Madani

Tentang Kami

[1000 gagasan] SECURITISE NATURE: PROTEKSI SUMBER DAYA ALAM (SDA) DENGAN MENINGKATKAN VALUE

[1000 gagasan] SECURITISE NATURE: PROTEKSI SUMBER DAYA ALAM (SDA) DENGAN MENINGKATKAN VALUE

Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia adalah berkah yang tidak ternilai harganya. Namun, ketidakpahaman atau kesalahpahaman kerap membuat SDA hanya diharga sebatas sudut pandang ekonomi tanpa melihat sisi lainya.  Padahal, SDA sendiri dapat dikatakan sebagai modal yang memberikan layanan kepada banyak orang berupa pelayanan ekosistem ecosystem service

Kendati demikian, sangat sulit untuk mengukur nilai SDA berupa pelayanan ekosistem tersebut karena pasar saat ini tidak mengakuinya lantaran tidak terdefinisi. Persoalan ini dinilai banyak pihak sebagai kegagalan pasar yang menyebabkan turunnya daya dukung lingkungan. Alhasil, wajar jika lingkungan sering dipandang sebelah mata, dinilai tidak penting bahkan cenderung menjadi isu yang dibelakangkan karena dianggap persoalannya dapat dikerjakan dilain hari.  

BACA JUGA: Ekonomi Lapang (Lahan dan Pangan)

Terdapat tiga ide utama dalam mengembangkan pelayanan ekosistem ini sehingga tercipta public privat partnership dalam upaya proteksi SDA. Pertama, perubahan pola pikir SDA sebagai sebuah aset. Kedua, membuka jalan sistem pasar berbasis solusi untuk lingkungan, hutan, dan alam. Ketiga, mengoptimalkan peran private sector dalam penggunaan SDA secara berkelanjutan. 

Oleh: Diah Putri Utami

Japan International Cooperation Agency

 

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

Related Article

[1000 gagasan] EKONOMI LAPANG (LAHAN DAN PANGAN)

[1000 gagasan] EKONOMI LAPANG (LAHAN DAN PANGAN)

Isu ketahanan pangan adalah isu yang sangat penting di Indonesia saat ini bahkan dunia. Isu ini sangat erat kaitannya dengan kebutuhan pokok masyarakat atau lebih tepatnya dengan hajat hidup orang banyak. Apalagi, saat pandemi covid-19 melanda, isu ini menjadi sorotan publik lantaran bergulirnya rencana food estate.

Kebutuhan akan pangan adalah kebutuhan mutlak bagi setiap orang, oleh karena itu, kemandirian pangan menjadi kunci dari ketahanan pangan itu sendiri. Akankah kemandirian pangan dapat terwujud?

SIMAK JUGA: Ekonomi Martabak

Simak lebih lengkap gagasan tentang kemandirian pangan berjudul Ekonomi Lapang (Lahan dan Pangan) karya Alya Lihan dan Jovita Chiara di 1000 Gagasan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan di bawah ini

 

Mahasiswa ITB

Related Article

[1000 gagasan] MENGINISIASI RUANG TERBUKA HIJAU KOTA YANG BERKELANJUTAN

[1000 gagasan] MENGINISIASI RUANG TERBUKA HIJAU KOTA YANG BERKELANJUTAN

Feeling good, like I should” lirik lagu dari Band Surfaces ini sempat viral di media sosial beberapa waktu yang lalu. Bukan hanya karena lagunya yang easy listening, tetapi karena jadi latar sebuah video dengan pemandangan alam yang hijau nan segar dengan latar gunung yang indah yang berada di Ranu Manduro, Mojokerto. Setelah viral, lokasi objek wisata dadakan itu lalu dibanjiri wisatawan yang berburu keindahannya dan menyandingkannya dengan pemandangan ala-ala New Zealand. 

Bila ditilik, menjadi menarik mengapa orang rela dari tempat yang jauh antri bermacet-ria untuk dapat bisa mengunjungi area tersebut, atau mengapa di akhir pekan, jalur puncak, Bogor selalu dipadati oleh wisatawan asal Kota Jakarta dan sekitarnya, atau mengapa harus berlibur ke Raja Ampat dan Bali untuk dapat menikmati pemandangan alam nan hijau dan masih asri.

Penelitian dari Universitas Warwick dan Universitas Sheffield tahun 2018 sedikit memberikan gambaran tentang hal ini, bahwa interaksi manusia dengan alam sekitarnya bisa menimbulkan nyaman sehingga kesehatan mental membaik. “Lari” dari kepenatan kota dan menuju daerah suburban menjadi jawaban karena kota-kota besar kini dipenuhi gedung tinggi bertingkat, permukiman, perkantoran dan minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) tersedia.  

Tantangan Penyediaan RTH

Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menunjukkan, sampai saat ini, baru 13 dari 174 kota di Indonesia yang mengikuti Program Kota Hijau dan memiliki Porsi RTH sebanyak 30% atau lebih. Padahal ketentuan pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 sudah jelas mengatur proporsi setiap kota, yakni paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota.

BACA JUGA:  Sampah Elektronik: Jadi Ancaman Jangan Kita Lupakan

Tapi, menyediakan Ruang Terbuka Hijau di tengah peningkatan pertumbuhan kawasan permukiman, dan perkantoran tak semudah membalikkan tangan. Persoalan pertama terletak pada minimnya ruang terbuka hijau yang tersisa. Tingginya laju pertumbuhan penduduk di suatu daerah pasti akan diikuti dengan laju pertumbuhan kawasan terbangun seperti pemukiman, dan perkantoran. Alih fungsi lahan menjadi hal yang tak terelakkan dan akibatnya ruang terbuka hijau menjadi minim. 

Kedua, persoalan kesulitan pemerintah kota untuk mengalokasikan anggaran untuk penyediaan RTH di wilayah perkotaan. Jamak diketahui, harga pasaran tanah per meter di kawasan perkotaaan semisal Jakarta begitu mahal, sedangkan di satu sisi alokasi anggaran untuk pembebasan tanah tentu terbatas. Belum lagi proses pengadaan tanah juga memakan waktu yang tidak sebentar. 

Persoalan ketiga, alasan pragmatis pemilik lahan untuk membangun menjadi permukiman atau pertokoan karena lebih menguntungkan ketimbang sekedar menjadi ruang terbuka hijau. Apalagi bila tanah tersebut berada di wilayah yang strategis. 

Padahal, sejatinya tata ruang kota tidak hanya untuk kawasan budidaya atau terbangun, fungsi RTH diperlukan untuk menyeimbangkan kondisi ekologis kota karena pohon dan tanaman akan membantu dalam penyerapan karbon dioksida sekaligus menyimpan air, dan parahnya fungsi ini makin menurun di kota-kota besar dan makin jauh dari kesan teduh. Pada akhirnya, persoalan dan bencana seperti: banjir, longsor, dan kekeringan menjadi mudah dirasakan oleh masyarakat kota. 

Di sisi yang lain, Analisa Bank Dunia perlu jadi perhatian serius di mana diproyeksikan bahwa 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada tahun 2045. Ini artinya urbanisasi  akan terus meningkat dari 56% menjadi 70% dari total populasi secara keseluruhan. Dan ini mengartikan juga bahwa kebutuhan akan lahan terbangun semakin tahun akan semakin meningkat.   

Peluang Penyediaan RTH  

Di tengah tantangan masalah kota yang makin kompleks, sebenarnya masih ada secercah harapan yang bisa diinisiasi untuk melihat kemungkinan penyediaan Ruang Terbuka Hijau. Setidaknya, ada tiga skema menurut hemat penulis yang dapat diinisiasi dalam penyediaan ruang terbuka hijau.  Pertama, pemberian insentif pajak pada lahan yang belum terbangun atau lahan tidur. Pembebanan pajak tinggi pada lahan tidur kerap membuat pemilik lahan mengambil jalan pintas untuk segera menjual ke pihak lain untuk menjadikan kawasan terbangun. Padahal, bila tetap dibiarkan tidak terbangun, kota terbantu untuk tetap menghadirkan daerah resapan dari lahan tidur tersebut. Oleh karena itu, insentif ini diharapkan membantu pemilik lahan untuk tidak mengalihfungsikan lahannya. Dari skema ini, pemerintah kota sejatinya akan terbantu dalam penyediaan Ruang Terbuka Hijau karena tidak perlu membebaskan tanah, tapi cukup dengan memberikan insentif pajak.  

BACA JUGA: Ekonomi Martabak

Kedua, skema pemanfaatan lahan tidur untuk pengelolaan kewirausahaan kecil menengah. Bila sebelumnya, pemilik lahan hanya mendapatkan insentif keringanan pajak atas lahan tidak terbangun, pada skema ini, pemilik lahan mendapatkan keuntungan ekonomis dari lahan yang dibiarkan tidur. Dengan bekerjasama dengan pihak lain, seperti Event Organizer, lahan tersebut bisa dimanfaatkan sebagai lokasi sentra UMKM nonpermanen dengan tetap memberikan porsi besar pada lahan terbuka. Praktek ini akrab dijumpai seperti pada kegiatan pasar malam, atau pasar pagi dadakan, di mana pemilik lahan mendapatkan keuntungan dari peminjam lahan dari penyewa usaha.   

Ketiga, pengembangan potensi ekowisata. Bila pada dua skema sebelumnya, pemanfaatan ruang terbuka dari lahan tidur hanya bersifat sementara, pada skema ini pemanfaatan lahan bisa berkelanjutan. Kebutuhan ruang untuk rekreasi hijau yang dekat menjadi peluang investasi jangka panjang. Terlebih di kondisi pandemi yang belum memungkinkan orang untuk pergi jauh dan masih khawatir tertular virus. Lahan tidur dapat dikelola sebagai sarana rekreasi yang menarik. Penyediaan danau, kebun buah, mini zoo, labirin dan fasilitas gazebo menjadi tempat yang tepat untuk membebaskan diri dari tekanan kerja dan tentunya minim resiko dari kemacetan bila dibandingkan harus ke daerah suburban seperti kawasan puncak, dll.   

Pada akhirnya, skema pengelolaan ruang terbuka hijau perkotaan ini menjadi alternatif bagi pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan fungsi ekologis suatu kawasan dan dapat memberdayakan masyarakat sekitar. 

Oleh: Muhammad Wahdini

Penggerak Gerakan BangSaku, Warga Balikpapan


Related Article

[1000 gagasan] MEWUJUDKAN INDONESIA MERATA (MODAL EKONOMI MASYARAKAT SEJAHTERA) MELALUI FINTECH DALAM PENINGKATAN INOVASI MODEL PEMBIAYAAN DAN PELATIHAN UMKM

[1000 gagasan] MEWUJUDKAN INDONESIA MERATA (MODAL EKONOMI MASYARAKAT SEJAHTERA) MELALUI FINTECH DALAM PENINGKATAN INOVASI MODEL PEMBIAYAAN DAN PELATIHAN UMKM

Indonesia tentunya memiliki karakteristik yang unik dan strategi untuk menghadapi revolusi industri 4.0 melalui pemerintahan saat ini. Namun jika dikaji lebih dalam upaya yang dilakukan masih belum optimal karena kepadatan penduduk di kota-kota besar semakin tinggi. Di sisi lain hal itu dapat menyebabkan ketimpangan yang signifikan antara perkotaan dan pedesaan, kemudian juga dihadapkan dengan bonus demografi yang akan terjadi dan jika bisa dimanfaatkan potensinya sesuai dengan strategi maka bonus demografi akan memberikan kontribusi yang besar untuk bangsa ini. Fenomena sharing economy juga dapat dioptimalkan melalui digitalisasi secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

Fenomena sharing economy yang optimal dapat diimplementasikan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas Usaha Mikro Kecil Menengah, karena faktanya sektor UMKM telah banyak memberikan kontribusi terhadap perekonomian di Indonesia dimana tercatat pada tahun 2015 sektor UMKM turut berkontribusi sebesar 57% terhadap PDB dan dapat menyerap tenaga kerja sebesar 97 persen. Angka tersebut diprediksikan akan terus meningkat seiring terus bertumbuhnya jumlah pelaku hal tersebut melanjutkan tren bahwa sebesar 99.99% pangsa usaha di Indonesia. Bonus demografi akan sangat mendukung implementasi tersebut secara optimal. 

Hal dasar namun sangat besar yang sangat perlu diperhatikan adalah kemampuan untuk menguasai teknologi baru dan kesiapan secara finansial sebagai modal utama dalam menciptakan usaha, baik berupa barang atau jasa berupa produk yang mampu berdaya saing global. Kemudian dibandingkan dengan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, era digitalisasi saat ini dan tantangan di masa depan dibutuhkan bisnis yang berkelanjutan memiliki orientasi terhadap ekonomi kreatif yang memanfaatkan peran penting pola pikir sumber daya manusia.

Ekonomi Inklusif

Menurut World Economic Forum mendefinisikan ekonomi inklusif sebagai strategi yang memberikan akses yang luas kepada lapisan-lapisan masyarakat guna untuk meningkatkan kemakmuran serta kinerja perekonomian. Hal ini juga bertujuan untuk memberikan jaminan kepada masyarakat agar dapat merasakan akses perekonomian yang dapat meningkatkan kesejahteraan agar lebih baik.

BACA JUGA: Pembangunan Berkelanjutan

Financial Technology

Financial Technology atau Fintech memiliki definisi sebagai suatu penggunaan teknologi yang merujuk pada penggunaan di bidang keuangan yang dimana jika dijelaskan secara detail bahwa perkembangan era digital membuat pengaplikasian teknologi secara tingkat lanjut untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan intermediasi keuangan. World Bank juga mengatakan bahwa Fintech itu sendiri berupa industri-industri pada suatu perusahaan yang memanfaatkan teknologi dalam sistem penyelesaian layanan keuangan agar menjadi efektif dan efisien.

Usaha Mikro Kecil Menengah

Keberadaan UMKM ini sendiri dapat dijadikan sebagai jalan alternatif untuk menyelesaikan isu ketimpangan yang ada di Indonesia. Namun, permasalahan yang besar pada UMKM ini adalah akses dari permodalan dan bahkan jaminan usaha yang sulit. Hal ini menyebabkan UMKM di Indonesia khususnya sulit untuk berkembang. Seiring dengan mengikuti zaman banyak sekali inovasi-inovasi yang ada dengan mengikuti perkembangan era digital, contohnya seperti perkembangan dari ekonomi kreatif.

Sharing Economy

Menurut Benita Matofska dari The People Who Share menjelaskan bahwa sharing economy merupakan bagian dari ekosistem sosial-ekonomi yang dibangun untuk menciptakan sesuatu yang membagi berbagai aspek, mulai dari sumber daya manusia, hingga kedalam intelektual. Aspek yang dibagi di dalam fenomena ini berupa kreativitas produk, jual beli barang, proses konsumsi, proses produksi dan distribusi, bahkan layanan. Fenomena ini menjadi suatu tantangan besar yang terjadi di kalangan pelaku usaha dalam proses mencapai pengembangan pasar. 

Mewujudkan Indonesia Merata

Perkembangan era modern yang sangat cepat ini menyebabkan transformasi ekonomi yang begitu besar, saat ini inovasi hal yang paling utama dalam kegiatan bisnis. Persaingan besar pun terjadi di tingkat wilayah, nasional, bahkan internasional. Era bisnis saat ini juga banyak melibatkan sumber daya manusia sehingga potensi sumber daya manusia pada suatu negara juga harus dikelola dengan baik. Dengan adanya tantangan dan permasalahan yang dihadapi saat ini maka perlunya mewujudkan Indonesia Merata (Modal Ekonomi Masyarakat Sejahtera) melalui fintech yang memiliki 2 fitur utama yaitu pelatihan untuk meningkatkan kapasitas kemampuan sumber daya manusia dalam menguasai teknologi, digitalisasi dan ide bisnis kemudian dapat memahami pengelolaan keuangan dengan bijak

Inovasi model pelatihan dan pembiayaan memiliki konsep bahwa pihak pengelola akan bekerja sama dengan pemerintah provinsi di seluruh wilayah Indonesia hal itu bertujuan agar saling bersinergi, menghindari tumpang tindih antar kebijakan. Hal ini mengandung 6 karakteristik seperti Easy: dengan saling bersinergi dan dalam bentuk digitalisasi maka terciptanya interaksi komunikasi secara rutin, detail dengan pendampingan dan pelatihan akan lebih optimal dengan masyarakat di masing-masing wilayah. Kemudian Affordable: Karena program ini memiliki tujuan pemerataan maka dengan adanya kerjasama berikut akan memberikan keterjangkauan terhadap masyarakat di setiap daerah.

BACA JUGA: Menginisiasi Ruang Terbuka Hijau Kota yang Berkelanjutan

Selanjutnya karakteristik lain seperti Proportional: Fitur pertama memberikan pelatihan pengembangan inovasi atau ide bisnis dan penguasaan teknologi baru yang dapat disesuaikan dengan kemampuan, potensi dan kapasitas masing-masing individu setiap daerah. Lalu Low Interest: Fitur kedua memberikan pinjaman atau kredit biaya usaha dengan yang paling rendah diantara lembaga keuangan lainnya, hal itu karena program melalui Fintech ini memiliki orientasi pada sosial bisnis, pemerataan ekonomi dan tidak melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam di seluruh wilayah Indonesia. Kemudian karakteristik selanjutnya yaitu Convenience: ketika 2 fitur tersebut dapat dioptimalkan oleh masyarakat maka setiap individu akan mampu bersaing dengan bijak tanpa mengkhawatirkan risiko besar yang terjadi, karena sudah memiliki dasar modal yang utama dalam melakukan bisnis. Selanjutnya yang terakhir adalah Secure and Reliable: legalitas, perizinan sudah diperoleh serta faktor ekonomi sudah dimiliki maka dapat menciptakan produk bisnis yang kompetitif dan dikomersilkan untuk memperoleh keuntungan yang optimal.  

Berkaitan dengan era digitalisasi saat ini dan menggunakan teknologi yang tinggi, maka program ini memiliki fokus kepada inovasi dan kreativitas sumber daya manusia dalam mengelola setiap potensi ekonomi yang sesuai dengan karakteristik wilayahnya masing-masing. Karena program ini juga mengacu pada ekonomi kreatif maka akan mengurangi risiko kerusakan lingkungan dan eksploitasi terhadap sumber daya alam. Peningkatan kualitas melalui pelatihan, pembinaan, dan sosialisasi terhadap penggunaan teknologi yang baik dan benar, serta pengelolaan keuangan yang bijak dapat mempermudah dalam peningkatan potensi dari masyarakat itu sendiri. 

Akses permodalan dan keuangan non-tunai yang dipermudah tentu meminimalisir proses administrasi dan diyakini dapat menjadi pendukung besar untuk para pelaku usaha ketika kemauan untuk mempelajari teknologi maupun pengelolaan keuangan lebih ditingkatkan. Di jangka pendek dapat menumbuhkan kerjasama antara pelaku usaha dengan investor. Jangka menengah dapat mengoptimalkan bonus demografi agar memberikan potensi yang besar melalui pelatihan, pendidikan, dan pembinaan penguasaan teknologi dan pengelolaan keuangan serta dapat menerapkannya. Di jangka panjang memiliki tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, serta dapat menumbuhkan kualitas dan kuantitas UMKM yang dapat bersaing secara global.

Oleh: Dzikir Abdul Aziz

Creative Team Molfane.co

Related Article

[1000 gagasan] PROGRAM ECO-WOMAN DALAM MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN EKONOMI BERBASIS KEPEDULIAN TERHADAP LINGKUNGAN

[1000 gagasan] PROGRAM ECO-WOMAN DALAM MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN EKONOMI BERBASIS KEPEDULIAN TERHADAP LINGKUNGAN

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per November 2019, terdapat peningkatan inklusi dan literasi keuangan di Indonesia yaitu mencapai 38%. Sedangkan untuk indeks inklusi keuangan mencapai 76,19%. Menurut Bank Dunia, inklusi keuangan merupakan individu atau kelompok bisnis yang memiliki akses yang cukup untuk mengadakan atau membeli barang dan jasa secara berkelanjutan. Secara praktis, inklusi keuangan merujuk pada keadaan masyarakat yang menggunakan produk layanan jasa keuangan seperti asuransi, teknologi finansial, perbankan, dan produk keuangan lainnya.

Untuk dapat menaikkan tingkat inklusi keuangan maka khususnya masyarakat harus dapat memahami dengan baik produk dan jasa layanan keuangan sehingga masyarakat tidak lagi memiliki pandangan yang skeptis. Inklusi keuangan juga dapat mengurangi ketimpangan ekonomi di masyarakat karena akses layanan keuangan secara merata. 

BACA JUGA: Wisata Bahari Kerakyatan Berkelanjutan

Masyarakat akan yakin menggunakan suatu produk ataupun jasa layanan keuangan jika mereka memahami manfaat, regulasi ataupun sistem dari produk layanan tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan tingkat literasi keuangan seseorang. Seseorang yang memiliki tingkat literasi keuangan yang tinggi akan memudahkan individu tersebut  memahami jika terlibat dalam aktivitas layanan keuangan yang mungkin saja dapat merugikan. Dengan tingkat literasi keuangan yang tinggi, maka sektor jasa keuangan juga akan mendapat keuntungan yaitu dengan banyaknya masyarakat yang memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan.

Pemerintah dan lembaga keuangan telah menerapkan beberapa strategi dalam meningkatkan inklusi keuangan, misalnya dengan program edukasi keuangan, memberikan fasilitas keuangan publik, pemanfaatan teknologi keuangan sampai perlindungan konsumen. Namun di sisi lain, jika kita melihat pembangunan ekonomi nasional, masih banyak pihak-pihak ataupun program-program pembangunan yang dirasakan merugikan atau kurang memperhatikan aspek pembangunan berkelanjutan khususnya dampaknya terhadap lingkungan.

Kembali berbicara mengenai inklusi keuangan, terdapat hal penting juga yang harus diperhatikan yaitu khususnya bagi kaum perempuan. Tanpa adanya perempuan, roda perekonomian tidak akan pernah maju tentunya. Kebanyakan kaum perempuan bekerja pada sektor informal di mana ruang-ruang pemberdayaan terhadap ekonomi masih sangat rendah, misalnya saja pasar tradisional yang tidak dilibatkan dalam kebijakan ekonomi. Begitu juga tidak adanya asuransi kesehatan, maupun jaminan keselamatan kerja.

Perempuan merupakan pelaku ekonomi yang potensial namun kesulitan mendapatkan akses modal maupun dianggap tidak memiliki skill bahkan kadang tidak dihargai. Beberapa jenis layanan keuangan seperti kredit misalnya, dipersyaratkan hanya untuk perempuan yang memiliki gaji atau sebagai karyawan, sedangkan kaum perempuan yang tingkat pendidikannya rendah ataupun berperan sebagai ibu rumah tangga tidak memiliki akses layanan jasa keuangan seperti itu. Kaum perempuan merupakan kelompok yang rentan, baik sebagai tenaga kerja, pelaku usaha maupun sebagai ibu rumah tangga yang bergantung pada kepala keluarga. Memberdayakan ekonomi perempuan sebenarnya juga memberdayakan ekonomi keluarga. Hal ini secara tidak langsung juga akan mengubah tatanan masyarakat menjadi lebih sejahtera dengan kaum perempuan yang berdaya dan mandiri secara ekonomi.

Inklusi keuangan diharapkan tidak hanya mempermudah akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan seperti menabung, menggunakan asuransi, investasi, melainkan juga dapat menurunkan kesenjangan ekonomi yang ada dengan menggerakan roda perekonomian. Model inklusi keuangan yang tepat dan menguntungkan kaum perempuan diharapkan dapat memberdayakan ekonomi perempuan secara mandiri. 

BACA JUGA: Blue Economy Sebagai Model Pembangunan Wilayah Pesisir 

Dalam pandangan kami, model inklusi keuangan yang tepat untuk perempuan harus dibuat program agar mampu meningkatkan literasi keuangan yang baik serta menyediakan suatu terobosan atau inovasi yang bermula dari pemikiran Ekofeminisme, yaitu paham di mana perempuan merupakan pelaku utama terhadap keberlangsungan suatu lingkungan. Program ini kami susun dalam rangka mewujudkan pemberdayaan ekonomi perempuan di Indonesia yang dinamakan dengan Program Eco-Woman.

Program Eco-Woman merupakan ide atau gagasan dari kami yang menitikberatkan pada peningkatan literasi keuangan bagi kaum perempuan dan terbukanya peluang usaha bagi kaum perempuan. Peluang usaha yang akan dilakukan yaitu usaha berbasis lingkungan. Misalnya, pengolahan sampah organik dan anorganik, penjualan barang-barang ramah lingkungan (eco-lifestyle), dan sebagainya. Dari program Eco-Woman ini juga diharapkan akan tercipta model inklusi yang tepat dalam pemberdayaan ekonomi perempuan.

Dapatkan gagasan selengkapnya dari Tina Monroe berjudul “Program Eco-Woman Dalam Mewujudkan Pembangunan Ekonomi Berbasis Kepedulian Terhadap Lingkungan” dengan mengunduh lampiran yang tersedia di bawah ini.

Oleh: Tina Monroe

Guru SMK Tunas Markatin

Related Article

[1000 gagasan] SAMPAH ELEKTRONIK: JADI ANCAMAN JIKA KITA LUPAKAN

[1000 gagasan] SAMPAH ELEKTRONIK: JADI ANCAMAN JIKA KITA LUPAKAN

Pada era digital ini, kemajuan teknologi berkembang dengan sangat pesat. Aktivitas manusia pada saat ini tidak dapat lepas dari peralatan elektronik. Semakin banyak produk-produk elektronik yang dihasilkan dengan fitur yang lengkap dan harga yang cukup terjangkau. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan produksi industri komputer, barang elektronika dan optik terutama mikro dan kecil sebesar 22,03% (BPS, 2019). Perkembangan kemajuan teknologi tentunya semakin memudahkan konsumen dalam beraktivitas. Namun demikian, kemajuan teknologi tersebut juga berdampak negatif terhadap pola hidup masyarakat yang menjadi lebih konsumtif. Sebagai contoh, godaan untuk selalu membeli model telepon baru karena memiliki fitur yang lebih canggih atau karena yang lama rusak. Dengan demikian, telepon genggam yang sudah tidak terpakai tersebut menjadi sampah elektronik. 

Sampah elektronik adalah peralatan elektronik yang sudah tidak dapat digunakan, tidak terpakai atau tidak diminati lagi dan menjadi barang bekas dan perlu dibuang, dalam keadaan utuh ataupun tidak. Sampah elektronik ini dapat berupa baterai, kabel listrik, bola lampu pijar, telepon genggam, televisi, setrika, dan barang-barang elektronik lainnya yang kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan data The Global E-waste Monitor 2020, timbulan sampah elektronik selama tahun 2019 mencapai 53,6 juta ton. Dari 53,6 juta ton sampah elektronik yang dihasilkan oleh seluruh dunia, Asia (termasuk Indonesia) menyumbang sampah paling tinggi, yaitu sebesar 24,9 juta ton. Bahkan, Indonesia menjadi penyumbang sampah elektronik tertinggi di Asia Tenggara. Untuk kasus Indonesia, dilansir dari Greenpeace, negara ini menghasilkan 812 kiloton sampah elektronik pada tahun 2014. The Global E-waste Monitor 2020 (Forti et al., 2020), menyebutkan bahwa di tahun 2019 Indonesia menghasilkan 1618 kiloton sampah elektronik. Peningkatan timbulan sampah elektronik ini cukup signifikan, dimana hanya dalam kurun waktu 5 tahun sampah elektronik yang dihasilkan meningkat dua kali lipat. 

BACA JUGA: Program Eco-Woman Dalam Mewujudkan Pembangunan Ekonomi Berbasis Kepedulian Terhadap Lingkungan

Selain pola hidup masyarakat yang konsumtif, peningkatan timbulan sampah elektronik juga disebabkan dari sisi produksi, dimana di Indonesia masih belum fokus untuk membuat desain produk elektronik yang tahan lama dan mudah diperbaiki dengan komponen-komponen yang mudah dicari. Terlebih di Indonesia mayoritas hanya berupa distributor sehingga tidak membuat produknya sendiri, terutama untuk smartphone dan device untuk Internet of Things (Ramdhini, 2019), dimana jenis elektronik ini justru yang paling banyak diminati dan dibeli.

Selain itu, sistem pengelolaan sampah elektronik di Indonesia juga masih belum mumpuni padahal sampah elektronik tergolong sebagai sampah bahan berbahaya dan beracun (B3). Setelah menunggu 12 tahun, Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Peraturan Pemerintah tersebut merupakan payung hukum pengelolaan sampah elektronik. Dalam jangka waktu tersebut, selain peningkatan kesadaran masyarakat yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan beberapa instansi Pemerintah Daerah, upaya konkrit pengelolaan sampah elektronik di Indonesia kurang mendapatkan perhatian dari Pemerintah. Pedoman untuk pengelolaan sampah elektronik di rumah tangga dan sumber lainnya masih belum tersedia. Pengumpulan sampah elektronik oleh Pemerintah Daerah masih sangat minim, walaupun perlu diingat bahwa upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengelola sampah elektronik melalui program “Penjemputan Limbah Elektronik” yang diinisiasi pada tahun 2017 (DLH DKI Jakarta, 2017) dan penyebaran beberapa wadah khusus atau dropbox untuk sampah elektronik di tempat umum patut diberi apresiasi. Belum lagi isu tentang dorongan Pemerintah kepada para produsen dan distributor produk elektronik untuk mengembangkan skema take-back dalam model bisnis mereka untuk mengakomodir pengembalian produk-produk yang sudah lewat masa guna untuk memastikan pengelolaan sampah elektronik yang bertanggung jawab. 

Pengelolaan sampah elektronik seharusnya dilakukan dengan benar-benar cermat serta tepat. Sampah elektronik tidak dapat diperlakukan sama halnya dengan sampah organik atau sampah lainnya. Jika mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dimana sampah elektronik termasuk di dalamnya, pengelolaannya harus secara khusus dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki izin. Walaupun saat ini sudah ada beberapa perusahaan pengolah sampah elektronik yang tersertifikasi di Indonesia, jumlahnya masih tergolong sedikit. Recycling rate dari sampah elektronik tersebut pun masih cukup kecil, sebagai contoh di Jakarta sebagai ibukota negara masih sebesar 2% saja (Siringo, 2019). Pengelolaan sampah elektronik di Indonesia masih didominasi oleh sektor informal, yaitu para pemulung atau tukang loak. 

Komunitas EwasteRJ membuktikan bahwa dominasi pengelolaan sampah elektronik di Indonesia oleh sektor informal melalui kuisioner yang disebar pada pertengahan tahun 2020. Hasil survei mendapati bahwa sebanyak 14,84% masyarakat memberikan sampah elektroniknya kepada pemulung atau tukang loak, selain dibuang dan bercampur dengan sampah jenis lainnya atau hanya disimpan di rumah. Keberadaan sektor informal memang sangat membantu mengurangi sampah elektronik namun tidak dapat menjamin apakah sampah elektronik tersebut terdaur-ulang dengan baik. Proses pengumpulan dan pengolahan sampah elektronik yang mereka lakukan seringkali tidak menggunakan alat pelindung diri dan hanya mengambil material yang bernilai jual tinggi saja, sementara sisanya dibuang kembali atau bahkan dibakar. Dengan demikian, akan tetap ada pencemaran dari proses pengolahan sampah elektronik tersebut. 

Dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang harus kita capai bersama-sama pada tahun 2030, terdapat salah satu goal yang sangat erat kaitannya dengan sampah elektronik, yaitu memastikan adanya pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Indikatornya adalah adanya pemanfaatan kembali, pengurangan dan pendauran ulang dari sampah termasuk sampah elektronik sebagai bagian dari sampah bahan berbahaya dan beracun. 

BACA JUGA: Green Millennialnomic: Mendorong Milenial Bangun Ekonomi Berbasis Ekologi

Komunitas EwasteRJ hadir dengan gerakan EwasteRJdropzone di mana kami mendorong masyarakat untuk memperlakukan sampah elektroniknya dengan tepat melalui dropbox yang sudah kami sediakan di beberapa titik yang tersebar di beberapa kota. Setelah sampah elektronik terkumpul, EwasteRJ akan menyerahkan kepada perusahaan pendaur-ulang sampah elektronik untuk diolah lebih lanjut. Proses pendauran-ulang dimulai dari dismantling hingga pemilahan dan pengolahan setiap jenis material untuk menjadi raw material kembali. Sebagai contoh, tembaga dari PCB yang dilebur untuk menjadi tembaga batangan kembali. Sedangkan untuk limbah B3 akan diproses melalui proses stabilisasi-solidifikasi (untuk mengurangi kandungan logam berat) dan landfill atau thermal treatment.  

Namun, sebelum masuk ke tahapan pemanfaatan kembali dan pendauran ulang tentunya harus dimulai dari mengurangi kemungkinan timbulnya sampah elektronik terlebih dahulu. Untuk itu, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan: desain dan manufaktur produk, serta pembentukan gaya hidup. Tahap perencanaan dan desain produk elektronik yang dilakukan oleh para produsen merupakan garda terdepan dalam pengelolaan sampah elektronik. Alangkah baiknya jika produk tersebut didesain agar mempunyai durabilitas yang tinggi dan juga spare part komponen yang disediakan secara merata agar proses reparasi dapat dilakukan dengan mudah oleh konsumen. Manufaktur produk elektronik juga dapat menggunakan material dari hasil proses daur ulang produk lainnya agar dapat mengurangi ekstraksi sumber daya alam yang semakin terbatas dan terkadang mengorbankan hak-hak komunitas tertentu.

Pendekatan dari pembentukan gaya hidup dengan pola pikir konsumsi teknologi yang berkelanjutan di Indonesia juga menjadi sangat penting untuk dilakukan. Konsumen diharapkan dapat semakin bijak dalam membeli dan menggunakan barang elektronik yang dimiliki serta bijak memperlakukan barang elektronik yang sudah menjadi sampah elektronik.  

Menjadi konsumen yang bijak yang disinergikan dengan peran serta produsen dan pemerintah, akan menjadi solusi bagi permasalahan sampah elektronik di Indonesia. Keterlibatan semua pihak dapat mengurangi timbulan sampah, memperbaiki pengelolaan sampah, meningkatkan tingkat recycling di Indonesia, dan tentunya dapat meminimalisir pencemaran dari bahaya dan sampah elektronik terhadap kesehatan manusia.

Oleh: Pranandya Wijayanti, Martina Solya, Indah Anandya, Yorkie Sutaryo

Komunitas EwasteRJ

Related Article

[1000 gagasan] OPTIMALISASI CIRCULAR ECONOMY DAN BONUS DEMOGRAFI MENUJU INDONESIA BERKELANJUTAN 2030

[1000 gagasan] OPTIMALISASI CIRCULAR ECONOMY DAN BONUS DEMOGRAFI MENUJU INDONESIA BERKELANJUTAN 2030

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau yang lebih dikenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) kini memasuki periode Dekade Aksi (Decade of Action) pada 2020-2030 sehingga sudah saatnya bagi seluruh negara di dunia terutama negara berkembang (developing countries) dan negara berkembang cepat (emerging markets) untuk menerapkan strategi-strategi pembangunan yang mampu mengakomodir 3 prinsip dan kepentingan utama yaitu lingkungan hidup (planet), sosial (people), dan ekonomi (prosperity). Ini menjadi hal yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi mengingat dinamika global kontemporer yang terjadi memerlukan shifting atau perubahan dalam rangka menciptakan dunia yang lebih baik.  

Sejalan dengan itu, Indonesia saat ini sedang mengalami transformasi pembangunan ekonomi dari yang hanya berbasiskan pada aspek eksploitasi sumber daya alam, industri berkapasitas rendah-menengah, dan sektor ekonomi tradisional menuju pemanfaatan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan, industri berbasiskan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, serta ekonomi digital atau elektronik. Tiga hal tersebut menjadi sorotan mengingat status Indonesia yang masih menjadi negara ambang industri, namun memiliki kapasitas ekonomi yang besar dan sangat potensial. Kunci utamanya terletak pada pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan norma dan prinsip yang mengacu pada perlindungan lingkungan hidup dan ekosistem sehingga menghasilkan ekonomi nasional yang berkelanjutan di mana ekonomi sirkular menjadi salah satu pilar utamanya. 

BACA JUGA: Memberi Ruang Praktik Ekonomi Prokonservasi

Terkait ekonomi sirkular, tiga kutub ekonomi dunia sudah memiliki kebijakannya masing-masing yakni Eropa dengan Green Deal untuk tingkat kawasan (regional), Cina dengan Circular Economy Promotion Law untuk tingkat negara (nasional), dan Amerika Serikat yang menyerahkan kebijakannya di tingkat yang lebih spesifik yakni kota. Hal ini perlu dicermati oleh Indonesia karena penyusunan dan penerapan kebijakan circular economy harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nasionalnya sehingga bersifat holistik, efisien, dan berdampak positif langsung untuk sektor usaha dan masyarakat luas. 

Berdasarkan analisis yang ada saat ini, maka kebijakan di tingkat kota/kabupaten seperti di Amerika Serikat yang lebih tepat karena proses pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian menjadi lebih cepat dan terarah. Terlebih desentralisasi yang terus berkembang semakin memampukan kota/kabupaten untuk memiliki inisiatif-inisiatif kebijakan pembangunan yang lebih progresif dan solutif yang tentunya harus mengadopsi pendekatan banyak pemangku kepentingan (multi-stakeholders approach) sehingga akan lebih komprehensif sekaligus inklusif. Ruang kebijakan yang lebih bebas di tingkat kota/kabupaten akan memacu akselerasi dalam implementasi ekonomi sirkular yang tentunya dapat disinergikan dan diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan daerah. 

Kebijakan ekonomi sirkular yang berorientasi efisiensi sumber daya alam dan minimalisasi sampah sangatlah vital bagi akselerasi pembangunan Indonesia dan membutuhkan banyak dukungan dari sektor usaha (untuk permodalan dan teknis pelaksanaan), organisasi non-pemerintah/masyarakat sipil (untuk sosialisasi, kampanye, dan edukasi publik), akademisi (untuk kepakaran dan pengembangan iptek), filantropi (untuk jejaring dan tanggung jawab sosial), dan akhirnya generasi muda yang potensial untuk berkiprah dalam berbagai aspek seperti pendidikan, kebudayaan, kewirausahaan, hingga penguasaan teknologi komunikasi dan informasi.   

Selain potensi ekonomi sirkular yang besar, Indonesia kini juga sedang menyambut fenomena bonus demografi di mana jumlah populasi muda akan mencapai klimaks pada 2030 mendatang sesuai statistik piramida penduduk. Saat ini, satu dari empat orang Indonesia adalah pemuda (berusia 15-30 tahun) di mana dari jumlah populasi sekitar 270 juta jiwa, lebih dari 65 juta jiwa adalah pemuda. Pemanfaatan bonus demografi ini tentu harus diintegrasikan ke dalam berbagai perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah baik di tingkat nasional, daerah, hingga lokal sehingga generasi muda mampu mengembangkan potensinya dan berkontribusi untuk pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan kebijakan global Youth 2030 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN) di mana berbagai agensi PBB didorong untuk mengadopsi pendekatan merangkul pemuda dalam berbagai kebijakan dan programnya di seluruh dunia terutama di kawasan Asia Pasifik (khususnya Asia Tenggara dan Asia Selatan) serta Afrika yang sedang mengalami ledakan populasi muda. 

BACA JUGA: Green Millennialnomi: Mendorong Milenial Bangun Ekonomi Berbasis Ekologi

Berkaitan dengan optimalisasi ekonomi sirkular dan bonus demografi, maka perlu dilakukan perbaikan hal-hal fundamental sebagai berikut:

  • Dalam bidang pendidikan (Goal 4 SDGs), sinergitas mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dan Ekonomi Kewirausahaan di tingkat SMP dan SMA atau sederajat sangatlah diperlukan, sehingga generasi muda menjadi lebih peka dan sadar akan potensi ekonomi sirkular lebih dini dan mampu mempraktikkannya di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, kurikulum yang disusun dengan proporsi praktik lebih banyak daripada teori dan mengedepankan sistem belajar secara lokakarya (workshop) daripada pengajaran (lecturing).  

  • Dalam bidang kewirausahaan (Goal 8 SDGs), perlu adanya kebijakan dukungan administratif dan suntikan modal bagi rintisan usaha/start-up (baik yang beraksi nyata langsung di lapangan maupun melalui dunia digital) yang khususnya bergerak dalam manajemen sampah yang profesional, efektif, dan berkelanjutan. Dukungan tersebut tentu tidak hanya diberikan oleh pemerintah saja, namun juga melalui kemitraan dengan swasta (sebagai investor atau donor) sehingga akan lebih aplikatif.

  • Dalam bidang ekonomi industri (Goal 9 & 12 SDGs), perlu ditinjau ulang untuk strategi produksi, distribusi, dan konsumsi bagi sektor-sektor yang potensial dan mampu menerapkan ekonomi sirkular seperti tekstil, produk pangan, otomotif, elektronik, dan pariwisata demi efisiensi sumber daya dan minimalisasi sampah. Insentif dari pemerintah seperti keringanan pajak, kemudahan berusaha, serta dukungan promosi dan pemasaran tentu akan mendorong sektor industri yang terlibat ekonomi sirkular lebih bergairah terlebih jika didukung oleh sumber daya manusia muda dan berkualitas.  

  • Dalam bidang lingkungan hidup (Goal 1, 11 & 13 SDGs), terutama manajemen sampah, mobilisasi terstruktur untuk para pengumpul sampah dan pemulung sampah dalam rangka pemberdayaan mereka sebagai salah satu aktor utama dalam pondasi praktis ekonomi sirkular. Ini tentu juga akan berdampak untuk pengurangan kemiskinan ekstrem dan peningkatan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan sangat rendah terutama di wilayah perkotaan.

  • Dalam bidang ekonomi pembangunan dan politik luar negeri (Goal 17 SDGs), perlu disusun sistem database dan data centre baik secara lokal di tingkat kabupaten/kota yang mampu menghimpun dan mengukur berbagai target, indikator dan variabel pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian dari penerapan ekonomi sirkular. Akumulasi data dari tingkat kabupaten/kota akan dilanjutkan ke national data centre for circular economy di mana penggunaan data tersebut dapat dioptimalkan untuk posisi Indonesia yang lebih kredibel di dunia internasional melalui bermacam ragam pertemuan resmi dan ajang diplomasi. Dalam hal ini, lulusan SMK bidang teknologi informasi dan lulusan perguruan tinggi (diploma dan sarjana) dapat dioptimalkan perannya untuk pendirian dan operasional data centre tersebut.

Pada kesimpulannya, mengacu pada potensi ekonomi sirkular dan bonus demografi yang dimiliki, maka optimisme untuk menjadikan Indonesia lebih berkelanjutan pada 2030 bukanlah mimpi belaka. Tidak hanya sekedar political will namun juga policy consistency sehingga pembangunan berkelanjutan di Indonesia dapat menjadi contoh bagi dunia karena mampu bersinergi dengan pencapaian sejumlah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang relevan secara simultan.  

Oleh: Stevie Leonard Harison

Founder Inspirator Muda Nusantara

Related Article

[1000 gagasan] EKONOMI MARTABAK

[1000 gagasan] EKONOMI MARTABAK

Mengapa Model Pembangunan Ekonomi saat ini masih eksploitatif dan banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial? Apa Tantangan Terbesar Indonesia dalam Mengembangkan Pembangunan Ekonomi Tanpa Merusak Lingkungan? 

Anindya F Utami, atau yang biasa disapa Afu,  Co-Founder Think Policy Society punya jawaban menarik untuk memecahkan persoalan di atas. Afu menyebut gagasan Ekonomi Martabak.  Penasaran apa itu ekonomi martabak, dan gimana gagasan ini berkontribusi menyumbang ide pembangunan ekonomi tanpa merusak lingkungan. 

Yuk simak gagasan Afu untuk #1000GagasanEkonomi berjudul: EKONOMI MARTABAK – Pembangun Ekonomi Mengusung Kearifan Lokal. 



Related Article

[1000 gagasan] WISATA BAHARI KERAKYATAN BERKELANJUTAN

[1000 gagasan] WISATA BAHARI KERAKYATAN BERKELANJUTAN

Salah satu penyumbang devisa ekonomi Indonesia adalah sektor pariwisata.  Secara empiris, sebagian besar destinasi wisata berkelas dunia di Indonesia berbasis wisata bahari. Sayangnya, pengelolaannya belum optimal. Dalam visi poros maritim dunia pemerintah, wisata bahari jadi salah satu sebagai prioritasnya. Namun, dibalik pesatnya kemajuan wisata bahari menyimpan soal yang mengusik kehidupan masyarakat lokal, terutama masyarakat yang bermukim di pesisir maupun pulau kecil. Mereka kerap terabaikan hingga jadi korbannya. Salah satu kasus yang menarik perhatian publik yaitu perampasan Pulau Pari tahun 2017 oleh korporasi dengan cara mengusir penduduk lokal. Mereka berdalih telah menggenggam sertifikat dan izin usaha pengembangan pariwisata. Padahal, masyarakat lokal telah mendiaminya sebelum Indonesia merdeka. Kondisi ini mengisyaratkan adanya perampasan sumber daya dan ruang laut (ocean grabbing) buat bisnis wisata bahari. Pemerintah mestinya memperhatikan soal krusial semacam ini. 

Keunggulan

Indonesia mengenjot pariwisata karena berkontribusi signifikan bagi pembangunan ekonomi nasional. Tahun 2019, kontribusinya terhadap PDB nasional sebesar 15 persen dan meraup devisa Rp 275 triliun.  Wisata bahari baru mampu menyumbang devisa sektor pariwisata US$ 1 miliar. Nilainya lebih kecil dibandingkan Malaysia yang mampu meraup devisa hingga 40 persen senilai US$8 miliar. Padahal, Indonesia memiliki 33 destinasi wisata bahari ketimbang Malaysia yang hanya 11. Indonesia pun punya keunggulan unik. Pasalnya, negara kita memiliki kawasan pesisir dan laut yang ideal buat aktivitas wisata bahari.  Diantaranya: buat berjemur, berenang, menyelam, snorkeling, memancing, surfing, boating, yachting, parasailing, cruising, marine parks, dan whale watching. Destinasi wisata bahari yang mendunia diantaranya pulau Bali, Taman Laut Bunaken, Wakatobi, Raja Ampat, Riung Tujuh, Labuhan Bajo, Pulau Komodo, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Semuanya jadi ikon Indonesia di dunia internasional yang menyedot kunjungan wisata setiap tahunnya. Data BPS mencatat wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia tahun 2018 berjumlah 15,81 juta melonjak  12,63 persen ketimbang tahun 2017 sebesar 14,04 juta.

Sebagai pusat segitiga terumbu karang dunia (Coral Triangle) Indonesia memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi. Di antaranya, 590 jenis karang, 2.057 jenis ikan karang, 12 jenis lamun, 34 jenis mangrove, 1.512 jenis krustasea, 6 jenis penyu, 850 jenis sponge, dan 24 jenis mamalia laut.  Letak geografi Indonesia daerah tropis dengan iklim yang hangat dan matahari bersinar sepanjang tahun jadi keunggulan lain dari wisata bahari. Utamanya buat aktivitas scientific diving, konservasi, pendidikan, dan fotografi bawah air. Semua keunggulan ini mesti diberdayakan buat meningkatkan devisa negara dan menyediakan lapangan kerja baru. Namun, pemberdayaannya mesti mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya dan ekosistemnya serta kehidupan ekonomi masyarakat lokal. Masyarakat lokal jangan sampai jadi korban industri wisata bahari. Begitu pula keberlanjutan, sumber daya, ekologi, ekosistemnya. Maraknya perampasan sumber daya dan ruang laut maupun pesisir lewat industri wisata bahari masih jadi problem struktural maupun kultural. Makanya, pendekatan baru pengembangan wisata bahari berbasis kearifan dan budaya masyarakat lokal jadi keniscayaan. 

Alternatif

Problem struktural maupun kultural di balik pesatnya perkembangan wisata bahari, pertama, maraknya perampasan ruang laut, pesisir dan pulau kecil yang mengabaikan masyarakat lokal. Kedua, adanya penguasaan eksklusif pulau-pulau kecil di Indonesia oleh warga negara asing dengan dalih investasi berlabelkan adopsi pulau. Awal mulanya berupa kebijakan pemerintah menawarkan 31 pulau kecil ke pihak asing. Hasilnya 19 pulau kecil telah dikelola asing dan membatasi akses masyarakat lokal (KIARA, 2015). Umpamanya, investor Malaysia mengelola pulau Maratua di Kalimantan Timur, Pulau Dua dan sebagian lahan di pulau Enggano di Bengkulu Utara (Kompas 21/11/2016). 

BACA JUGA: Blue Economy Sebagai Model Pembangunan Wilayah Pesisir

Ketiga, perilaku wisatawan yang membuang sampah plastik sembarangan. Tindakan ini  mengancam kehidupan fauna dan flora laut jenis mamalia, seperti ikan paus, duyung, lumba-lumba, penyu, dan ekosistem terumbu karang. Keempat, minimnya keterlibatan masyarakat lokal sebagai pelaku industri wisata bahari ketimbang korporasi. Imbasnya, akumulasi kapital mendominasi ketimbang kepentingan keberlanjutan sumber daya, ekosistem dan kearifan lokal masyarakatnya.

Di sinilah pentingnnya pendekatan alternatif yang tak menghambat industri wisata bahari dan anti asing. Dibutuhkan keadilan ekonomi dan ekologi sehingga mereduksi hegemoni korporasi dalam mengelola wisata bahari. Model pendekatannya ialah degrowth dalam tata kelola wisata bahari berkelanjutan (degrowth in sustainable marine tourism governance). Pendekatan ini merupakan suatu proses kolektif-deliberatif yang mengendalikan mekanisme pasar serta menjamin pertukaran barang dan jasa secara adil kehidupan manusia (Schneider et al, 2013). Model ini juga memprioritaskan jaminan kualitas hidup manusia ketimbang kuantitas, kooperasi ketimbang kompetisi sehingga mewujudkan keadilan sosial (Latouche, 2003). 

Secara ekologi-ekonomi, model ini akan menjamin keberlanjutan sosial dan mencegah ketidakadilan (Kallis, 2010). Ia juga menjamin keberlanjutan ekologis, pengelolaan ekonomi secara partisipatif,  pemenuhan  kebutuhan dasar dan kualitas hidup manusia yang lebih baik sehingga menciptakan keadilan distributif, baik ruang maupun sumber dayanya (Research and Degrowth, 2010).  Konsep degrowth dalam wisata bahari ini dapat diilustrasikan dalam kehidupan biologi hewan dan tumbuhan yang tetap menjamin keberlanjutan ekosistem/ekologis secara alamiah. Kebijakan tata kelola wisata bahari tak mesti mengejar pertumbuhan bisnisnya yang tinggi. Melainkan bagaimana tata kelola pariwisata bahari berorientasi ekologi yang menjamin proses metabolisme alam dalam sistem jaring-jaring kehidupan di wilayah pesisir dan lautan. Mirip proses metabolisme dalam tubuh manusia. Apabila manusia mengkonsumsi makanan secara berlebihan tanpa memperhatikan dampaknya bagi kesehatannya, proses metabolisme tubuhnya bakal terganggu. Akibatnya menimbulkan pelbagai penyakit kronis semacam jantung, darah tinggi, hingga obesitas.  

Tubuh manusia tak bisa memaksakan pasokan asupan makanan tanpa kendali masuk dalam tubuhnya. Mesti mempertimbangkan ekologi tubuhnya sehingga proses metabolisme tetap berlangsung normal. Bila, mengasumsikan “asupan” makanan berlebihan masuk ke tubuh manusia berorientasi “pertumbuhan”. Imbasnya, manusia menderita penyakit kronis hingga berujung kematian. Itu sama artinya ulah manusia mengejar pertumbuhan ekonomi pariwisata yang tinggi dan mengabaikan metabolisme alamiahnya sehingga berujung kehancuran sumber daya alam pesisir dan lautan (antroposentrisme) (Karim, 2013). Timbul pertanyaan, bagaimana kontribusi wisata bahari terhadap pertumbuhan ekonomi nasional maupun daerah? Apakah akan memperlambat pertumbuhan atau sama sekali tidak ada? Kontribusi pertumbuhan bakal  dihasilkan di bagian akhir dari model pendekatan ini. Apabila aktivitas yang berlangsung telah mencapai pemerataan pendapatan, keadilan ekonomi, dan keadilan ekologi.  Maka, berkontribusi terhadap pemerataan pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional.

Secara konsepsional pemikiran ini dimodifikasi dari Andriotik (2009) yang memposisikan “masyarakat lokal” (local community) sebagai pelaku utamanya. Tujuannya adalah memaksimalkan kesejahteraan bukan akumulasi kapital semata. Model tata kelolanya yaitu, pertama, berorientasi dan  menitikberatkan aktivitas padat karya (labour intensive) ketimbang padat modal (capital intensive). Orientasi ini menyerap lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Masyarakat yang bermukim di wilayah destinasi wisata bahari tak perlu lagi jadi TKI/TKW di luar negeri. Tugas pemerintah lokal ialah memperkuat kapasitas dan sumber daya manusianya serta menyediakan insentif yang memudahkan pengembangan wisata berbasis kerakyatan ini. Diantaranya,  pajak, kepastian hukum dan mereduksi biaya transaksi yang berpotensi menimbulkan moral hazard.

Kedua, kepemilikan akses dan aset serta kontrol sumber dayanya mengutamakan keterlibatan masyarakat lokal (endogen) ketimbang korporasi (eksogen) yang kerap menutup akses mereka. Artinya, prinsip kolektif-deliberatif dan pengelolaan partisipatif mengutamakan masyarakat lokal. Hal ini bakal mendorong inovasi dan kreasi masyarakat lokal berbasiskan teknologi digital. Disini bakal muncul wirausaha-wirausaha sosial berbasis teknologi yang mendukung aktivitas wisata bahari. Imbasnya, bakal tercipta kesejahteraan hidup yang berkualitas, keadilan distribusi ruang dan sumber daya serta sosial. 

BACA JUGA: Menggelorakan Usaha Agroedutourism

Ketiga, karena sifatnya  padat karya, skala usaha pengembangan wisatanya berskala usaha kecil dan menengah termasuk berbasiskan kelembagaan koperasi dan badan usaha milik desa. Negara berperan menyediakan skema permodalan dan kebijakan afirmatif (insentif pajak, perizinan dan pelatihan sumber daya manusia profesional) untuk meningkatkan kapasitas di level lokal dalam tata kelolanya. Bagaimana dengan infrastrukturnya? Pemerintah tak perlu membangun infrastruktur besar-besaran yang padat modal. Pemerintah lebih baik merevitalisasi bio-infrastruktur di wilayah pesisir dan lautan yang selama ini mengalami degradasi, seperti rehabilitasi hutan mangrove dan terumbu karang. Fasilitas akomodasi wisata lebih berorientasi etnik berbahan baku lokal, seumpama cottage dan losmen buat wisatawan. Ini tak membutuhkan biaya mahal karena memanfaatkan sumber daya  alam lokal seperti kayu batang kelapa yang sudah tua. Di samping itu, dikembangkan pula model kerajinan rumah tangga (home industry) untuk buah tangan, kuliner lokal dan camilan buat wisman yang berkunjung.

Keempat, pengembangannya tidak bersifat massal. Melainkan adaptif dan selaras dengan sumberdaya, budaya maupun kearifan lokal sehingga tidak menimbulkan perilaku destruktif terhadap lingkungan dan masyarakat hingga tak mengurangi nilai manfaat ekonominya. Pengembangan ini memudahkan dalam mengontrol dan mengawasinya. Terutama terkait perilaku wisatawan yang membuang sampah plastik sembarangan yang merusak ekosistem terumbu karang, mangrove dan biota perairan jika masuk ke laut.     

Kelima, mengembangkan wisata bahari yang menggambarkan cara hidup unik dan bercirikan rasa kekeluargaan, persaudaraan serta kolektivisme sehingga tercipta interaksi sosial masyarakat lokal/adat dengan wisatawan. Wisatawan yang sadar  ekologi otomatis menikmati kehidupan alami dan menyelami cara hidup, kuliner dan budaya lokal masyarakat tanpa merubah bentang alam, serta merusak ekosistemnya.  

Keenam, modelnya bersifat demokrasi deliberatif yang mengedepankan partisipasi dan budaya masyarakat  lokal dalam pengambilan keputusan pengelolaannya. Persis yang diaplikasikan oleh desa-desa adat pesisir di Bali. Apakah model ini dapat diaplikasikan dalam konteks yang bukan bersifat adat maupun budaya? Sangat mungkin, asalkan ada kebijakan ekonomi politik pemerintah pusat maupun daerah yang memposisikan wisata bahari tidak hanya berorientasi korporatisme semata. Melainkan memberikan ruang partisipasi masyarakat lokal dan adat dalam tata kelolanya. 

Model pendekatan ini sejatinya sebagai antitesa dari model  kapitalistik-eksploitatif yang meminggirkan masyarakat lokal dan adat. Model ini amat cocok dikembangkan di daerah yang masih asli (virgin) termasuk yang masuk kawasan konservasi laut. Kita berharap lewat penerapan model ini tak lagi timbul pengusiran dan perampasan ruang laut dan sumber dayanya (ocean grabbing). Contohnya, perampasan hak kepemilikan pulau wisata oleh korporasi terutama asing. Soalnya melalui pendekatan ini akan berdampak terhadap perekonomian nasional dan daerah berbasis kepulauan, mengurangi pengangguran, serta meminimalisir degradasi sumberdaya alam maupun ekologi. Semoga!


Oleh: Muhamad Karim

Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim/ Dosen Universitas Trilogi

Related Article

[1000 gagasan] HUKUM, PERUSAHAAN, DAN LINGKUNGAN: KOLABORASI MAUT DEMI EKONOMI YANG BERKELANJUTAN

[1000 gagasan] HUKUM, PERUSAHAAN, DAN LINGKUNGAN: KOLABORASI MAUT DEMI EKONOMI YANG BERKELANJUTAN

Bisnis dan Lingkungan kerap kali dianalogikan layaknya air dan minyak, dua hal yang tidak mungkin bersatu. Hal tersebut tidaklah salah, mengingat profit adalah tujuan utama dalam menjalankan bisnis. Sehingga, tidak jarang pelaku usaha tega untuk menumbalkan lingkungan sekitarnya untuk mendapatkan profit sebesar-besarnya.

Di sisi lain, terdapat aspek hukum yang mengeratkan bisnis dan lingkungan. Perusahaan diwajibkan untuk mengikuti aturan main yang ada di bawah payung peraturan hukum. Ide maupun pelaksanaan ekonomi berkelanjutan yang baik pun akan menjadi kurang efektif tanpa dilengkapi dengan kerangka hukum yang menunjang, layaknya taring yang tidak runcing. Sehingga saya kira diperlukan peraturan hukum untuk menjadi penyokongnya.

1. Hukum, Perusahaan dan Lingkungan

Dari segi hukum, peraturan di Indonesia mewajibkan para pelaku usaha tergantung dari dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkannya untuk memiliki dokumen-dokumen lingkungan hidup berupa (i) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), (ii) Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/UPL) atau (iii) Surat Pernyataan kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup dan juga (iv) Izin Lingkungan sebagaimana diatur dalam Undang Undang No. 32 Tahun 2009, sebelum para pelaku usaha dapat menjalankan bisnisnya.

Idealnya, dengan adanya kewajiban perusahaan untuk memperoleh izin lingkungan sebelum menjalankan kegiatan usaha diharapkan akan mengurangi jumlah kerusakan lingkungan yang ada atau paling tidak mengurangi potensi timbulnya kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi. 

BACA JUGA: Gagasan Prima Gandhi “Menggelorakan Usaha Agroedutourism” 

Namun, kenyataannya di lapangan berkata lain. Kemudahan untuk memperoleh perizinan dan juga lalainya pengawasan terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan menjadi salah satu faktor utama dari kerusakan lingkungan yang kerap terjadi. 

2. Hukum Lingkungan dan Kenyataannya di Lapangan

Penerbitan perizinan lingkungan sekarang semakin mudah. Saya pernah mengurus izin lingkungan untuk perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan. Perusahaan ini tidak tergolong usaha yang diwajibkan untuk memperoleh UKL-UPL atau AMDAL, sehingga saya hanya harus membuat surat pernyataan template yang juga dipakai oleh perusahaan-perusahaan lain, bahwa perusahaan tersebut akan menaati peraturan-peraturan yang berlaku. Setelah melalui proses administratif yang sederhana, Izin Lingkungan perusahaan tersebut bisa terbit dan berlaku efektif. 

Pemerintah juga semakin giat untuk mempermudah pengusaha untuk mendapatkan izin. Pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, Izin Lingkungan dapat diterbitkan terlebih dahulu berdasarkan komitmen meskipun perusahaan belum memenuhi persyaratan untuk memiliki izin tersebut. 

Terlebih lagi, kurangnya pengawasan pemerintah daerah, mudahnya manipulasi data dan tentunya politik uang merupakan “pelicin” terhadap kemudahan penerbitan izin tersebut. Perusahaan cukup duduk santai dan memastikan bahwa dana yang diperlukan tersedia. 

BACA JUGA: Gagasan Emil Salim “Pembangunan Berkelanjutan”

Apabila anda melakukan pencarian di situs google dengan kata kunci “Perusahaan dan Kerusakan Lingkungan”, maka anda akan dihadapkan dengan ratusan, bahkan ribuan artikel yang membahas mengenai kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan di berbagai ruang lingkup usaha: baik dari industri, perdagangan, konstruksi maupun komoditas. 

Lantas, apakah perlindungan terhadap lingkungan ini cukup sebatas mengantongi “izin” saja? Bagaimana jika kerusakan lingkungan terjadi ketika perusahaan telah mengantongi izin tersebut? 

3. Hukuman terhadap Pelanggar, Efektifkah?

Kita kembali mengadu kepada hukum untuk menghakimi perusahaan-perusahaan yang telah merusak lingkungan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (1) dari Undang Undang Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup), “setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

Namun pada kenyataannya, berapa jumlah perusahaan yang benar-benar membayar ganti rugi tersebut? Untuk ruang lingkup pembakaran hutan di tahun 2019 saja, ganti rugi lebih dari 18 triliun belum dibayarkan oleh 11 perusahaan pembakar hutan. Sehingga, kita tidak bisa menunggu sampai pengusaha melakukan kerusakan lingkungan hidup dan hanya meminta ganti rugi.

Dapatkan gagasan Ruth Margaretha Ginting lebih lengkap dengan mengunduh gagasan yang tersedia di bawah ini. 

Oleh: Ruth Margaretha Ginting

Pengacara di Kasih Hukum (NGO)

Related Article

id_IDID