Madani

Tentang Kami

Apa Itu FOLU Net Sink?

Apa Itu FOLU Net Sink?

Selain berkomitmen untuk mengendalikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagaimana tertuang di dalam Nationally Determined Contribution Republik Indonesia dan Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050, Indonesia juga menetapkan ambisi carbon net sink pada tahun 2030 khusus sektor hutan dan lahan. 

Foresty and other land uses (FOLU) net sink merupakan keadaan ketika jumlah karbon yang diserap oleh sektor hutan dan lahan sama atau lebih besar dari emisi yang dihasilkannya. Target ini sangat ambisius bagi Indonesia mengingat sektor hutan dan lahan masih menyumbang 40% dari total emisi GRK.

Pelajari selengkapnya di bawah ini.

Related Article

Afirmasi Masyarakat Penjaga Hutan dalam Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon

Afirmasi Masyarakat Penjaga Hutan dalam Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon

Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 (Perpres 98/2021) tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional merupakan cerminan serius Pemerintah Indonesia dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan sekaligus sebagai landasan hukum dalam mewujudkan kewajiban Pemerintah dalam kontribusi pengurangan emisi Gas Rumah Kaca.

Selain untuk mengakselerasi dan mengukur pemenuhan target NDC Indonesia, penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) juga diharapkan dapat mempercepat pelaksanaan strategi pembangunan jangka panjang yang rendah karbon dan berketahanan iklim.

Namun, dari kebijakan Perpres 98/2021, kami menganalisis masih terdapat hal-hal yang perlu diperjelas terkait dengan 1) peran dan posisi masyarakat penjaga hutan dalam penyelenggaraan NEK; 2) kepastian legalitas dan pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal untuk mengelola hutan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan NEK; dan 3) pengintegrasian skema jasa lingkungan dalam tata laksana penyelenggaraan NEK.

Berangkat dari permasalahan di atas, kami memberikan rekomendasi kebijakan untuk pelaksanaan penyelenggaraan NEK kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Menteri Keuangan untuk 1) memperkuat posisi dan peran masyarakat penjaga hutan dalam penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon melalui peraturan pelaksana Perpres 98/2021; 2) mengakselerasi pemberian hak legal-formal perhutanan sosial sekaligus memperkuat kapasitas masyarakat penjaga hutan agar dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon; dan 3) merekognisi skema imbal jasa lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat penjaga hutan dalam penyelenggaraan NEK sehingga bermanfaat bagi masyarakat desa pada umumnya dan masyarakat pengelola hutan pada khususnya.

Kejelasan pengaturan dan mekanisme NEK untuk masyarakat penjaga hutan menjadi sangat penting untuk memastikan perolehan manfaat karbon dan pelaksanaan mekanisme pembagian manfaat yang setara bagi masyarakat penjaga hutan yang telah berkontribusi dalam melindungi hutan, mempertahankan cadangan karbon hutan, serta mengurangi pelepasan emisi ke atmosfer.

Dapatkan Kertas Kebijakan Afirmasi Masyarakat Penjaga Hutan dalam Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Memperkuat Pendanaan Lingkungan Hidup yang Inklusif, Transparan, dan Akuntabel

Memperkuat Pendanaan Lingkungan Hidup yang Inklusif, Transparan, dan Akuntabel

Pada 2019, Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) resmi terbentuk di bawah naungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Republik Indonesia setelah melewati proses pendirian dan penyesuaian selama delapan tahun. Peruntukannya juga tidak hanya dibatasi untuk kegiatan REDD+, tetapi sebagai Badan Layanan Umum (BLU) yang mendorong dan mengelola pembiayaan di bidang Lingkungan Hidup. 

Keberadaan bahan ini diharapkan berbagai pendanaan terkait lingkungan hidup, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri, dapat dioptimalkan untuk pencapaian target komitmen iklim Indonesia. Prinsip-prinsip integritas lingkungan hidup, partisipasi efektif masyarakat sipil, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dan lokal yang berangkat dari instrumen pendanaan REDD+ telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembentukan BPDLH. Artinya, keberadaan dan kejelasan terkait kerangka pengaman atau safeguards sosial dan lingkungan menjadi penting untuk memastikan bahwa pendanaannya memenuhi prinsip-prinsip tadi.

Sejak awal BPDLH terbentuk, Madani mengadvokasikan perumusan safeguards yang mengedepankan prinsip-prinsip di atas. Mulai dari analisis dan rekomendasi terkait “hal-hal yang harus diperhatikan agar menjadi instrumen pendanaan yang adil dan inklusif” pada saat operasional BPDLH disiapkan, meluncurkan studi yang mengidentifikasi ruang kosong atau gap yang belum ada dalam kebijakan BPDLH pada 2021 yang mencakup belum adanya kriteria kelembagaan multipihak baik proses maupun strukturnya, cara memantau penerapan safeguards, dan lainnya.

Meski demikian, masih terdapat banyak hal yang harus dipastikan dalam operasionalisasi BPDLH. Pertama, memastikan masyarakat adat dan lokal yang selama ini melindungi hutan alam dapat terfasilitasi dengan baik. Kemudian memastikan kepatuhan terhadap konsep safeguards hingga ke tingkat tapak, memastikan mekanisme pengambilan keputusan yang inklusif, memastikan pencegahan korupsi, dan lain sebagainya. 

Kajian ini dibuat untuk melanjutkan studi yang telah dilakukan sebelumnya sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Harapannya, studi ini dapat digunakan sebagai rekomendasi terhadap mekanisme operasionalisasi dan safeguards kelembagaan, mulai dari kriteria proses sampai strukturnya. Kehadiran studi ini diharapkan dapat menjadi kontribusi Madani untuk mengisi ruang kosong dalam pengimplementasian penyaluran dana BPLDH untuk meminimalkan dampak negatif yang mungkin akan ditimbulkan. Dengan begitu, dana-dana yang disalurkan BPDLH dapat memberikan manfaat maksimal bagi negara, masyarakat, dan pencapaian komitmen iklim Indonesia.

Baca Madani Insight Memperkuat Pendanaan Lingkungan Hidup yang Inklusif, Transparan, dan Akuntabel lebih lengkap dengan mengunduh bahan di tautan di bawah ini:

Related Article

Perpres NEK Harus Mampu Melindungi Iklim, Hutan dan Meningkatkan Perekonomian Masyarakat

Perpres NEK Harus Mampu Melindungi Iklim, Hutan dan Meningkatkan Perekonomian Masyarakat

Pemerintah pada 29 Oktober 2021 telah mengesahkan Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Upaya ini perlu untuk diapresiasi karena berperan penting dalam pencapaian komitmen iklim dan merupakan payung hukum untuk mencapai target penurunan emisi. 

Perpres 98/2021 ini menekankan bahwa Nilai Ekonomi Karbon (NEK) merupakan langkah untuk mendukung perlindungan masyarakat dari bencana iklim. Kami berharap Perpres NEK ini mampu berkontribusi melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan, termasuk iklim, hutan, sekaligus dapat meningkatkan perekonomian masyarakat secara menyeluruh, serta dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat adat dan lokal terutama yang menjaga hutan,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, saat memberikan sambutan pada Talkshow Antara Masyarakat Penjaga Hutan dan Nilai Ekonomi Karbon yang diselenggarakan pada 6 April 2022. 

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad saat menyampaikan kata sambutan pada Talkshow Antara Masyarakat Penjaga Hutan dan Nilai Ekonomi Karbon yang diselenggarakan pada 6 April 2022.

Hadir menjadi narasumber dalam Talkshow ini antara lain Agus Rusly, S.Pi., M.Si. (Kepala Subdit Dukungan Sumberdaya Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK), Dr. Joko Tri Haryanto (Analis Kebijakan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan), Paul Butarbutar (Direktur Eksekutif METI/Co-founder IRID), dan Emmy Primadona (Koordinator Program Iklim, KKI-Warsi).

Apalagi hampir 40 ribu desa berada di sekitar atau tepi kawasan hutan (47%), sementara di dalam kawasan hutan hampir 4%. Harus diakui bahwa mereka dapat berperan penting dalam menjaga komitmen iklim Indonesia. Masyarakat ini harus dilibatkan secara aktif dan tidak hanya dijadikan elemen penerima manfaat saja, tetapi menjadi subjek,” tambah Nadia Hadad.

Emmy Primadona, Koordinator Program Iklim, KKI-Warsi, menambahkan bahwa banyak contoh baik di lapangan yang membuktikan bahwa Perhutanan Sosial terbukti mampu mereduksi emisi karbon melalui pengurangan laju deforestasi hutan. Contohnya seperti di Lanskap Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba), di wilayah Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Pendanaan yang mereka dapatkan dari karbon mencapai Rp 1 miliar. Dari hasil kesepakatan pemuka dan masyarakat desa, dana tersebut dibelikan sembako dan dibagikan merata kepada 1.259 kepala keluarga yang terlibat dalam pengelolaan Hutan Lindung Bujang Raba. “NEK menjadi peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan dukungan pendanaan untuk digunakan membiayai kegiatan menjaga hutan sekaligus kegiatan sosial seperti beasiswa, panti jompo, patroli hutan, dan sebagainya,” kata Emmy Primadona. 

Lebih lengkap materi narasumber dalam Talkshow Antara Masyarakat Penjaga Hutan dan Nilai Ekonomi Karbon dapat diunduh di dalam lampiran berikut. 

Related Article

Berikan Generasi Mendatang Indonesia Kesempatan Berjuang Untuk Bertahan Hidup

Berikan Generasi Mendatang Indonesia Kesempatan Berjuang Untuk Bertahan Hidup

[Jakarta, Selasa, 5 April 2022] Laporan IPCC tentang Mitigasi yang  keluar pada 4 April 2022 dengan tegas menyatakan bahwa kita harus beraksi sekarang untuk mengurangi emisi global hingga setengahnya pada 2030 agar dapat menahan laju pemanasan global tidak melebihi 1,5 derajat. Komitmen iklim (NDC) negara-negara saat ini akan membawa kita ke pemanasan global 2,8 derajat pada 2100, jauh di atas batas aman 1,5 derajat. Laporan ini dengan tegas juga menyatakan bahwa pengurangan emisi di sektor pertanian, kehutanan, dan lahan (AFOLU) dapat membantu mengurangi emisi global dalam skala besar, tapi tidak dapat mengkompensasi penundaan pengurangan emisi di sektor lain.

Oleh karena itu, agar generasi mendatang Indonesia memiliki peluang untuk selamat, pemerintah harus melakukan dua hal sekaligus: mengurangi energi fosil secara drastis serta menjaga dan memulihkan ekosistem alam tersisa yang berperan besar dalam menyerap emisi GRK dari atmosfer. Hal ini termasuk melindungi seluruh bentang hutan alam tersisa, tidak lagi membuka dan mengeringkan gambut, dan menjaga dan memulihkan mangrove secara masif,” ujar Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi Laporan IPCC tentang Mitigasi yang telah dikeluarkan pada 4 April 2022.

Saat ini, kajian spasial Madani menemukan bahwa sekitar 9,7 juta hektare hutan alam Indonesia dan 2,9 juta hektare ekosistem gambut yang berada di luar izin/konsesi dan wilayah yang dialokasikan untuk perhutanan sosial masih belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru. Hutan-hutan alam ini perlu segera dilindungi oleh berbagai instrumen kebijakan. Selain itu, ada hutan-hutan alam di dalam izin/konsesi (sawit, IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, konsesi minerba dan konsesi migas) sebesar 27,2 juta hektare yang juga perlu dipikirkan strategi menjaganya. 

Pemerintah Indonesia telah menetapkan target Indonesia FOLU Net Sink 2030 yang berambisi agar sektor hutan dan lahan Indonesia tidak lagi menjadi pengemisi melainkan menjadi penyerap karbon pada 2030. Salah satu sasaran kerjanya adalah pengurangan deforestasi dan degradasi. Ambisi ini layak diapresiasi dan didukung implementasinya. Namun, ambisi ini perlu tercermin dalam dokumen NDC Indonesia yang sedianya akan diperbarui pada 2022 (Second Updated NDC),” kata Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Pemerintah juga telah menetapkan kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk mencapai target NDC Indonesia dan mengendalikan emisi dalam pembangunan. “Mengingat urgensi untuk mengurangi emisi dan adanya target 2030, Nilai Ekonomi Karbon (NEK) harus diprioritaskan untuk aksi yang betul-betul mengurangi emisi dari atmosfer – termasuk yang dijalankan masyarakat adat dan masyarakat lokal selaku penjaga hutan – dan tidak bisa bertumpu pada offset yang tanpa aturan yang ketat dan transparansi justru dapat mengurangi ambisi iklim,” tambah Yosi Amelia.

Dalam IPCC Report juga disebutkan bahwa untuk memaksimalkan potensi mitigasi sektor AFOLU, diperlukan kebijakan yang secara langsung menangani emisi dan mendorong penerapan opsi mitigasi berbasis lahan – salah satunya melalui penetapan dan penghormatan hak tenurial dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. 

Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia perlu diapresiasi mengingat dokumen Updated NDC Indonesia telah menekankan penghormatan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat dan lokal melalui pemberdayaan dan mengakui hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam pembangunan. Sejalan dengan ini, Pemerintah juga telah membuka peluang pemberian hak pengelolaan hutan melalui Perhutanan Sosial. Akan tetapi, sampai saat ini, pemberian izin pengelolaan perhutanan sosial bagi masyarakat pengelola hutan masih jauh dari target yang dicanangkan pemerintah. Sementara itu, dalam target Indonesia FOLU Net Sink 2030, program perhutanan sosial menjadi salah satu strategi kunci untuk pencapaiannya. Agar target ini dapat selaras, Pemerintah perlu mempercepat pemberian izin Perhutanan Sosial bagi masyarakat adat dan lokal serta memperkuat pendampingan dalam implementasinya,” tambah Yosi Amelia.

Pemerintah daerah sebagai salah satu Non-Party Stakeholders, menjadi kunci dalam menjalankan aksi-aksi pengendalian emisi di wilayahnya. “Untuk mengakselerasi pencapaian target komitmen iklim, pemerintah daerah telah dimandatkan untuk turut andil dalam penyelenggaraan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta berperan dalam penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) seperti yang tertuang dalam Perpres 98/2021. Lebih spesifik lagi, Perpres NEK mewajibkan pemerintah provinsi untuk menyusun baseline, target dan rencana aksi pengurangan emisi GRK, melakukan pembinaan, inventarisasi, memonitor dan melaporkan aksi pengendalian emisi GRK. Namun, untuk menjalankan mandat tersebut, penting untuk memastikan keselarasan kebijakan nasional dan daerah,  peningkatan kemampuan dan kapasitas daerah dalam penyusunan perencanaan yang berkelanjutan,  penguatan sumber pendanaan hijau, serta keterlibatan multisektor lainnya baik akademisi maupun swasta untuk menjalankan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim,” kata Resni Soviyana, Program Officer Green Development Yayasan Madani Berkelanjutan.

M. Arief Virgy, Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan, menambahkan bahwa Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) dapat menjadi peluang strategis Indonesia untuk mendorong transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan, termasuk Bahan Bakar Nabati sebagai energi transisi. “Namun, agar kebijakan BBN nasional selaras dengan pencapaian komitmen iklim Indonesia serta emisi nol bersih, RUU EBT perlu memasukkan pengaturan pemenuhan prinsip keberlanjutan sosial dan lingkungan dalam pengembangan BBN baik aspek hulu hingga hilir serta mengedepankan diversifikasi komoditas bahan baku dengan menekankan pada pemanfaatan teknologi BBN generasi 2 atau limbah,” kata M. Arief Virgy. [ ] 

Kontak Media:

  • Nadia Hadad, Direktur Eksekutif  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0811 132 081
  • Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0813 2217 1803
  • M. Arief Virgy, Program Officer Biofuel Yayasan Madani Berkelanjutan  HP. 0859 2614 0003
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Mendorong Prinsip Keberlanjutan dan Diversifikasi Bahan Baku Bahan Bakar Nabati dalam RUU Energi Baru Terbarukan

Mendorong Prinsip Keberlanjutan dan Diversifikasi Bahan Baku Bahan Bakar Nabati dalam RUU Energi Baru Terbarukan

arget untuk mencapai kemandirian energi nasional dan target pencapaian komitmen iklim sesuai Nationally Determined Contribution (NDC) menjadi dua tujuan besar Nasional saat ini, dan pencapaian keduanya mutlak mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan. Untuk mencapainya, solusi yang dipilih oleh Pemerintah adalah melalui penerapan energy mix policy (kebijakan bauran energi).

Pada sektor bahan bakar, kebijakan yang dipilih adalah melalui penerapan Bahan Bakar Nabati (BBN), baik untuk sektor PSO maupun non-PSO dengan menggunakan biodiesel berbahan dasar kelapa sawit (crude palm oil). Namun pilihan ini masih sangat rentan, karena sangat tergantung dengan satu jenis komoditas saja dan masih memiliki berbagai tumpukan permasalahan sosial–ekologis lainnya. 

Usulan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang telah masuk ke dalam PROLEGNAS 2020-2024 merupakan peluang untuk mempertimbangkan berbagai hal yang diperlukan untuk lebih memperjelas arah kebijakan energi (khususnya Bahan Bakar Nabati) Indonesia. 

Namun, dalam draft terakhir dari RUU EBT masih belum mengatur mengenai diversifikasi bahan baku untuk BBN maupun aspek keberlanjutan lain dari penerapan BBN. Oleh karena itu, ringkasan kebijakan ini memberikan dua rekomendasi untuk dipertimbangkan dalam penyusunan RUU EBT, terutama terkait:

1) Penguatan pengaturan terkait pemenuhan prinsip keberlanjutan sosial dan lingkungan dalam pengembangan BBN, mencakup industri hulu hingga hilir dari BBN;

2) Penguatan pengaturan terkait ketentuan pengembangan BBN dengan mengedepankan diversifikasi komoditas sebagai bahan baku dan penekanan terhadap pemanfaatan teknologi BBN generasi 2 (pemanfaatan limbah sebagai bahan baku).

Dapatkan dokumen Policy Brief Mendorong Prinsip Keberlanjutan dan Diversifikasi Bahan Baku Bahan Bakar Nabati dalam RUU Energi Baru Terbarukan dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Potensi Bahan Baku Bakar Nabati di Indonesia, Apa Saja?

Potensi Bahan Baku Bakar Nabati di Indonesia, Apa Saja?

Sebagai upaya mengatasi krisis iklim dunia, mengurangi bahkan menghentikan pemanfaatan energi fosil menjadi sebuah keniscayaan. Namun, banyak negara yang terlihat sulit untuk menghentikan pemanfaatan energi fosil karena efek ketergantungan yang sangat kuat, misalnya pada minyak bumi dan gas, bahkan pada batubara yang harganya relatif murah .

Kesulitan dalam mengatasi hal tersebut membuat banyak pihak menganjurkan untuk mengalihkan dan mengurangi pemanfaatan sumber energi dari bahan bakar fosil dengan memanfaatkan bahan bakar nabati (BBN).

Menurut Departemen Energi Amerika Serikat, biofuel seperti etanol menghasilkan karbon dioksida hingga 48 persen lebih sedikit daripada bensin konvensional. Sementara itu, penggunaan biodiesel hanya melepaskan seperempat jumlah karbon dioksida yang dikeluarkan diesel konvensional. Hal ini menjadi pilihan yang jauh lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil.

Suatu saat bahan bakar fosil akan tidak dimanfaatkan lagi karena dampak kerusakan lingkungan salah satunya krisis iklim yang diakibatkannya. Menuju transisi energi bersih yang lebih terbarukan, meninggalkan energi fosil dengan beralih memanfaatkan biofuel dinilai cukup realistis.

Menurut Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan (2015), beragam bahan baku hasil pertanian dapat digunakan untuk memproduksi BBN, seperti bioavtur, biodiesel, dan bioetanol. Bahan baku pertanian tersebut bisa dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu minyak/lemak, pati/gula dan lignoselulosa. Tanaman penghasil minyak dan lemak, antara lain, ialah kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, nyamplung, kemiri sunan, dan mikroalga. Tanaman penghasil pati/gula misalnya tebu, ubi kayu, jagung, sagu, aren, sorgum, dan makroalga. Tanaman penghasil lignoselulosa contohnya limbah kehutanan, limbah pertanian, dan rumput gajah. 

Meskipun banyak tanaman yang dapat digunakan untuk memproduksi BBN, tidak semua tanaman yang potensial untuk diproduksi menjadi BBN. Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan (2015) menentukan tujuh kriteria jenis tanaman yang potensial untuk diproduksi menjadi BBN di Indonesia. Pertama, bahan pangan yang sudah surplus. Kedua, produktivitas tanaman. Ketiga, rendemen BBN. Keempat, tanaman energi multiguna. Kelima, kesiapan pengembangan tanaman. Keenam, kebijakan pemerintah. Ketujuh, lahan tidak bersaing dengan tanaman pangan/kemudahan tumbuh di lahan marginal.

Berdasarkan pada tujuh kriteria dan produk yang ditetapkan untuk dikembangkan, Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan (2015) menyebut 13 tanaman di Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi biodiesel dan bioetanol.

  1. Kelapa sawit. Kelapa sawit di Indonesia termasuk tanaman yang sudah surplus untuk memenuhi bangan pangan. Produktivitas kelapa sawit 24 ton/ha/tahun. Rendemen kelapa sawit untuk diolah menjadi biodiesel sebesar 5.950 biodiesel/ha. 
  2. Kelapa. Kelapa di Indonesia termasuk tanaman yang sudah surplus untuk memenuhi bangan pangan. Produktivitas kelapa 1,2—7,5 ton/ha/tahun. Rendemen kelapa untuk diolah menjadi biodiesel sebesar 2.689 biodiesel/ha. 
  3. Jarak pagar. Jarak pagar di Indonesia termasuk tanaman nonpangan. Produktivitas jarak pagar 5—10 ton/ha/tahun. Rendemen jarak pagar untuk diolah menjadi biodiesel sebesar 1.892 biodiesel/ha. 
  4. Nyamplung. Nyamplung di Indonesia termasuk tanaman nonpangan. Produktivitas nyamplung 20 ton/ha/tahun. Rendemen nyamplung untuk diolah menjadi biodiesel sebesar 2.200 biodiesel/ha. 
  5. Kemiri sunan. Kemiri sunan di Indonesia termasuk tanaman nonpangan. Produktivitas kemiri sunan 15 ton/ha/tahun. Rendemen kemiri sunan untuk diolah menjadi biodiesel sebesar 6.000 biodiesel/ha. 
  6. Pongamia. Pongamia di Indonesia termasuk tanaman nonpangan. Produktivitas pongamia 7—29 ton/ha/tahun. Rendemen pongamia untuk diolah menjadi biodiesel sebesar 3.600—5.000 biodiesel/ha. 
  7. Karet. Karet di Indonesia termasuk tanaman non pangan. Produktivitas karet 1,7 ton/ha/tahun. Rendemen karet untuk diolah menjadi biodiesel sebesar 353 biodiesel/ha. 
  8. Tebu. Tebu di Indonesia termasuk tanaman pangan yang belum surplus. Produktivitas tebu 75—95 ton/ha/tahun. Rendemen tebu untuk diolah menjadi bioetanol sebesar 5.000—6.000 bioetanol/ha. 
  9. Ubi kayu. Ubi kayu di Indonesia termasuk tanaman pangan yang belum surplus. Produktivitas ubi kayu 30-40 ton/ha/tahun. Rendemen ubi kayu untuk diolah menjadi bioetanol sebesar 4.500 bioetanol/ha. 
  10. Jagung. Jagung di Indonesia termasuk tanaman pangan yang belum surplus. Produktivitas jagung 8—14 ton/ha/tahun. Rendemen jagung untuk diolah menjadi bioetanol sebesar 5.000—6.000 bioetanol/ha. 
  11. Sagu. Sagu di Indonesia termasuk tanaman pangan yang sudah surplus. Produktivitas sagu 25 ton/ha/tahun. Rendemen jagung untuk diolah menjadi bioetanol sebesar 4.000—5.000 bioetanol/ha. 
  12. Aren. Aren di Indonesia termasuk tanaman pangan yang belum surplus. Produktivitas aren 80 ton/ha/tahun. Rendemen aren untuk diolah menjadi bioetanol sebesar 11.428 bioetanol/ha. 
  13. Sorgum. Sorgum di Indonesia termasuk tanaman nonpangan. Produktivitas sorgum 30—50 ton/ha/tahun. Rendemen sorgum untuk diolah menjadi bioetanol sebesar 5.000—6.000 bioetanol/ha. 

Dari semua tanaman yang potensial untuk diproduksi menjadi BBN itu, sawit lebih banyak dimanfaatkan oleh pemerintah. 

Dikutip dari Ebtke.Esdm.go.id (2019), pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM menggalakkan Program Mandatori BBN melalui Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan Bakar Lain sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015. 

Menurut Ebtke.Esdm.go.id (2019), tujuan implementasi Program Mandatori BBN ialah untuk memenuhi komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% dari BAU pada 2030; meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi; stabilisasi harga CPO; meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri kelapa sawit; memenuhi target 23% kontribusi EBT dalam total energi mix pada 2025; mengurangi konsumsi dan impor BBM; mengurangi emisi GRK; dan memperbaiki defisit neraca perdagangan.

Pemerintah juga telah memasukkan sawit ke dalam salah satu dari lima program untuk meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan. Program itu masuk ke dalam Prioritas Riset Nasional 2020—2024 yang berada di bawah Kemenristek/BRIN (Kompas.com, 2021). Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro, mengatakan bahwa target penggunaan BBN dari sawit sebagai BBM ialah menghasilkan bensin, diesel, maupun avtur 100 persen dari bahan baku kelapa sawit sehingga bisa mengurangi impor BBM (Kompas.com, 2021).

Namun dominasi sawit sebagai bahan bakar nabati ini rentan menimbulkan permasalahan, mengingat Indonesia kaya dengan bahan bakar nabati lainnya. Jika hanya bergantung pada satu sumber bahan (feedstock) saja maka akan muncul ermasalahan seperti monokultur, persoalan lingkungan hidup, ancaman fungsi hutan dan lahan hingga “perebutan” sumber pangan dan energi.  [ ]

Sumber: 

  • “Apa Itu Biofuel (Bahan Bakar Nabati)?” (Madaniberkelanjutan.id, 5 Oktober 2021).

  • Buku Kajian Pengembangan Bahan Bakar Nabati (Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan, 2015).

  • “Program Mandatori Biodiesel 30% (B30)” (Ebtke.Esdm.go.id, 19 Desember 2019).

  • “Pemerintah Siapkan 5 Prioritas Program Energi Terbarukan Hingga 2024” (Kompas.com, 20 April 2021).

Related Article

Yayasan Madani Berkelanjutan Selenggarakan Bimbingan Teknis Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah Provinsi Maluku

Yayasan Madani Berkelanjutan Selenggarakan Bimbingan Teknis Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah Provinsi Maluku

[Madani News] Dalam mendukung upaya mewujudkan pembangunan hijau di Indonesia, Yayasan Madani Berkelanjutan berkolaborasi bersama pemerintah daerah salah satunya di Provinsi Maluku melalui penyelenggaraan Bimbingan Teknis Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah Provinsi Maluku pada Senin, 22 November sampai Selasa, 23 November 2021 di Maluku.

Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto menyampaikan bahwa Yayasan Madani Berkelanjutan sangat antusias dalam kolaborasi mendukung pembangunan hijau bersama pemerintah daerah. 

Melalui bimbingan teknis ini, kami berharap bapak-ibu menjadi lebih terampil dan bersemangat dalam mengemban tugas mulia mendorong pembangunan hijau. Kami juga berharap kedepannya Bappeda maupun instansi pemerintah di lingkup kerja Provinsi Maluku dapat bekerja sama dengan Madani Berkelanjutan guna menyusun RPJMD dan menyelaraskan RPJMD dengan Rencana Strategis,” ujar Giorgio dalam memberikan sambutan pada pelaksanaan bimbingan teknis.

Sementara itu, Lita Soulisa selaku Kepala Bidang Data Pembangunan, Perencanaan Program, Pengendalian Evaluasi dan Pelaporan Bappeda Provinsi Maluku, menyampaikan bahwa dengan adanya kerja sama dalam acara bimtek ini diharapkan dapat menjadi sebuah sarana yang edukatif dan informatif dalam menyusun RPJMD Provinsi Maluku 2019-2024 dan menyelaraskan RPJMD dengan penyusunan rencana strategis.

Dalam kegiatan ini, Yayasan Madani Berkelanjutan mengundang sejumlah pakar yang bertindak sebagai narasumber yakni Joko Tri Haryanto dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Rico Arya Radestya, S.E., M, Si., Tenaga Ahli Perencanaan Pembangunan Daerah, Direktorat Jenderal Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri, dan Doddy Afianto, Tenaga Ahli Perencanaan Pembangunan Daerah, Direktorat Jenderal Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri.

Sebagai narasumber, Rico Arya Radestya berperan dalam menyampaikan tentang sinkronisasi RPJMD ke dalam Renstra dan RPJMD Kab/Kota Provinsi Maluku 2019-2024. Doddy Afianto menyampaikan beberapa poin evaluasi dan telaah yang ditemukan pada RPJMD Provinsi Maluku 2019-2024.

Kemudian, Joko Tri Haryanto menyebut bahwa draft yang disampaikan oleh Provinsi Maluku sudah luar biasa, hanya saja ada kesalahan kecil yang mengganggu saat membaca yaitu typo yang menandai bahwa ketelitian harus menjadi prioritas dalam penyusunan dokumen. [ ]

Related Article

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam LTS-LCCR

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam LTS-LCCR

LTS-LCCR atau Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience merupakan strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan iklim. Dokumen LTS-LCCR memuat arahan atau visi jangka panjang yang memandu peningkatan ambisi mitigasi iklim dalam NDC-NDC selanjutanya hingga tahun 2050.

Ambisi dalam LTS-LCCR leih tinggi dibandingkan dengan ambisi pada update NDC 2030. Untuk sektor energi, pengembangan BBN untuk transportasi dan pembangkit listrik menjadi arahan umum LTS-LCCR, di sektor transportasi (target 2050) penggunaan BBN untuk transportasi mencapai 46% dan energi listrik untuk kendaraan listrik mencapai 30%.

Biofuel diproyeksi akan berperan penting dalam mitigasi gas rumah kaca di sektor pembangkit listrik. Kapasitas pembangkit listrik bahan bakar nabati (skenario paling ambisius) yakni 14 GW pada 2050. 

Perlu menjadi catatan bahwa LTS-LCCR menyadari bahwa strategi penggunaan BBN memiliki dampak negatif pada ketahanan pangan dan ekspansi lahan. Untuk itu, LTS-LCCR merekognisi adanya kebutuhan memproduksi BBN dari sumber-sumber yang berkelanjutan.

Related Article

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam RPJMN 2020-2024

Bahan Bakar Nabati (BBN) Dalam RPJMN 2020-2024

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Bahan Bakar Nabati (BBN) masuk sebagai tahapan terakhir dari pencapaian. Teradapat tujuh target agenda prioditas pembangunan pada RPJMN 2020-2024, pengembangan BBN sendiri masuk pada agenda Memperkuat Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan.

Pengembangan BBN menjadi salah satu strategi pembangunan rendah karbon. Pengembangan BBN sendiri melalui produksi Biodiesel dan Green Fuel. Kapasitas produksi bahan bakar nabati berbasis sawit dipenuhi melalui pemberdayaan perkebunan sawit rakyat.

Dalam target RPJMN 2020-2024, bauran EBT mencapai 23% hingga 2024, pemanfaatan BBN Domestik mencapai 17,4 kiloliter hingga 2024, dan pembangunan energi terbarukan green fuel berbasis kelapa sawit menjadi proyek prioritas strategis (major project).

Related Article

id_IDID