Madani

Tentang Kami

DI TENGAH WABAH CORONA, RIAU JUGA HARUS SIAGA KARHUTLA

DI TENGAH WABAH CORONA, RIAU JUGA HARUS SIAGA KARHUTLA

Pemberitaan Media edisi Minggu 23 – 29 Maret 2020 memuat tentang Propinsi Riau yang harus menghadapi dua ancaman serius, yaitu wabah corona dan karhutla, karena saat ini sudah masuk musim kemarau panjang. BMKG pada 25 Maret 2020 telah mendeteksi ada 19 titik panas di Riau, dan terbanyak berada di Kabupaten Pelalawan. Dari Januari Hingga 23 Maret 2020 lahan terbakar di Riau telah mencapai 885,03 ha.

Pemberitaan lainnya tentang prediksi puncak musim kemarau yang akan jatuh pada Agustus 2020. Meskipun diprediksi musim kemarau kali ini lebih basah dari musim kemarau 2019, namun akan mengalami kemarau lebih kering dari normalnya.

Pemberitaan lain adalah polusi udara Jakarta saat ini yang mulai berkurang. Begitu juga dengan polusi udara yang terjadi di Amerika Serikat. Pemberitaan terakhir tentang Omnibus Law yang dapat mengancam perlindungan gambut.

Untuk pemberitaan media selengkapnya dapat diunduh di tautan berikut ini.

Semoga bermanfaat.

Related Article

Ayo Ulurkan Tanganmu, Bantu Korban Asap Sekarang Juga

Ayo Ulurkan Tanganmu, Bantu Korban Asap Sekarang Juga

Kabut asap sudah semakin pekat. Saudara-saudara kita di Sumatera dan Kalimantan, kini terpaksa menghirup udara yang penuh dengan polusi. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang tak kunjung usai, membuat bencana ini semakin tak terhindari. Padahal sejatinya, udara adalah kenikmatan termurah yang dapat dinikmati siapapun, namun kabut asap yang melanda malah membuat udara seolah menjadi barang mahal.

Pada 2019 ini, karhutla sendiri telah muncul sejak awal tahun. Di Januari 2019, titik api ditemukan sebanyak 1.609. Kemudian, Februari sebanyak 5.060 titik api, Maret sebanyak 9.227 titik api, April sebanyak 2.943 titik api, Mei sebanyak 4.286 titik api, Juni sebanyak 4.207 titik api, Juli sebanyak 15.571 titik api, dan mencapai puncaknya pada Agustus dengan 22632 titik api.

Titik api yang kian meluas tersebut mengakibatkan kabut asap semakin mengkhawatirkan. Sekarang, karhutla telah membuat 6 Provinsi yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan berstatus siaga darurat. Sudah saatnya kita ulurkan tangan untuk saudara-saudara kita yang terdampak. Menyumbangkan yang kita miliki adalah salah satu upaya kongkrit yang dapat kita lakukan saat ini.

Yayasan Madani Berkelanjutan saat ini menggalang dukungan yang akan disalurkan langsung kepada korban-korban terdampak di beberapa daerah di Tanah Air. Ayo tunjukkan kalau kamu peduli. Kami menerima donasi berupa masker N95, oksigen portable, suplemen vitamin, susu murni kaleng dan dana. Donasi dapat dikirimkan ke

Rekening : 127 0007567082, An. Yayasan Madani Berkelanjutan (Bank Mandiri)

Atau langsung salurkan ke Creative Hub #TemenanLagi, Kantor Yayasan Madani Berkelanjutan, Komplek Debdikbud, Blok B4 No.21, Pejaten Barat, Jakarta Selatan.

Informasi Donasi Hubungi: Widi Rosmiati (0822-1079-7027) Ruth Stephanie (0822-1589-8935)

Related Article

Inpres Penghentian Pemberian Izin Baru: Butuh Lompatan Besar

Inpres Penghentian Pemberian Izin Baru: Butuh Lompatan Besar

Jakarta, 22 Agustus 2019
Pemerintah Indonesia mempermanenkan kebijakan penundaan pemberian izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut menjadi penghentian izin baru melalui Inpres 5/2019. Menurut pemerintah, kebijakan ini adalah kebijakan utama dalam menurunkan deforestasi Indonesia, yang sudah menurun 20 persen setelah kebijakan moratorium diberlakukan, dan 38 persen jika perhitungan hanya dilakukan di wilayah PIPPIB.

Penghentian pemberian izin baru adalah sebuah langkah maju. Sayangnya, selama delapan tahun kebijakan ini diberlakukan dari tahun 2011 hingga dipermanenkan pada tahun 2019, belum terlihat penguatan dalam hal cakupan dan tingkat perlindungan terhadap seluruh hutan alam dan lahan gambut Indonesia yang tersisa.

Dibutuhkan lebih dari sekadar baby steps atau langkah-langkah kecil untuk menyelamatkan Indonesia dari bencana lingkungan hidup dan kemunduran ekonomi akibat kerusakan sumber daya alam dan dampak buruk perubahan iklim. Yang kita butuhkan adalah lompatan besar ke depan, langkah drastis untuk menyelamatkan seluruh hutan alam dan lahan gambut yang tersisa,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Kenyataannya, Inpres 5/2019 masih membatasi diri pada hutan alam primer saja. Padahal, untuk mencapai komitmen iklim Indonesia, sangat penting untuk turut melindungi hutan alam sekunder yang kaya karbon, keanekaragaman hayati, dan menjadi tumpuan hidup masyarakat adat dan lokal.

Berdasarkan data pemerintah, dari 43,3 juta hektare hutan alam sekunder Indonesia, yang saat ini dilindungi karena berada di Hutan Lindung dan Konservasi hanya 13,1 juta hektare. Sisanya, 30,2 juta hektare, terancam deforestasi akibat pemberian izin baru. Dari jumlah ini, ada 9,2 juta hektare hutan alam Indonesia yang paling terancam karena berada di Hutan Produksi Konversi atau HPK (3,8 juta hektare) dan Area Penggunaan Lain (5,4 juta hektare) yang sewaktu-waktu dapat diberi izin untuk konversi.

Fakta lainnya yang Madani temukan, wilayah hutan alam primer dan lahan gambut yang dilindungi dalam Peta Indikatif Penghentian Izin Baru atau PIPPIB tidak turut dipermanenkan dikarenakan masih akan direvisi setiap 6 bulan. Wilayah yang dilindungi masih bisa berkurang atau bertambah meski kecenderungan yang ada selama ini adalah berkurang. Selama periode 2011-2018, telah terjadi pengurangan seluas 3 juta hektare tanpa penjelasan secara utuh pada publik. Pengurangan besar-besaran ini masih bisa terjadi ke depan.

Analisis awal Madani memperlihatkan terdapat area perkebunan sawit yang tumpang tindih dengan PIPPIB Revisi XV di 23 Provinsi, yakni Aceh, Bangka Belitung, Bengkulu, Gorontalo, Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Riau, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat dengan luas 1.001.182 hektare.

Terkait temuan awal ini, Madani berharap pemerintah membuka ruang diskusi untuk sama-sama melakukan pengecekan ulang. “Inpres 5/2019 juga masih mengandung pengecualian-pengecualian yang melemahkan perlindungan hutan dan lahan gambut yang justru bertambah banyak jumlah dan jenisnya, dan hanya berlandaskan Inpres. Inpres tidak memiliki konsekuensi hukum jika tidak diterapkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Pengecualian yang sangat melemahkan komitmen perlindungan hutan alam dan lahan gambut adalah pengecualian terhadap permohonan yang telah mendapatkan persetujuan prinsip atau izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan eksplorasi dari Menteri Kehutanan sebelumnya yang diberikan sebelum 20 Mei 2011, serta perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada,” tambah Teguh. “Seharusnya klausul persetujuan prinsip ini dihilangkan karena sudah berjalan lebih dari delapan tahun, bukan justru ditambah dengan izin eksplorasi.

Presiden juga belum memberikan instruksi yang jelas dan tegas untuk mengkaji ulang perizinan dan melakukan penegakan hukum. Selama ini, dua hal tersebut tidak pernah tuntas dilakukan sehingga menyebabkan Indonesia merugi hingga triliunan rupiah dari praktik buruk pengelolaan hutan.

Sembilan langkah bijak perlu dilakukan Presiden untuk melanjutkan upaya perlindungan hutan dan gambut. Pertama, segera mengkaji hutan alam sekunder yang paling terancam dan harus dilindungi untuk kemudian dimasukkan ke dalam cakupan perlindungan Inpres 5/2019; Kedua, membangun mekanisme pemantauan kolaboratif terhadap pelaksanaan Inpres 5/2019 di antara pemerintah dan masyarakat sipil , akademisi dan kelompok kepentingan (interest groups) termasuk dalam proses revisi PIPPIB setiap 6 bulan;

Ketiga, segera melakukan kaji ulang/evaluasi perizinan terhadap permohonan lahan yang telah mendapat persetujuan izin prinsip dan izin eksplorasi dari Menteri Kehutanan pada pemerintahan sebelumnya dengan melibatkan KPK dan menghilangkan klausul ini dari daftar pengecualian. Keempat, segera memasukkan diktum yang mengatur kaji ulang/ evaluasi perizinan menyeluruh terhadap semua izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan dari aspek kepatuhan terhadap hukum dan aspek persyaratan kelestarian sesuai dengan rekomendasi KPK dalam Laporan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam. Kelima, memasukkan agenda harmonisasi dan sinkronisasi regulasi hutan dan gambut dengan melibatkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai leading sector bersama kementerian-kementerian dan lembaga terkait dengan melibatkan partisipasi efektif masyarakat sipil. Keenam, membangun mekanisme untuk meningkatkan akses data dan informasi bagi publik dan masyarakat sipil agar dapat melakukan pengawasan secara efektif, terutama data spasial yang dapat dianalisis terkait tutupan hutan dan lahan, izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, termasuk persetujuan prinsip dan izin eksplorasi yang dikecualikan dari kebijakan ini, serta revisi PIPPIB beserta alasan berkurang/bertambahnya wilayah PIPPIB;

Ketujuh, melibatkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai pihak yang diinstruksikan dalam Inpres Moratorium Hutan/Lahan; Kedelapan, Presiden agar segera memberikan dasar hukum yang lebih kuat untuk kebijakan ini, apakah dengan menerbitkan kebijakan ini dalam bentuk regulasi (misalnya Peraturan Presiden) atau segera mengintegrasikan wilayah yang dilindungi Inpres No. 5 Tahun 2019 ini ke dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW);

Kesembilan, memasukkan perhutanan sosial secara eksplisit ke dalam pengecualian kebijakan ini karena perhutanan sosial adalah bagian dari kebijakan pemerataan ekonomi Presiden Joko Widodo dan tercantum pada regulasi Proyek Strategis Nasional (PSN), serta tercantum dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 sebagai salah satu prioritas dalam pengentasan kemiskinan.[ ]

***
Narahubung:

Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan,
teguh@madaniberkelanjutan.id, +62 819-1519-1979

Anggalia Putri Permatasari, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan,
anggi@madaniberkelanjutan.id, +62 856-2118-997

Luluk Uliyah, Senior Communication Officer Yayasan Madani Berkelanjutan,
luluk@madaniberkelanjutan.id, +628 151-986 -8887

Related Article

Visi Indonesia Melupakan Janji Lingkungan Hidup Jokowi

Visi Indonesia Melupakan Janji Lingkungan Hidup Jokowi

Jakarta, 16 Juli 2019 – Presiden Joko Widodo dalam Visi Indonesia telah melupakan 20% janjinya untuk mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan dalam memimpin Indonesia periode 2019-2024. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam visi keempat Pasangan Jokowi-Maruf Amin saat kampanye pemilihan Presiden 2019 yang belum lama usai.

Visi mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan, akan dicapai Jokowi melalui tiga misi yaitu program pengembangan kebijakan tata ruang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, serta penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup. Adapun isu pengelolaan hutan dan gambut mendapat perhatian paling besar, tercermin dalam 13 kebijakan pengelolaan hutan dan lahan. Oleh karena itu, sudah selayaknya Jokowi menegaskan kembali visi dan misi terkait lingkungan hidup dalam Visi Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hijau.

Demikian disampaikan oleh M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, dalam Diskusi Media “Moratorium Permanen Hutan dan Visi Indonesia, Akan Kemana?” yang dilaksanakan di Creative Hub #TemenanLagi Yayasan Madani Berkelanjutan.

“Harapan masyarakat sangat besar atas kepemimpinan kedua Jokowi, khususnya di sektor lingkungan hidup, mengingat janji beliau saat Pilpres dan terdapat beberapa kebijakan pro-lingkungan telah diterbitkan meskipun beberapa diantaranya akan segera berakhir masa berlakunya,” jelas Teguh. Tak ingin kecolongan, Yayasan Madani Berkelanjutan, Walhi Eksekutif, Kemitraan-Partnership, Sawit Watch, dan Pantau Gambut kembali mengingatkan agar Presiden Joko Widodo meneguhkan komitmennya dan berani untuk menyelamatkan hutan tersisa, serta meneruskan pemulihan gambut setelah berakhirnya masa kerja BRG pada 2020.

Komitmen tersebut dapat diwujudkan dengan mengintegrasikan kebijakan moratorium pembukaan hutan primer dan gambut yang akan segera dipermanenkan dengan penguatan implementasi restorasi gambut 2020. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga perlu meningkatkan kekuatan hukum perlindungan permanen hutan alam dan gambut dari instruksi presiden menjadi peraturan presiden. “Peningkatan status kebijakan dari instruksi presiden menjadi peraturan presiden diperlukan untuk memastikan pembenahan dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Peraturan Presiden (Perpres) diharapkan akan menjadi solusi. Apalagi saat ini belum ada aturan mengenai sistem monitoring dan evaluasi dari Inpres Moratorium,” ujar Abimanyu Sasongko Aji, Project Manager Kemitraan-Partnership.

Dalam catatan Pantau Gambut, terjadi pengurangan wilayah moratorium sekitar 2,8 juta hektare pada periode 2011-2019 dan hutan seluas 2.739 hektare telah dilepaskan untuk dijadikan perkebunan sawit.

“Moratorium hutan primer dan gambut yang sudah ada sebelumnya tidak memandatkan tinjauan perizinan yang sudah ada. Adapun terbitnya PIPPIB tidak berkaitan dengan upaya pemulihan ekosistem gambut. Sementara, lahan gambut sebagian besar sudah terlanjur rusak,” kata Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch. “Seharusnya pemulihan ekosistem gambut yang bersifat wajib bagi perusahaan terus diawasi dan dipastikan berjalan”, tambahnya.

“Persoalannya, peraturan yang dikeluarkan oleh KLHK masih saling menegasikan. Dalam PermenLHK Nomor 16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut bertentangan dengan PermenLHK Nomor 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut yang memperbolehkan pengelolaan puncak kubah gambut. Selain itu, Kepdirjen-PPKL-Nomor-SK.40-2018 tentang penetapan status kerusakan ekosistem gambut yang di dalamnya mengatur soal pemulihan oleh perusahaan, dan juga dokumen seperti HGU hanya diketahui oleh KLHK dan Perusahaan. Jadi tidak ada transparansi,” tambah Inda.

“Perlindungan permanen hutan alam dan gambut diharapkan dapat memperkuat komitmen pemerintah dalam menata kembali pengelolaan hutan dan gambut. Apalagi, saat ini KLHK telah mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif dengan PermenLHK Nomor 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut,” tegas Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut.

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI, menerangkan bahwa pengaturan moratorium harus mempertimbangkan dan memperkuat wilayah Kelola Rakyat, yang selama ini telah hidup turun temurun selaras dengan alam di kawasan hutan, termasuk pengaturan perhutanan sosial pada ekosistem Gambut. Pengaturan moratorium harusnya menutup kemungkinan masuknya penguasaan korporasi dalam bentuk apapun. Masih dikecualikan PAJALE (Padi, Jagung, Kedelai) bisa menjadi pintu masuk pelepasan kawasan hutan, jika tidak diatur dengan ketat.

Masyarakat sipil turut mendukung upaya pemerintah untuk memberi perlindungan hukum secara permanen terhadap kawasan hutan dan gambut dengan membuat petisi. Adalah Piter Masakoda, Ketua himpunan pemuda Suku Moskona di Papua Barat bersama-sama Yayasan Madani Berkelanjutan meluncurkan petisi tersebut pada tanggal 1 Juli 2019 pada laman Change.org dan per 16 Juli 2019 telah meraih 37.000 pendukung. Dan dukungan ini masih terus bertambah. Bagi Suku Moskona, hutan laksana mama sekaligus sumber penghidupan. “Hutan tiada, maka kehidupan pun hilang”, terang M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Kebijakan perlindungan permanen hutan alam dan gambut perlu dukungan serius agar dapat memberikan kepastian perlindungan hutan alam Indonesia yang luasnya mencapai 89,4 juta hektare. Lebih jauh, upaya pengaturan “moratorium permanen” seharusnya juga mengatur upaya pemulihan lingkungan, khususnya di kawasan hutan dan ekosistem gambut. Empat hal strategis yang perlu dipertimbangkan Jokowi dalam satu tahun pertama adalah menerbitkan Perpres penghentian izin baru di hutan alam dan gambut, melanjutkan restorasi gambut pasca 2020, memperkuat komitmen iklim, dan memimpin implementasi moratorium perkebunan sawit.

Kontak Narasumber:

Abimanyu Sasongko Aji, Project Manager Kemitraan-Partnership
0821 6512 0204
abimanyu.aji@kemitraan.or.id

Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut
0812 6370 9484
iola.abas@pantaugambut.id

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch
0811 448 677
inda@sawitwatch.or.id

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819 1519 1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI
0812 8985 0005
zenzi.walhi@gmail.com

Related Article

Indonesia adalah Kunci Penyelamatan Iklim Dunia

Indonesia adalah Kunci Penyelamatan Iklim Dunia

Jakarta, 2 Juli 2019 – Pemerintahan Jokowi jilid II harus lebih serius dan tegas dalam menunjukkan kepemimpinan politik untuk memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia, salah satunya dengan memperkuat implementasi restorasi gambut saat ini dan pasca-2020. Hal ini bisa dilakukan dengan memastikan kepatuhan korporasi, meningkatkan pengawasan, serta melakukan penegakan hukum yang tegas. Karena Indonesia adalah kunci penyelamatan iklim dunia.

Selain penguatan restorasi gambut, pelaksanaan kebijakan moratorium hutan (yang rencananya akan dipermanenkan), evaluasi perizinan melalui implementasi moratorium sawit, serta perhutanan sosial adalah kunci untuk mencapai komitmen iklim Indonesia di tahun 2030 agar Indonesia bisa kembali memimpin di meja perundingan internasional. Penguatan ini penting mengingat masih terdapat kesenjangan yang sangat besar antara apa yang ditargetkan oleh Indonesia dengan kebijakan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Demikian disampaikan oleh M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam Diskusi Media “Karhutla di Momentum Politik: Saat Ini & Pasca Tahun 2020” yang dilaksanakan di Creative Hub #TemenanLagi Yayasan Madani Berkelanjutan.

“Indonesia membutuhkan penguatan sejumlah kebijakan apabila benar-benar ingin mencapai target penurunan emisi dengan moratorium hutan dan restorasi gambut sebagai kebijakan paling besar dampaknya terhadap penurunan emisi,” sambung Teguh.

Kebakaran hutan dan lahan yang masih terus terjadi masih menjadi ancaman serius bagi pelaksanaan komitmen iklim dan sekaligus indikator apakah restorasi gambut telah dilakukan dengan tepat dan masif sebagaimana diperintahkan dalam Perpres No. 1 tahun 2016. Kajian Madani bersama Kelompok Advokasi Riau (KAR) di wilayah Riau pada kurun waktu Januari-Maret 2019 menunjukkan bahwa terdapat 737 hotspot di Provinsi Riau dan 96 persen di antaranya berada di wilayah prioritas restorasi gambut. Dan diperkirakan area terbakar seluas 5.400 ha di wilayah konsesi. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan karena merujuk pada data KLHK, kebakaran hutan dan lahan gambut menyumbang 34 hingga 80 persen dari total emisi Indonesia tahun 2015.

“Secara historis, ada konsesi-konsesi yang terus terbakar setiap tahunnya, setidaknya sejak tahun 2015. Di lokasi ini, kami juga tidak menemukan adanya upaya restorasi sebagaimana yang dimandatkan dalam Peraturan Presiden No. 1 tahun 2016,” papar Rahmaidi Azani, GIS Specialist dari Kelompok Advokasi Riau (KAR).

Kajian ini dilakukan dengan melakukan analisis hotspot di Provinsi Riau menggunakan data dengan tingkat kepercayaan tinggi (≥ 80%) dan investigasi lapangan untuk menelisik kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada periode Januari-Maret 2019.

Prof. Bambang Hero, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, menegaskan bahwa yang paling penting dilakukan adalah memastikan bahwa korporasi benar-benar telah melakukan upaya restorasi gambut dengan mengikuti standar yang ada. Itu adalah kunci untuk mengawal agar target penurunan emisi 2030 tercapai.

“Jika wilayah konsesi sudah dinyatakan masuk wilayah prioritas restorasi, seharusnya di tahun ke-4 konsesinya sudah direstorasi. Kenyataannya, wilayah konsesi masih menjadi biang kerok. Ini harus segera dicari penyelesaiannya,” tandasnya. “Dalam memastikan kepatuhan korporasi, BRG dan KLHK seharusnya bersinergi seperti kepingan puzzle yang saling melengkapi.”

Sementara itu, Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menyoroti adanya wilayah yang dikuasai masyarakat dalam areal konsesi sawit dan HTI yang kembali terbakar di Riau.

“Titik api dan karhutla tidak berdiri sendiri, tapi selalu ada pemicunya, salah satunya adalah konflik. Jika kita mau menyelesaikan karhutla, kita harus menyelesaikan konfliknya juga. Urusan karhutla bukan hanya sekat kanal dan sumur bor, tapi juga penyelesaian konflik. Gubernur Riau sudah mencanangkan Riau hijau. Maka, penyelesaian konflik harus menjadi prioritas juga,” ujar Inda.

“Mengingat mandat BRG yang wilayahnya luas, komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah daerah, perusahaan, dan jaringan masyarakat di daerah harus dikuatkan. Sinergi agenda BRG dan jaringan masyarakat harus diakselerasi. Selain itu, Nota Kesepahaman dengan RSPO harus ditindaklanjuti karena banyak perusahaan yang punya konsesi di wilayah prioritas restorasi adalah anggota RSPO,” tambahnya.

Pemerintahan Jokowi Jilid II hanya memiliki waktu sekitar satu tahun untuk menyusun strategi penguatan dan akselerasi restorasi gambut pasca-mandat BRG berakhir tahun 2020. Kepemimpinan politik yang tegas dari Presiden, wewenang yang memadai, serta kelembagaan yang kuat adalah syarat mutlak untuk memecahkan permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang sudah terpola selama berpuluh-puluh tahun melalui restorasi gambut.

“Dalam 100 hari pemerintahan Jokowi Jilid II, ada tiga hal yang harus dilakukan untuk mencapai komitmen iklim Indonesia, yaitu memperkuat implementasi restorasi gambut sekarang dan pasca2020 melalui penguatan pengawasan dan penegakan hukum, menjalankan evaluasi perizinan yang dipertegas melalui implementasi moratorium sawit untuk mencegah hilangnya pendapatan negara, dan mempermanenkan serta memperkuat kebijakan moratorium hutan,” tutup Teguh.

Kontak Narasumber:

M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan
0819 1519 1979
teguh@madaniberkelanjutan.id

Rahmaidi Azani, GIS Specialist, Kelompok Advokasi Riau (KAR)
0813 7182 2940
comet.azani@gmail.com

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch
0811 448 677
inda@sawitwatch.or.id

Bambang Hero Saharjo, Guru Besar bidang Perlindungan Hutan IPB
0816 1948 064
bhherosaharjo@gmail.com

Related Article

Kebakaran Hutan dan Lahan 2019 : Studi Kasus Provinsi Riau Periode Januari-Maret

Kebakaran Hutan dan Lahan 2019 : Studi Kasus Provinsi Riau Periode Januari-Maret

Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan serius yang dihadapi masyarakat Provinsi Riau hampir setiap tahun pada musim kemarau. Memberikan dampak kerugian secara langsung maupaun tidak langsung kepada masyarakat, ekonomi, ekologi terutama kesehatan.

Sebagian besar wilayah di Provinsi Riau lahan gambut yang sejatinya merupakan lahan basah yang sulit untuk terbakar. Namun berbeda pada kenyatannya justru kebakaran yang terjadi hampir di setiap tahun terjadi pada lahan gambut.

Ini menjadi tanggung jawab bersama dalam mengatasi ancaman kebakaran hutan dan lahan yang selalu terjadi hampir setiap tahunnya. Dengan demikian, pemantauan ekosistem lahan gambut perlu untuk dilakukan sebagai bahan pertimbangan atas kebijakan yang dibuat oleh para pemangku kepentingan. Penyusunan laporan ini adalah bagian dari rangkaian pelaksanaan studi ini.


Laporan ini disusun dengan mempertimbangkan tujuan, ruang lingkup dan luaran dari studi ini sehingga akhir dari studi ini menghasilkan luaran sebagaimana yang telah diharapkan. Terima kasih kepada semua pihak yang akan mendukung terselenggaranya studi ini. Semoga laporan studi Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Riau Periode 1 Januari – 31 Maret 2019 ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak dalam menjawab permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama ini sehingga dapat tercapai penyelesaian sebagaimana diharapkan.

Related Article

Analisis Dokumen Visi & Misi Joko Widodo-Ma’ruf Amin 2019-2024

Analisis Dokumen Visi & Misi Joko Widodo-Ma’ruf Amin 2019-2024

Pada awal Oktober 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan visi dan misi kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden kepada publik. Sebagai perwakilan masyarakat sipil, Yayasan Madani Berkelanjutan yang fokus menjembatani antarpihak (pemerintah, swasta, dan masyarakat) untuk memperbaiki keadaan hutan dan gambut Indonesia, telah menyoroti dokumen visi dan misi keduanya secara kritis untuk memahami perspektif dan komitmen calon pemimpin bagi lingkungan hidup. Apa saja persoalan lingkungan yang telah maupun belum diakomodasi pada visi dan misi keduanya, serta komitmen seperti apa yang mesti mereka miliki untuk perbaikan kondisi lingkungan dan masyarakat secara menyeluruh?

Kajian ini memaparkan analisis terhadap dokumen visi-misi Jokowi-Ma’ruf terkait lingkungan hidup dengan fokus pada 5 isu utama yaitu pengelolaan hutan dan gambut secara berkelanjutan, ketimpangan penguasaan lahan, penegakan hukum, perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat, serta energi baru terbarukan (EBT). Studi ini mengidentifikasi poin-poin program aksi yang ditemukan dalam visi dan misi Jokowi dan Ma’ruf yang berkaitan dengan isu-isu tersebut.

Simak laporan selengkapnya dengan mengunduh di bawah ini.

Related Article

Menilik Hutan dalam Bingkai Bencana Lingkungan

Menilik Hutan dalam Bingkai Bencana Lingkungan

Direktur Eksekutif Yayasan Madani BerkelanjutanKeberadaan Indonesia yang memiliki sumber daya alam berlimpah tentu tak bisa dilepaskan dari ancaman kerusakan lingkungan hidup sebagai muara dari ekploitasi yang dilakukan secara tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, safeguard lingkungan menjadi sesuatu yang sangat krusial di tengah laju pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi yang mapan. Secara umum safeguards diciptakan untuk melindungi hak asasi manusia dan lingkungan dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh proyek-proyek pembangunan, baik yang didanai oleh pemerintah maupun lembaga keuangan dalam dan luar negeri. Ini bertujuan agar pembangunan yang dijalankan tidak menjadi blunder di masa mendatang akibat nilai kerusakan lingkungan lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang didapat.

Secara sederhana, mari kita lihat laporan Bank Dunia pada bulan Februari 2016 tentang nilai kerugian dari bencana asap akibat dibakarnya hutan dan gambut dalam beberapa bulan sepanjang tahun 2015. Kerugian diperkirakan mencapai angka Rp221 triliun (US$16,1 miliar), sementara pendapatan dari produksi minyak sawit pada tahun 2014 hanya mencapai US$12 miliar. Nilai kerugian tersebut belum menghitung dampak jangka panjang pada orang yang terpapar asap selama periode bencana, termasuk risiko kehilangan jasa layanan ekosistem yang hampir tak terpulihkan.

Bencana kebakaran bukan saja memberikan dampak yang luar biasa secara sosial, ekonomi, dan lingkungan, akan tetapi yang paling penting untuk dilihat bersama adalah dampaknya pada penurunan pertumbuhan ekonomi, seperti yang terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2015 (USAID LESTARI, April 2016).

Merujuk kepada profil sumber daya kesiapsiagaan nasional dalam penanggulangan bencana tahun 2015 yang dikeluarkan oleh BNPB, tegas disebutkan bahwa kejadian bencana di Indonesia cenderung terus meningkat, baik dari segi intensitas, frekuensi, magnitudo, maupun sebarannya. Kebakaran hutan dan lahan merupakan satu dari dua belas jenis ancaman bencana yang berisiko tinggi berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007. Oleh karena itu, dapat kita pahami bahwa sebenarnya kesadaran pemerintah untuk memitigasi dan mereduksi bencana dengan menjaga kelestarian hutan telah ada sejak satu dekade terakhir. Hal tersebut juga tercermin dalam 18 Komitmen Jokowi di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam yang disampaikan pada Konferensi Lingkungan Hidup Walhi di Jakarta pada 14 Oktober 2014, yang pada poin kelima berkomitmen untuk pemulihan pencemaran dan perusakan hutan, terdiri dari penurunan kebakaran hutan dan lahan secara mendasar.

Namun apa lacur, praktik penggundulan hutan besar-besaran masih terus berlangsung meski telah diketahui ada hubungan erat antara penggundulan hutan dengan meningkatnya intensitas bencana, khususnya pada bencana kebakaran hutan dan lahan. Hal tersebut kembali terungkap dalam laporan organisasi Mighty Asia Tenggara, SKP-Kame Merauke dan Yayasan Pusaka, yang diluncurkan pada 1 September 2016. Laporan berjudul Burning Paradise, The Oil Palm Practices of Korindo in Papua and North Maluku tersebut membongkar penghancuran besar-besaran hutan alam di Papua dan Maluku Utara seluas kota Seoul, Ibu kota Korea Selatan, untuk kepentingan industri minyak sawit. Selain itu turut ditemukan bukti yang cukup kuat antara praktik deforestasi dan pembakaran lahan untuk penyiapan perkebunan sawit sejak tahun 2013, sayangnya publik belum melihat adanya upaya penegakan hukum dan pemulihan lingkungan, bahkan mungkin tidak pernah terdata dalam daftar tersangka baik yang ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun kepolisian.

Situasi ini telah merobek-robek nurani dan akal sehat kita sebagai bangsa, mengingat jauh sebelumnya, Direktorat Jendral PHKA Kementerian Kehutanan juga pernah menunjukkan adanya dugaan 8,5 juta hektare lahan di kawasan hutan yang digunakan untuk perkebunan secara ilegal dan 8,8 juta hektare lahan di kawasan hutan telah digunakan untuk pertambangan secara ilegal (ICEL 2014). Hal ini diperkuat dengan temuan CIFOR yang mencatat setidaknya 4 juta hektare perkebunan sawit yang masih produktif dibangun melalui deforestasi. Bahkan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam RSPO sedikitnya telah merusak 20 ribu hektare lahan gambut kaya karbon pada tahun 2009.

Keberadaan hutan hujan yang memiliki fungsi sebagai penyeimbang ekosistem, daerah resapan air, penyeimbang siklus air, dan penyuplai oksigen yang turut mengatur iklim bumi karena menyimpan 300 miliar ton karbon, merupakan benteng terakhir dalam mitigasi dan mereduksi bencana. Hal tersebut sejalan dengan temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang menyatakan bencana ekologis yang tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia sepanjang tahun 2010, diakibatkan oleh terganggunya daur hidrologi dan daur siklus karbon.

Nampaknya, periode pemerintahan Jokowi merupakan masa-masa sulit bagi kelestarian hutan Indonesia. Terjadinya pelambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 2012, seharusnya tak membuat pemerintah semakin meloggarkan safeguard lingkungan hanya demi mendorong masuknya investasi. Langkah tersebut justru akan semakin menciptakan kerentanan yang bermuara pada peningkatan dan perluasan intensitas bencana. Secara perlahan meniadakan safeguard lingkungan yang salah satunya ditandai dengan kebijakan deregulasi 14 perizinan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada September 2015, tentunya sangat bertentangan dengan komitmen Presiden Jokowi dalam hal perlindungan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.

Berkaca dari dahsyatnya kejadian bencana yang terjadi, prinsip kehati-hatian mesti terus kita upayakan dan perkuat, khususnya dalam konteks pembangunan berbasis lahan yang mengandalkan eksploitasi sumber daya alam.

Bencana alam maupun bencana lingkungan, jika tidak bisa ditangani dengan benar dan tepat, dapat menghambat pembangunan nasional sebagaimana ditekankan dalam konsideran Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Saya dan seluruh warga negara Indonesia tentunya masih menunggu pemenuhan janji Presiden untuk menghadirkan negara guna menyelesaikan kesulitan bangsa secara berkeadilan dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Oleh Muhammad Teguh Surya

Related Article

id_IDID