah elektronik di tempat umum patut diberi apresiasi. Belum lagi isu tentang dorongan Pemerintah kepada para produsen dan distributor produk elektronik untuk mengembangkan skema take-back dalam model bisnis mereka untuk mengakomodir pengembalian produk-produk yang sudah lewat masa guna untuk memastikan pengelolaan sampah elektronik yang bertanggung jawab. 

Pengelolaan sampah elektronik seharusnya dilakukan dengan benar-benar cermat serta tepat. Sampah elektronik tidak dapat diperlakukan sama halnya dengan sampah organik atau sampah lainnya. Jika mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dimana sampah elektronik termasuk di dalamnya, pengelolaannya harus secara khusus dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki izin. Walaupun saat ini sudah ada beberapa perusahaan pengolah sampah elektronik yang tersertifikasi di Indonesia, jumlahnya masih tergolong sedikit. Recycling rate dari sampah elektronik tersebut pun masih cukup kecil, sebagai contoh di Jakarta sebagai ibukota negara masih sebesar 2% saja (Siringo, 2019). Pengelolaan sampah elektronik di Indonesia masih didominasi oleh sektor informal, yaitu para pemulung atau tukang loak. 

Komunitas EwasteRJ membuktikan bahwa dominasi pengelolaan sampah elektronik di Indonesia oleh sektor informal melalui kuisioner yang disebar pada pertengahan tahun 2020. Hasil survei mendapati bahwa sebanyak 14,84% masyarakat memberikan sampah elektroniknya kepada pemulung atau tukang loak, selain dibuang dan bercampur dengan sampah jenis lainnya atau hanya disimpan di rumah. Keberadaan sektor informal memang sangat membantu mengurangi sampah elektronik namun tidak dapat menjamin apakah sampah elektronik tersebut terdaur-ulang dengan baik. Proses pengumpulan dan pengolahan sampah elektronik yang mereka lakukan seringkali tidak menggunakan alat pelindung diri dan hanya mengambil material yang bernilai jual tinggi saja, sementara sisanya dibuang kembali atau bahkan dibakar. Dengan demikian, akan tetap ada pencemaran dari proses pengolahan sampah elektronik tersebut. 

Dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang harus kita capai bersama-sama pada tahun 2030, terdapat salah satu goal yang sangat erat kaitannya dengan sampah elektronik, yaitu memastikan adanya pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Indikatornya adalah adanya pemanfaatan kembali, pengurangan dan pendauran ulang dari sampah termasuk sampah elektronik sebagai bagian dari sampah bahan berbahaya dan beracun. 

BACA JUGA: Green Millennialnomic: Mendorong Milenial Bangun Ekonomi Berbasis Ekologi

Komunitas EwasteRJ hadir dengan gerakan EwasteRJdropzone di mana kami mendorong masyarakat untuk memperlakukan sampah elektroniknya dengan tepat melalui dropbox yang sudah kami sediakan di beberapa titik yang tersebar di beberapa kota. Setelah sampah elektronik terkumpul, EwasteRJ akan menyerahkan kepada perusahaan pendaur-ulang sampah elektronik untuk diolah lebih lanjut. Proses pendauran-ulang dimulai dari dismantling hingga pemilahan dan pengolahan setiap jenis material untuk menjadi raw material kembali. Sebagai contoh, tembaga dari PCB yang dilebur untuk menjadi tembaga batangan kembali. Sedangkan untuk limbah B3 akan diproses melalui proses stabilisasi-solidifikasi (untuk mengurangi kandungan logam berat) dan landfill atau thermal treatment.  

Namun, sebelum masuk ke tahapan pemanfaatan kembali dan pendauran ulang tentunya harus dimulai dari mengurangi kemungkinan timbulnya sampah elektronik terlebih dahulu. Untuk itu, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan: desain dan manufaktur produk, serta pembentukan gaya hidup. Tahap perencanaan dan desain produk elektronik yang dilakukan oleh para produsen merupakan garda terdepan dalam pengelolaan sampah elektronik. Alangkah baiknya jika produk tersebut didesain agar mempunyai durabilitas yang tinggi dan juga spare part komponen yang disediakan secara merata agar proses reparasi dapat dilakukan dengan mudah oleh konsumen. Manufaktur produk elektronik juga dapat menggunakan material dari hasil proses daur ulang produk lainnya agar dapat mengurangi ekstraksi sumber daya alam yang semakin terbatas dan terkadang mengorbankan hak-hak komunitas tertentu.

Pendekatan dari pembentukan gaya hidup dengan pola pikir konsumsi teknologi yang berkelanjutan di Indonesia juga menjadi sangat penting untuk dilakukan. Konsumen diharapkan dapat semakin bijak dalam membeli dan menggunakan barang elektronik yang dimiliki serta bijak memperlakukan barang elektronik yang sudah menjadi sampah elektronik.  

Menjadi konsumen yang bijak yang disinergikan dengan peran serta produsen dan pemerintah, akan menjadi solusi bagi permasalahan sampah elektronik di Indonesia. Keterlibatan semua pihak dapat mengurangi timbulan sampah, memperbaiki pengelolaan sampah, meningkatkan tingkat recycling di Indonesia, dan tentunya dapat meminimalisir pencemaran dari bahaya dan sampah elektronik terhadap kesehatan manusia.

Oleh: Pranandya Wijayanti, Martina Solya, Indah Anandya, Yorkie Sutaryo

Komunitas EwasteRJ

Related Article

[1000 gagasan] EKONOMI MARTABAK

[1000 gagasan] EKONOMI MARTABAK

Mengapa Model Pembangunan Ekonomi saat ini masih eksploitatif dan banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial? Apa Tantangan Terbesar Indonesia dalam Mengembangkan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan? 

Anindya F Utami, atau yang biasa disapa Afu,  Co-Founder Think Policy Society punya jawaban menarik untuk memecahkan persoalan di atas. Afu menyebut gagasan Ekonomi Martabak.  Penasaran apa itu ekonomi martabak, dan gimana gagasan ini berkontribusi menyumbang ide pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan. 

Yuk simak gagasan Afu untuk #1000GagasanEkonomi berjudul: EKONOMI MARTABAK – Pembangun Ekonomi Mengusung Kearifan Lokal. 



Related Article

[1000 gagasan] WISATA BAHARI KERAKYATAN BERKELANJUTAN

[1000 gagasan] WISATA BAHARI KERAKYATAN BERKELANJUTAN

Salah satu penyumbang devisa ekonomi Indonesia adalah sektor pariwisata.  Secara empiris, sebagian besar destinasi wisata berkelas dunia di Indonesia berbasis wisata bahari. Sayangnya, pengelolaannya belum optimal. Dalam visi poros maritim dunia pemerintah, wisata bahari jadi salah satu sebagai prioritasnya. Namun, dibalik pesatnya kemajuan wisata bahari menyimpan soal yang mengusik kehidupan masyarakat lokal, terutama masyarakat yang bermukim di pesisir maupun pulau kecil. Mereka kerap terabaikan hingga jadi korbannya. Salah satu kasus yang menarik perhatian publik yaitu perampasan Pulau Pari tahun 2017 oleh korporasi dengan cara mengusir penduduk lokal. Mereka berdalih telah menggenggam sertifikat dan izin usaha pengembangan pariwisata. Padahal, masyarakat lokal telah mendiaminya sebelum Indonesia merdeka. Kondisi ini mengisyaratkan adanya perampasan sumber daya dan ruang laut (ocean grabbing) buat bisnis wisata bahari. Pemerintah mestinya memperhatikan soal krusial semacam ini. 

Keunggulan

Indonesia mengenjot pariwisata karena berkontribusi signifikan bagi pembangunan ekonomi nasional. Tahun 2019, kontribusinya terhadap PDB nasional sebesar 15 persen dan meraup devisa Rp 275 triliun.  Wisata bahari baru mampu menyumbang devisa sektor pariwisata US$ 1 miliar. Nilainya lebih kecil dibandingkan Malaysia yang mampu meraup devisa hingga 40 persen senilai US$8 miliar. Padahal, Indonesia memiliki 33 destinasi wisata bahari ketimbang Malaysia yang hanya 11. Indonesia pun punya keunggulan unik. Pasalnya, negara kita memiliki kawasan pesisir dan laut yang ideal buat aktivitas wisata bahari.  Diantaranya: buat berjemur, berenang, menyelam, snorkeling, memancing, surfing, boating, yachting, parasailing, cruising, marine parks, dan whale watching. Destinasi wisata bahari yang mendunia diantaranya pulau Bali, Taman Laut Bunaken, Wakatobi, Raja Ampat, Riung Tujuh, Labuhan Bajo, Pulau Komodo, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Semuanya jadi ikon Indonesia di dunia internasional yang menyedot kunjungan wisata setiap tahunnya. Data BPS mencatat wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia tahun 2018 berjumlah 15,81 juta melonjak  12,63 persen ketimbang tahun 2017 sebesar 14,04 juta.

Sebagai pusat segitiga terumbu karang dunia (Coral Triangle) Indonesia memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi. Di antaranya, 590 jenis karang, 2.057 jenis ikan karang, 12 jenis lamun, 34 jenis mangrove, 1.512 jenis krustasea, 6 jenis penyu, 850 jenis sponge, dan 24 jenis mamalia laut.  Letak geografi Indonesia daerah tropis dengan iklim yang hangat dan matahari bersinar sepanjang tahun jadi keunggulan lain dari wisata bahari. Utamanya buat aktivitas scientific diving, konservasi, pendidikan, dan fotografi bawah air. Semua keunggulan ini mesti diberdayakan buat meningkatkan devisa negara dan menyediakan lapangan kerja baru. Namun, pemberdayaannya mesti mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya dan ekosistemnya serta kehidupan ekonomi masyarakat lokal. Masyarakat lokal jangan sampai jadi korban industri wisata bahari. Begitu pula keberlanjutan, sumber daya, ekologi, ekosistemnya. Maraknya perampasan sumber daya dan ruang laut maupun pesisir lewat industri wisata bahari masih jadi problem struktural maupun kultural. Makanya, pendekatan baru pengembangan wisata bahari berbasis kearifan dan budaya masyarakat lokal jadi keniscayaan. 

Alternatif

Problem struktural maupun kultural di balik pesatnya perkembangan wisata bahari, pertama, maraknya perampasan ruang laut, pesisir dan pulau kecil yang mengabaikan masyarakat lokal. Kedua, adanya penguasaan eksklusif pulau-pulau kecil di Indonesia oleh warga negara asing dengan dalih investasi berlabelkan adopsi pulau. Awal mulanya berupa kebijakan pemerintah menawarkan 31 pulau kecil ke pihak asing. Hasilnya 19 pulau kecil telah dikelola asing dan membatasi akses masyarakat lokal (KIARA, 2015). Umpamanya, investor Malaysia mengelola pulau Maratua di Kalimantan Timur, Pulau Dua dan sebagian lahan di pulau Enggano di Bengkulu Utara (Kompas 21/11/2016). 

BACA JUGA: Blue Economy Sebagai Model Pembangunan Wilayah Pesisir

Ketiga, perilaku wisatawan yang membuang sampah plastik sembarangan. Tindakan ini  mengancam kehidupan fauna dan flora laut jenis mamalia, seperti ikan paus, duyung, lumba-lumba, penyu, dan ekosistem terumbu karang. Keempat, minimnya keterlibatan masyarakat lokal sebagai pelaku industri wisata bahari ketimbang korporasi. Imbasnya, akumulasi kapital mendominasi ketimbang kepentingan keberlanjutan sumber daya, ekosistem dan kearifan lokal masyarakatnya.

Di sinilah pentingnnya pendekatan alternatif yang tak menghambat industri wisata bahari dan anti asing. Dibutuhkan keadilan ekonomi dan ekologi sehingga mereduksi hegemoni korporasi dalam mengelola wisata bahari. Model pendekatannya ialah degrowth dalam tata kelola wisata bahari berkelanjutan (degrowth in sustainable marine tourism governance). Pendekatan ini merupakan suatu proses kolektif-deliberatif yang mengendalikan mekanisme pasar serta menjamin pertukaran barang dan jasa secara adil kehidupan manusia (Schneider et al, 2013). Model ini juga memprioritaskan jaminan kualitas hidup manusia ketimbang kuantitas, kooperasi ketimbang kompetisi sehingga mewujudkan keadilan sosial (Latouche, 2003). 

Secara ekologi-ekonomi, model ini akan menjamin keberlanjutan sosial dan mencegah ketidakadilan (Kallis, 2010). Ia juga menjamin keberlanjutan ekologis, pengelolaan ekonomi secara partisipatif,  pemenuhan  kebutuhan dasar dan kualitas hidup manusia yang lebih baik sehingga menciptakan keadilan distributif, baik ruang maupun sumber dayanya (Research and Degrowth, 2010).  Konsep degrowth dalam wisata bahari ini dapat diilustrasikan dalam kehidupan biologi hewan dan tumbuhan yang tetap menjamin keberlanjutan ekosistem/ekologis secara alamiah. Kebijakan tata kelola wisata bahari tak mesti mengejar pertumbuhan bisnisnya yang tinggi. Melainkan bagaimana tata kelola pariwisata bahari berorientasi ekologi yang menjamin proses metabolisme alam dalam sistem jaring-jaring kehidupan di wilayah pesisir dan lautan. Mirip proses metabolisme dalam tubuh manusia. Apabila manusia mengkonsumsi makanan secara berlebihan tanpa memperhatikan dampaknya bagi kesehatannya, proses metabolisme tubuhnya bakal terganggu. Akibatnya menimbulkan pelbagai penyakit kronis semacam jantung, darah tinggi, hingga obesitas.  

Tubuh manusia tak bisa memaksakan pasokan asupan makanan tanpa kendali masuk dalam tubuhnya. Mesti mempertimbangkan ekologi tubuhnya sehingga proses metabolisme tetap berlangsung normal. Bila, mengasumsikan “asupan” makanan berlebihan masuk ke tubuh manusia berorientasi “pertumbuhan”. Imbasnya, manusia menderita penyakit kronis hingga berujung kematian. Itu sama artinya ulah manusia mengejar pertumbuhan ekonomi pariwisata yang tinggi dan mengabaikan metabolisme alamiahnya sehingga berujung kehancuran sumber daya alam pesisir dan lautan (antroposentrisme) (Karim, 2013). Timbul pertanyaan, bagaimana kontribusi wisata bahari terhadap pertumbuhan ekonomi nasional maupun daerah? Apakah akan memperlambat pertumbuhan atau sama sekali tidak ada? Kontribusi pertumbuhan bakal  dihasilkan di bagian akhir dari model pendekatan ini. Apabila aktivitas yang berlangsung telah mencapai pemerataan pendapatan, keadilan ekonomi, dan keadilan ekologi.  Maka, berkontribusi terhadap pemerataan pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional.

Secara konsepsional pemikiran ini dimodifikasi dari Andriotik (2009) yang memposisikan “masyarakat lokal” (local community) sebagai pelaku utamanya. Tujuannya adalah memaksimalkan kesejahteraan bukan akumulasi kapital semata. Model tata kelolanya yaitu, pertama, berorientasi dan  menitikberatkan aktivitas padat karya (labour intensive) ketimbang padat modal (capital intensive). Orientasi ini menyerap lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Masyarakat yang bermukim di wilayah destinasi wisata bahari tak perlu lagi jadi TKI/TKW di luar negeri. Tugas pemerintah lokal ialah memperkuat kapasitas dan sumber daya manusianya serta menyediakan insentif yang memudahkan pengembangan wisata berbasis kerakyatan ini. Diantaranya,  pajak, kepastian hukum dan mereduksi biaya transaksi yang berpotensi menimbulkan moral hazard.

Kedua, kepemilikan akses dan aset serta kontrol sumber dayanya mengutamakan keterlibatan masyarakat lokal (endogen) ketimbang korporasi (eksogen) yang kerap menutup akses mereka. Artinya, prinsip kolektif-deliberatif dan pengelolaan partisipatif mengutamakan masyarakat lokal. Hal ini bakal mendorong inovasi dan kreasi masyarakat lokal berbasiskan teknologi digital. Disini bakal muncul wirausaha-wirausaha sosial berbasis teknologi yang mendukung aktivitas wisata bahari. Imbasnya, bakal tercipta kesejahteraan hidup yang berkualitas, keadilan distribusi ruang dan sumber daya serta sosial. 

BACA JUGA: Menggelorakan Usaha Agroedutourism

Ketiga, karena sifatnya  padat karya, skala usaha pengembangan wisatanya berskala usaha kecil dan menengah termasuk berbasiskan kelembagaan koperasi dan badan usaha milik desa. Negara berperan menyediakan skema permodalan dan kebijakan afirmatif (insentif pajak, perizinan dan pelatihan sumber daya manusia profesional) untuk meningkatkan kapasitas di level lokal dalam tata kelolanya. Bagaimana dengan infrastrukturnya? Pemerintah tak perlu membangun infrastruktur besar-besaran yang padat modal. Pemerintah lebih baik merevitalisasi bio-infrastruktur di wilayah pesisir dan lautan yang selama ini mengalami degradasi, seperti rehabilitasi hutan mangrove dan terumbu karang. Fasilitas akomodasi wisata lebih berorientasi etnik berbahan baku lokal, seumpama cottage dan losmen buat wisatawan. Ini tak membutuhkan biaya mahal karena memanfaatkan sumber daya  alam lokal seperti kayu batang kelapa yang sudah tua. Di samping itu, dikembangkan pula model kerajinan rumah tangga (home industry) untuk buah tangan, kuliner lokal dan camilan buat wisman yang berkunjung.

Keempat, pengembangannya tidak bersifat massal. Melainkan adaptif dan selaras dengan sumberdaya, budaya maupun kearifan lokal sehingga tidak menimbulkan perilaku destruktif terhadap lingkungan dan masyarakat hingga tak mengurangi nilai manfaat ekonominya. Pengembangan ini memudahkan dalam mengontrol dan mengawasinya. Terutama terkait perilaku wisatawan yang membuang sampah plastik sembarangan yang merusak ekosistem terumbu karang, mangrove dan biota perairan jika masuk ke laut.     

Kelima, mengembangkan wisata bahari yang menggambarkan cara hidup unik dan bercirikan rasa kekeluargaan, persaudaraan serta kolektivisme sehingga tercipta interaksi sosial masyarakat lokal/adat dengan wisatawan. Wisatawan yang sadar  ekologi otomatis menikmati kehidupan alami dan menyelami cara hidup, kuliner dan budaya lokal masyarakat tanpa merubah bentang alam, serta merusak ekosistemnya.  

Keenam, modelnya bersifat demokrasi deliberatif yang mengedepankan partisipasi dan budaya masyarakat  lokal dalam pengambilan keputusan pengelolaannya. Persis yang diaplikasikan oleh desa-desa adat pesisir di Bali. Apakah model ini dapat diaplikasikan dalam konteks yang bukan bersifat adat maupun budaya? Sangat mungkin, asalkan ada kebijakan ekonomi politik pemerintah pusat maupun daerah yang memposisikan wisata bahari tidak hanya berorientasi korporatisme semata. Melainkan memberikan ruang partisipasi masyarakat lokal dan adat dalam tata kelolanya. 

Model pendekatan ini sejatinya sebagai antitesa dari model  kapitalistik-eksploitatif yang meminggirkan masyarakat lokal dan adat. Model ini amat cocok dikembangkan di daerah yang masih asli (virgin) termasuk yang masuk kawasan konservasi laut. Kita berharap lewat penerapan model ini tak lagi timbul pengusiran dan perampasan ruang laut dan sumber dayanya (ocean grabbing). Contohnya, perampasan hak kepemilikan pulau wisata oleh korporasi terutama asing. Soalnya melalui pendekatan ini akan berdampak terhadap perekonomian nasional dan daerah berbasis kepulauan, mengurangi pengangguran, serta meminimalisir degradasi sumberdaya alam maupun ekologi. Semoga!


Oleh: Muhamad Karim

Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim/ Dosen Universitas Trilogi

Related Article

[1000 gagasan] HUKUM, PERUSAHAAN, DAN LINGKUNGAN: KOLABORASI MAUT DEMI EKONOMI YANG BERKELANJUTAN

[1000 gagasan] HUKUM, PERUSAHAAN, DAN LINGKUNGAN: KOLABORASI MAUT DEMI EKONOMI YANG BERKELANJUTAN

Bisnis dan Lingkungan kerap kali dianalogikan layaknya air dan minyak, dua hal yang tidak mungkin bersatu. Hal tersebut tidaklah salah, mengingat profit adalah tujuan utama dalam menjalankan bisnis. Sehingga, tidak jarang pelaku usaha tega untuk menumbalkan lingkungan sekitarnya untuk mendapatkan profit sebesar-besarnya.

Di sisi lain, terdapat aspek hukum yang mengeratkan bisnis dan lingkungan. Perusahaan diwajibkan untuk mengikuti aturan main yang ada di bawah payung peraturan hukum. Ide maupun pelaksanaan ekonomi berkelanjutan yang baik pun akan menjadi kurang efektif tanpa dilengkapi dengan kerangka hukum yang menunjang, layaknya taring yang tidak runcing. Sehingga saya kira diperlukan peraturan hukum untuk menjadi penyokongnya.

1. Hukum, Perusahaan dan Lingkungan

Dari segi hukum, peraturan di Indonesia mewajibkan para pelaku usaha tergantung dari dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkannya untuk memiliki dokumen-dokumen lingkungan hidup berupa (i) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), (ii) Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/UPL) atau (iii) Surat Pernyataan kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup dan juga (iv) Izin Lingkungan sebagaimana diatur dalam Undang Undang No. 32 Tahun 2009, sebelum para pelaku usaha dapat menjalankan bisnisnya.

Idealnya, dengan adanya kewajiban perusahaan untuk memperoleh izin lingkungan sebelum menjalankan kegiatan usaha diharapkan akan mengurangi jumlah kerusakan lingkungan yang ada atau paling tidak mengurangi potensi timbulnya kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi. 

BACA JUGA: Gagasan Prima Gandhi “Menggelorakan Usaha Agroedutourism” 

Namun, kenyataannya di lapangan berkata lain. Kemudahan untuk memperoleh perizinan dan juga lalainya pengawasan terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan menjadi salah satu faktor utama dari kerusakan lingkungan yang kerap terjadi. 

2. Hukum Lingkungan dan Kenyataannya di Lapangan

Penerbitan perizinan lingkungan sekarang semakin mudah. Saya pernah mengurus izin lingkungan untuk perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan. Perusahaan ini tidak tergolong usaha yang diwajibkan untuk memperoleh UKL-UPL atau AMDAL, sehingga saya hanya harus membuat surat pernyataan template yang juga dipakai oleh perusahaan-perusahaan lain, bahwa perusahaan tersebut akan menaati peraturan-peraturan yang berlaku. Setelah melalui proses administratif yang sederhana, Izin Lingkungan perusahaan tersebut bisa terbit dan berlaku efektif. 

Pemerintah juga semakin giat untuk mempermudah pengusaha untuk mendapatkan izin. Pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, Izin Lingkungan dapat diterbitkan terlebih dahulu berdasarkan komitmen meskipun perusahaan belum memenuhi persyaratan untuk memiliki izin tersebut. 

Terlebih lagi, kurangnya pengawasan pemerintah daerah, mudahnya manipulasi data dan tentunya politik uang merupakan “pelicin” terhadap kemudahan penerbitan izin tersebut. Perusahaan cukup duduk santai dan memastikan bahwa dana yang diperlukan tersedia. 

BACA JUGA: Gagasan Emil Salim “Pembangunan Berkelanjutan”

Apabila anda melakukan pencarian di situs google dengan kata kunci “Perusahaan dan Kerusakan Lingkungan”, maka anda akan dihadapkan dengan ratusan, bahkan ribuan artikel yang membahas mengenai kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan di berbagai ruang lingkup usaha: baik dari industri, perdagangan, konstruksi maupun komoditas. 

Lantas, apakah perlindungan terhadap lingkungan ini cukup sebatas mengantongi “izin” saja? Bagaimana jika kerusakan lingkungan terjadi ketika perusahaan telah mengantongi izin tersebut? 

3. Hukuman terhadap Pelanggar, Efektifkah?

Kita kembali mengadu kepada hukum untuk menghakimi perusahaan-perusahaan yang telah merusak lingkungan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (1) dari Undang Undang Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup), “setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

Namun pada kenyataannya, berapa jumlah perusahaan yang benar-benar membayar ganti rugi tersebut? Untuk ruang lingkup pembakaran hutan di tahun 2019 saja, ganti rugi lebih dari 18 triliun belum dibayarkan oleh 11 perusahaan pembakar hutan. Sehingga, kita tidak bisa menunggu sampai pengusaha melakukan kerusakan lingkungan hidup dan hanya meminta ganti rugi.

Dapatkan gagasan Ruth Margaretha Ginting lebih lengkap dengan mengunduh gagasan yang tersedia di bawah ini. 

Oleh: Ruth Margaretha Ginting

Pengacara di Kasih Hukum (NGO)

Related Article

[1000 gagasan] MENGGELORAKAN USAHA AGROEDUTOURISM

[1000 gagasan] MENGGELORAKAN USAHA AGROEDUTOURISM

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2020 mengalami kontraksi hingga -5,32%. Bila pada kuartal III pertumbuhan ekonomi kembali turun, maka Indonesia akan masuk jurang resesi. Mayoritas sektor industri mengalami kerugian akibat pandemi Covid-19, termasuk industri pariwisata.

Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) memprediksi jumlah kunjungan wisatawan internasional turun 60 hingga 80% pada tahun 2020 karena kebijakan pembatasan perjalanan yang luas, penutupan bandara, dan perbatasan nasional. Hal ini telah menjerumuskan pariwisata internasional ke dalam krisis terburuk sejak pencatatan dimulai pada 1950 silam.

Di Indonesia, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat hingga April 2020, industri pariwisata Indonesia merugi Rp 85,7 triliun, puluhan juta orang menganggur. Sejumlah 1,7 juta orang dari total 13 juta orang pekerja di sektor pariwisata terkena imbasnya. Sebanyak 1,4 juta pekerja dirumahkan sementara sekitar 300 ribu pekerja lain terdampak perekonomiannya.        

Sektor pariwisata banyak menyerap tenaga kerja informal. Data terakhir mengatakan bahwa pekerja informal di Indonesia berjumlah 70,5 juta orang  atau 55,72%  dari total tenaga kerja nasional.  Ribuan rumah makan dan penginapan terpaksa tutup, begitu pula dengan sejumlah moda transportasi pariwisata dan agen pariwisata yang mengalami kerugian. Bank Indonesia mencatat bahwa devisa pariwisata saat pandemi turun hingga 97% yoy (year on year) dari 1.119 juta dolar AS hanya ke 31 juta dolar AS.

Pariwisata merupakan sektor strategis dalam perekonomian Indonesia. Strategis karena tahan terhadap guncangan krisis ekonomi. Sebelum pandemi Covid-19, salah satu alternatif prioritas sumber pendapatan negara adalah memaksimalkan potensi sektor pariwisata.

BACA JUGA: Green Millennialnomic: Mendorong Milenial Bangun Ekonomi Berbasis Ekologi

Domino effect yang menerpa sektor pariwisata berdampak pada peningkatan angka kemiskinan. Padahal bila ditinjau dari sudut pandang Sustainable Development Goals (SDGs) sektor pariwisata menjadi andalan untuk mengurangi kemiskinan. Mengurangi kemiskinan merupakan target pertama dari tujuh belas target pembangunan berkelanjutan. Lalu timbul pertanyaan apakah ada jenis pariwisata yang mampu menghadapi krisis ekonomi, tangguh menghadapi pandemi Covid-19 dan tidak merusak lingkungan?  

Bisnis Agroedutourism

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa kontribusi sektor pertanian naik menjadi 15,46% pada kuartal II tahun 2020 dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 13,57%. Pada kuartal ke II ini kontribusi sektor pertanian juga mengalami peningkatan 2,8% dibandingkan kuartal I sebesar 12,84%. Dari lima sektor penyangga utama PDB, sektor pertanian menjadi satu-satunya sektor yang tumbuh positif sebesar 2,19% sepanjang masa kenormalan baru. Ini artinya sektor pertanian mampu bertahan saat pandemi Covid-19.

Selain menghasilkan produk pertanian, usaha tani bisa dijadikan objek pariwisata dan pendidikan. Konsep memadukan usaha tani dengan pariwisata dan pendidikan dikenal dengan nama agroedutourismAgroedutourism terdiri dari tiga frasa yaitu agro (pertanian), edu (pendidikan), dan tourism (wisata).

Agroedutourism sejalan dengan himbauan UNWTO saat pandemi Covid 19. UNWTO menghimbau negara yang selama ini menggantungkan pendapatan melalui sektor pariwisata harus mulai mengembangkan visi pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). Alasannya karena destinasi wisata yang mengembangkan visi ini dianggap mampu terus berjalan dalam kondisi apapun. Selain itu UNWTO menganjurkan negara-negara saat ini untuk fokus kepada pasar turis lokal hingga nantinya destinasi wisata siap sepenuhnya dibuka untuk pasar yang lebih besar yaitu wisman.

 

Agroedutourism merupakan model pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan, dan masyarakat setempat.

Agroedutourism dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi (eco-tourism). Ecotourism merupakan kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam yang bertujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau tumbuhan liar di lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan.

Agroedutourism berpegang pada beberapa prinsip. Beberapa prinsip tersebut adalah : a) Memberikan pembelajaran kepada wisatawan mengenai pentingnya suatu pelestarian. b) Menekankan serendah-rendahnya dampak negatif terhadap alam dan kebudayaan yang dapat merusak daerah tujuan wisata. c) Menekankan pentingnya bisnis yang bertanggung jawab yang bekerjasama dengan unsur pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan penduduk lokal dan memberikan manfaat pada usaha pelestarian. d) Mengarahkan keuntungan ekonomi secara langsung untuk tujuan pelestarian, manajemen sumberdaya alam dan kawasan yang dilindungi. e) Mendorong usaha peningkatan manfaat ekonomi untuk negara, pebisnis, dan masyarakat lokal, terutama penduduk yang tinggal di wilayah sekitar kawasan yang dilindungi. f) Berusaha untuk meyakinkan bahwa perkembangan pariwisata tidak melampaui batas-batas sosial dan lingkungan yang dapat diterima seperti yang ditetapkan para peneliti yang telah bekerjasama dengan penduduk lokal. g) Mempercayakan pemanfaatan sumber energi, melindungi tumbuh-tumbuhan dan binatang liar, dan menyesuaikannya dengan lingkungan alam dan budaya.

BACA JUGA: Membangun Tak Merusak, Bisa?

Konsep agroedutourism yang sudah ada di Indonesia mengangkat ide wisata mengenai budidaya pertanian dan edukasi pertanian itu sendiri. Penggabungan konsep ini tidak hanya memberikan spot wisata dengan keindahan baru mengenai pertanian dengan cara yang menyenangkan.atau experience pertanian, namun juga memberikan banyak ilmu dan pengetahuan

Agroedutourism menjadi sarana wisata pertanian edukatif yang memperkenalkan model pengelolaan bisnis pertanian dari hulu sampai hilir serta model pendampingan petani. Saat ini, praktek pertanian presisi dapat menjadi pilihan obyek agroedutourism. Praktek pertanian presisi adalah praktik bertani yang akurat dan terkontrol dalam hal penanaman tanaman dan memelihara ternak. Syarat utama dari praktik ini adalah penggunaan teknologi informasi dari beragam perangkat keras dan lunak seperti panduan GPS, sistem kontrol, sensor, robotika dan drone.

Praktik pertanian presisi lahir dimulai saat panduan GPS digunakan untuk traktor di awal 1990-an oleh John Deere. Praktik ini mengarahkan traktor secara otomatis berdasarkan koordinat lapangan sehingga mengurangi biji, pupuk, bahan bakar, dan waktu yang terbuang. Tujuan utama praktik pertanian presisi adalah memastikan keuntungan, efisiensi, dan keberlanjutan dalam melindungi lingkungan hidup.

Selain melihat praktik pertanian presisi, tur mengelilingi rumah kaca, Praktek menanam dan memanen tanaman merupakan alternatif lain obyek agroedutourism. Tanaman yang dapat ditanam dan dipanen adalah tanaman berumur pendek seperti jagung, kacang, selada, cabai, caisin, dll. 

Berdasarkan paparan di atas ada tiga pemain kunci untuk menggelorakan usaha agroedutourism di Indonesia yaitu petani, wisatawan, dan pemerintah. Kapasitas petani menjadi faktor penentu keberhasilan mengelola suatu bisnis agroedutourism. 

Kapasitas petani mengoptimalkan fungsi lahan merupakan kunci peningkatan kualitas hidup melalui kegiatan pengelolaan agroedutourism. Kapasitas yang penulis maksud merupakan kemampuan untuk dapat melihat serta memanfaatkan peluang dan potensi yang ada di kawasan kegiatan berusaha tani. Petani yang berada di kawasan wisata dapat memanfaatkan peluang dari banyaknya wisatawan yang berkunjung.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas petani pengelola adalah dukungan lingkungan eksternal berupa dukungan penyuluhan, kelompok tani, pemerintah desa dengan tingkat pendidikan formal petani.

Adapun manfaat agroedutourism bagi wisatawan adalah meningkatkan kesehatan tubuh, menjalin relasi dengan petani, dapat mempraktikan budidaya pertanian, menghilangkan stress dan jenuh, menikmati makanan segar dari lahan, dan banyak lainnya.

Jika pengunjung sepi maka pengelola agroedutourism bisa mendapatkan penghasilan dari produk yang dihasilkan dari lahan pertanian. Oleh sebab itu, usaha agroedutourism lebih menguntungkan bila dilakukan dengan skala besar. Pasca pandemi pemerintah harus menggelorakan usaha agroedutourism di seluruh pelosok Indonesia (*)

Oleh: Prima Gandhi

Staf Pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB


Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

[1000 gagasan] MEMBANGUN TAK MERUSAK, BISA?

[1000 gagasan] MEMBANGUN TAK MERUSAK, BISA?

Pernyataan di atas terasa naif, bila dihadapkan pada realita, bahwa dimanapun, terlebih di  Indonesia, membangun itu menghasilkan pula dampak negatif yang bahkan merusak. Kejadian  banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan di banyak tempat di seantero negeri  ini, nyaris menjadi langganan tahunan. Sedemikian “rutin”nya, sejumlah dokumen  perencanaan pembangunan di beberapa provinsi dan kabupaten menampilkan berbagai  kejadian itu semacam “profil kebencanaan”. Dampak demikian, seberapapun kecilnya, apalagi  sampai merombak bentang alam (landscape) karena deforestasi dan degradasi hutan, misalnya, pastilah tak diinginkan. Namun faktanya, tidak terhindarkan. Artinya, hampir mustahil  membangun dengan nol kerusakan. 

Semakin naif pertanyaan itu, bila tidak cukup jelas dan tegas batasan terkait setidaknya dua hal dan menghubungkan keduanya: kinerja keberhasilan pembangunan yang ditargetkan dan  kerusakan yang dapat ditolerir sebagai akibat yang tak terhindarkan dari kebutuhan mencapai  target pembangunan itu. Perlu pula gambaran, batasan tadi sesungguhnya preferensi siapa dan  seberapa sadar batasan itu disepakati sebagai kebutuhan dan kompromi nalar bersama para  pihak pemangku kepentingan pembangunan. Proses menarik batasan itu menjadi keniscayaan,  agar pertanyaan tidak terlalu naif dan logis untuk coba dijawab. 

BACA JUGA: Pembangunan Berkelanjutan Karya Prof. Emil Salim

Tulisan ini coba mengeksplorasi dan mengelaborasi dialektika substantif di atas. Tujuannya  sederhana: memahami secara kualitatif seberapa kerusakan dapat ditolerir untuk serangkaian target pembangunan yang (idealnya) telah jadi kesepakatan para pihak itu. Lalu menarik  implikasinya yang relevan dalam menjawab pertanyaan itu, terutama terkait pendekatan yang  diperlukan. Eksplorasi ini penting, terutama bila basis pembangunan masih harus bertumpu  pada ekstraksi sumber daya alam (SDA) dan lingkungan.

NARASI PEMBANGUNAN 

Pemahaman akan batasan di atas dapat didekati setidaknya dari sejumlah diskursus sekaligus  narasi terkait arah dan orientasi pembangunan. Pertumbuhan ekonomi diperlukan untuk  membangun kesejahteraan masyarakat dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Untuk itu  perlu investasi guna membuka kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, pendapatan asli daerah (PAD), dan mendongkrak perolehan pajak dan devisa. Meningkatnya  peran investasi menunjukkan adanya pergeseran ke arah struktur pertumbuhan ekonomi yang  lebih produktif. Investasi kemudian menjadi motor pertumbuhan baru. Maka investasi penting,  dan hal-hal yang menghambatnya perlu diatasi. Peningkatan investasi membutuhkan stabilitas  keamanan, selain kepastian hukum dan penegakannya. 

Begitulah kiranya serangkaian narasi pembangunan yang sering kita dengar dan saksikan  selama ini. Kesannya positif dan ideal, bahkan mulia: mengatasi kemiskinan sekaligus membangun kesejahteraan masyarakat. Namun, luput dari diskursus itu, antara lain batasan  kerangka “kompromistis” alokasi SDA yang (akan) “diekstraksi” dan toleransi akan tingkat  deplesinya; termasuk potensi kerusakan lingkungan. Ini menguatkan sinyalemen Prof. Emil  Salim yang dalam banyak kesempatan sering sekali menyesalkan, bahwa arus utama  pembangunan Indonesia selama dan sampai saat ini (2020), faktanya masih berfokus pada  pertumbuhan ekonomi.  

Dalam dokumen RPJMN 2020-2024, antara lain disebutkan sasaran pembangunan, yakni  mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan  pembangunan di berbagai bidang dengan penekanan pada struktur perekonomian yang kokoh  berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah, didukung sumber daya manusia  berkualitas dan berdaya saing. 

BACA JUGA: Menghentikan Deforestasi Dengan Mencegah Karhutla Melalui Pembenahan Sistem Insentif

Rencana pembangunan ini mengarusutamakan Sustainable  Development Goals (SDGs) dengan 17 target, beserta indikatornya. Ini telah menjadi bagian  dari agenda pembangunan Indonesia ke depan. Rencana pembangunan ini menjadi titik tolak  mencapai Visi Indonesia 2045: Indonesia Maju. Maka penguatan proses transformasi  ekonomi9 dalam rangka mencapai tujuan pembangunan 2045 menjadi fokus utama dalam  rangka pencapaian infrastruktur, kualitas sumber daya manusia, layanan publik, serta kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Begitulah narasi pembangunan lainnya, sebagaimana  telah tertuang resmi dalam dokumen formal itu dalam payung legal Perpres 18/2020. 

NARASI KERUSAKAN ITU 

Pada tataran paradigmatik, setidaknya dari sisi rules in form, rencana pembangunan di atas  memperlihatkan target, sasaran, titik berangkat, dan tujuan yang secara kualitatif relatif jelas dan  lengkap. Pembangunan berkelanjutan bahkan menjadi arus utama. Batasan pembangunan  demikian memperlihatkan kadar optimisme: dengan arus utama SDGs pembangunan diyakini  akan sustain. Dalam optimisme itu belum tergambar secara tegas narasi dan kadar kerusakan  SDA dan lingkungan sebagai akibat dari pembangunan yang diagendakan.  

Narasi “kerusakan” baru tersua di bagian-bagian lebih dalam dari dokumen dimaksud. Melihat  sifatnya, narasi kerusakan yang mengemuka dapat diposisikan kedalam Ex-Ante dan Ex-Poste. Dalam bab-bab awal disebutkan, bahwa kerusakan itu telah (lama) berlangsung. Yang  dimaksud antara lain sebagaimana tercantum dalam Tabel 1. Langkah lanjut atas narasi  semacam ini lebih pada penanggulangan, pemulihan dan semacamnya (Ex-Poste). Dalam tabel  yang sama tampak narasi kerusakan lainnya, bersifat potensi yang diduga menghambat.  Langkahnya kemudian adalah antisipatif, berangkat dari ”apa yang akan dibangun” (Ex-Ante).  

Baca lebih lengkap gagasan “Membangun Tak Merusak, Bisa?” karya Azis Khan dalam 1000 Gagasan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan dengan mengunduh dokumen tulisan yang tersedia di bawah ini.

Oleh: Azis Khan

Senior Research Fellow – Conservation Strategy Fund (CSF)

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

[1000 gagasan] BLUE ECONOMY SEBAGAI MODEL PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR

[1000 gagasan] BLUE ECONOMY SEBAGAI MODEL PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR

Lingkungan pada hakikatnya dimaknai sebagai keanekaragaman segala jenis sumber  daya yang dibutuhkan dalam perencanaan kehidupan yang berkelanjutan. Lingkungan dalam hal ini bukan hanya berbicara mengenai sumber daya yang dibutuhkan secara fisiologis tetapi  mengarah pada sebuah perbuatan untuk membentuk dan merencanakan konsepsi dan rencana kehidupan. Ironisnya hakikat lingkungan dalam kenyataannya menggambarkan kondisi hutan  dataran rendah dan hutan mangrove yang memprihatinkan. Jika ditinjau kembali pada  peranannya, ekosistem mangrove memiliki fungsi yang vital sebagai pelindung pantai dari abrasi  yang diakibatkan oleh gelombang pasang air laut, selain itu ekosistem mangrove memiliki  manfaat secara tidak langsung dan manfaat secara langsung. Hutan mangrove sebagai non economic value memberikan kontribusi sebagai berikut; a) menangkap endapan dan  membersihkan kandungan zat kimia dari air yang datang dari daratan dan mengalir ke laut, b)  memberikan zat makanan dan menjadi daerah nursery bagi ikan dan hewan invertebrata yang  berada di sekitarnya. Namun hal ini tidak selaras dengan orientasi dan praktik dalam menjaga  kelestarian mangrove di Indonesia. 

Bappenas (1993) menjelaskan bahwa hutan mangrove di Indonesia mulai lenyap sekitar  satu juta ha antara tahun 1969-1980. Konversi hutan mangrove di Provinsi Jawa Timur banyak  digunakan sebagai kawasan berbasis komersial. Keadaan tersebut menjadi memicu kerusakan  hutan mangrove di Jawa Timur sebesar 40 persen. Wilayah pantai timur Kota Surabaya  (Parmubaya) merupakan salah satu wilayah yang terindikasi mengalami kerusakan. 

Kawasan  mangrove di wilayah Parmubaya telah banyak diubah menjadi kawasan real estate, budidaya  ikan payau pada kawasan wilayah pesisir Surabaya Timur, kawasan industri pada wilayah Surabaya Utara. Fenomena ini memicu turunnya kualitas lingkungan pesisir sehingga berdampak pada terganggunya ekosistem dan lebih dari 50 persen kawasan tidak berfungsi dengan optimal.  

BACA JUGA: Memberi Ruang Praktik Ekonomi Prokonservasi

Eksploitasi dan konversi ekosistem hutan mangrove yang terus terjadi di wilayah  Kecamatan Sukolilo dan Gununganyar Kota Surabaya merupakan salah satu kondisi menurunnya luasnya ekosistem mangrove. Permasalahan ini dipicu oleh disorientasi tujuan tata kelola wilayah  mangrove yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Surabaya sehingga dapat mengancam  keberlanjutan hutan mangrove itu sendiri. Konsep pengembangan konversi mangrove Wonorejo  menjadi ekowisata mangrove tidak sesuai dengan orientasi ramah lingkungan. 

Ekowisata  mangrove yang dikembangkan sebaliknya merusak mangrove di kawasan tersebut. Hal ini  disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; (a) penebangan banyak dilakukan pada jenis  mangrove Sonneratia Alba, Avicennia Alba, dan Rhizopora Apiculata. Ketiga jenis tanaman ini  mempunyai akar yang kuat dan tahan terhadap terjangan air laut. (b) minimnya kontrol  penanaman mangrove pada kawasan ekowisata, (c) sarana dan prasarana yang dikembangkan  seperti suara mesin perahu yang dikembangkan untuk wisatawan mengganggu habitat burung pemakan serangga di pantai timur Surabaya (Parmubaya), (d) desain pengembangan ekowisata yang tidak berpihak pada petani lokal. Fenomena yang terjadi menjelaskan bahwa adanya  tumpang tindih antara arah kebijakan pelestarian ekosistem mangrove dengan tujuan tertentu dari  kepentingan kelompok dalam sistem politik.  

Upaya pengembangan ekowisata seakan menjadi bentuk tindakan pemusnahan ekosistem  mangrove di kawasan Surabaya Utara. Hal ini menyebabkan dampak negatif bukan hanya pada  ekosistem mangrove namun juga berimbas pada rusaknya ekosistem lainnya yang bergantung  pada keberadaan mangrove, seperti ekosistem ikan dan udang yang menjadikan mangrove  sebagai tempat reproduksi, ekosistem burung baik itu burung asli Indonesia maupun burung – burung dari luar negeri yang bermigrasi pada pohon mangrove. Sedangkan permasalahan lainnya  yang akan timbul meluasnya tindakan ilegal masyarakat yang menjadikan kawasan tambak ikan  dan udang. Fakta yang terjadi kemerosotan ekosistem mangrove di kawasan pantai timur Surabaya ini mengindikasikan kegagalan tata ekonomi dalam mewujudkan pembangunan sumber  daya yang berkelanjutan.  

Ekosistem mangrove memiliki dwi fungsi dalam pembangunan wilayah pesisir  berkelanjutan yaitu fungsi ekologi dan fungsi ekonomi. Mangrove secara ekologi berperan sebagai tempat perkembangbiakan biota akuatik dan berfungsi sebagai sabuk hijau kawasan  pesisir. Keberadaan ekosistem mangrove berperan besar dalam meminimalisir dampak abrasi dan menjaga kelestarian lingkungan. Sedangkan ditinjau dari aspek ekonomi, serangkaian produk  turunan dari mangrove dapat dihasilkan antara lain; (1) produk olahan: makanan, minuman, obat  – obatan dan bahan pewarna pakaian. (2) Kawasan sentra budidaya biotik akuatik, sehingga dapat mendorong roda-roda perekonomian kawasan pesisir. Pembangunan wilayah pesisir harus  mengintegrasikan keberlanjutan fungsi ekologi dan fungsi ekonomi. Blue economy merupakan  model ekonomi strategis yang dapat diimplementasikan pada kawasan wilayah pesisir. 

Konsep  blue economy berorientasi pada empat prinsip yaitu; (a) kekuatan dan potensi dari wilayah  Wonorejo tersebut. (b) Nilai tambah ekosistem mangrove yang dapat menunjang pembangunan  wilayah pesisir. Kebijakan pemerintah kota di wilayah pesisir harus dipadukan dengan kondisi  wilayah pesisir tersebut. Sehingga industri yang dikembangkan pada kawasan konservasi  mangrove berbasis pada perikanan, perairan dan produk olahan mangrove di wilayah Wonorejo.  (c) Pemberdayaan berorientasi pada penguatan ekonomi masyarakat secara mikro. Masyarakat  dalam hal ini bertindak sebagai subyek pembangunan. Perlunya penguatan kapasitas,  pengetahuan dan keterampilan rumah tangga masyarakat pesisir dalam penguasaan faktor – faktor produksi dalam lahan perikanan dan kehutanan. Oleh sebab itu, penguatan ekonomi rakyat  harus mampu menyentuh penguatan atas faktor – faktor produksi. (d) Prinsip berkelanjutan,  konsep pembangunan kawasan wilayah pesisir pantai Timur Surabaya harus mengintegrasikan komponen ekonomi, ekologi dan sosial secara adil. Sehingga terjaminnya pertumbuhan ekonomi,  kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.  

BACA JUGA: Memperkuat Perhutanan Sosial dengan Kehati dan Kembali Ke Kearifan Tradisional

Model blue economy dalam pembangunan wilayah pesisir dapat diaktulisasi melalui  pendekatan Triple CoTriple co mengarah pada tiga prinsip utama yaitu co-ownership di mana wilayah pesisir dan kawasan mangrove merupakan wilayah yang dimiliki bersama oleh  masyarakat lokal dan pemerintah daerah. Hal ini menjelaskan bahwa kawasan ekosistem  mangrove dan wilayah pesisir merupakan tanggung jawab bersama. Pengembangan kawasan  strategis wilayah pesisir harus melibatkan peran aktif masyarakat pesisir, karena tanpa dukungan  masyarakat lokal bukan hanya aktualisasi pembangunan yang gagal, namun juga memicu konflik  yang berkepanjangan. Co-determination, adanya keterlibatan stakeholder dalam proses  perencanaan pembangunan wilayah pesisir. 

Masyarakat pesisir harus bertindak sebagai subyek  pembangunan wilayah pesisir pantai timur Surabaya, sehingga akan memperkuat jaringan dan  daya dukung dalam memelihara kualitas lingkungan pesisir. Co–responsibility, pengelolaan  ekosistem mangrove bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun juga masyarakat  pesisir. Pemerintah pusat, daerah, dunia usaha dan masyarakat pesisir harus secara terpadu  merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pada  kawasan ekosistem mangrove. 


Oleh: Ayu Dwidyah Rini

Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Trilogi

Related Article

[1000 gagasan] GREEN MILLENNIALNOMIC: MENDORONG MILENIAL BANGUN EKONOMI BERBASIS EKOLOGI

[1000 gagasan] GREEN MILLENNIALNOMIC: MENDORONG MILENIAL BANGUN EKONOMI BERBASIS EKOLOGI

Di tengah krisis multidimensi yakni krisis kesehatan yang disebabkan oleh penyebaran coronavirus disease (covid-19), kemudian dampaknya terhadap ekonomi yang menyebabkan krisis berujung resesi, dan krisis lingkungan salah satunya krisis iklim yang begitu mengkhawatirkan, membuat peran milenial sebagai kelompok masyarakat yang dianggap sang pembawa perubahan menjadi keniscayaan.

Pasalnya, banyak yang percaya bahwa kaum milenial adalah sekumpulan anak muda yang kaya akan gagasan, berpikir out of the box, dan identik dengan inovasi pembawa perubahan. Oleh karena itu, lompatan untuk melawan krisis multidimensi ini tidak akan berjalan lancar tanpa peran sentral dari milenial. 

Bukan kaleng-kaleng, anggapan bahwa milenial memiliki kemampuan untuk membawa perubahan telah diakui dunia, karena pada kenyataannya milenial benar-benar telah membawa disrupsi besar pada peradaban dunia saat ini. Disrupsi yang paling signifikan dari kontribusi milenial terhadap perekonomian dunia, tidak lain adalah pemanfaatan teknologi khususnya teknologi finansial atau financial technology (Fintech). 

Terkait dengan hal itu, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) bersama Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) merilis riset tentang kontribusi fintech peer to peer lending terhadap ekonomi Indonesia. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa fintech peer to peer lending alias pinjaman online telah berkontribusi sebesar Rp 60 triliun pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Fintech di Indonesia

Secara umum, fintech yang digarap perusahaan rintisan atau startup begitu akrab dengan masyarakat bahkan seolah tak terpisahkan. Apapun startupnya, baik startup dari perusahaan dengan produk jasa layanan peminjaman (lending) secara peer to peer atau pemimjaman online, fintech pembiayaan (crowdfunding), perencanaan keuangan (personal finance), proses jual beli saham, dan startup jasa pembayaran, semuanya begitu bermanfaat dalam aktivitas sehari-hari. Dapat dikatakan pula bahwa hampir tidak ada sektor krusial saat ini yang tidak tersentuh dengan fintech.

BACA JUGA: Hutan dan Milenial

Misalnya, jika ingin bepergian dalam jarak dekat maupun jauh, anda bisa bisa langsung menghubungi penyedia jasa transportasi online seperti Go-Jek, Grab, Maxim, dan banyak lainnya. Sementara, jika ingin berpergian menggunakan moda transportasi antar kota atau ingin pergi menghilangkan penat (berwisata), perusahaan rintisan seperti Traveloka, Tiket.com, PegiPegi, serta platform lainnya, siap memanjakan anda dengan kemudahan dan tentunya harga yang kompetitif. Kemudian, fintech jasa pembayaran seperti OVO, DANA, LinkAja, juga Go-Pay, Shopeepay, dan bermacam-macam brand lainnya, juga begitu giat memberikan promosi agar transaksi non-tunai semakin diminati. 

Tidak habis sampai di situ, jika anda adalah seorang maniac belanja, maka alternatif belanja online melalui marketplace seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Blibli, dan berbagai platform lainnya dapat dikatakan sebagai pilihan terbaik selama pandemi covid-19 berlangsung. 

Fintech dan Lingkungan

Pengaruh besar fintech saat ini dapat dikatakan sebagai bukti nyatanya bahwa ekonomi milenial (milennialnomic) benar-benar dapat diandalkan. Namun, banyak pihak mulai bertanya-tanya terkait dengan kontribusi milenial dalam pembangunan berkelanjutan maupun pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan.

Terkait dengan hal tersebut, fakta mengejutkan pun mengapung ke permukaan, hasil studi dari Pusat Penelitian Oseanografi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut bahwa aktivitas di rumah selama pandemi, membuat peningkatan penggunaan plastik sekali pakai akibat aktivitas berbelanja online meroket. 

Dalam penelitian yang berjudul ‘Dampak PSBB dan WFH Terhadap Sampah Plastik di Kawasan Jabodetabek’, terungkap bahwa masyarakat yang biasanya belanja online 1 sampai 5 kali dalam sebulan, meningkatkan menjadi 1 sampai 10 kali dalam sebulan selama anjuran beraktivitas di rumah. Kemudian, 96 persen paket yang dikirimkan oleh penjual kepada konsumen selalu dibungkus dengan plastik yang tebal bahkan ditambah dengan bubble wrap sebagai pelindung tambahan. Di kawasan Jabodetabek sendiri, jumlah sampah plastik dari bungkus paket hasil belanja online masyarakat jauh mengungguli jumlah sampah plastik dari kemasan.

Karena begitu tidak terkendali, belanja online malah memiliki dampak lingkungan yang cukup signifikan. Padahal, jika dapat dielaborasi dengan baik bersama milenial maka peluang untuk menciptakan ekonomi tanpa merusak lingkungan, terbuka begitu lebar. 

Pemahaman Ekologis

Tidak dapat dimungkiri, kontribusi milenial dalam pembangunan berkelanjutan atau pembangunan yang lebih ramah lingkungan atau juga pembangunan yang tidak memberikan kerusakan terhadap lingkungan, masih terbilang sangat minim. Padahal, pengetahuan milenial terkait dengan kondisi lingkungan, seperti halnya krisis iklim, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), energi terbarukan, dan banyak lainnya, terbilang sangat baik. 

Dalam laporan survei yang dirilis Yayasan Indonesia Cerah dan Change.org Indonesia tentang krisis iklim di mata anak muda, menyebut bahwa 90 persen anak muda (responden) khawatir atau sangat khawatir tentang dampak krisis iklim, dan tidak ada satupun (0 persen) anak muda yang menyangkal dampak dari krisis iklim tersebut. Kekhawatiran teratas meliputi krisis air, krisis pangan, dan pandemi lainnya. 

BACA JUGA: Pembangunan Berkelanjutan

Kemudian, disebutkan juga bahwa hampir setengah responden melihat deforestasi dan karhutla sebagai sumber terbesar emisi gas rumah kaca (GRK), sepertiga responden menyebut asap kendaraan bermotor dan pabrik, dan seperlima dari responden menyebut pembangkit listrik berbahan bakar fosil sebagai penghasil GRK. 

Mendorong Ekonomi Milenial Ekologis

Pengetahuan yang memadai tentang dampak lingkungan seharusnya dapat menjadi pedoman bagi milenial untuk mendorong terwujudnya ekonomi yang lebih berkelanjutan dengan berbagai gaya ala milenial itu sendiri.

Menurut hemat saya, ada beberapa hal penting yang harus dilakukan milenial untuk mewujudkan pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan ala milenial itu sendiri. Pertama, menciptakan tren lifestyle yang ramah lingkungan. Sebuah kenyataan bahwa milenial selalu terdepan dalam hal menciptakan tren bagi masyarakat. Dalam hal ini, milenial harus menjadi trendsetter gaya hidup yang ramah lingkungan seperti menggunakan peralatan yang ramah lingkungan atau tidak menggunakan plastik sekali pakai, menciptakan budaya tidak membuang sampah sembarang, menciptakan kebiasaan untuk mengurangi emisi kendaraan bermotor, dan banyak kebiasaan hidup lainnya yang kekinian.

Kedua, memaksimalkan peran media sosial untuk kampanye lingkungan. Milenial yang melek teknologi sangat lihai untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana promosi. Misalnya, dalam kasus karhutla, milenial dapat memberikan edukasi terkait dengan karhutla kepada publik melalui vlog, infografik, gambar, dan banyak lainnya, agar tercipta kesadaran bahwa merusak lingkungan itu sangat tidak baik. Kemampuan tersebut seharusnya juga digunakan untuk mempromosikan kepada publik bahwa menjaga lingkungan merupakan sebuah keharusan bagi siapa saja. 

Ketiga, mengembangkan startup berbasis lingkungan. Karena sangat unggul dalam pengembangan fintech, milenial dapat merambah bisnis jasa lingkungan dengan memanfaatkan teknologi kekinian. Bisnis tersebut bisa berupa jasa pengelolaan sampah seperti halnya bank sampah, social entrepreneur pengembangan UMKM perhutanan sosial, pariwisata, dan banyak macam bisnis lingkungan lainnya. Tentu semua itu dapat dilakukan karena bisnis jasa lingkungan adalah bisnis masa depan.

Sangat diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki salah satu bonus demografi terbesar di dunia. Untungnya lagi, sebagian besar akan dipenuhi oleh milenial sangat produktif sebagai pendorong kehidupan yang lebih baik. Tentu untuk mewujudkan berbagai angan-angan yang selama ini dianggap mustahil, peran milenial sebagai garda terdepan perubahan itu sangat dibutuhkan.


 Oleh: Delly Ferdian

Digital Media Specialist di Yayasan Madani Berkelanjutan

Related Article

[1000 gagasan] PEMBANGUNAN SEBAGAI PEMERDEKAAN: INSTITUSIONALISASI NILAI PEMERDEKAAN DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA

[1000 gagasan] PEMBANGUNAN SEBAGAI PEMERDEKAAN: INSTITUSIONALISASI NILAI PEMERDEKAAN DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA

Kata pembangunan yang diambil dari bahasa Inggris development merupakan kata yang mengandung makna sangat penting dalam konteks politik-ekonomi. Dalam ruang lingkup tersebut pembangunan dapat diartikan sebagai pilihan politik Negara. Pilihan politik tersebut merupakan pilihan yang syah walaupun bisa saja bersifat Non-Pareto, yaitu Negara syah atas kebijakannya walaupun kebijakan tersebut merugikan bagi sekelompok masyarakat yang terdampak kebijakan tersebut, bahkan bisa saja termasuk kelompok masyarakat yang belum dilahirkan. 

Di sini tampak kata pembangunan dan kebijakan menyatu dalam satu nafas. Implementasi konkritnya dapat dibaca dalam bentuk peraturan-perundangan seperti undang-undang dan turunannya. Karena itu, sangatlah penting melihat pembangunan itu dari sudut pandang institusionalisasi dari serangkaian nilai di balik peraturan perundangan yang dilahirkan. 

Pertanyaan penting yang menjadi bahan uji objyektivfitas dari peraturan perundangan (kebijakan) yang akan ditetapkan atau telah ditetapkan (untuk dievaluasi) adalah apakah peraturan perundangan tersebut, sesuai dengan ruh atau jiwa Pembukaan di atas? 

BACA JUGA: Pembangunan Ekonomi Versus Lingkungan: Siapa yang Mesti Menang?

Nilai pertama yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah kemerdekaan atau anti-penjajahan. Dengan demikian, langkah pengujian dalam seleksi perencanaan pembuatan kebijakan atau dalam proses evaluasi dari suatu atau serangkaian kebijakan adalah apakah nilai pemerdekaan sudah dijadikan dasar utama dalam penyusunan peraturan perundangan atau kebijakan tersebut, Siapa mendapat apa berapa banyak kapan dan dimana setelah Indonesia merdeka selama 75 tahun merupakan pertanyaan penting untuk menjadi bahan evaluasi dari suatu proses pembangunan yang telah dijalankan. Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.

Jadi, siapa mendapat apa berapa banyak subyeknya adalah rakyat Indonesia. Di sinilah letak pentingnya falsafah pembangunan sebagai pemerdekaan. Prediksi-prediksi apa yang akan dicapai pada 2050, misalnya, sebagaimana yang banyak dilakukan selama ini, juga merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dengan melihatnya dari perspektif pemerdekaan sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan mengkaji pengalaman empiris kondisi Indonesia setelah merdeka selama 75 tahun dibandingkan dengan pengalaman negara lain seperti Korea Selatan atau Malaysia, atau bahkan dibandingkan dengan Jepang, RRT atau Amerika Serikat, juga akan memberikan input penting dalam mencari upaya meraih masa depan Indonesia yang lebih baik sesuai dengan yamanah Pembukaan UUD 1945 di atas.

Baca lebih lengkap tentang Pembangunan Sebagai Pemerdekaan: Institusionalisasi nilai pemerdekaan dalam pembangunan Indonesia dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Oleh: Agus Pakpahan

Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI 2000-2003)

Related Article

[1000 gagasan] MEMPERKUAT PERHUTANAN SOSIAL DENGAN KEHATI DAN KEMBALI KE KEARIFAN TRADISIONAL

[1000 gagasan] MEMPERKUAT PERHUTANAN SOSIAL DENGAN KEHATI DAN KEMBALI KE KEARIFAN TRADISIONAL

Keberlanjutan hutan alami termasuk berbagai proses ekosistem dan manfaatnya adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah, pihak swasta, maupun seluruh lapisan masyarakat semuanya merupakan pemangku kepentingan eksosistem hutan. Perhutanan Sosial merupakan program yang memberi ruang bagi para pihak untuk mewujudkan perolehan manfaat seefektif dan seefisien mungkin, dengan demikian mendukung keberlanjutan sumber daya hutan.

Sering kita mendengar “seeing the forest for the trees”. Hutan bukan hanya pohon. Lebih dari sekedar memfasilitasi perbaikan tenurial maupun penanaman vegetasi, maka program Perhutanan Sosial juga memberikan kesempatan pendayagunaan Keanekaragaman hayati (Kehati) dan Kearifan Lokal untuk keberlanjutan ekologi. Dengan penalaran bahwa Perhutanan Sosial yang saat ini mulai menjadi gerakan dapat diperkuat dengan pengarusutamaan keanekaragaman hayati dan kearifan lokal, makalah ini menyoroti bagaimana dalam pelaksanaan di lapangan Perhutanan Sosial dapat diperkaya dengan pendekatan-pendekatan Kehati dan Kearifan Lokal. 

Pertama-tama akan dijelaskan mengenai kebijakan Perhutanan Sosial. Selanjutnya dijelaskan mengenai konsep Kehati dikaitkan dengan Kearifan Lokal. Pada akhirnya, digambarkan prospek sinergi antara Perhutanan Sosial dengan Kehati, dan Kearifan Lokal.

BACA JUGA: Pembangunan Berkelanjutan

Perhutanan Sosial

Kebijakan Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria secara resmi dijalankan semenjak 5 tahun terakhir, yaitu setelah diterbitkannya Peraturan Menteri LHK No 83 Tahun 2016 mengenai Perhutanan Sosial, dan Peraturan Presiden No 86/ 2018 mengenai Reforma Agraria. Kebijakan dan Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) dirancang untuk mewujudkan akses yang berkeadilan terhadap lahan beserta sumber daya lahan, dimana kesemuanya demi untuk mendukung aspek penghidupan masyarakat sekaligus keberlanjutan sumber daya hutan. Dalam praktiknya Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial tersebut akan memberikan ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk  berpartisipasi dan berinovasi dalam pembangunan berbasis sumber daya alam dan manusia yang bersifat berkelanjutan.

Perhutanan Sosial dibagi atas 5 skema:

1) Hutan Kemasyarakatan

Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. Kelompok masyarakat diberi ijin resmi untuk mengelola hutan negara, yaitu bercocok tanam di kawasan hutan. Tanggung jawab terkait adalah bahwa masyarakat berperan aktif mendukung pengelolaan hutan lestari dan perlindungan jasa-jasa lingkungan.

2) Hutan Desa

Hutan Desa adalah Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan Desa. Dalam hal ini Desa diberikan ijin resmi untuk mengelola kawasan hutan di sekitar desa. Masyarakat desa diperkenankan untuk memanen hasil hutan, dengan perhatian utama diberikan pada wana tani, dan pengelolaan hutan lestari serta penerapan praktik-praktik pengelolaan adat. Hutan Desa memiliki landasan hukum Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 dan No. 3 Tahun 2008.

3) Hutan Tanaman Rakyat

Hutan Tanaman Rakyat dibangun dan dikelola oleh kelompok masyarakat. Untuk membantu meningkatkan pasokan kayu berkelanjutan maka kelompok masyarakat baik secara mandiri maupun dengan pendampingan diberikan ijin resmi untuk mengembangkan perkebunan kayu di Kawasan Hutan. Perkebunan kayu ini dapat diselingi dengan jenis-jenis kayu lainnya maksimal hingga 30 persen dari luas areal izin,serta untuk dua-tiga tahun pertama diperkenankan mengembangkan tumpang sari berupa tanaman tahunan yang sesuai.

BACA JUGA: Madani’s Update Mei 2020: Deforestasi, PIPPIB, Karhutla, Perhutanan Sosial, dan Pembaruan NDC

4) Hutan Adat

Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, maka masyarakat hukum adat diberi hak untuk menguasai dan mengelola hutan sesuai dengan adat budaya setempat. UU 41 / 1999 tentang Kehutanan mengakui keberadaan hutan adat, serta mendefinisikan hutan adat sebagai hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Selanjutnya, Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012 memutuskan bahwa hutan adat merupakan hutan milik masyarakat (hutan hak), dan bukan hutan negara. Berdasarkan UU 41/ 1999 penetapan hutan adat perlu didahului oleh sebuah peraturan daerah atau keputusan kepala daerah (tingkat provinsi atau kabupaten), untuk kemudian dilegalisir oleh Keputusan Menteri (LHK). Proses pengakuan hutan adat dirinci dalam Peraturan Menteri LHK No. 21 Tahun 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, yang mengatur tata cara bagi masyarakat hukum adat untuk mengajukan permohonan pengakuan terhadap hutan komunal mereka sebagai hutan adat.

5) Kemitraan Kehutanan

Kemitraan Kehutanan adalah kerja sama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang ijin usaha pemanfaatan hutan/jasa hutan, ijin pinjam pakai kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan. Melalui program Kemitraan Kehutanan, maka perusahaan pemegang konsesi (baik BUMN atau swasta) diwajibkan untuk memberikan hak akses bagi masyarakat setempat. Dalam skema Kemitraan ini, masyarakat lokal diberikan hak untuk memanen hasil hutan bukan kayu (HHBK). Perusahaan tetap berhak atas hasil hutan kayu pada area konsesi yang diberikan pemerintah kepada perusahaan untuk pelaksanaan pembalakan hutan alam dan mengembangkan hutan tanaman.

Untuk mendapatkan gagasan lengkap Memperkuat Perhutanan Sosial dengan Kehati dan Kembali Ke Kearifan Tradisional, silakan unduh materi yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat. 

Tim Penulis: Mochamad Indrawan, Rina Yowei dan Mariana Peday 

Related Article

id_IDID