Madani

Tentang Kami

INDONESIA PAVILION AT COP26: TIME FOR ACTION INDONESIA

INDONESIA PAVILION AT COP26: TIME FOR ACTION INDONESIA

From 31 October to 12 November, the UK will host the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) located in Glasgow, Scotland. COP26 aims to accelerate climate action to achieve the goals of the Paris Agreement and the UNFCCC. COP26 is important because this decade is the last opportunity for us to scale up climate action to achieve the 1.5-degree goal.

In order to welcome this grand agenda, civil society organizations, Madani Berkelajutan Foundation, Walhi, Kemitraan, and LTKL took part in the Indonesian pavilion at COP26.

READS ALSO: Inclusive And Collaborative Climate Action Under The Next Generation Leaderships: NPS Contributions to Long Term Development Strategy

One of the activities that will be held is a discussion with the theme Inclusive And Collaborative Climate Action Under The Next Generation Leaderships: NPS Contributions to Long Term Development Strategy, On Tuesday, 9, November 13.20 to 14.40 WIB.

In this discussion, a number of presenters were present, namely the Executive Director of the Partnership, Laode Muhammad Syarif, Adat Women Leaders Ammatoa Kajang Community, Ramlah, Prokilm-Social Forestry of Nagari Sirukam West Sumatra, Selfi Suryani, Head of Gorontalo District, Prof. Nelson Promalingo, Adat Youth Leaders from Dusun Silit West Kalimantan, and Duayam x Krealogi, Hanna Keraf.

Register yourself to take part in the event at the following link www.indonesiaunfccc.com

Related Article

Update Ekonomi Politik: Anggaran Perubahan Iklim Turun, Kepuasan Terhadap Pemerintah Juga Turun

Update Ekonomi Politik: Anggaran Perubahan Iklim Turun, Kepuasan Terhadap Pemerintah Juga Turun

Yayasan Madani Berkelanjutan merangkum beberapa peristiwa penting terkait dengan kondisi ekonomi-politik yang terjadi dalam sepekan terakhir (10 Agustus 2021 – 16 Agustus 2021), berikut cuplikannya:

1. Anggaran Perubahan Iklim Menurun

Porsi anggaran perubahan iklim dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN selama kurun waktu tiga tahun terakhir menurun. Pada 2018, anggaran kementerian/lembaga untuk perubahan iklim mencapai Rp 132,4 triliun. Anggaran ini kemudian turun menjadi Rp 97,66 triliun pada 2019 dan Rp 77,81 triliun pada 2020. Rata-rata alokasi anggaran perubahan iklim dalam APBN 2018-2020 sebesar Rp 102,65 triliun per tahun. Sementara rata-rata anggaran untuk mitigasi Rp 62,7 triliun per tahun dan Rp 40,4 triliun per tahun untuk upaya adaptasi.

Di sisi lain, pembiayaan sektor kawasan pesisir dan kelautan baru mendapat alokasi 0,2 persen dari APBN. Kegiatan ini terpusat untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kegiatan tidak langsung seperti penelitian dan riset masih mendominasi.

BKF juga menyebutkan, 88 persen anggaran perubahan iklim digunakan untuk membiayai infrastruktur hijau. Sementara 12 persen lainnya digunakan untuk membiayai kegiatan pendukung, seperti regulasi dan kebijakan, riset dan pengembangan, peningkatan kapasitas, serta pemberdayaan masyarakat.

Seiring meningkatnya dampak perubahan iklim yang kian terasa, perlu penguatan komitmen dalam rencana kerja kementerian dan lembaga negara ke depan. Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan Dian Lestari mengemukakan, upaya menanggulangi perubahan iklim membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bahkan, kebutuhan pembiayaan mitigasi perubahan iklim per sektor hingga 2030 mencapai Rp 3.461 triliun.

2. Juli 2021 Bulan Terpanas dalam 142 Tahun Terakhir

Perubahan iklim dan pemanasan global tak membaik. Pusat Informasi Lingkungan Nasional (NCEI) Badan Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) Amerika Serikat menyebut, Juli 2021 menjadi bulan terpanas di dunia yang pernah tercatat.

Dalam catatannya, Juli biasanya menjadi waktu terpanas dunia sepanjang tahun. Khusus pada bulan lalu, suhu permukaan global lebih tinggi 0,93 derajat Celcius dari rata-rata abad ke-20 yang mencapai 15,8 derajat Celcius. Angka ini merupakan rekor tertinggi untuk bulan Juli dalam 142 tahun.

Pemanasan permukaan dataran global dipicu menghangatnya daratan bumi belahan utara. Pada bagian jagat ini, suhu bulan Juli tertinggi mencapai 1,54 derajat Celcius di atas rata-rata, melampaui rekor di 2012. Selama bulan tersebut, NCEI mengatakan suhu lebih hangat dari rata-rata pada Amerika Utara, Eropa, bagian utara dan selatan Amerika Selatan, utara Afrika, separuh bagian selatan Asia, Oseania dan sebagian bagian barat dan utara Samudera Pasifik, Atlantik dan Hindia.

Secara regional, NCEI mencatat Asia memiliki rekor terpanas pada bulan Juli 2021, mengalahkan catatan sebelumnya yang ditetapkan pada 2010. Eropa mencatat rekor terpanas kedua pada bulan yang sama. Sedangkan Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika dan Oseania semuanya masuk 10 besar dalam rekor. Panas ekstrem yang dirinci dalam laporan bulanan NOAA juga merupakan cerminan dari perubahan iklim jangka panjang yang tercantum pada laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC pada pekan ini.

3. Sarat Masalah, Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit di Papua dan Papua Barat Dievaluasi

Dianggap sarat masalah, perizinan perkebunan kelapa sawit di Papua dan Papua Barat dievaluasi. Hal ini mempertimbangkan, perkebunan kelapa sawit masih menjadi industri yang berkontribusi positif terhadap perekonomian nasional. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua Barat Freddy Kolintama mengatakan, evaluasi perizinan kelapa sawit memerlukan koordinasi lintas sektor yang melibatkan kementerian dan lembaga serta Pemerintah Provinsi Papua Barat.

Pelaksanaan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit ini berlandaskan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit.

Dari hasil evaluasi ini, ditemukan sejumlah pelanggaran sebagaimana diungkapkan Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Papua Barat Yacob S Fonataba. Pelanggaran itu di antaranya adalah tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU), tidak memiliki izin pemanfaatan kayu dari Dinas Kehutanan, tidak melaporkan perusahaan kepemilikan saham dan susunan kepengurusan, dan belum menyelesaikan kebun inti.

Untuk diketahui, hingga saat ini tercatat 24 perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Provinsi Papua Barat dengan total luasan wilayah konsesi yang dievaluasi 681.974 hektar.

Hal serupa dilakukan di Provinsi Papua. Rencana aksi evaluasi HGU di seluruh wilayah Papua mulai Jayapura hingga Merauke ini terus dipantau oleh Kanwil BPN Provinsi Papua melalui kantor-kantor pertanahan setempat. Berdasarkan hasil inventarisasi Kanwil BPN Provinsi Papua, terdapat lahan HGU pertanian dan perkebunan seluas 328.895 hektar. Di antaranya merupakan lahan perkebunan kelapa sawit dengan luas 159.000 hektar pada tahun 2020, yang terdapat di beberapa kabupaten dan kota.

Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra menambahkan, apa yang dilakukan saat ini di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat menjadi contoh dan role model untuk diterapkan pula di berbagai provinsi.

4. Survei: Kepuasan terhadap Pemerintah Turun, Terutama di Papua

Survei Charta Politika menunjukkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah turun dari 65,3 persen di Maret 2021 menjadi 62,4 persen.
Survei itu dilakukan secara tatap muka dengan metode multistage random sampling pada periode 12-20 Juli 2021 terhadap 1.200 responden dari seluruh wilayah RI. Margin of error plus minus 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Dalam survei ini, Charta Politika memperoleh hasil 62,4 persen publik puas dan 34,1 persen publik tidak puas atas kinerja pemerintah. Berdasarkan survei Charta Politika, tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah tertinggi berada di wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sedangkan tingkat kepuasan terendah berada di wilayah Maluku dan Papua (45 persen puas, 40 persen tidak puas, 15 persen tidak menjawab), Kalimantan (47,7 persen puas, 49,2 persen tak puas, 3,1 persen tak menjawab), serta Sumatera (55,2 persen puas, 43,2 persen tak puas, 1,6 tak menjawab).

Related Article

Indonesia Butuh Pendanaan Sekitar Rp 3.461 Triliun Untuk Perubahan Iklim

Indonesia Butuh Pendanaan Sekitar Rp 3.461 Triliun Untuk Perubahan Iklim

Indonesia membutuhkan pendanaan sebesar US$ 247 miliar atau sekitar Rp 3.461 triliun selama periode 2018-2030 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca setiap tahun. Estimasi ini sesuai dengan dokumen Second Biennial Update Report 2018.

Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengestimasi kebutuhan Indonesia untuk mencapai target Nationally Determined Contributions (NDCs) setiap tahun adalah sebesar Rp 343,32 triliun. Merujuk pada pendanaan APBN yang disediakan untuk perubahan iklim berdasarkan data budget tagging tahun 2019 dan 2020, serta merujuk pada kebutuhan per tahun dan data budget tagging tersebut maka pendanaan masih terdapat gap yang cukup besar, yaitu sekitar 60-70% dari total kebutuhan dananya.

Indonesia sendiri sebagai negara yang telah meratifikasi Paris Agreement malalui UU 16 tahun 2016 telah menyampaikan komitmentnya melalui NDCs yaitu pengurangan emisi sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan sampai dengan 41 persen dengan dukungan Internasional. Salah satu upaya konkret pemerintah untuk mendukung pendanaan NDC atau pendanaan lingkungan hidup secara umum adalah pembentukan Indonesian Environment Fund (IEF) atau yang disebut Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) pada tahun 2019.

BPDLH diresmikan pada akhir 2019 oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Lembaga ini dibentuk berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden nomor 77 tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.

Dapatkan pemberitaan media edisi 24-30 Mei 2021 dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

Anggaran Perubahan Iklim Masuk RPJMN 2020-2024

Anggaran Perubahan Iklim Masuk RPJMN 2020-2024

Pengendalian perubahan iklim telah masuk dalam prioritas nasional keenam di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Program prioritasnya adalah peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon.


Untuk memenuhi komitmen dan target itu, peran APBN menjadi sangat vital sebagai instrumen fiskal dalam mendorong proses transformasi ekonomi hijau tersebut. Berdasarkan Second Biennial Update Report (2nd BUR) tahun 2018, Indonesia membutuhkan pendanaan untuk pengendalian perubahan iklim sebesar Rp3.461 triliun hingga tahun 2030. Atau setiap tahun memerlukan Rp266,2 triliun.


Dari kebutuhan anggaran ini, APBN hanya dapat memenuhi sekitar 34 persennya atau Rp86,7 triliun per tahunnya. Ini telah direalisasikan ke dalam penandaan anggaran perubahan iklim atau Climate Budget Tagging (CBT) sejak 2016 sampai dengan 2020.

Anggaran perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1 persen dari APBN. Selama lima tahun terakhir, 88,1 % dari total anggaran perubahan iklim dibelanjakan dalam bentuk green infrastructure yang berfungsi sebagai roda penggerak perekonomian sekaligus modal utama transformasi ekonomi hijau di Indonesia.


Indonesia masih memiliki financial gap yang besar untuk memenuhi target kebutuhan pendanaan. Sehingga diperlukan dukungan pendanaan yang sangat besar untuk meningkatkan ketahanan iklim di Indonesia.

Related Article

Dana Perubahan Iklim dan BPDLH

Dana Perubahan Iklim dan BPDLH

Sudah sepantasnya acungan jempol kita berikan kepada Pemerintah Indonesia yang telah berhasil berkontribusi di dunia internasional dalam usaha mengerem laju perubahan iklim. Kontribusi nyata Indonesia tersebut dibuktikan dengan penghargaan yang diterima Indonesia berupa dana kompensasi US$ 103,78 juta atau sekitar Rp 1,52 triliun dari Green Climate Fund (GCF) belum lama ini.


Dana kompensasi ini diberikan karena Indonesia telah berhasil mengurangi gas rumah kaca dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Tercatat sepanjang periode 2014- 2020, laju deforestasi di Indonesia turun dari level 3,51 juta ton setara karbondioksida ke level 0,40 juta ton setara karbondioksida.


Pembuktian Indonesia dalam upaya memerangi dampak perubahan iklim atau yang lebih tepat disebut krisis iklim bukan hanya telah terealisasi dari dana internasional GCF, tapi juga sebelumnya Indonesia telah menerima dana perubahan iklim yang berasal dari pemerintah Norwegia sebesar sebesar Rp 840 miliar.


Keberhasilan Indonesia tersebut tentu patut kita banggakan. Pasalnya, di tengah pandemi yang masih menghantui serta krisis lingkungan dunia yang semakin mengkhawatirkan, Indonesia keluar dengan penghargaan atas pencapaian dalam upaya menekan dampak krisis iklim dunia.

Namun, sebagai bangsa yang bijak, alangkah baiknya pencapaian tersebut tidak lantas membuat kita cepat berpuas hati, karena agenda memerangi krisis iklim masih harus melalui jalan terjal yang panjang.

Terkait dengan agenda perlawanan terhadap krisis iklim dunia, Indonesia telah menetapkan target yang terbilang cukup baik. Target yang termanifestasikan dalam Nationally Determined Contribution (NDC), yakni dengan target penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 29% dari business as usual (BAU) 2030 dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional. NDC sendiri merupakan bagian penting dari Persetujuan Paris atau Paris Agreement yang berisi pernyataan komitmen banyak negara dalam menghadapi perubahan iklim.

Menguji BPDLH

Setelah uang dalam jumlah besar masuk ke kantong pemerintah Indonesia, tentu menjadi wajar jika publik mulai bertanya-tanya mengenai alokasi penggunaan dana internasional tersebut.

Untuk menjawab beragam pertanyaan serta spekulasi yang akan muncul, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan sebuah institusi khusus yang bertugas sebagai pengelolaan dana tersebut. Institusi tersebut bernama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup atau yang disingkat BPDLH.

BPDLH adalah badan yang dirancang untuk menghimpun pendanaan perlindungan lingkungan hidup serta memiliki kemampuan untuk menyalurkannya pada pos-pos prioritas yang berkomitmen pada kepentingan pemulihan dan pelestarian lingkungan hidup. BPDLH akan menyalurkan dana di antaranya terkait dengan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, konservasi, keragaman hayati, dan berbagai kearifan lokal yang harus dilindungi.

Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan dana yang berkait dengan kepentingan lingkungan seperti halnya dana internasional perubahan iklim, BPDLH tentu harus memiliki grand design yang sesuai dengan ambisi dan tantangan Indonesia di masa yang akan datang.

Sumber pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang sedang terbatas. Situasi pandemi korona (Covid-19) pun menjadi ujian berat bagi BPDLH yang akan beroperasi tahun ini. Ujian tersebut harus dijawab dengan baik untuk menjaga kepercayaan dan reputasi di mata masyarakat dan dunia.

Dalam pengelolaan dana tersebut, ada beberapa pos penting yang dapat menjadi sasaran utama BPDLH. Pertama, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berbasis lingkungan. Sejalan dengan maksud dan tujuan dari pemulihan lingkungan, maka menyasar UMKM berbasis lingkungan adalah hal utama yang paling tepat. UMKM yang berbasis pada program Perhutanan Sosial adalah contoh terbaik untuk mendapatkan dukungan pendanaan hijau dari BPDLH.

Selain menyelamatkan lingkungan, menyalurkan dana pada sektor Perhutanan Sosial juga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat yang kini sangat tertekan oleh pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.

Kedua, penanganan kerusakan lingkungan. Dalam penanganan kerusakan lingkungan, skema insentif dapat menjadi pilihan tepat. Lebih tepatnya, pemerintah dapat menyalurkan pendanaan pada kelompok masyarakat yang menjaga kelestarian lingkungan, hutan, dan alam serta kepada perusahaan yang tertib dalam penerapan aktivitas produksi sehingga menghilangkan dampak kerusakan terhadap lingkungan.

Seperti halnya dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kebiasaan perusahaan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar (slash and burn) harus dihentikan dengan skema insentif yang tepat. Skema tersebut dapat berupa dukungan pengadaan alat berat untuk membantu pembukaan lahan yang lebih ramah lingkungan.

Sedangkan kelompok masyarakat siaga api dapat diberikan dukungan berupa peralatan mitigasi serta pendanaan operasional. Skema insentif dapat dikatakan sebagai wujud terbaik dalam pencegahan terjadi karhutla di tanah air. Bukankah negeri ini ingin segera lepas dari ancaman karhutla yang mengintai setiap tahun.

Ketiga, reward atau penghargaan bagi daerah penjaga lingkungan. Selama ini ada anggapan yang berkembang bagi daerah tentang hutan yang sangat mengkhawatirkan, yakni hutan sama dengan kutukan. Keberadaan hutan disebut sebagai kutukan lantaran menjadi dilema dalam pembangunan. Daerah yang cenderung masih memiliki hutan yang lestari, seolah dituntut untuk tetap menjaga kelestarian hutan tersebut. Di sisi lain, tuntutan akan pembangunan begitu mendesak sehingga membuat pemerintah daerah (pemda) kesulitan untuk menggenjot perekonomian.

Dengan adanya penghargaan bagi daerah yang berprestasi dalam menjaga lingkungan khususnya hutan, daerah akan terbantu dari segi pendanaan untuk melakukan pembangunan. Penghargaan ini pun dengan sendirinya akan menjadi stimulus bagi daerah untuk lebih kreatif memanfaatkan keberadaan hutan dengan baik, karena pada dasarnya hutan memiliki nilai ekonomi dan non-ekonomi yang sangat besar untuk masa depan. Alhasil, anggapan bahwa hutan adalah kutukan bisa berubah menjadi hutan adalah berkah bagi daerah.

Saat krisis semakin di depan mata, Indonesia jelas harus melakukan lompatan besar. Dengan pembentukan BPDLH, kita berharap Indonesia bukan hanya berfokus untuk keluar dari pandemi Covid-19, melainkan juga fokus untuk keluar dari ancaman krisis iklim yang saat ini sedang melanda dunia. Ibarat kata pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.

Penulis: Delly Ferdian

Peneliti Madani Berkelanjutan Jakarta

Tulisan ini sudah dimuat di Harian Kotan edisi 22 September 2020.

Related Article

ANGGARAN PERUBAHAN IKLIM TAHUN 2018 MENCAPAI RP 109,7 TRILIUN

ANGGARAN PERUBAHAN IKLIM TAHUN 2018 MENCAPAI RP 109,7 TRILIUN

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) baru saja meluncurkan Buku Pendaanaan Publik untuk Pengendalian Perubahan Iklim Indonesia Tahun 2016-2018. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa anggaran untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di tahun 2018 mencapai Rp. 109,7 Triliun, atau sekitar 4,9% dari total anggaran pemerintah. 

Anggaran tersebut beririsan dengan agenda pemerintah lainnya, seperti ketahanan pangan dan energi, penyediaan infrastruktur transportasi publik dan bendungan, serta pemukiman mandiri dan rumah susun.


Sementara itu, Indonesia memiliki kerentanan yang relatif tinggi ats dampak perubahan iklim dan estimasi kerugian ekonominya akan mencapai Rp. 132 Triliun di tahun 2050. Dan dana yang dibutuhkan untuk mencapai target menurunkan emisi Gas Rumah Kaca Indonesia ternyata tidak sedikit. Diestimasi dana yang dibutuhkan adalah Rp. 3.461 Triliun di tahun 2030.

Untuk update NDC (Nationally Determined Contribution) saat ini telah selesai disusun, namun masih menunggu proses lebih lanjut di kementerian terkait, sebelum disampaikan ke Sekretariat UNFCCC.

Untuk pemberitaan media di Minggu III April 2020 selengkapnya dapat dilihat di lampiran.

Related Article

id_IDID