Madani

Tentang Kami

Gelar Pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System di Kalimantan Barat, Yayasan Madani Berkelanjutan: Kita Harus Adil Terhadap Iklim

Gelar Pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System di Kalimantan Barat, Yayasan Madani Berkelanjutan: Kita Harus Adil Terhadap Iklim

[Madani News, 02/11/2021] Yayasan Madani Berkelanjutan menggelar kegiatan Pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System pada Kamis sampai Jumat, 28-29 Oktober di Provinsi Kalimantan Barat. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas OPD Provinsi Kalimantan Barat dalam melakukan manajemen penganggaran dan penentuan program prioritas hijau agar daerah dapat berperan dalam memobilisasi sumber-sumber pendanaan baik publik dan non-publik.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad menyampaikan bahwa pelaksanaan kegiatan ini sangat penting sebagai upaya non state aktor untuk berkolaborasi bersama pemerintah dalam mencapai target komitmen iklim Indonesia.

Kolaborasi antar stakeholder sangat penting di tengah kondisi krisis iklim saat ini. Kita harus berlaku adil, tidak hanya adil terhadap diri sendiri, tapi juga terhadap lingkungan dan juga iklim”, ujar Nadia Hadad.

Sependapat dengan hal itu, Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Barat , Ir.Sukaliman,MT juga menyebut pentingnya keadilan terhadap iklim. 

Sependapat dengan Ibu Nadia Hadad tadi, Kita perlu adil terhadap lingkungan, bukan kepada diri kita sendiri. Karena lingkungan ini bukan hanya milik kita tapi juga milik anak cucu kita nantinya”, ujar Sukaliman. 

Sukaliman juga menyampaikan pentingnya pelatihan Green Budget Tagging dan System Scoring yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan ini. “Sangat urgent kawan-kawan dari sekian OPD ini untuk mengetahui persoalan tagging untuk membiayai apa yang akan kita lakukan”, tambah Sukaliman. 

Diskusi Green Budget Tagging dan Scoring System di Provinsi Kalimanta Barat

Dalam pelatihan ini, hadir beberapa narasumber seperti Joko Tri Haryanto dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Rico Arya Radestya, S.E., M, Si., Tenaga Ahli Perencanaan Pembangunan Daerah, Direktorat Jenderal Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri, dan Doddy Afianto, Tenaga Ahli Perencanaan Pembangunan Daerah, Direktorat Jenderal Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri.

Dalam pelatihan, Joko Tri Haryanto menyampaikan bahwa fungsi budget tagging itu adalah konsolidasi pendanaan. “Perlu kita pahami bahwa dana publik itu tidak cukup. Kalau di daerah menggantungkan dana publik, itu berat. Budget tagging ini juga memberikan perubahan paradigma karena jangan sampai kita menggunakan dana publik yang 30%. Kita harus gunakan dana dari 70% dari non state aktor,” ujar Joko. 

Rico Arya Radestya mengatakan Tugas kita mentagging ini adalah untuk mempertegas komitmen kita dalam peningkatan ekonomi hijau. 

Apa yang kita rencanakan itu harus menjadi dasar perumusan penganggaran. Gak mungkin ingin menurunkan emisi GRK 29% secara mandiri tapi tidak muncul di dokumen perencanaan dan penganggaran,” tegas Rico. [ ] 

Related Article

WE’RE HIRING: PROGRAM ASSISTANT PERUBAHAN IKLIM DAN PEMBANGUNAN DAERAH BERKELANJUTAN

WE’RE HIRING: PROGRAM ASSISTANT PERUBAHAN IKLIM DAN PEMBANGUNAN DAERAH BERKELANJUTAN

Yayasan Madani Berkelanjutan (Manusia dan Alam untuk Indonesia Berkelanjutan) adalah lembaga nirlaba yang bertujuan untuk memperkuat berbagai inisiatif lokal dan nasional dalam menyelamatkan hutan untuk membangun ekonomi Indonesia tanpa merusak lingkungan dengan strategi menjembatani hubungan antar pemangku kepentingan untuk mencapai solusi invoatif terkait tata kelola hutan dan lahan. 

Indonesia telah berkomitmen dalam penurunan emisi karbon dengan target 29%-41% dari level BAU pada tahun 2030 yang terefleksi dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Target ini merupakan capaian Nasional yang tentunya perlu peran serta dari semua pihak termasuk para pemangku kebijakan dan masyarakat pada tingkat sub-nasional. Perlu adanya sinkronisasi metodologi, kelembagaan, dan perencanaan pembangunan antara nasional dan sub-nasional yang mendukung tercapaianya target penurunan emisi karbon di 2030. Hal ini menjadi peluang untuk memfasilitasi dan memobilisasi dukungan pemerintah, khususnya pemerintah daerah, NGO dan kelompok muda untuk mengimplementasikan dan/atau mendorong peningkatan ambisi target dan aksi iklim di Indonesia.

Kami membuka kesempatan untuk bergabung dengan Yayasan Madani Berkelanjutan sebagai Program Assistant Perubahan Iklim dan Pembangunan Daerah Berkelanjutan untuk mengelola kegiatan-kegiatan program Yayasan Madani Berkelanjutan yang berkaitan dengan advokasi perubahan iklim secara menyeluruh termasuk namun tidak terbatas pada: 

BACA JUGA: Mengoptimalkan Perlindungan Hutan Alam dan Ekosistem Gambut Pasca-Moratorium Untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia

Tugas dan Tanggung Jawab: 

1. Melaksanakan aktivitas program, mulai dari persiapan, pengelolaan dan perlibatan sumberdaya hingga pelaporan kegiatan. 

2. Mengelola Database program.

3. Terlibat dalam proses penyusunan proposal dan laporan program. 

4. Memberi masukan pada atasan terkait dengan pelaksanaan program sebagai bahan evaluasi dan perbaikan program ke depannya. 

5. Mengumpulkan data dan riset untuk event/program yang sedang ditangani. 

6. Mengikuti perkembangan kebijakan pemerintah yang terkait dengan program yang tengah ditangani, termasuk jadwal acara Rekan Pemerintah dan CSO yang relevan. 

7. Melakukan penyusunan, pengarsipan, serta diseminasi biweekly update report kepada Mitra dan Jaringan. 

8. Menjalin relasi dan komunikasi dengan Mitra dan Jaringan, termasuk Rekan Pemerintah. 

9. Mengumpulkan data dan informasi untuk membantu penyusunan analisis dan kajian Madani.

10. Meningkatkan kapasitas pribadi secara terus-menerus dan membantu peningkatan kapasitas organisasi.

11. Turut terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan Madani dan mengerjakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh atasan sesuai dengan perkembangan organisasi.

Kualifikasi

1. S1 semua jurusan, yang relevan dengan program yang ditangani

2. Memiliki pengalaman 2 tahun sebagai Program Assistant di bidang lingkungan khusunya isu terkait

perubahan iklim/kehutanan/lingkungan hidup/geografi

3. Memiliki pengalaman administrasi dan keuangan project

4. Menguasai Microsoft Office

5. Mampu berkomunikasi menggunakan bahasa inggris aktif dan pasif

6. Mampu bekerja dengan baik dalam tim, teliti dan kreatif

Harap kirimkan aplikasi anda dengan melampirkan CV dan Letter of Interest melalui email ke: rekrutmen@madaniberkelanjutan.id paling telat tanggal 12 November 2021 dengan subject: MDN – PA MADANI. 

Kami memberikan kesempatan kepada semua orang yang tertarik dan memenuhi syarat terlepas dari ras, jenis kelamin, disabilitas, agama/kepercayaan dan usia untuk mengirimkan aplikasinya.

 

Related Article

Sulitnya Posisi Delegasi Indonesia dalam COP26

Sulitnya Posisi Delegasi Indonesia dalam COP26

Pemerintah Indonesia mengklaim telah mempersiapkan para delegasi dan negosiator handal dalam perundingan iklim pada COP 26 UNFCCC di Glasgow November mendatang. Bahkan dalam siaran pers yang dipublikasikan dalam website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri LHK, Siti Nurbaya menekankan kepada para Delegasi Indonesia untuk COP 26 agar menunjukkan kepada Dunia Internasional bahwa Indonesia sangat serius dalam penanganan pengendalian perubahan iklim yang terencana dan solid antar sektor.

Pertanyaan mendasarnya adalah benarkah pemerintah selama ini serius dalam pengendalian perubahan iklim? Jawaban dari pertanyaan itu menjadi penting jika pemerintah ingin posisi tawarnya dalam COP 26 itu menguat. Sebaliknya, bila selama ini pemerintah ternyata tidak serius dalam melakukan pengendalian krisis iklim, posisi tawar para delegasi dalam negosiasi akan lebih sulit, karena para delegasi harus merangkai-rangkai cerita untuk membangun pencitraan seolah-olah pemerintah serius dalam pengendalian krisis iklim.

Salah satu indikasi keseriusan pemerintah dalam mengatasi krisis iklim adalah dengan mengendalikan laju penggundulan hutan (deforestasi). Hutan memang berpotensi menyerap emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab krisis iklim. Makin luas hutan yang hancur, makin banyak pula emisi GRK yang dilepas di atmosfer. Jika itu yang terjadi, bencana ekologi akibat krisis iklim akan semakin sering menghampiri kita. 

Salah satu kawasan hutan di Indonesia yang tersisa adalah di Papua. Celakanya, di Papua, laju deforestasi juga melonjak tajam. Data deforestasi hutan sejak tahun 1992 hingga tahun 2019 dari Yayasan Auriga Nusantara, seperti ditulis merdeka.com, mengungkapkan bahwa luas hutan alam yang hilang pada 2015-2019 mencapai 2,81 juta hektare. Angka deforestasi tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992. 

Seperti ditulis CNN Indonesia, KLHK mengakui bahwa pada era Presiden Jokowi menerbitkan 17 Surat Keputusan (SK) Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) pada 2015-2019 dengan luas total lahan 269.132 hektare. Namun, KLHK mengungkapkan bahwa hampir 100 persen deforestasi yang terjadi di 2015 berasal dari luar areal 17 SK PKH yang diterbitkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi selama periode 2015-2019.

Debat antara organisasi lingkungan hidup dan KLHK terkait deforestasi di Papua tidak bisa menghapus fakta bahwa telah terjadi penghancuran hutan besar-besaran di Papua, terlepas itu terjadi karena konsesi yang diterbitkan di era Presiden SBY atau Jokowi. Tugas pemerintah harusnya mencegah semaksimal mungkin terjadinya penghancuran hutan alam Papua yang tersisa itu.

Kurang seriusnya pemerintah dalam mengatasi persoalan deforestasi ini nampak juga dengan masih seringnya pemerintah ’membunuh’ pembawa pesan pihak-pihak yang melontarkan kritik atas pengelolaan hutan dengan memberikan label tidak nasionalis. Narasi nasionalisme dibangun atas dalih hasil perkebunan sawit, yang tak jarang menghancurkan hutan, itu merupakan penghasil devisa, sehingga kampanye perubahan iklim, tak lebih sebagai upaya untuk menghancurkan kedaulatan ekonomi Indonesia. Pihak-pihak yang mengkampanyekan perubahan iklim pun diberikan label sebagai antek asing.

Pengendalian emisi GRK bukan hanya dari sektor kehutanan namun juga sektor energi. Indonesia tercatat sebagai pengekspor energi fosil, terutama batubara, penyebab krisis iklim. Menurut data dari Outlook Energi Indonesia (OEI) 2019, pada tahun 2018, total produksi energi primer yang terdiri dari minyak bumi, gas bumi, batubara, dan energi terbarukan mencapai 411,6 Million Tonne Of Oil Equivalent (MTOE). Sebesar 64% atau 261,4 MTOE dari total produksi tersebut diekspor terutama batubara dan LNG.  

Meskipun nilai ekspor batubara dari Indonesia naik turun, secara umum ekspor batubara masih dominan. Menurut BPS dalam publikasi analisis komoditas ekspor 2013-2020 tercatat bahwa nilai ekspor sektor pertambangan didominasi dari ekspor pertambangan batubara (83,40%). 

Padahal emisi GRK dari batubara ini mendorong percepatan krisis iklim. Pembakaran batubara menghasilkan lebih banyak karbon dioksida per unit energi yang dihasilkan daripada bahan bakar fosil lainnya. Dibandingkan dengan gas, batubara melepaskan 66% lebih banyak CO2 per unit energi yang dihasilkan. Bukan hanya itu, tambang batubara melepaskan metana ke atmosfer. Metana dua puluh kali lebih kuat daripada karbon dioksida sebagai GRK, penyebab krisis iklim. 

Seperti ditulis dalam komitmeniklim.id, menjelang COP 26, justru rencana bebas karbon Indonesia dinilai belum jelas. Ketidakjelasan itu terlihat ketika PLN meluncurkan peta jalan untuk menghentikan pembangkit listrik batu bara pada 2060. Langkah ini mundur dari pengumuman sebelumnya yang menjadi netral karbon pada tahun 2050.

Komitmen untuk mengatasi krisis iklim terkait penggunaan energi kotor batubara ini juga terlihat dari dominasi bank-bank BUMN yang masih mendanai proyek-proyek batubara. Laporan urgewald yang berbasis di Jerman, mengungkapkan bahwa bank-bank BUMN seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN termasuk empat dari enam bank di Indonesia yang masih mendanai proyek-proyek energi kotor batubara selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020. 

Ketiadaan komitmen bank-bank BUMN untuk menghentikan pendanaan ke proyek-proyek batubara ini semakin menunjukan bahwa pemerintah Indonesia belum begitu serius mengendalikan emisi GRK penyebab krisis iklim. Ketidakseriusan pemerintah dalam mengendalikan emisi GRK ini akan menyulitkan posisi delegasi Indonesia dalam negosiasi di COP 26.  Dengan posisi sulit delegasi Indonesia itu nampaknya, tidak ada hal yang baru terkait pengendalian krisis iklim COP 26.  Tidak adanya hal yang baru itu bukan salah delegasi Indonesia, tapi salah pemerintah yang selama ini kurang serius dalam mengendalikan emisi GRK.

Oleh: Firdaus Cahyadi

Pemerhati Lingkungan Hidup

Related Article

Yayasan Madani Berkelanjutan Menyampaikan Hasil Studi Kelayakan Implementasi NDC Sub Nasional di Bappeda Provinsi Kalimantan Barat

Yayasan Madani Berkelanjutan Menyampaikan Hasil Studi Kelayakan Implementasi NDC Sub Nasional di Bappeda Provinsi Kalimantan Barat

[Madani News, 29/10/2021] Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Yayasan Climate Society, menyampaikan hasil studi kajian fisibilitas implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) sub Nasional di Bappeda Provinsi Kalimantan Barat, pada Rabu, 27 Oktober 2021. 

Penyampaian kajian tersebut bertujuan untuk mendapatkan masukan serta menyepakati rencana tindak lanjut kepada Pemda dan OPD terkait di Kalbar.

Foto: Direktur Yayasan Madani berkelanjutan, Nadia Hadad menyampaikan tujuan kajian fisibilitas di Bappeda Kalimantan Barat.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad menjelaskan bahwa kajian ini adalah bentuk kontribusi organisasi masyarakat sipil dalam membantu memetakan berbagai modalitas yang sudah dimiliki Kalimantan Barat untuk memenuhi targetnya dalam mencapai NDC yang sudah direncanakan.

Harapannya kita bisa berdiskusi dan melihat lagi apa saja rekomendasi dalam hasil kajian ini supaya dapat diperbaiki dan kedepannya menjadi salah satu panduan dalam menyusun rencana aksi daerah yang tentunya dalam rangka memperkuat komitmen iklim Indonesia”, ujar Nadia Hadad.

Dalam acara tersebut, Prof. Dr. Rizaldi Boer sebagai tim ahli penyusun kajian menyebutkan bahwa NDC sangat penting untuk diintegrasikan dengan regulasi di daerah. “Proses perencanaan dan penyusunan RPJMD dan berbagai regulasi di daerah haruslah diintegrasikan dengan target NDC yang sudah dirancang secara nasional”, ujar Rizaldi Boer.

Foto: Prof.Dr.Rizaldi Boer menyampaikan hasil kajian fisibilitas NDC sub nasional di Bappeda Kalbar.

Sementara itu, Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Barat, Ir.Sukaliman,MT menyambut baik hasil kajian fisibilitas NDC sub nasional yang diinisiasi Yayasan Madani Berkelanjutan ini. “Kami sangat mengapresiasi kajian dari Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Prof.Rizaldi Boer yang tentunya sangat mendukung upaya dan aksi kami dalam menurunkan emisi gas rumah kaca di daerah”, ujar Sukaliman.

Penyampaian hasil kajian ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian kegiatan Yayasan Madani Berkelanjutan dalam mendukung aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Kalimantan Barat. Dan pada 28-29 Oktober 2021 dilanjutkan dengan Pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System bersama OPD terkait di Kalbar.

Related Article

INDONESIA PAVILION AT COP26: TIME FOR ACTION INDONESIA

INDONESIA PAVILION AT COP26: TIME FOR ACTION INDONESIA

From 31 October to 12 November, the UK will host the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) located in Glasgow, Scotland. COP26 aims to accelerate climate action to achieve the goals of the Paris Agreement and the UNFCCC. COP26 is important because this decade is the last opportunity for us to scale up climate action to achieve the 1.5-degree goal.

In order to welcome this grand agenda, civil society organizations, Madani Berkelajutan Foundation, Walhi, Kemitraan, and LTKL took part in the Indonesian pavilion at COP26.

READS ALSO: Inclusive And Collaborative Climate Action Under The Next Generation Leaderships: NPS Contributions to Long Term Development Strategy

One of the activities that will be held is a discussion with the theme Inclusive And Collaborative Climate Action Under The Next Generation Leaderships: NPS Contributions to Long Term Development Strategy, On Tuesday, 9, November 13.20 to 14.40 WIB.

In this discussion, a number of presenters were present, namely the Executive Director of the Partnership, Laode Muhammad Syarif, Adat Women Leaders Ammatoa Kajang Community, Ramlah, Prokilm-Social Forestry of Nagari Sirukam West Sumatra, Selfi Suryani, Head of Gorontalo District, Prof. Nelson Promalingo, Adat Youth Leaders from Dusun Silit West Kalimantan, and Duayam x Krealogi, Hanna Keraf.

Register yourself to take part in the event at the following link www.indonesiaunfccc.com

Related Article

Road to COP26 Glasgow Event

Road to COP26 Glasgow Event

Indonesia mengajukan Target Iklim Baru 2030 dan Strategi Iklim Jangka Panjang Pertama menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) pada November 2021. Komitmen tersebut mencakup langkah-langkah baru yang positif tentang adaptasi dan ketahanan serta target khusus restorasi lahan gambut dan lahan terdegradasi, di untuk mencapai apa yang diperlukan untuk memenuhi tujuan Perjanjian Paris.

Untuk mendukung komitmen aksi iklim bangsa terhadap COP26 di Glasgow awal November 2021, Katadata dan Landscape Indonesia mempersembahkan “The Road to COP 26”, akan melakukan kampanye dan acara online tiga hari, dengan fokus pada upaya kolaboratif untuk mengatasi krisis iklim khususnya di Indonesia.

Dalam rangkaian acara tersebut, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad ikut serta menjadi salah satu narasumber pada diskusi yang bertemakan Road to Net Zero: Energy, Forest, dan Ocean pada hari kedua acara (22/10/2021). 

Dalam upaya mengatasi krisis iklim dunia, Indonesia ikut berkontribusi dengan menetapkan salah satunya dokumen penanganan nasional Nationally Determined Contribution (NDC). Dalam NDC, Indonesia menargetkan menetapkan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca, yakni sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai) pada tahun 2030. 

Bukan hanya itu, Indonesia juga menetapkan Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050). LTS-LCCR 2050 sendiri adalah dokumen yang diimbau bagi negara yang meratifikasi Perjanjian Paris sebagai komunikasi visi upaya dan aksi perubahan iklim sampai dengan 2050, meski tidak wajib dilaporkan.

Dapatkan informasi lebih lengkap terkait dengan upaya Indonesia dengan mengikuti serangkaian kegiatan Road to COP26 Glasgow yang diadakan Katadata dengan mengunjungi tautan ini. Klink di sini.

Related Article

Update Ekonomi Politik: Anggaran Perubahan Iklim Turun, Kepuasan Terhadap Pemerintah Juga Turun

Update Ekonomi Politik: Anggaran Perubahan Iklim Turun, Kepuasan Terhadap Pemerintah Juga Turun

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (10 Agustus 2021 – 16 Agustus 2021), berikut cuplikannya:

1. Anggaran Perubahan Iklim Menurun

Porsi anggaran perubahan iklim dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN selama kurun waktu tiga tahun terakhir menurun. Pada 2018, anggaran kementerian/lembaga untuk perubahan iklim mencapai Rp 132,4 triliun. Anggaran ini kemudian turun menjadi Rp 97,66 triliun pada 2019 dan Rp 77,81 triliun pada 2020. Rata-rata alokasi anggaran perubahan iklim dalam APBN 2018-2020 sebesar Rp 102,65 triliun per tahun. Sementara rata-rata anggaran untuk mitigasi Rp 62,7 triliun per tahun dan Rp 40,4 triliun per tahun untuk upaya adaptasi.

Di sisi lain, pembiayaan sektor kawasan pesisir dan kelautan baru mendapat alokasi 0,2 persen dari APBN. Kegiatan ini terpusat untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kegiatan tidak langsung seperti penelitian dan riset masih mendominasi.

BKF juga menyebutkan, 88 persen anggaran perubahan iklim digunakan untuk membiayai infrastruktur hijau. Sementara 12 persen lainnya digunakan untuk membiayai kegiatan pendukung, seperti regulasi dan kebijakan, riset dan pengembangan, peningkatan kapasitas, serta pemberdayaan masyarakat.

Seiring meningkatnya dampak perubahan iklim yang kian terasa, perlu penguatan komitmen dalam rencana kerja kementerian dan lembaga negara ke depan. Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan Dian Lestari mengemukakan, upaya menanggulangi perubahan iklim membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bahkan, kebutuhan pembiayaan mitigasi perubahan iklim per sektor hingga 2030 mencapai Rp 3.461 triliun.

2. Juli 2021 Bulan Terpanas dalam 142 Tahun Terakhir

Perubahan iklim dan pemanasan global tak membaik. Pusat Informasi Lingkungan Nasional (NCEI) Badan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) Amerika Serikat menyebut, Juli 2021 menjadi bulan terpanas di dunia yang pernah tercatat.

Dalam catatannya, Juli biasanya menjadi waktu terpanas dunia sepanjang tahun. Khusus pada bulan lalu, suhu permukaan global lebih tinggi 0,93 derajat Celcius dari rata-rata abad ke-20 yang mencapai 15,8 derajat Celcius. Angka ini merupakan rekor tertinggi untuk bulan Juli dalam 142 tahun.

Pemanasan permukaan dataran global dipicu menghangatnya daratan bumi belahan utara. Pada bagian jagat ini, suhu bulan Juli tertinggi mencapai 1,54 derajat Celcius di atas rata-rata, melampaui rekor di 2012. Selama bulan tersebut, NCEI mengatakan suhu lebih hangat dari rata-rata pada Amerika Utara, Eropa, bagian utara dan selatan Amerika Selatan, utara Afrika, separuh bagian selatan Asia, Oseania dan sebagian bagian barat dan utara Samudera Pasifik, Atlantik dan Hindia.

Secara regional, NCEI mencatat Asia memiliki rekor terpanas pada bulan Juli 2021, mengalahkan catatan sebelumnya yang ditetapkan pada 2010. Eropa mencatat rekor terpanas kedua pada bulan yang sama. Sedangkan Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika dan Oseania semuanya masuk 10 besar dalam rekor. Panas ekstrem yang dirinci dalam laporan bulanan NOAA juga merupakan cerminan dari perubahan iklim jangka panjang yang tercantum pada laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC pada pekan ini.

3. Sarat Masalah, Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit di Papua dan Papua Barat Dievaluasi

Dianggap sarat masalah, perizinan perkebunan kelapa sawit di Papua dan Papua Barat dievaluasi. Hal ini mempertimbangkan, perkebunan kelapa sawit masih menjadi industri yang berkontribusi positif terhadap perekonomian nasional. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua Barat Freddy Kolintama mengatakan, evaluasi perizinan kelapa sawit memerlukan koordinasi lintas sektor yang melibatkan kementerian dan lembaga serta Pemerintah Provinsi Papua Barat.

Pelaksanaan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit ini berlandaskan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit.

Dari hasil evaluasi ini, ditemukan sejumlah pelanggaran sebagaimana diungkapkan Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Papua Barat Yacob S Fonataba. Pelanggaran itu di antaranya adalah tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU), tidak memiliki izin pemanfaatan kayu dari Dinas Kehutanan, tidak melaporkan perusahaan kepemilikan saham dan susunan kepengurusan, dan belum menyelesaikan kebun inti.

Untuk diketahui, hingga saat ini tercatat 24 perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Provinsi Papua Barat dengan total luasan wilayah konsesi yang dievaluasi 681.974 hektar.

Hal serupa dilakukan di Provinsi Papua. Rencana aksi evaluasi HGU di seluruh wilayah Papua mulai Jayapura hingga Merauke ini terus dipantau oleh Kanwil BPN Provinsi Papua melalui kantor-kantor pertanahan setempat. Berdasarkan hasil inventarisasi Kanwil BPN Provinsi Papua, terdapat lahan HGU pertanian dan perkebunan seluas 328.895 hektar. Di antaranya merupakan lahan perkebunan kelapa sawit dengan luas 159.000 hektar pada tahun 2020, yang terdapat di beberapa kabupaten dan kota.

Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra menambahkan, apa yang dilakukan saat ini di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat menjadi contoh dan role model untuk diterapkan pula di berbagai provinsi.

4. Survei: Kepuasan terhadap Pemerintah Turun, Terutama di Papua

Survei Charta Politika menunjukkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah turun dari 65,3 persen di Maret 2021 menjadi 62,4 persen.
Survei itu dilakukan secara tatap muka dengan metode multistage random sampling pada periode 12-20 Juli 2021 terhadap 1.200 responden dari seluruh wilayah RI. Margin of error plus minus 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Dalam survei ini, Charta Politika memperoleh hasil 62,4 persen publik puas dan 34,1 persen publik tidak puas atas kinerja pemerintah. Berdasarkan survei Charta Politika, tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah tertinggi berada di wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sedangkan tingkat kepuasan terendah berada di wilayah Maluku dan Papua (45 persen puas, 40 persen tidak puas, 15 persen tidak menjawab), Kalimantan (47,7 persen puas, 49,2 persen tak puas, 3,1 persen tak menjawab), serta Sumatera (55,2 persen puas, 43,2 persen tak puas, 1,6 tak menjawab).

Related Article

Sektor Energi dan Kehutanan Kunci Mencapai Target NDC

Sektor Energi dan Kehutanan Kunci Mencapai Target NDC

Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen melalui kerjasama internasional pada tahun 2030. Sektor energi dengan target sebesar 11 persen merupakan sektor utama yang memegang peran penting dalam pencapaian NDC Indonesia setelah sektor kehutanan, yaitu sebesar 17 persen.

Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK, Agus Justianto, menyampaikan bahwa sinergi energi dan perubahan iklim merupakan kata kunci yang harus dimaknai sebagai upaya bersama dalam membentuk transisi energi secara inklusif.  “Kita semua dapat menjadi aktor dan berperan aktif dalam transisi tersebut. Kesadaran untuk meminimalkan penggunaan sumber energi fosil dengan mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan akan memberikan kontribusi positif dalam menekan perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya” .

KLHK menyampaikan bahwa sektor energi dan kehutanan menjadi kunci bagi Indonesia untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC).

Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Ditjen PPI KLHK, Emma Rachmawati. Sektor energi adalah sektor kedua yang merupakan kontributor terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia. Di saat yang bersamaan, sektor energi juga menjadi kontributor kedua dalam menurunkan emisi GRK sehingga perlu melakukan upaya signifikan dalam mengurangi emisi GRK.

Kalau kita bisa menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor energi dan sektor kehutanan maka NDC kita sudah pasti dapat tercapai sesuai dengan apa yang ditargetkan“, ujar Emma Rachmawati.

Merujuk peta jalan NDC Indonesia, sektor energi ditargetkan menyumbang sebesar 314 juta CO2e (ekuivalen karbon dioksida) untuk penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030.

Target itu kemudian dirinci ke dalam subsektor energi efisiensi. Dari masing-masing subsektor itu di tetapkan juga dalam bentuk CO2e.

Lima Negara Yang Menjadi Ancaman Gagalnya Paris Agreement

Laporan terbaru Think Tank Carbon Tracker Initiative dalam judul laporan Do Not Revive Coal menyebutkan bahwa ada 5 negara yang menjadi ancaman gagalnya Paris Agreement. Ancaman tidak tercapainya target Perjanjian Paris ini berasal dari lima negara yaitu Jepang, Indonesia, India, Vietnam, dan Tiongkok.  Alasan utama ancaman gagalnya Perjanjian Paris ini karena persoalan rancangan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Kelima negara ini berencana membangun 600 PLTU batu bara baru yang mencakup sekitar 80 persen dari porsi batu bara baru global. Kapasitas dari seluruh PLTU itu melebihi 300 gigawatt (GW). Hal ini dianggap mengkhawatirkan, karena tak menghiraukan seruan Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres untuk membatalkan PLTU batu bara baru.

Pasalnya, negara Jepang, Indonesia, India, Vietnam, dan Tiongkok mengoperasikan 3/4 PLTU yang ada di seluruh dunia. Sebanyak 55 persen adalah negara Tiongkok dan 12 persen adalah India. Sekitar 27 persen kapasistas PLTU batu bara global tidak dapat menghasilkan keuntungan, dan 30 persen hampir mencapai titik breakeven. Indonesia sendiri masih memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan penggunaan PLTU batu bara ini.Di mana kapasitasnya mencapai 45 GW dan 24 GW pembakit baru sudah direncanakan untuk dibangun.

Energi terbarukan ditargetkan akan mengalahkan seluruh tambang baru yang ada pada tahun 2024. PT Pembangkit Listrik Negara (PLN Persero) sendiri masuk ke dalam daftar perusahaan dengan aset yang terancam menjadi aset terlantar dalam skema B2DS (Below 2 Degrees). Dari 22,529 MW kapasitas, PLN berisiko kehilangan 15,41 miliar USD miliar dari asset terbengkalai dengan patokan B2DS.

Inggris Akan Mempercepat Target Penghentian Penggunaan Batu Bara

Mulai 1 Oktober 2024, Inggris tidak akan lagi menggunakan batubara untuk menghasilkan listriknya. Ini satu tahun lebih cepat dari rencana awal. Hal ini diumumkan oleh Menteri Energi dan Perubahan Iklim Inggris, Anne-Marie Trevelyan, pada Rabu, 30 Juni.

Langkah ini merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Inggris untuk melakukan transisi dari bahan bakar fosil dan dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan dalam rangka menghapus peran serta Inggris terhadap perubahan iklim pada 2050. Pengumuman ini menegaskan niatan yang disampaikan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson tahun lalu untuk mempercepat tenggat waktu mengakhiri penggunaan batu bara dalam sistem produksi listrik.

Hal Ini juga berarti bahwa Pemerintah Inggris mempercepat batas waktu penghapusan batu bara dari sistem energi Inggris satu tahun lebih cepat. Tekad ini menegaskan kepemimpinan Inggris untuk bergerak lebih jauh dan lebih cepat dalam menurunkan emisi serta memimpin dengan memberikan keteladanan dalam memerangi perubahan iklim jelang perannya menjadi tuan rumah COP26 di Glasgow pada November mendatang. Inggris mengajak negara-negara di dunia untuk turut mempercepat penghapusan batubara dari sistem ketenagalistrikan.

Rencana Penerapan Pajak Karbon Pada 2022

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berencana menerapkan pajak karbon pada tahun 2022. Pajak karbon menjadi salah satu rencana yang tertuang dalam Revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang dibahas bersama DPR.

Tarif pajak karbon masih didiskusikan hingga ke ranah internasional. Sri Mulyani bersama koalisi Menteri Keuangan dari berbagai negara masih mendiskusikan praktek penerapan harga yang lebih seragam. “Ini sebagai salah satu pembahasan kami, pimpinan dari koalisi Menteri Keuangan untuk perubahan iklim, bersama Finlandia membahas mengenai bagaimana praktek dari penerapan harga karbon yang lebih seragam sehingga menimbulkan kepastian“, tegas Sri Mulyani.

Memang, tarif pajak karbon di dunia saat ini sangat tidak seragam karena berada pada rentang yang lebih luas.

Indonesia dan Perancis Sepakat Memperkuat Pembangunan Rendah Karbon

Indonesia dan Perancis sepakat untuk memperkuat kerja sama pembangunan rendah karbon, green and blue economy, hingga kerja sama pembiayaan pembangunan proyek-proyek pemerintah. Disampaikan Kepala Bappenas Suharso Monoarfa saat menerima kunjungan pejabat senior dari The Agence Française de Développement (AFD) dan pejabat senior dari Kementerian Ekonomi dan Keuangan (French Treasury) di KBRI Paris, Prancis.

Kementerian PPN/Bappenas telah menyiapkan strategi transformasi ekonomi. Kerja sama AFD dengan Kementerian PPN/Bappenas adalah salah satunya bentuk usaha untuk pelaksanaan strategi transformasi ekonomi Indonesia, khususnya green economy.

Dalam pertemuan dengan AFD tersebut, terdapat kesepahaman untuk memperkuat kerja sama pembangunan rendah karbon atau green economy dengan fokus pada energy transition, waste management, green industry termasuk green tourism. Beberapa proyek potensial untuk dikembangkan adalah waste to energy project dan AFD juga akan mendukung penuh langkah Indonesia dalam mengusung pilot project pencanangan Bali sebagai blue island.

Dapatkan pemberitaan media edisi 28 Juni – 4 Juli dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Pemerintah Berencana Menerapkan Pajak Karbon

Pemerintah Berencana Menerapkan Pajak Karbon

Kebijakan penerapan pajak karbon tertuang dalam perubahan kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Beleid ini rencananya akan dibahas di tahun ini sebab sudah ditetapkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) oleh parlemen.

Dalam Pasal 44G, subjek pajak karbon adalah jenis pajak yang akan dikenakan untuk orang pribadi atau korporasi yang membeli barang mengandung karbon dan atau melakukan aktivitas menghasilkan karbon. Dalam Pasal 44G ayat (3), Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp75 (tujuh puluh lima rupiah) per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Tujuannya untuk mengendalikan pencemaran lingkungan hidup yang diakibatkan oleh emisi karbon.

Dari sisi administrasi perpajakannya, pajak karbon terutang dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. Pajak karbon terutang pada saat pembelian barang yang mengandung karbon atau pada periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu. Kelak, bila beleid ini diundangkan, maka pemerintah akan segera menurunkan peraturan pemerintah (PP) terkait sebagai aturan pelaksana pajak karbon antara lain terkait tarif dan penambahan objek pajak yang dikenai karbon.

Objek pajak karbon

Usulan mengenai pajak karbon tertuang dalam pasal 44G. Pajak karbon akan dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pada ayat (2) dari pasal tersebut, pemerintah mengusulkan pihak-pihak yang akan dikenakan pajak karbon antara lain orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

hampir semua aktivitas di sektor industri menghasilkan emisi karbon. Mulai dari konstruksi, barang konsumsi dan juga kemasannya, makanan dan minuman, kimia, tekstil, perabotan rumah tangga, otomotif, dan sebagainya. Untuk produk yang menghasilkan emisi karbon yang pada umumnya diketahui masyarakat itu sendiri adalah kendaraan bermotor, dan juga bahan bakarnya itu sendiri.

Tarif pajak karbon

Pada ayat (3), pajak karbon akan dikenakan atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang mengandung karbon. Berikut bunyi ayat tersebut: “Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu,” bunyi pasal 44G ayat (3). 

Adapun bunyi pasal 44G ayat (4) sebagai berikut: “Saat terutang pajak karbon: a. pada saat pembelian barang yang mengandung karbon; b. pada akhir periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu; atau c. saat lain, yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.” Tarif dari pajak karbon itu sendiri yang terendah ialah sebesar Rp75 per kilogram (Kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Dapatkan Pemberitaan Media Edisi 7-13 Juni 2021 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini. 

Sumber Gambar: EcoLifeZone - Carbon Offcetting

Related Article

Indonesia Butuh Pendanaan Sekitar Rp 3.461 Triliun Untuk Perubahan Iklim

Indonesia Butuh Pendanaan Sekitar Rp 3.461 Triliun Untuk Perubahan Iklim

Indonesia membutuhkan pendanaan sebesar US$ 247 miliar atau sekitar Rp 3.461 triliun selama periode 2018-2030 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca setiap tahun. Estimasi ini sesuai dengan dokumen Second Biennial Update Report 2018.

Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengestimasi kebutuhan Indonesia untuk mencapai target Nationally Determined Contributions (NDCs) setiap tahun adalah sebesar Rp 343,32 triliun. Merujuk pada pendanaan APBN yang disediakan untuk perubahan iklim berdasarkan data budget tagging tahun 2019 dan 2020, serta merujuk pada kebutuhan per tahun dan data budget tagging tersebut maka pendanaan masih terdapat gap yang cukup besar, yaitu sekitar 60-70% dari total kebutuhan dananya.

Indonesia sendiri sebagai negara yang telah meratifikasi Paris Agreement malalui UU 16 tahun 2016 telah menyampaikan komitmentnya melalui NDCs yaitu pengurangan emisi sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan sampai dengan 41 persen dengan dukungan Internasional. Salah satu upaya konkret pemerintah untuk mendukung pendanaan NDC atau pendanaan lingkungan hidup secara umum adalah pembentukan Indonesian Environment Fund (IEF) atau yang disebut Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) pada tahun 2019.

BPDLH diresmikan pada akhir 2019 oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Lembaga ini dibentuk berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden nomor 77 tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.

Dapatkan pemberitaan media edisi 24-30 Mei 2021 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

id_IDID