Madani

Tentang Kami

NAVIGATING THE DEFORESTATION MAZE COMPARISON OF VARIOUS DEFINITIONS AND FIGURES RELATING TO DEFORESTATION IN INDONESIA

NAVIGATING THE DEFORESTATION MAZE COMPARISON OF VARIOUS DEFINITIONS AND FIGURES RELATING TO DEFORESTATION IN INDONESIA

In this paper, Madani compares the definitions of forest, deforestation, degradation, methodologies of calculating deforestation, and finally, deforestation figures from the following institutions: the Food and Agriculture Organization (FAO), the Ministry of Environment and Forestry (MoEF), and several Civil Society Organizations (CSO) while highlighting points of contentions among these institutions.

In defining forests, one of the main points of contention is the minimum limit of tree cover to be called forest, namely between 10 to 30%.

Another point of contention is the categorization of timber plantation as forest. CSOs in this study argue that timber plantation should not be included in the forest land class/category because they are monoculture and more akin to a plantation rather than biodiverse forest. CSOs fear that the inclusion of timber plantations to forest land class will conceal destruction of natural forests to make way to timber plantations, especially Industrial Timber Plantation, which is one of the main drivers of the natural forests’ loss in Indonesia.

Another point of contention is the dichotomy of natural forests into primary and secondary forests, in which the protection of secondary forests is weaker than primary natural forests. CSOs in this study are pushing for indiscriminate protection of natural forests without dichotomizing them into primary and secondary natural forests, especially in the context of halting new permits permanently.

The next point of contention highlighted in this study pertains to different definitions of primary forest used by the MoEF (Ministry of Environment and Forestry) and GFW (Global Forest Watch). GFW uses a broader definition for primary forests with deforestation values close to the overall value of natural forest deforestation coming from the MoEF.

When defining deforestation, some CSOs oppose the use of ‘net deforestation’ that has been used and highlighted by the government of Indonesia in their official public communications. Aside from the fact that the loss of forests in one area cannot be replaced by forest replanting in other areas due to the functions they serve, CSOs fear that this definition will conceal the destruction of natural forests converted into timber plantations, especially Industrial Timber plantations.

READ ALSO: Madani Insight Mengurai Benang Kusut Deforestasi

Related to deforestation figures, the number of natural forest loss between 2006-2018 published by the MoEF is much lower than the number published by FWI (Forest Watch Indonesia). The MoEF data show a declining trend in terms of gross deforestation and the loss of natural forest in the period of 2006-2018. In contrast, FWI data show an increasing trend in the rate of natural forest loss in the same period.

For 3 periods (2011-2012, 2012-2013, and 2013-2014), the rate of natural forest loss published by the MoEF was close to the primary forest loss figures published by GFW. Both data sets from MoEF and GFW show a declining trend in terms of natural forest loss during the 2006-2018 period. However, while MoEF shows a declining trend in terms of gross deforestation in 2006-2018, the Tree Cover Loss data from GFW shows an opposing trend in the 2006-2018 period, keeping in mind that the definition of ‘Tree Cover Loss’ and ‘deforestation’ are not interchangeable.

When cross-examining spatial and statistical data published by MoEF, Madani’s analysis confirmed the MoEF’s data consistency in terms of gross deforestation. However, the consistency of natural forest loss and net deforestation data could not be confirmed due to limited access of natural forest loss and reforestation data.

Lastly, there are unanswered questions about the different definition of natural forest loss used by the MoEF in the Deforestation Book and in constructing FREL for REDD+. The study found that the rates of natural forest loss used in FREL construction are higher than the ones cited in the Deforestation Book for the following periods: 2006-2009, 2009-2011, and 2011-2012 where data were available.

To navigate the deforestation maze, different institutions that possess and produce different data and conclusions regarding the number and trends of deforestation need to sit together and publicly expose their methodology and sources to provide clearer information for the public regarding the current status and condition of Indonesia’s forests and to put more objectivity in assessing Indonesia’s success in reducing deforestation.

Get more about Madani Insight “Navigating The Deforestation Maze Comparison of Various Definitions And Figures Relating to Deforestation In Indonesia” by downloading the available report. 

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

MENGUPAS FAKTA DI BALIK DEFORESTASI INDONESIA 2019-2020

MENGUPAS FAKTA DI BALIK DEFORESTASI INDONESIA 2019-2020

Pada Maret 2021, Pemerintah Indonesia merilis angka deforestasi Indonesia terbaru (2019-2020) dan mengumumkan penurunan deforestasi terbesar sepanjang sejarah sebesar 75%. Tentu, penurunan deforestasi yang signifikan ini, mendapatkan apresiasi internasional karena merupakan tren positif di tengah naiknya angka hilangnya hutan secara global.

Terkait dengan angka deforestasi tersebut, Yayasan Madani Berkelanjutan sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu tersebut merilis Madani Insight edisi April yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman publik terkait angka deforestasi Indonesia yang baru-baru ini diumumkan pemerintah dan maknanya bagi pencapaian komitmen iklim Indonesia (NDC) serta target Persetujuan Paris untuk menahan kenaikan temperatur bumi agar tidak melebihi 1,5 derajat celcius.

Untuk mempermudah dalam memahami kajian ini, Madani Insight disajikan ke dalam tiga bagian. Bagian pertama mengupas angka deforestasi Indonesia dan di mana deforestasi paling banyak terjadi, termasuk di dalam wilayah izin atau konsesi. Bagian kedua mengupas luas hutan alam Indonesia yang belum terproteksi dan oleh karenanya rentan terdeforestasi. Bagian ketiga mengupas makna penurunan deforestasi Indonesia dari kacamata pencapaian komitmen iklim dan target Persetujuan Paris. 

BACA JUGA: Menjaga Hutan, Merawat Iklim: Praktik Terbaik Perhutanan Sosial Dalam Menjaga Iklim Bumi

Kemudian, untuk memahami makna angka deforestasi Indonesia, penting terlebih dahulu memahami berbagai definisi deforestasi yang berbeda yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia sebagaimana dijelaskan di bawah ini:

  • Deforestasi: Perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan). 
  • Hutan: Kondisi penutupan lahan berupa hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder dan hutan tanaman. 
  • Non Hutan: Bentuk penutupan lahan berupa semak/belukar, belukar rawa, savana/padang rumput, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, transmigrasi, sawah, tambak, tanah terbuka, pertambangan, permukiman, rawa dan pelabuhan udara/laut. 
  • Deforestasi Netto: Perubahan/pengurangan luas penutupan lahan dengan kategori berhutan pada kurun waktu tertentu yang diperoleh dari perhitungan luas deforestasi bruto dikurangi dengan luas reforestasi.
  • Reforestasi: Perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori Hutan (berhutan).
  • Deforestasi Bruto: perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan), tanpa memperhitungkan adanya reforestasi yang terjadi.
  • Deforestasi Hutan Alam/Deforestasi Gross: Perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori Hutan (hanya) Alam menjadi kelas penutupan lahan kategori Non Hutan (tidak berhutan). Deforestasi Bruto Hutan Alam dipakai untuk memisahkan perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan Hutan menjadi kelas penutupan lahan Non Hutan, yang terjadi tidak sebagai akibat pemanenan hutan tanaman (harvesting). 

Kajian ini pun akan berfokus pada deforestasi gross atau deforestasi hutan alam yang sangat penting untuk menjaga kestabilan iklim global, menjaga keanekaragaman hayati, serta paling relevan dengan upaya pencapaian komitmen iklim Indonesia.

Dapatkan Madani’s Insight: Mengupas Fakta di Balik Deforestasi Indonesia 2019-2020 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Nol Deforestasi Kunci Strategi Nol Emisi Indonesia

Nol Deforestasi Kunci Strategi Nol Emisi Indonesia

[Jakarta, 26 Maret 2021] Indonesia berpeluang untuk mencapai Visi Jangka Panjang yang selaras dengan Paris Agreement. Hal ini dapat dilakukan dengan menurunkan kuota deforestasi Indonesia dalam Updated NDC pada periode 2020-2030 menjadi 10,7 ribu hektar per tahun hingga nol. Untuk mencapainya, berbagai kebijakan perlindungan hutan alam tersisa harus lebih diperkuat, antara lain dengan memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru ke hutan-hutan alam yang belum terlindungi, meneruskan kebijakan moratorium sawit, dan meninjau kembali berbagai program strategis dan pemulihan ekonomi nasional yang mengancam hutan. Demikian disampaikan oleh Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.

Berdasarkan skenario yang selaras dengan Paris Agreement, laju deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2010-2030 tidak boleh lebih dari 241 ribu hektar per tahun. Dengan demikian, kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode tersebut hanya sebesar 4,82 juta hektare. Berdasarkan data KLHK, dari tahun 2011-2012 hingga 2019-2020, Indonesia telah kehilangan hutan alam sebesar kurang lebih 4,71 juta hektare, sehingga kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2020-2030 hanya tersisa 107 ribu hektare atau 10,7 ribu hektare per tahun. Namun, apabila memasukkan data deforestasi 2010-2011 berdasarkan rata-rata deforestasi 2009-2011 yaitu sebesar 196.750 hektare, maka kuota deforestasi periode 2020-2030 bahkan mencapai minus. Artinya, Indonesia tidak lagi memiliki kuota deforestasi sampai 2030,” tambah Yosi Amelia.

Pemerintah Indonesia sendiri telah mengumumkan tiga skenario dalam Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience) dengan target mencapai nol emisi bersih pada 2070, atau 20 tahun lebih lambat dari yang diserukan oleh PBB. Dalam skenario paling ambisius dan selaras dengan Paris Agreement (Low Carbon Compatible with Paris Agreement – LCCP), Indonesia menargetkan puncak emisi (peaking) untuk semua sektor dengan sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada tahun 2030. 

Dengan demikian, hutan dan lahan Indonesia akan sangat diandalkan tidak hanya untuk mengurangi emisi dari sektor itu sendiri, tetapi juga untuk menyerap emisi atau polusi karbon dari sektor-sektor lain, yakni energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian. 

Berdasarkan analisis awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektare hutan alam atau hampir setara 16 X Pulau Bali di luar izin/konsesi, area alokasi perhutanan sosial/PIAPS, dan area penghentian izin baru/PIPPIB yang belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru sehingga rentan terdeforestasi,” ujar Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan. “9,4 juta hektare hutan alam ini harus dilindungi untuk mencapai visi jangka panjang Indonesia selaras dengan Paris Agreement.”

Selain itu, pemerintah juga harus meninjau ulang berbagai program Pemulihan Ekonomi dan Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate agar tidak merusak hutan alam. “Analisis awal Madani, ada 1,5 juta hekatre hutan alam di Area of Interest Food Estate di Papua, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Sumatera Selatan dengan potensi nilai kayu sebesar 209 triliun rupiah yang harus dilindungi,” tambah Fadli. 

Perlindungan hutan-hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi Hutan Tanaman Industri dan usaha perkebunan sawit pun harus menjadi perhatian. Salah satu upaya menyelamatkan hutan alam di dalam izin/konsesi perkebunan sawit adalah melalui kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir pada September 2021. “Oleh karena itu, meneruskan kebijakan moratorium sawit yang di dalamnya terdapat elemen penyelamatan hutan alam dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit sangat penting bagi pencapaian Visi Jangka Panjang Indonesia,” ujar Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Untuk mencapai Visi Jangka Panjang yang selaras dengan Paris Agreement, Indonesia harus mentransformasikan penggunaan lahan dengan memanfaatkan lahan-lahan tidak produktif baik di dalam maupun di luar kawasan hutan untuk mencapai ketahanan pangan dan energi serta melindungi hutan alam dan ekosistem gambut yang tersisa secara menyeluruh. 

Masa depan kita dan generasi mendatang bergantung pada transformasi pembangunan ekonomi Indonesia saat ini agar tidak lagi merusak hutan dan lingkungan. Perubahan ini harus dimulai sekarang juga karena dampak krisis iklim yang semakin parah tidak lagi memberikan kita kemewahan waktu,” tutup Yosi.

*

Kontak Media :

  • Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP.0813 2217 1803
  • Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0877 4403 0366
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

[1000 GAGASAN] PENGOPTIMALAN JASA LINGKUNGAN HUTAN UNTUK MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN EKONOMI TANPA DEFORESTASI

[1000 GAGASAN] PENGOPTIMALAN JASA LINGKUNGAN HUTAN UNTUK MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN EKONOMI TANPA DEFORESTASI

Seperti yang sudah kita ketahui bersama, saat ini Indonesia sedang gencar mengembangkan perekonomiannya. Terlebih setelah World Bank dan International Monetary Fund memprediksi di akhir tahun 2020 ekonomi global akan memasuki resesi dengan penurunan laju ekonomi ke negatif 2,8%, turun 6% dari pertumbuhan ekonomi global di periode sebelumnya, yang juga diikuti dengan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus menurun hingga negatif 0,09%, khususnya karena penurunan di sektor pariwisata dan perdagangan akibat pandemi Covid-19 (Nasution et al., 2020). 

Prediksi ini direspon oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang berpotensi meningkatkan investasi di Indonesia, salah satunya melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sayangnya, kebijakan-kebijakan tersebut dianggap lebih banyak menguntungkan investor dan cenderung mengorbankan aspek kelestarian lingkungan. Hutan kemudian menjadi taruhan yang utama atas dipermudahnya kegiatan investasi. Pasalnya, sejak dulu, kegiatan investasi seperti perkebunan atau pertambangan banyak mengorbankan hutan sebagai trade-off untuk pembangunan ekonomi.

Selama ini, banyak yang menganggap hutan memiliki fungsi lingkungan yang tinggi, namun tidak sebanding dengan beban biaya (cost centre) yang dikeluarkan. Padahal, jika dikaji lebih dalam, hutan pada dasarnya memiliki jasa lingkungan yang tidak hanya berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, namun juga dapat dioptimalkan manfaatnya dalam menyokong perekonomian Indonesia. Jasa lingkungan hutan sebagai provisioning (penyediaan), regulating (regulasi iklim, air, dan tanah), cultural (pendidikan dan rekreasi), maupun supporting (produksi primer dan siklus hara) dapat dimanfaatkan secara ekonomi, tentunya dengan pengelolaan secara berkelanjutan. 

BACA JUGA: Menakar Kemajuan Pencapaian Komitmen Iklim di Sektor Kehutanan

Pengoptimalan jasa lingkungan hutan secara ekonomi dapat menjaga hutan terjaga dari deforestasi karena hutan dapat memberikan pemasukan yang cukup bagi negara dan masyarakat, disamping hanya sebagai beban biaya seperti yang dianggap selama ini. Pengoptimalan ini dapat dilakukan melalui skema ekowisata dan perdagangan jasa lingkungan tanpa menghilangkan sedikitpun unsur ekosistem dari hutan itu sendiri.

Pengoptimalan Jasa Lingkungan Cultural (budaya) Melalui Ekowisata Forest Therapy

Ekowisata forest therapy sebagai bagian dari jasa lingkungan hutan yang masuk dalam kategori cultural dapat dijadikan gagasan untuk menyokong perekonomian Indonesia. Ekowisata ini bertujuan untuk memulihkan kesehatan dan meningkatkan imun bagi para pengunjung, baik secara fisik maupun psikologis. Ini berpotensi besar untuk dikembangan pada era new normal karena banyaknya masyarakat yang merasakan tekanan khususnya pada aspek psikologis akibat kebijakan Work From Home (WFH) atau karantina pada masa pandemi Covid-19. Penelitian Brooks et al. (2020) menunjukkan bahwa Covid-19 telah menimbulkan gejala stres pasca-trauma, kebingungan, kemarahan, ketakutan akan infeksi, frustasi, dan sebagainya pada masyarakat.

Hutan terbukti memiliki fungsi terapi fisik dan psikologis. Konsep hutan sebagai sarana terapi yang telah dikembangkan sejak tahun 1990-an (Williams, 1998). Di berbagai negara seperti Amerika, Korea Selatan, dan Jepang, kegiatan ini sudah banyak dilakukan (Rajoo et al., 2020). Di Jepang, kegiatan ini disebut sebagai “Shinrin-yoku” (Kotera & Rhodes, 2020). Shinrin-yoku telah banyak digunakan pada bidang klinis, untuk pengobatan beberapa jenis penyakit. Sedangkan di Korea Selatan, terapi hutan telah didefinisikan secara legal oleh hukum sebagai penguatan kekebalan dan kegiatan peningkatan kesehatan yang memanfaatkan berbagai elemen hutan (Jung et al., 2015). Sayangnya, di Indonesia kegiatan ini masih belum menjadi sorotan.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji pengaruh hutan terhadap peningkatan kesehatan manusia. Penelitian Byeongsang (2017) menunjukkan berada di hutan dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh, memperlancar sistem kardiovaskular, memperbaiki rasa nyeri, menaikkan sistem imun, meningkatkan produksi protein anti kanker, mengurangi depresi dan kecemasan, relaksasi mental, memperbaiki konsentrasi dan memori, meningkatkan rasa bahagia, hingga memulihkan seseorang dari kecanduan. Rajoo et al. (2020) membuktikan program 9 hari di hutan telah terbukti berhasil menyembuhkan seseorang dari kecanduan alkohol. 

Peningkatan kesehatan, sistem imun, sarana healing, dan pereda stres dapat dijadikan nilai tambah yang menjual kegiatan ekowisata ini. Kegiatan forest therapy ini tidak seperti ekowisata biasa, melainkan perlu beberapa ketentuan khusus yang mendukung fungsi hutan sebagai terapis. Di antaranya dengan menunjuk spot-spot khusus yang memiliki fungsi terapi, membuat jalur terapi, membatasi jumlah pengunjung, menyediakan alat pengukur kesehatan seperti sphygmomanometer, dan menyediakan beberapa paket khusus terapi alami. Paket-paket tersebut memiliki harga yang berbeda, yang ditentukan oleh bentuk kegiatannya. Contohnya, paket untuk peningkatan kesehatan psikologis dan pengobatan stress ringan dilakukan dengan berkegiatan di spot terapi selama 3 jam yang disertai dengan meditasi, harganya berkisar Rp 25.000,00 untuk sekali kunjungan. Sedangkan, paket untuk menyembuhkan kecanduan dilakukan selama 9 hari berturut-turut, dengan harga paket mencapai Rp 200.000,00.

Dengan dibentuknya kegiatan ekowisata ini, pembangunan ekonomi berbasis hutan tidak hanya menguntungkan aspek ekonomi dan ekologi semata, namun juga dapat menguntungkan aspek sosial dikarenakan kegiatan ekowisata di hutan akan banyak melibatkan masyarakat di sekitar kawasan hutan dalam pengelolaannya. Masyarakat dapat dikembangkan untuk turut bekerja di dalamnya, misalnya dengan menjadi guide therapist, sebagai penjaga spot, atau sekedar menjaga loket dan berjualan obat herbal atau HHBK di depan kawasan ekowisata. Kegiatan ini dapat menjawab ketiga unsur pembangunan berkelanjutan yaitu peningkatan ekonomi dengan tetap mempertahankan aspek ekologis sekaligus meningkatkan aspek sosial kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan. Kegiatan ini juga dapat menjawab empat poin SDGs yaitu poin 8 (decent work and economic growth), poin 10 (reduced inequalities), poin 13 (climate action), dan poin 15 (life on land).

Pengoptimalan Jasa Lingkungan Regulating (regulasi iklim) Melalui Skema Perdagangan Karbon

Selain dengan skema ekowisata, pengoptimalan jasa lingkungan hutan tanpa sedikitpun menghilangkan unsur ekosistemnya juga dapat dilakukan melalui pengoptimalan jasa lingkungan regulating dengan skema perdagangan karbon. Di dalam Peraturan Presiden No. 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim, perdagangan karbon didefinisikan sebagai kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Sistem perdagangan karbon dibagi menjadi dua jenis, yaitu cap-and-trade dan crediting. Di Indonesia, sistem crediting lebih umum digunakan. Dalam sistem ini, komoditi yang diperdagangkan adalah penurunan emisi yang telah disertifikasi berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang berlaku di pasar karbon dunia (Purnomo, 2013).

BACA JUGA: Impact Investing: Cara Baru Untuk Melakukan Investasi

Di Indonesia, perdagangan karbon belum menjadi prioritas bagi pemerintah atau pemegang hak karena mekanisme sertifikasinya yang rumit. Walau begitu, hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk peningkatan ekonomi Indonesia karena keuntungan jangka panjang yang tinggi akan didapatkan setelah hutan tersertifikasi. Skema perdagangan karbon yang umum digunakan di Indonesia saat ini adalah melalui crediting dari REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation), yang telah mengakomodir berbagai kerja sama bilateral crediting karbon antara Indonesia dengan negara lain seperti Australia dan Norwegia (CIFOR, 2010). Sayangnya, REDD+ baru mengakomodir beberapa hutan di Pulau Kalimantan dan sedikit di Pulau Sumatera dalam skema proyeknya, serta Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) sebagai satu-satunya kawasan hutan di Jawa yang dinilai simpanan karbonnya. 

REDD+ yang dapat membayar simpanan karbon hutan sebesar US$5/ton CO2-e hingga US$10/ton CO2-e juga telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan hutan melalui kegiatan community empowerment. Dilansir dari Mongabay, proyek REDD+ di TNMB telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dari rata-rata Rp1.500.000 per tahun pada 2008 menjadi lebih dari Rp3.500.000 pada 2014. Sehingga proyek ini juga sangat berperan dalam pembangunan berkelanjutan.

Pada dasarnya gagasan terkait perdagangan karbon ini bukan merupakan gagasan baru, hanya saja, ini merupakan gagasan yang seringkali dilupakan oleh pemerintah. Padahal, tanpa mengkonversi hutan, ekonomi sebenarnya dapat dijaga melalui skema perdagangan karbon ini. Memang tidak terlalu signifikan hasilnya seperti dengan menjual lahan kepada investor untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit atau pertambangan, namun, kegiatan ini dapat menjamin ekosistem tetap terjaga untuk ekonomi jangka panjang dan masyarakat sekitar kawasan hutan semakin sejahtera. Karena itu, pemerintah perlu mengingat kembali adanya skema ini dan perannya dalam pembangunan berkelanjutan. Aksi nyata perlu dilakukan untuk mendorong pemerintah menjadikan program perdagangan karbon sebagai suatu prioritas.

Pengoptimalan Jasa Lingkungan Lainnya

Jasa lingkungan lain seperti provisioning dapat dioptimalkan nilai ekonominya dengan melakukan pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti usaha madu hutan, getah atau resin, rotan, minyak atsiri, dan sebagainya. Usaha ini dapat dikembangkan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan untuk meningkatkan perekonomian. Dengan menjaga ketiga fungsi jasa lingkungan, yaitu cultural, regulating, dan provisioning, jasa lingkungan supporting dapat tetap terjaga fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan.

Pada akhirnya, kita tetap berharap pada pemerintah untuk dapat melakukan gagasan-gagasan yang diberikan sebagai proses pembangunan ekonomi tanpa deforestasi. Walau begitu, sebagai pejuang lingkungan, kita tetap dapat memperjuangkan pembangunan ekonomi tanpa deforestasi melalui gagasan-gagasan yang kita cetuskan dan kita sebarluaskan ke banyak orang. Media sosial adalah metode yang paling mudah untuk melakukannya. Dengan semakin banyaknya orang yang peduli lingkungan dan kreatif, perjuangan menuju pembangunan berkelanjutan tanpa merugikan pihak manapun dapat direalisasikan dengan mudah.

Oleh: Hasna Afifah

Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, S., Amlôt, R., Rubin, G. J., & Greenberg, N. (2020). Psychological resilience and post-traumatic growth in disaster-exposed organisations: overview of the literature. BMJ Mil Health, 166(1), 52-56.

Byeongsang, Oh, Kyung Ju Lee, Chris Zaslawski, Albert Yeung, David Rosenthal, Linda Larkey, and Michael Back. (2017). Health and well-being benefits of spending time in forests: systematic review. Environmental Health and Preventive Medicine, 22 (1), 71. 

CIFOR. (2010). REDD: Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan, perubahan iklim dan REDD. Bogor, Indonesia: CIFOR.

Jung, W.H., Woo, J.M., Ryu, J.S. (2015). Effects of forest therapy program and the forest environment on female workers’ stress. Urban Forestry & Urban Greening, 14, 274–281.

Kotera, Y., & Rhodes, C. (2020). Commentary: Suggesting Shinrin-yoku (forest bathing) for treating addiction. Addictive Behaviors, 111, 106556.

Nasution, D. A. D., Erlina, E., & Muda, I. (2020). Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Perekonomian Indonesia. Jurnal Benefita: Ekonomi Pembangunan, Manajemen Bisnis & Akuntansi, 5(2), 212-224.

Purnomo, Agus. 2013. Mari Berdagang Karbon! Pengantar Pasar Karbon untuk Pengendalian Perubahan Iklim. Jakarta: Dewan Nasional Perubahan Iklim.

Rajoo, K. S., Karam, D. S., Wook, N. F., & Abdullah, M. Z. (2020). Forest Therapy: An environmental approach to managing stress in middle-aged working women. Urban Forestry & Urban Greening, 55, 126853.

Williams A. (1998). Therapeutic landscapes in holistic medicine. Soc Sci Med. 46(9), 1193–203.

Related Article

ZERO DEFORESTATION: A KEY TOWARDS NET-ZERO EMISSIONS INDONESIA

ZERO DEFORESTATION: A KEY TOWARDS NET-ZERO EMISSIONS INDONESIA

[Jakarta, 26 March 2021] Indonesia has the opportunity to achieve its Long-Term Vision in the country’s fight against climate change in line with the Paris Agreement by reducing Indonesia’s quota on deforestation to only 10.7 thousand hectares per year, even zero, under the Updated NDC for the year 2020-2030. To achieve the said target, Yosi Amelia, Project Officer for Forest and Climate from Yayasan Madani Berkelanjutan stated that various policies to protect Indonesia’s remaining forests must be strengthened, such as expanding the policy to halt new licenses to forests that are not yet under any protection schemes, continuing palm oil moratorium, and reconsidering any national strategic programs or national economic recovery programs that threatenIndonesia’s forests.

Yosi also added, “In accordance with the Low Carbon Compatible with the Paris Agreement scenario, the rate of Indonesia’s natural forest loss for the period of 2020-2030 cannot exceed 241 thousand hectares per year. Therefore, Indonesia’s natural forest deforestation quota in that period is only 4.82 million hectares. According to the Ministry of Environment and Forestry data, Indonesia has lost more or less 4.71 million hectares of natural forests from the period of 2011-2012 to 2019-2020. Consequently, the remaining quota for deforestation for the period of 2020-2030 is only 107 thousand hectares or 10.7 thousand hectares per year. However, if we include natural forest loss data in 2010-2011 by taking the annual average of deforestation in 2009-2011 which is 196,750 hectares, Indonesia’s quota on deforestation subsequently becomes minus. That is to say, Indonesia no longer has any quota left for deforestation of natural forests until 2030.”

The Indonesian government has introduced three scenarios on the Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience in 2050 to achieve a net-zero emissions target by 2070, 20 years slower than what the UN has targeted. In the most ambitious scenario, known as Low Carbon Compatible with Paris Agreement – LCCP, Indonesia has targeted an emission peak for every sector with forestry and land sector becoming a net carbon sink by 2030.

Thus, Indonesia’s forests and land would be the most dependable sector for Indonesia in its fight against climate change, not only to reduce emissions from its own sector, but also to absorb carbon emissions from other sectors, such as energy, waste, industrial processes and product usage, and also agriculture.  

BACA JUGA: Nol Deforestasi Kunci Strategi Nol Emisi Indonesia

According to Madani’s initial research, there are around 9.4 million hectares of natural forests or 16 times the island of Bali that have not been licensed out and are located outside the protection of PIPPIB (Indicative Map of Termination of New Permits) and social forestry indicative area – PIAPS. They are not under the protection of any policy to halt new licenses and therefore susceptible to deforestation.” Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist from Yayasan Madani Berkelanjutan said. He also added that those 9.4 million hectares of natural forests must be protected to achieve Indonesia’s long-term strategy on low carbon compatible with the Paris Agreement.

Besides, it is also crucial for the government of Indonesia to review various development policies, from the National Economic Recovery Program (“PEN”), National Strategic Program (“PSN”), to food estate as to not further damage Indonesia’s natural forests. “Madani’s initial research also found around 1.5 million hectares of Indonesia’s natural forests included in the Area of Interest (AOI) of Food Estate in 4 provinces, namely Papua, Central Kalimantan, North Sumatra, and South Sumatra with a huge potential economic value of timber in those areas – reaching IDR 209 trillion,” Fadli added.

The government must also pay a keen attention on protecting Indonesia’s natural forests that have already been licensed out, including timber plantation concessions and Palm Oil Plantations. One of the ways to protect forests already under the license/concessions of Palm Oil Plantations is through the Palm Oil Moratorium, which unfortunately will end in September 2021. Trias Fetra, Program Officer for Palm Oil Governance of Yayasan Madani Berkelanjutan suggested that it is in the government’s utmost necessity to continue theits Palm Oil Moratorium, which includes elements on protecting Indonesia’s forest and increasing the productivity of palm oil plantations andplantations. aAnd thus, critical to achieving Indonesia’s long-term strategy on low carbon development.

To achieveaccomplish Indonesia’s long-term strategy on low carbon compatible with the Pariswith Paris Agreement, Indonesia has to transform its strategy on land use by making use of the unproductive lands – both inside andor outside forest zonethe area of forest to achieve food and energy security, and also strengthen the protection of Indonesia’s remaining natural forests and peatland ecosystem.

Lastly, Yosi added, “Our future and the future of the forthcoming generations depends on the transformation of Indonesia’s economic development towards a no longer destructive development for our forests and environment. This transformation must start right now as the worsening impacts of the climate crisis no longer gives us the luxury of time.”

 

Contact Person:

  • Yosi Amelia, Project Officer for Forest and Climate, Yayasan Madani Berkelanjutan, Phone +62813 2217 1803

  • Trias Fetra, Program Officer for Palm Oil Governance, Yayasan Madani Berkelanjutan, Phone: +62877 4403 0366

  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer, Yayasan Madani Berkelanjutan, Phone +62815 1986 8887

 


Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Berdasarkan skenario yang selaras dengan Paris Agreement, laju deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2010-2030 tidak boleh lebih dari 241 ribu hektar per tahun. Dengan demikian, kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode tersebut hanya sebesar 4,82 juta hektare. Berdasarkan data KLHK, dari tahun 2011-2012 hingga 2019-2020, Indonesia telah kehilangan hutan alam sebesar kurang lebih 4,71 juta hektare, sehingga kuota deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2020-2030 hanya tersisa 107 ribu hektare atau 10,7 ribu hektare per tahun. Namun, apabila memasukkan data deforestasi 2010-2011 berdasarkan rata-rata deforestasi 2009-2011 yaitu sebesar 196.750 hektare, maka kuota deforestasi periode 2020-2030 bahkan mencapai minus. Artinya, Indonesia tidak lagi memiliki kuota deforestasi sampai 2030,” tambah Yosi Amelia.

Pemerintah Indonesia sendiri telah mengumumkan tiga skenario dalam Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience) dengan target mencapai nol emisi bersih pada 2070, atau 20 tahun lebih lambat dari yang diserukan oleh PBB. Dalam skenario paling ambisius dan selaras dengan Paris Agreement (Low Carbon Compatible with Paris Agreement – LCCP), Indonesia menargetkan puncak emisi (peaking) untuk semua sektor dengan sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada tahun 2030. 

Dengan demikian, hutan dan lahan Indonesia akan sangat diandalkan tidak hanya untuk mengurangi emisi dari sektor itu sendiri, tetapi juga untuk menyerap emisi atau polusi karbon dari sektor-sektor lain, yakni energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian. 

Berdasarkan analisis awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektare hutan alam atau hampir setara 16 X Pulau Bali di luar izin/konsesi, area alokasi perhutanan sosial/PIAPS, dan area penghentian izin baru/PIPPIB yang belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru sehingga rentan terdeforestasi,” ujar Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan. “9,4 juta hektare hutan alam ini harus dilindungi untuk mencapai visi jangka panjang Indonesia selaras dengan Paris Agreement.”

Selain itu, pemerintah juga harus meninjau ulang berbagai program Pemulihan Ekonomi dan Proyek Strategis Nasional seperti Food Estate agar tidak merusak hutan alam. “Analisis awal Madani, ada 1,5 juta hekatre hutan alam di Area of Interest Food Estate di Papua, Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Sumatera Selatan dengan potensi nilai kayu sebesar 209 triliun rupiah yang harus dilindungi,” tambah Fadli. 

Perlindungan hutan-hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi Hutan Tanaman Industri dan usaha perkebunan sawit pun harus menjadi perhatian. Salah satu upaya menyelamatkan hutan alam di dalam izin/konsesi perkebunan sawit adalah melalui kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir pada September 2021. “Oleh karena itu, meneruskan kebijakan moratorium sawit yang di dalamnya terdapat elemen penyelamatan hutan alam dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit sangat penting bagi pencapaian Visi Jangka Panjang Indonesia,” ujar Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.

Untuk mencapai Visi Jangka Panjang yang selaras dengan Paris Agreement, Indonesia harus mentransformasikan penggunaan lahan dengan memanfaatkan lahan-lahan tidak produktif baik di dalam maupun di luar kawasan hutan untuk mencapai ketahanan pangan dan energi serta melindungi hutan alam dan ekosistem gambut yang tersisa secara menyeluruh. 

Masa depan kita dan generasi mendatang bergantung pada transformasi pembangunan ekonomi Indonesia saat ini agar tidak lagi merusak hutan dan lingkungan. Perubahan ini harus dimulai sekarang juga karena dampak krisis iklim yang semakin parah tidak lagi memberikan kita kemewahan waktu,” tutup Yosi.

*

Kontak Media :

  • Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP.0813 2217 1803
  • Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan, WA. 0877 4403 0366
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

Penurunan Deforestasi Titik Awal Membangun Ekonomi Indonesia Tanpa Merusak Hutan Dan Lingkungan

Penurunan Deforestasi Titik Awal Membangun Ekonomi Indonesia Tanpa Merusak Hutan Dan Lingkungan

[Jakarta, 11 Maret 2021] Yayasan Madani Berkelanjutan menyambut baik upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam menurunkan deforestasi hingga 75% di periode 2019-2020, sebagaimana yang disampaikan dalam releasenya pada 3 Maret 2021. Penurunan deforestasi ini adalah titik awal yang baik bagi Indonesia untuk membangun ekonomi Indonesia tanpa merusak hutan dan lingkungan. Selayaknya Indonesia dapat mempertahankan penurunan deforestasi ke depan agar menjadi rujukan keberhasilan negara-negara pemilik hutan tropis lainnya. “Untuk itu, mendesak bagi pemerintah untuk memastikan agar semua kebijakan pembangunan terkini, mulai dari Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Proyek Strategis Nasional (PSN), hingga Program Ketahanan Pangan dan Energi – sejalan dan koheren dengan upaya pencapaian komitmen iklim,” ungkap Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan menanggapi rilis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PKTL KLHK) terkait deforestasi.

Namun sesungguhnya penurunan angka deforestasi terbesar terjadi pada deforestasi hutan tanaman sebesar 99%, jadi bukan hilangnya hutan alam. Sementara itu deforestasi hutan primer turun sebesar 48%, yakni dari 23,9 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 12,3 ribu hektare pada 2019-2020. Sayangnya, deforestasi hutan sekunder tidak turun sebesar hutan primer, yakni hanya 36% dari 164 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 104,6 ribu hektare pada 2019-2020. Ini menunjukan bahwa sangat mendesak untuk meningkatkan perlindungan pada hutan alam sekunder, baik yang berada dalam konsesi yang belum terlindungi oleh PIPPIB, salah satunya melalui inovasi kebijakan termasuk implementasi REDD+,” ungkap Fadli Ahmad Naufal, GIS Specialist.

Jika kita hanya melihat hilangnya hutan alam (deforestasi bruto hutan alam), betul terjadi penurunan deforestasi yang layak diapresiasi, namun hanya sebesar 38%, yakni dari 187,9 ribu hektare pada 2018-2019 menjadi 116,9 ribu hektare pada 2019-2020. Berdasarkan analisis awal Madani, ada sekitar 9,4 juta hektare hutan alam atau hampir setara 16 X Pulau Bali di luar izin dan konsesi dan kawasan PIAPS dan PIPPIB yang belum terlindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru atau moratorium hutan sehingga rentan terdeforestasi,” tambah Fadli Ahmad Naufal.

Di sisi lain, disaat yang bersamaan pemerintah juga telah berhasil menyusun kebijakan yang berpotensi meningkatkan laju deforestasi pada beberapa tahun ke depan. Tanpa pengetatan safeguards lingkungan hidup, dikhawatirkan bahwa berbagai program pembangunan tersebut dapat menggagalkan pencapaian komitmen iklim dan pembangunan rendah karbon Indonesia dan justru meningkatkan konflik dengan masyarakat adat dan lokal.

Dalam waktu dekat, potensi naiknya angka deforestasi ke depan ditandai dengan luasnya hutan alam yang masuk dalam area of Interest (AOI) Food estate di 4 Provinsi (Papua, Kalteng, Sumut, dan Sumsel). Nilai luasan hutan alam tersebut sekitar 1,5 juta hektare atau hampir setara dengan 3 kali luas pulau Bali. Kekhawatiran terjadinya deforestasi sangat beralasan karena besarnya potensi nilai ekonomi kayu pada luasan hutan alam tersebut, yaitu sebesar 209 triliun rupiah. 

Oleh karena itu, sangat mendesak bagi pemerintah untuk memperkuat perlindungan pada hutan alam sekunder, baik yang terlanjur berada dalam konsesi maupun yang belum terlindungi oleh PIPPIB. Salah satunya adalah melalui implementasi REDD+ dengan penerapan safeguards lingkungan dan sosial yang kuat yang didukung oleh transparansi data,” ungkap Yosi.

Madani akan berada di garda terdepan jika pemerintah membuka diri untuk kerja bersama dalam mengimplementasikan aksi untuk mengurangi deforestasi,” tambah Yosi. [ ]

oooOOOooo

Kontak Media:

  • Yosi Amelia, Project Officer Hutan dan Iklim  Yayasan Madani Berkelanjutan, HP.0813 2217 1803
  • Luluk Uliyah, Senior Media Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan, 0815 1986 8887

Related Article

Sinkronisasi Peta Jalan Nol Deforestasi Papua Barat Dengan Deklarasi Manokwari dan Dokumen Perencanaan Daerah

Sinkronisasi Peta Jalan Nol Deforestasi Papua Barat Dengan Deklarasi Manokwari dan Dokumen Perencanaan Daerah

Madani Berkelanjutan merilis dokumen analisis sinkronisasi sasaran strategis Peta Jalan Nol Deforestasi Papua Barat yang disusun oleh masyarakat sipil terhadap dokumen perencanaan daerah Provinsi Papua Barat Tahun 2017-2022 yang meliputi dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD), Rencana Strategis, (Renstra) dan Rencana Kerja, (Renja) BAPPEDA, Renstra dan Renja Dinas Kehutanan, Renstra dan Renja Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan.

Analisis ini bertujuan untuk 1) melakukan penyisiran dokumen untuk sinkronisasi penyusunan Peta Jalan Nol Deforestasi Papua Barat, 2) menyediakan matriks analisis untuk melihat apakah tujuh sasaran strategis dalam Peta Jalan Nol Deforestasi dan 14 Poin Deklarasi Manokwari telah terakomodasi dalam dokumen RPJMD Papua Barat, Renstra dan Renja Bappeda, Dinas Kehutanan,dan Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Papua Barat serta 3) membuat rekomendasi dan kesimpulan terkait apa yang belum singkron dan apa saja yang diperlukan untuk singkronisasi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka analisis ini akan menjabarkan terlebih dahulu temuan-temuan terhadap dokumen (melihat hubungan dan apa yang sudah dan belum sinkron antara peta jalan dengan setiap dokumen perencanaan OPD) dan kemudian menganalisis sinkronisasi peta jalan dengan mengelompokkan program-program yang relevan dan mendukung Peta Jalan Nol Deforestasi Papua Barat serta menemukan rekomendasi terhadap upaya sinkronisasi dan strategi mewujudkan sinkronisasi tersebut.

Untuk mengetahui isi dokumen lebih lengkap, silakan unduh dokumen yang tersedia di tautan di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

id_IDID