Madani

Tentang Kami

MADANI INSIGHT VOL.5

MADANI INSIGHT VOL.5

“Gambaran Industri Sawit Indonesia, Menjawab Asumsi Dengan Fakta dan Angka”

Madani Berkelanjutan merilis beberapa temuan menarik terkait dengan industri sawit di Indonesia. Temuan tersebut disajikan dalam Info Brief Madani Insight yang disusun ke dalam beberapa volume.

BACA JUGA : Madani Insight Vol.3

Ada beberapa poin penting yang ditemukan Madani Berkelanjutan dalam Info Brief volume kelima ini :

1. Perusahaan Sawit dan Kemandirian Desa di Kalbar (Antara Data & Fakta)

Beragamnya pandangan mengenai kontribusi perkebunan sawit terhadap pembangunan pedesaan menunjukkan bahwa berbagai aktor yang ada tidak berangkat dari data yang sama, dan menghasilkan sebuah pengetahuan yang juga berbeda. Hal ini dapat menghambat pengambilan keputusan untuk mendapatkan sebuah solusi bagi semua pihak.

2. Kontribusi Perusahaan Sawit Pada Pembangunan Desa di Kalbar

Banyaknya jumlah desa di suatu wilayah yang bersinggungan dengan lokasi pemegang izin perusahaan perkebunan sawit tidak dapat menjamin pembangunan desa tersebut berjalan dengan baik. Pada studi kasus lima kabupaten di Kalbar, tiga kabupaten di antaranya yakni Ketapang, Landak, dan Sekadau memiliki Indeks Desa Membangun (IDM) yang cukup besar yang didominasi oleh jumlah desa yang belum mendapatkan manfaat atas pemegang izin usaha perkebunan secara optimal. Sedangkan Sintang dan Sanggau, berdasarkan IDM menunjukkan bahwa terdapat potensi besar pengembangan wilayah pedesaan.

3. Penyebab Rendahnya Nilai Indeks Desa Membangunan yang Bersinggungan dengan Lokasi Izin Perkebunan Sawit

Kondisi Desa yang beum mendapatkan manfaat atas keberadaan izin perkebunan sawit secara optimal dikontribusi oleh rendahnya nilai indeks komposit ekonomi dan lingkungan. Diperlukan kolaborasi multipihak baik pemerintah dan swasta melalui public private partnership dengan memaksimalkan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) perusahaan yang terarah untuk mengurai permasalahan ini.

Untuk Info Brief Madani Insight Volume 5 ini, selengkapnya dapat diunduh di tautan yang tersedia di bawah ini. 

Semoga Bermanfaat.

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

Perlu Siasat dan Kolaborasi Para Pihak Untuk Sejahtera Dari Sawit

Perlu Siasat dan Kolaborasi Para Pihak Untuk Sejahtera Dari Sawit

[Jakarta, 6 Mei 2020] Kesejahteraan masyarakat dan ketahanan pangan perlu digantungkan pada komoditas yang beragam dan seimbang antara komoditas perkebunan dan pertanian pangan. Menggantungkan perekonomian hanya pada sawit sebagai komoditas dominan akan sangat berisiko bagi ketahanan pangan maupun kesejahteraan masyarakat di daerah. Demikian disampaikan oleh Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online “Kesejahteraan dan Panen Bencana di Provinsi Sentra Sawit Riau” yang dilaksanakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada 6 Mei 2020.

Meskipun Provinsi Riau memiliki perkebunan sawit terluas nomor wahid di Indonesia, dengan luas mencapai 3,4 juta hektare, sektor ini terbukti belum mampu memberikan manfaat optimal bagi kesejahteraan masyarakat maupun petani sawit di Riau. Per 2018, terdapat tujuh  kabupaten di Riau yang memiliki luas area tanam sawit terluas, yaitu Kampar (430 ribu hektare), Rokan Hulu (410 ribu hektare), Siak (347 ribu hektare), Pelalawan (325 ribu hektare), Rokan Hilir (282 ribu hektare), Indragiri Hilir (227 ribu hektare), dan Bengkalis (186 ribu hektare).

 

Kajian Madani menunjukkan bahwa dari 7 kabupaten dengan luas area tanam sawit yang signifikan, 6 kabupaten memiliki tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah, yaitu Indragiri Hulu, Bengkalis, Pelalawan, Rokan Hulu, Kampar dan Rohil. Sementara itu, 4 kabupaten (Bengkalis, Rokan Hulu, Indragiri Hulu dan Kampar) justru mengalami kerawanan pangan,” kata Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Sementara itu, dari sisi ekologis, kajian Madani menunjukkan korelasi erat antara hilangnya tutupan hutan dengan bencana ekologis di Riau. “Hilangnya tutupan hutan di Riau pada periode 2010-2013 telah memicu terjadinya bencana ekologis pada dua hingga tiga tahun setelahnya. Pada periode 2017 hingga 2019, Riau “memanen” bencana akibat hilangnya tutupan hutan pada kurun waktu 2011-2015. Rusaknya hutan di Riau tidak hanya mencederai ekosistemnya, tapi juga masyarakat karena terdapat 194 desa dan kelurahan di Riau yang keberlangsungan hidup masyarakatnya bergantung pada kawasan hutan,” tambah Intan.

 

Pada periode 2010-2018, tercatat 1,7 juta hektare tutupan hutan hilang di Riau. Artinya, rata-rata 190 ribu hektare tutupan hutan hilang setiap tahunnya. Kabupaten Pelalawan menduduki posisi pertama sebagai kabupaten dengan hilangnya tutupan hutan terluas di Riau, yakni 316 ribu ha atau setara dengan lima kali luas Singapura, dan berturut–turut diikuti oleh Rokan Hilir (220 ribu ha), Indragiri Hilir (212 ribu ha), Bengkalis (184 ribu ha), dan Indragiri Hulu (163 ribu ha).

Ancaman bencana ekologis sangat besar bagi desa-desa yang berada di sekitar perkebunan sawit, terutama bencana kekeringan dan kebakaran. “Dari 573 desa di sekitar perkebunan sawit di 6 Kabupaten yaitu Indragiri Hilir, Kampar, Rokan Hulu, Siak, Pelalawan dan Rokan Hilir, 82 persen (471 desa) terindikasi rawan bencana ekologis. Lima dari enam Kabupaten tersebut, yaitu Kabupaten Pelalawan, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Indragiri Hilir dan Siak memiliki kerentanan bencana karhutla yang dominan. Sementara Kampar rentan akan bencana kekeringan yang dominan. Kerawanan bencana desa-desa di sekitar perkebunan sawit sangat tinggi, namun ironisnya, hanya 15 persen yang memiliki kapasitas manajemen bencana,” tambah Intan.

Bencana kebakaran hutan secara khusus sangat mengancam secara ekonomi. Potensi kerugian dari kebakaran gambut di wilayah perkebunan sawit di Riau pada tahun 2019 mencapai 1,5 Triliun dari sisi karbon saja hingga ekosistem gambut tersebut bisa kembali terpulihkan.

Terbitnya kebijakan moratorium sawit bisa menjadi pijakan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dengan membenahi produktivitas, modal usaha, legalitas lahan  dan keberlanjutan petani sawit untuk menciptakan daya saing dan mengurangi risiko tersingkirnya petani sawit dari pasar formal.

Sementara itu, untuk mengatasi minimnya kapasitas manajemen bencana di desa-desa sekitar perkebunan sawit, Pemda harus memprioritaskan kolaborasi dengan berbagai pihak melalui skema alokasi dana desa dan mengintegrasikan program TJSL (Tanggung Jawab Sosial Lingkungan) perusahaan

Terakhir, mekanisme transfer fiskal ekologis dari Kementerian Keuangan melalui kerangka Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) dan Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE) dapat menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan biaya dan manfaat yang sepadan dalam menjaga kelangsungan hutan dan hidrologis gambut.

ooo

Kontak Narasumber:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

Intan Elvira, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0812 2838 6143

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Ada Apa Dengan Sawit Indonesia?

Ada Apa Dengan Sawit Indonesia?

Sebagai komoditas terbesar di tanah air, sawit ternyata tidak benar-benar memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian masyarakat di akar rumput. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya dalam diskusi virtual The 9th Session of #LetsTalkAboutPalmOil yang diselenggarakan pada Kamis, 30 April 2020.

Dalam diskusi tersebut terungkap fakta bahwa pembangunan desa di provinsi yang kaya dengan komoditas ini, tidak berbanding lurus dengan masifnya ekspansi sawit. Seperti halnya Kalimantan Barat dan Riau. Kedua provinsi ini sama-sama kaya dengan sawit, namun, daya dorong sawit terhadap perekonomian masyarakat desa masih terbilang sangat rendah.

Di Kalimantan Barat (2019), desa yang ditempati perusahaan sawit untuk beroperasi, hanya 3 persennya saja yang termasuk ke dalam kategori desa mandiri berdasarkan indeks desa membangun (IDM) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan, Transmigrasi (Kemendes PDTT). Sebesar 6 persen berada pada kategori maju, 31 persen berkembang. Sedangkan 48 persennya masuk dalam kategori tertinggal, dan 11 persen sangat tertinggal.


Sementara itu, hanya 1 persen saja desa di Riau yang tergolong sebagai desa mandiri. Sekitar 6 persen maju, 64 persen berkembang. Sedangkan desa yang masuk dalam kategori tertinggal sebesar 27 persen dan 3 persennya sangat tertinggal.

Untuk mengetahui lebih lanjut terkait fakta sawit tersebut, silakan unduh melalui tautan yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Ekonomi Sawit di Kalimantan Barat Agar Tidak Bergantung Pada Dahan yang Rapuh

Ekonomi Sawit di Kalimantan Barat Agar Tidak Bergantung Pada Dahan yang Rapuh

[Jakarta, 8 April 2020] Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan predikat luas lahan sawit ketiga terbesar di Indonesia, namun dengan tingkat kemiskinan tertinggi di pulau Kalimantan. “Perluasan wilayah perkebunan sawit di Kalimantan Barat selama ini ternyata tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi lokal. Sehingga selayaknya pemerintah daerah memberikan fokus pada penyeimbangan jenis komoditas di suatu wilayah. Harapannya, komoditas perkebunan lainnya dapat turut bersaing sebagai kontributor perekonomian daerah sehingga daerah dapat lebih tahan menghadapi kondisi ekonomi yang bergejolak. Menggantungkan ketahanan ekonomi hanya pada satu komoditas unggulan seperti sawit tentu bukan hal yang bijak saat ini,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Online “Masa Depan Kalimantan Barat di Era Sawit” pada 8 April 2020.

Khusus untuk komoditas sawit, tantangan terbesar pemerintah daerah Kalimantan Barat saat ini adalah rendahnya tingkat produktivitas (baca: peringkat 10 dari 10 provinsi dengan sawit terluas). Pemerintah Daerah Kalimantan Barat perlu memprioritaskan peningkatan produktivitas sawit secara optimal dan mengurungkan ekspansi perkebunan sawit. Ini sejalan dengan amanat Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit,” tambah Teguh.

Saat ini, luasan area sawit tertanam di Kalimantan Barat masih didominasi oleh perkebunan swasta. “Lahan sawit perkebunan swasta mencapai 1,09 juta hektare sementara luas perkebunan rakyat hanya 413 ribu hektare dan perkebunan negara hanya 56,7 ribu hektare,” tutur Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan.

Pada periode 2011-2018, perkebunan swasta di Kalimantan Barat mengalami peningkatan luas sawit tertanam yang paling signifikan, yakni 91,5 ribu hektare/tahun sementara luas perkebunan rakyat hanya bertambah rata-rata 19,7 ribu hektare/tahun dan perkebunan negara justru mengalami pengurangan luas sebesar 770 hektare per tahun. Fakta tersebut menunjukkan masih timpangnya penguasaan lahan sawit di Kalimantan Barat,” tambah Erlangga.

Dari segi produktivitas, hasil kajian Madani menemukan bahwa meskipun sering dipandang sebelah mata karena luasannya kecil, perkebunan negara di Kabupaten Landak dan Sanggau justru memiliki rata-rata produktivitas tertinggi jika dibandingkan dengan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Pada tahun 2017, produktivitas sawit perkebunan negara di dua kabupaten tersebut mencapai 3,3 ton/hektare sementara perkebunan swasta di Kalimantan Barat (kecuali Kota Singkawang) produktivitasnya hanya 2,2 ton/hektare dan perkebunan rakyat hanya 2,1 ton/hektare.

Di tahun 2018, produktivitas sawit di perkebunan negara mengalami penurunan menjadi 2,9 ton/hektare, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkebunan swasta yang produktivitasnya hanya 2,6 ton/hektare dan perkebunan rakyat yang produktivitasnya 2,2 ton/hektare.

Peningkatan produktivitas menjadi kunci, bukan lagi perluasan lahan sawit. Hal lain adalah memperbaiki tata kelola perkebunan sawit yang telah ada,” urai Erlangga.

Sementara itu, dari sisi pembangunan desa, kontribusi perkebunan sawit terhadap pembangunan wilayah pedesaan masih belum optimal sebagaimana tercermin dari nilai Indeks Desa Membangun di desa-desa yang bersinggungan dengan perkebunan sawit.

Sebagian besar desa yang berada di sekitar perkebunan sawit justru memiliki nilai Indeks Ketahanan Ekonomi dan Lingkungan yang rendah,” ujar Erlangga.

Padahal, setidaknya ada lima regulasi yang mewajibkan pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas aspek sosial dan lingkungan pada masyarakat sekitar. Lima kebijakan tersebut adalah UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,  UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan PP No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

Jika sawit masih diharapkan untuk dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya di tingkat tapak, maka perlu koreksi mendalam atas praktik tata kelola yang dijalankan saat ini.

oooOOOooo

Kontak Narasumber:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0812 9480 1453

Erlangga, Peneliti Muda Yayasan Madani Berkelanjutan, HP 0852 0856 8896

Luluk Uliyah, Senior Media Communication Yayasan Madani Berkelanjutan, HP. 0815 1986 8887

Related Article

Peluang dan Tantangan RAN Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

Peluang dan Tantangan RAN Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

[MadaniNews, Selasa, 18/02/2020] Pada 22 November 2019 Presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024. Inpres ini menjadi momentum penting untuk perbaikan tata kelola sawit oleh semua pihak. Inpres ini memberikan mandat di antaranya Penguatan data, koordinasi, dan infrastruktur; Peningkatan kapasitas dan kapabilitas pekebun; Pengelolaan dan pemantauan lingkungan; Tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa; serta Percepatan pelaksanaan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) dan peningkatan akses pasar produk kelapa sawit.

Ini yang melandasi MADANI menyelenggarakan Diskusi “Peluang dan Tantangan RAN Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan dalam Perbaikan Tata Kelola Kelapa Sawit Indonesia”. Diskusi ini dilaksanakan pada 18 Februari 2020. Hadir menjadi narasumber dalam diskusi ini antara lain Dr. Siswo Pramono, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian Luar Negeri; Muhammad Saifulloh, sisten Deputi Perkebunan dan Hortikultura, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Ismu Zulfikar, Kompartemen Sertifikasi ISPO Bidang Implementasi ISPO, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia; serta M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan.

Dalam diskusi ini, M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan menyampaikan bahwa 16 penerima instruksi dari Kementerian dan Lembaga, banyak yang positif. Namun jangka waktu yang diatur di dalam Inpres tersebut hanya berlaku untuk satu periode pemerintahan saja. Padahal seharusnya Inpres ini seharusnya bisa mengatur dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Selain itu, RAN KSB ini belum menyasar upaya peningkatan akuntabilitas untuk mencegah korupsi. “Merujuk pada laporan KPK tahun 2016 tentang pengelolaan komoditas kelapa sawit yang berkelanjutan, dijelaskan bahwa ada 3 hal yang harus dilakukan. Pertama, proses akuntabilitas sistem pengendalian dalam perijinan. Kedua, efektifitas pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit. Ketiga, tidak optimalnya pengurangan pajak sektor kelapa sawit. Tiga poin penting yang direkomendasikan KPK ini belum diakomodasi di dalam RAN KSB,” ujar Teguh. 

Berikut materi dan catatan terkait Diskusi “Peluang dan Tantangan RAN Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan dalam Perbaikan Tata Kelola Kelapa Sawit Indonesia”.

Related Article

Dilema Komoditi Sawit

Dilema Komoditi Sawit

Narasi yang menyebut bahwa sawit itu baik kian masif belakangan ini. Hal ini jugalah yang pada akhirnya membuat sawit menjadi komoditas yang begitu cantik di mata publik. Padahal, sawit tidak benar-benar cantik pada kenyataannya.


Sebut saja, karena ekspansi sawit yang kian masif luas tutupan hutan pun berkurang cukup signifikan. Kemen Austin dari RTI International bersama Amanda Schwantes dari Duke University dengan risetnya yang tertuang dalam jurnal Environmental Research Letters pada Februari 2019, menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan sawit dalam kurun waktu 2001-2016 menyebabkan hilangnya 23 persen tutupan hutan Indonesia.


Berkat ekspansi perkebunan sawit selama 2001-2016 tersebut, jika dirata-rata maka ekspansi tersebut telah menyebabkan deforestasi seluas 130.061 ha per tahunnya. Artinya juga bahwa Indonesia telah kehilangan hutan hampir seluas 4 kali lapangan bola setiap 10 menit karena ekspansi perkebunan sawit.

Terkait sawit, berdasarkan data yang telah dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2019, kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit seluas 5.875.585 ha dengan rincian masih berhutan seluas 1.486.452, perkebunan sawit seluas 2.885.817 belum dikerjakan dan, terindikasi tidak sesuai peruntukan seluas 1.503.316 ha.  Sungguh angka yang mengejutkan.

Bukan hanya persoalan hutan yang semakin hilang, akibat dari persaingan bisnis dan ekonomi global yang penuh dengan ketidakpastian, ekonomi Indonesia pun ikut rentan karena terlalu bergantung pada sawit. Menjadi wajar jika sampai saat ini, menggejot pertumbuhan ekonomi terasa begitu sulit karena Indonesia ikut dalam bayang-bayang ketidakpastian.

Namun, karena begitu cantik menurut pemerintah, sawit pun gencar dipromosikan bak primadona yang begitu nikmat. Presiden Jokowi pun memberikan perhatian lebih kepada sawit melalui investasi dan pengembangan sawit menjadi biodiesel.  

Dari tahun ke tahun, wacana pengembangan biodiesel seperti B10, B20, B30 hingga B100 pun terus diumbar kepada publik sebagai salah satu solusi energi terbarukan yang katanya berkelanjutan. Memang tidak salah dengan agenda ini karena pada dasarnya beralih dari bahan bakar fosil adalah langkah yang tepat. Namun, melakukan ekspansi karena kebutuhan pasar dengan mengorbankan hutan juga tidak benar. 

Tidak dapat dimungkiri bahwa, sawit benar-benar tampil sebagai komoditas yang begitu rupawan karena dianggap sebagai salah satu solusi dari energi terbarukan, apalagi komoditas ini juga dikatakan sebagai salah satu tulang punggung perekonomian tanah air. Salah satu contohnya, sepanjang 2017, 2018 sampai dengan 2019, sawit masih menjadi penyumbang terbesar devisa negara ini. Tercatat, pada 2017, sumbangan sawit terhadap devisa mencapai rekor tertinggi yaitu USD 22,9 miliar atau sekitar Rp 320 triliun.

Meski sawit mendatangkan keuntungan secara ekonomi yang besar, namun bukan berarti sawit tidak lepas dari beragam permasalahan, misal menyebabkan deforestasi, mengancam wilayah adat, memantik konflik agraria, menjadi dalang dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan tentunya membahayakan ekosistem.

Hak Sawit

Tidak lepas dengan kasus ini, suatu hari saya pernah tertegun dengan pernyataan seorang petani sawit yang mengatakan “jangan jadikan lingkungan sebagai alasan untuk penghambat investasi”. Lantas saya pun berpikir dan bertanya, apakah benar yang selama ini banyak kelompok masyarakat sipil perjuangkan adalah salah? Apakah benar selama ini yang terjadi adalah sawit dikambinghitamkan di negeri sendiri?

Jika kita lihat lebih dalam, secara kasat mata saja, benar bahwa kita dapat melihat banyak petani sawit yang memiliki kemampuan finansial yang memadai, sederhananya sawit juga memberikan manfaat terhadap ekonomi lokal.


Namun, sawit yang begitu baik tidak sepenuhnya dapat dinikmati oleh para petani lokal dengan leluasa karena pada kenyataannya para petani sawit masih seolah menjadi anak tiri di negeri sendiri. Berdasarkan studi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pada 2017 terhadap 10 ribu petani sawit di Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara, ditemukan bahwa 71 persen petani belum bergabung dalam kelembagaan petani dan 77 persen produktivitas sawit kurang dari 1 ton per hektare per bulan. Studi tersebut juga mengungkap bahwa 54 persen petani menggunakan bibit tidak bersertifikat, 97 persen petani belum didampingi penyuluh, dan 73 persen petani menjual tandan buah sawit ke tengkulak.


Coba saja bayangkan, kalau petani sawit mendapatkan akses pasar yang lebih baik serta pendampingan yang baik pula, bisa jadi ekonomi Indonesia akan lebih baik karena perekonomian domestik begitu kuat.


Perihal sawit, saya rasa kita semua sepakat bahwa tidak ada yang salah dari sawit, karena jelas sawit merupakan produk unggulan yang bahkan membuat pasar eropa harus membuat regulasi yang menahan sawit menguasai pasar. Narasi sawit itu baik adalah benar jika kita melirik kepada komoditasnya, hanya saja tata kelola sawit itu sendiri yang masih perlu banyak perbaikan. Inilah pekerjaan rumah yang sampai saat ini belum terselesaikan.


Tidak dapat dipungkiri juga bahwa sawit membuat banyak pihak gelap mata sehingga serakah dan hasilnya melakukan ekspansi dengan membabat hutan yang pada dasarnya adalah penopang dari kehidupan. Fakta ini menjadi semakin buruk karena kenyataannya sebagian besar dari sawit di Indonesia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar milik asing dan juga milik negara, sehingga petani lokal pun hanya seolah pelengkap penderitaan saja.

Related Article

id_IDID