Madani

Tentang Kami

DUKUNG KOMITMEN IKLIM INDONESIA, YAYASAN MADANI BERKELANJUTAN GELAR PENGUATAN PROGRAM HIJAU DAN BIMBINGAN TEKNIS AKSARA DI PROVINSI MALUKU

DUKUNG KOMITMEN IKLIM INDONESIA, YAYASAN MADANI BERKELANJUTAN GELAR PENGUATAN PROGRAM HIJAU DAN BIMBINGAN TEKNIS AKSARA DI PROVINSI MALUKU

Dalam mendukung upaya pemerintah mencapai komitmen iklim Indonesia atau dikenal dengan Nationally Determined Contribution (NDC) yang telah ditingkatkan (enhanced) yakni sebesar 31,89% dari sebelumnya 29% tanpa syarat (dengan kemampuan sendiri), dan 43,20% dari 41% dengan dukungan internasional, Yayasan Madani Berkelanjutan ikut berkontribusi dalam penguatan program hijau yang salah satunya diimplementasikan di Provinsi Maluku.

Yayasan Madani Berkelanjutan sebagai masyarakat sipil berkomitmen mendukung berbagai upaya pemerintah dalam implementasi program komitmen iklim dalam mencapai target NDC yang makin serius”, ujar Giorgio Budi Indrarto, Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan dalam acara Penguatan Program Hijau dalam Implementasi Komitmen Iklim Indonesia di Provinsi Maluku yang dilaksanakan pada 15-17 Februari 2023 di Ambon, Maluku.

Wakil Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto, menjelaskan tentang
keikutsertaan Yayasan Madani Berkelanjutan sebagai bagian masayrakat sipil dalam mendukung 
pemerintah daerah mewujudkan Pembangunan Rendah Karbon

Giorgio atau yang akrab dipanggil “Jojo” juga menyampaikan bahwa selama ini Yayasan Madani Berkelanjutan percaya bahwa berbagai komitmen yang telah ditetapkan tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah, tetapi juga harus dikolaborasikan dengan berbagai pihak, salah satunya tentu bersama masyarakat sipil.

BACA JUGA: Sumatera dan Kalimantan Dominasi Area Sawit Terluas

Oleh karena itu, Jojo menekankan bahwa Yayasan Madani Berkelanjutan sangat berkomitmen untuk mendukung pemerintah dalam implementasi program demi pencapaian komitmen Indonesia. 

Penguatan Program Hijau dan Bimbingan Teknis AKSARA

Dalam rangkaian acara Penguatan Program Hijau dalam Implementasi Komitmen Iklim Indonesia di Provinsi Maluku yang dilaksanakan dalam 3 hari secara hybrid (online dan offline), Yayasan Madani Berkelanjutan menghadirkan narasumber dari Direktorat Lingkungan Hidup, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas). Kemudian narasumber dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Kementerian Keuangan RI, Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah I, Ditjen Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri RI, dan Tim Ahli Low Carbon Development Indonesia (LCDI), dari Bappenas RI.

Di hari pertama dan sesi pertama, peserta mendapatkan materi mengenai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dalam mendukung pembangunan rendah karbon untuk mencapai komitmen iklim yang disampaikan oleh Dyah Sih Irawati S.Si.,MA, selaku Kepala Sub Direktorat Kehutanan, Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah I, Ditjen Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri RI.

Dyah Sih Irawati menyebut bahwa perlu adanya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah untuk mencapai target komitmen iklim. “Untuk mencapai komitmen iklim, maka perlu adanya koordinasi antara Pusat dan Daerah. Hal itu karena masing-masing instansi memiliki instrumen yang berbeda-beda sehingga diperlukan adanya sinkronisasi antar sektor juga”, ujar Dyah Sih Irawati.

BACA JUGA: Lembar Fakta FOLU Net Sink 2030

Kemudian di sesi kedua, peserta mendapatkan materi mengenai Peluang Alternatif Pendanaan Iklim di Daerah untuk Pelestarian Lingkungan Hidup yang disampaikan oleh Lia Kartikasari selaku Kepala Divisi Penghimpunan dan Pengembangan Layanan, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Kementerian Keuangan RI.

Lia Kartikasari mengatakan ada banyak peluang pendanaan untuk pelestarian lingkungan yang dapat dikelola oleh pemerintah daerah. “Untuk mendapatkan pendanaan, provinsi harus sudah memiliki rencana aksi, kebutuhannya berapa, dan apa yang akan dicapai”, pungkas Lia Kartikasari.

Peserta kegiatan Penguatan Program Hijau dalam Implementasi Komitmen Iklim Indonesia di Provinsi Maluku yang dilaksanakan pada 15-17 Februari 2023 di Ambon, Maluku.

Untuk kegiatan di hari kedua dan ketiga, peserta akan mendapatkan bimbingan teknis penggunaan Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Rencana Aksi Nasional Rendah Karbon atau AKSARA. Aplikasi ini adalah aplikasi atau tools yang membantu melakukan monitoringevaluation, and reporting (MER) dalam menyukseskan kerangka Pembangunan Rendah Karbon.

Dalam mekanisme pelaporan AKSARA, perlu adanya pembinaan serta koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah selaku pemantau dan pelapor kegiatan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dan berketahanan iklim. Hal ini tentu terkait dengan transparansi dan akuntabilitas dari AKSARA itu sendiri.

Related Article

PENTINGNYA INTEGRASI KONSEP PEMBANGUNAN HIJAU UNTUK KOMITMEN IKLIM KE DALAM DOKUMEN PERENCANAAN DAERAH PROVINSI MALUKU

PENTINGNYA INTEGRASI KONSEP PEMBANGUNAN HIJAU UNTUK KOMITMEN IKLIM KE DALAM DOKUMEN PERENCANAAN DAERAH PROVINSI MALUKU

Komitmen Indonesia untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, terutama dalam kaitannya dengan perubahan iklim tergambar jelas dengan diratifikasinya Perjanjian Paris pada tahun 2016 melalui UU Nomor 16 Tahun 2016. Tak hanya itu, Indonesia juga mengembangkan konsep Pembangunan Rendah Karbon Berketahanan Iklim (PRKBI), yang menjadi rujukan rencana kerja pemerintah dan menjadi masukan dalam evaluasi pelaksanaan Rencana Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, serta memperkuat strategi peningkatan pembangunan yang berkelanjutan pada penyusunan RPJMN dan RPJPN periode berikutnya. Untuk itu, menjadi penting agar konsep dan isu pembangunan nasional terkait perubahan iklim diinternalisasi ke dalam dokumen   perencanaan daerah seperti Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) hingga ke dokumen turunannya.

Provinsi Maluku telah memiliki RPJPD periode 2005 – 2025 sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 2 Tahun 2009. Arahan-arahan terkait pembangunan berkelanjutan yang inklusif dengan menginternalisasi nilai-nilai budaya lokal telah ada dalam RPJPD periode 2005 – 2025. Salah satunya mendorong perekonomian daerah yang mengedepankan komoditas unggulan kepulauan dengan memperhatikan aspek keberlanjutan. RPJMD Provinsi Maluku saat ini telah dilakukan perubahan dan disahkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 12 Tahun 2022 tentang RPJMD Perubahan Tahun 2019-2024. Dalam salah satu visi RPJMD Maluku saat ini mengangkat  “Maluku yang berdaulat atas gugusan kepulauan” yang menunjukkan komitmen Provinsi Maluku terhadap keberlanjutan dari lingkungan serta sumber dayanya untuk kesejahteraan masyarakat. 

“Ini momentum yang tepat bahwa kita untuk mengevaluasi kembali pembangunan jangka panjang kita maupun pembangunan jangka lima tahun, dan kita merancang ke depan lagi tentang pembangunan kita lima tahun ke depan dan dua puluh tahun ke depan,” kata Dr. Anton A. Lailossa, ST, M.Si., Kepala Bappeda Provinsi Maluku pada saat membuka kegiatan Bimbingan Teknis “Integrasi Konsep Pembangunan Hijau untuk Komitmen Iklim ke dalam Dokumen Perencanaan Daerah Provinsi Maluku” di kota Ambon, pada 24 – 26 Januari 2023. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Bappeda Provinsi Maluku. Bimbingan Teknis ini menghadirkan Erik Armundito, S.T., M.T., Phd, Perencana Ahli Madya, Direktorat Lingkungan Hidup, Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Bappenas sebagai narasumber. Serta Tim Ahli Bimbingan Teknis, yaitu Joko Tri Haryanto, Peneliti Senior, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Rico Arya Radestya dan Doddy Afianto, Tenaga Ahli Perencanaan Pembangunan Daerah, Direktorat Jenderal Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri.

“Bappenas telah menjadikan Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim sebagai Prioritas dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2023. Tema RKP 2023 adalah Peningkatan Produktivitas untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan, dengan Fokus Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim yaitu Ekonomi Rendah Karbon dan Transisi Energi. Sementara itu, ada delapan Arah Kebijakan dimana salah satunya adalah Pembangunan Rendah Karbon, Transisi Energi dan Respon terhadap Perubahan Iklim,” jelas Erik Armundito, S.T., M.T., Phd, Perencana Ahli Madya, Direktorat Lingkungan Hidup, Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Bappenas yang menjadi narasumber  dalam Bimbingan Teknis ini.

Bimbingan Teknis ini diikuti oleh OPD-OPD terkait di Provinsi Maluku, seperti Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku, Dinas Kehutanan Provinsi Maluku, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Dinas Pertanian, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dinas Perhubungan dan Dinas Ketahanan Pangan. 

Kondisi lingkungan Provinsi Maluku masih cukup terjaga, ini dibuktikan dengan Maluku yang masih menjadi daerah dengan tingkat serapan emisi lebih besar daripada emisi yang dikeluarkan. Dengan adanya perkembangan konsep pembangunan di Indonesia, harapannya Provinsi Maluku dapat menyelaraskan konsep hijau berkelanjutan dan berketahanan iklim ke dalam dokumen perencanaan daerahnya, utamanya dengan mempertimbangkan momentum menuju berakhirnya RPJPD yang akan berakhir pada 2025. 

“Arah pembangunan Provinsi Maluku ke depan perlu penyelarasan dengan perkembangan konsep pembangunan lingkungan yang bertujuan untuk mencapai target penurunan emisi, mengurangi dampak kerugian akibat perubahan iklim, termasuk beradaptasi dengan adanya pengaruh perubahan kondisi lingkungan. Hal ini mendukung arah pembangunan Indonesia yang ditujukan menjadi Negara dan bangsa yang berkomitmen iklim dan mencapai pembangunan hijau yang berkelanjutan,” pungkas Resni Soviyana, Project Officer Program Green Development Yayasan Madani Berkelanjutan. [ ] 

Referensi: https://madaniberkelanjutan.id/2021/07/31/mendorong-penerapan-green-budget-tagging-dan-scoring-system-di-provinsi-maluku

Related Article

BAGAIMANA PENDANAAN BAGI INDONESIA FOLU NET SINK 2030?

BAGAIMANA PENDANAAN BAGI INDONESIA FOLU NET SINK 2030?

Indonesia FOLU Net Sink 2030 adalah salah satu kebijakan kunci untuk menurunkan emisi GRK Indonesia dalam rangka menangani krisis iklim. Realisasinya tentunya membutuhkan kolaborasi multipihak dan dukungan finansial. 

Lalu, bagaimana potret pendanaan iklim di Indonesia saat ini, terutama demi mencapai FOLU Net Sink 2030?

Yayasan Madani Berkelanjutan bersama Forest Digest menyelenggarakan Seri V Diskusi Publik Menjaga Hutan, Menjaga Indonesia: Pendanaan Iklim untuk Mencapai Indonesia FOLU Net Sink 2030 yang dilaksanakan pada:

📆 Kamis, 29 September 2022

⏰ Jam 09.00 – 12.00 WIB

📌 Zoom https://bit.ly/Seri5FD_IFNET2030

Anda juga bisa menyimak rekaman diskusinya pascaacara di https://www.youtube.com/watch?v=gK_wG5VZyUk

Related Article

LAUNCHING BIOFUEL SYNTHESIS REPORT

LAUNCHING BIOFUEL SYNTHESIS REPORT

Saksikan peluncuran Biofuel Synthesis Report: pada tanggal 22 September 2022 pukup 09.00 – 11.30 WB. Daftarkan diri Anda di sini bit.ly/LaunchingReportBBN.

Related Article

PERUNDINGAN IKLIM G20 INDONESIA GAGAL SEPAKATI KOMUNIKE BERSAMA

PERUNDINGAN IKLIM G20 INDONESIA GAGAL SEPAKATI KOMUNIKE BERSAMA

Perundingan iklim negara-negara G20 yang diadakan pada Rabu, 31 Agustus 2022, tidak berhasil menyepakati komunike bersama tentang adopsi energi bersih karena keberatan atas bahasa yang digunakan dalam menjelaskan target iklim dan konflik Rusia-Ukraina.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Siti Nurabaya bakar, memulai pertemuan tingkat menteri lingkungan dan iklim G20 di Nusa Dua, Bali, dengan mendesak anggota G20 untuk mengurangi emisi dan mencegah bumi terdorong ke titik “di mana tidak ada masa depan yang berkelanjutan.”

 

Namun, beberapa negara, termasuk Tiongkok, berkeberatan dengan bahasa yang sebelumnya telah disepakati dalam pakta iklim Glasgow dan perjanjian G20 sebelumnya yang menyatakan pembatasan kenaikan suhu bumi rata-rata di atas 1,5 °C, menurut pejabat yang menghadiri pertemuan tersebut, tetapi menolak disebutkan namanya karena ia tidak berwenang untuk berbicara kepada media.

 

Sumber diplomatik lain mengatakan kepada Reuters bahwa ada ketidaksepakatan tentang bahasa seputar iklim dan juga referensi tentang perang di Ukraina.

 

Menteri LHK sebelumnya mengatakan bahwa ia berharap komunike bersama akan ditandatangani pada akhir hari, tetapi kemudian tidak menyebutkan hal tersebut saat konferensi persnya pada hari Rabu.

 

Sementara itu, Menteri Energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Arifin Tasrif, menyebutkan kepada wartawan bahwa pertemuan menteri transisi energi pada hari Jumat belum menyepakati komunike bersama “karena ada perbedaan antarnegara.” Namun, bagaimanapun, proposal tidak mengikat yang disebut Bali Compact telah disahkan oleh anggota G20 dan akan dirundingkan saat pertemuan para pimpinan negara G20 pada bulan November nanti.

 

Indonesia, selaku pengekspor utama dan pengguna batubara, telah bergabung dalam perjanjian global untuk menghentikan penggunaan batubara secara bertahap dan menginginkan hampir seperempat energinya berasal dari sumber terbarukan pada tahun 2025, naik dari sekitar 12% pada saat ini.

 

“Yang penting sekarang kita bekerjasama untuk mengkoordinasikan kebijakan, memperkuat kerjasama, dan memastikan agenda transisi energi kita bergerak maju,” kata Arifin saat membuka pertemuan di Bali.

 

Menggarisbawahi tantangan ke depan, Badan Energi Internasional dalam sebuah laporan pada hari Jumat menyatakan bahwa Indonesia perlu memastikan reformasi kebijakan terjadi agar bisa lebih cepat  beralih ke energi yang lebih bersih mengingat teknologi tersebut sudah tersedia secara komersial dan hemat biaya.

 

Bali Compact, yang rinciannya tidak segera tersedia, bertujuan untuk memperkuat perencanaan dan pelaksanaan energi nasional, meningkatkan investasi dan pembiayaan, serta meningkatkan ketahanan energi, kata Arifin.

 

Ketua Indonesia juga tidak merilis komunike bersama setelah perundingan iklim G20 awal pekan ini, yang diwarnai keberatan atas bahasa yang digunakan pada target iklim dan perang di Ukraina.

 

Pertemuan Iklim G20 Berlangsung Saat Cuaca Ekstrem

 

Pertemuan iklim G20 berlangsung ketika peristiwa cuaca ekstrem –  kebakaran, banjir, dan gelombang panas – melanda beberapa bagian dunia, termasuk banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya di Pakistan dalam beberapa pekan terakhir yang telah menewaskan sedikitnya seribu orang.

 

Para ilmuwan mengatakan sebagian besar peristiwa cuaca ekstrem seperti itu disebabkan oleh perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia dan hanya akan meningkat dalam tingkat keparahan dan frekuensi saat dunia mendekati ambang batas pemanasan 1,5 °C di atas tingkat praindustri.

 

Pejabat lingkungan dari Australia, Brasil, India, Jepang, Korea Selatan, dan utusan khusus Presiden AS untuk iklim, John Kerry, adalah beberapa orang yang menghadiri perundingan di Bali.

 

Indonesia sebagai ketua G20 saat ini mengundang perwakilan dari Uni Afrika untuk bergabung dalam pembicaraan untuk pertama kalinya, kata Siti, seraya menambahkan bahwa suara dari semua negara, terlepas dari kekayaan dan ukurannya, harus didengar.

 

Turut hadir adalah Alok Sharma, presiden Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) ke-26 tahun lalu, yang mengatakan perang di Ukraina telah meningkatkan urgensi kebutuhan untuk beralih ke sumber energi terbarukan. KTT iklim COP27 akan diadakan di Mesir November ini.

 

“Krisis energi saat ini telah menunjukkan kerentanan negara-negara yang mengandalkan bahan bakar fosil yang dikendalikan oleh aktor-aktor yang bermusuhan,” katanya. “Keamanan iklim telah menjadi sinonim dengan keamanan energi dan ancaman kronis perubahan iklim tidak akan hilang,” tambahnya.(*)

 

Sumber:

https://www.reuters.com/business/energy/indonesia-seeks-g20-buy-in-energy-transition-agenda-2022-09-02/

https://www.reuters.com/business/environment/g20-host-indonesia-urges-cooperation-tackle-global-climate-issues-2022-08-31/

Related Article

GAGALNYA PERUNDINGAN G20 DI BALI PICU KEKHAWATIRAN MUNDURNYA JANJI IKLIM

GAGALNYA PERUNDINGAN G20 DI BALI PICU KEKHAWATIRAN MUNDURNYA JANJI IKLIM

Para menteri iklim dan energi berselisih mengenai Ukraina, keuangan iklim, metana, pengiriman, pungutan karbon, dan ambisi 1,5 °C atau 2 °C yang harus menjadi batas pemanasan global

Para menteri energi dan iklim dari beberapa negara ekonomi terbesar dunia gagal menyepakati komunike bersama pada pertemuan G20 di Bali, Indonesia. Dengan dua bulan waktu tersisa menuju KTT COP27, tuan rumah Mesir COP27 memperingatkan negara-negara G20 agar tidak ada “kemunduran” komitmen iklim.

Draf teks komunike yang dilihat oleh Climate Home News menunjukkan bahwa para menteri G20 berbeda pandangan terkait bahasa yang digunakan bagi perang Rusia di Ukraina, keuangan iklim, dan mana yang seharusnya menjadi target iklim dunia—pembatasan kenaikan suhu bumi di atas 1,5 atau 2 °Celsius. 

Setelah perundingan gagal, Presiden COP26, Alok Sharma, dan Presiden COP27 yang akan datang, Sameh Shoukry, memberikan peringatan bagi negara-negara yang mengendorkan janji iklimnya.

Menteri Luar Negeri Mesir, Sameh Shoukry, mengatakan, “Anggota G20 harus mengambil peran utama dalam memastikan bahwa tantangan hasil dari situasi global saat ini tidak menjadi alasan atau pembenaran bagi penundaan terus-menerus dalam memenuhi janji iklim atau pengunduran diri  dari hasil kerja keras perjuangan global melawan perubahan iklim.”

“Adalah suatu hal yang mengkhawatirkan untuk melihat batubara muncul kembali sebagai sumber energi di beberapa bagian dunia,” katanya, seraya menambahkan bahwa kekurangan pendanaan iklim juga mengkhawatirkan.: “Ini juga menyangkut komitmen pendanaan iklim, terutama janji $100 miliar dolar A.S., yang implementasinya masih tertinggal  jauh  sedangkan kebutuhan negara berkembang terus meningkat.”

Alok Sharma, anggota parlemen Inggris yang memimpin perundingan iklim tahun lalu, mengatakan, “Tentu saja apa yang kami lihat adalah sejumlah negara yang mundur dari komitmen yang mereka buat di Paris pada tahun 2015 dan di Glasgow tahun lalu.” Baik Sharma maupun Shoukry tidak menyebut negara manapun.

Seorang menteri yang hadir menjelaskan pertemuan tersebut kepada Climate Home mengatakan, “tidak ada yang terjadi di Bali. Kegagalan. Kepresidenan yang lemah.”

Para menteri iklim dan lingkungan hidup mengadakan pertemuan satu hari pada hari Rabu dan para menteri energi bersidang pada hari Kamis. Tidak ada kelompok yang bisa menyepakati komunike bersama. Sebagai gantinya, “Bali Compact” diharapkan akan diterbitkan.

Climate Home telah berbicara dengan beberapa sumber di Bali dan melihat dokumen yang menunjukkan bahwa kedua kelompok menteri menghadapi perbedaan yang sama.

Invasi Rusia ke Ukraina

Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia sekaligus perwakilan iklim Indonesia, memulai dialog dengan dengan permohonan untuk “membangun jembatan, bukan tembok”. Utusan iklim Italia Alessandro Modiano menyerukan komunike tingkat menteri untuk mengikutsertakan bahasa yang, “mencerminkan perang agresi Rusia yang tidak dapat dibenarkan dan tidak beralasan terhadap Ukraina”.

Sebuah draf teks menyatakan bahwa, “beberapa anggota mencatat bahwa tantangan yang ada untuk mengatasi perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati telah diperburuk oleh perang di Ukraina.” Namun teks teks tersebut tidak akan pernah disetujui oleh Rusia dan sehingga teksnya tidak bisa menjadi teks bersama.

Diskusi serupa terjadi antara para menteri energi. Usulan bahasa yang menganggap perang di Ukraina bertanggung jawab atas melonjaknya harga energi dan penurunan ekonomi global didukung oleh negara-negara G7, tetapi ditentang oleh negara-negara berkembang, termasuk Rusia, menurut suatu sumber.

Keuangan iklim

Draf teksnya juga menunjukkan ada ketidaksepakatan tentang seberapa kuat komunike bersama perlu mengkritik kegagalan negara-negara kaya untuk memenuhi janji pendanaan iklim senilai $100 miliar dolar A.S. bagi negara-negara berkembang pada tahun 2020.

Ada ketidaksepakatan lebih lanjut tentang seberapa besar penekanan pada “kerugian dan kerusakan”⁠—mengacu pada kerusakan yang disebabkan oleh dampak iklim yang tidak dapat dipulihkan atau diadaptasikan.

Negara-negara berkembang telah menyerukan pembiayaan kerugian dan kerusakan yang ditentukan terlebih dahulu yang kemudian dibayar oleh negara-negara yang paling bertanggung jawab menyebabkan perubahan iklim. Negara-negara kaya sejauh ini menolak.

Ambisi

Perselisihan yang berlangsung lama mengenai apakah akan menekankan pembatasan pemanasan global “jauh di bawah 2 °C” atau hingga 1,5 °C di atas tingkat praindustri terus berlanjut. Di dalam Perjanjian Paris, negara-negara sepakat untuk membatasi kenaikan suhu global hingga “jauh di bawah 2 °C” dan “mengejar upaya” untuk membatasi hingga 1,5 °C.

Sumber kedua pada pembicaraan tersebut mengatakan kepada Climate Home bahwa Tiongkok dan India mendorong penekanan 2 °C, dengan perwakilan Tiongkok menggambarkannya sebagai lebih “layak secara ilmiah”.

Saat COP26, semua negara sepakat untuk “meninjau kembali dan memperkuat” target iklim 2030 mereka pada akhir 2022. Sejak saat itu, hanya sedikit negara yang melakukannya.

Sebuah proposal untuk mengulangi perjanjian dengan tenggat waktu pengikutsertaan dalam laporan sintesis PBB pada 23 September juga tidak menemukan konsensus.

Sementara itu, India mendorong penggunaan istilah tujuan ‘global net zero’. Usulannya ditentang Jerman dan Uni Eropa yang berpendapat bahwa hal tersebut mengalihkan perhatian dari tindakan pada tahun 2020-an, kata sumber Climate Home.

Tanda kurung siku

Sumber ketiga di Bali mengatakan kepada Climate Home bahwa Indonesia, yang telah kehilangan hampir 20% tutupan pohonnya sejak tahun 2000, memimpin penentangan bahasa yang keras terkait deforestasi dan degradasi lahan.

Tidak ada kesepakatan tentang bahasa untuk mengurangi emisi metana meskipun lebih dari 100 negara menandatangani perjanjian metana global saat COP26 untuk mengurangi emisi metana kolektif 30% pada tahun 2030. Tiongkok,, India, dan Rusia belum turut serta.

Draf teks tersebut mengusulkan bahasa untuk membersihkan industri perkapalan, tetapi  masih dalam tanda kurung yang berarti tidak ada kesepakatan.

Draf teksnya juga menyebut usulan untuk “menghilangkan tindakan sepihak dan lintas batas serta hambatan yang tidak kondusif untuk mengatasi tantangan perubahan iklim” – referensi untuk pungutan karbon yang diadopsi oleh EU atas barang impor dari negara-negara dengan standar lingkungan yang lebih rendah.

Tiongkok, India, Brazil, dan Afrika Selatan sebelumnya menyebut pajak perbatasan karbon yang direncanakan EU bersifat  “sepihak” dan “diskriminatif”. Sebagai tanggapannya, EU mengusulkan teks alternatif yang mempromosikan “dialog dalam desain dan pelaksanaan langkah-langkah kebijakan domestik, konsisten dengan aturan internasional”.

Sumber:

Collapse of G20 talks in Bali spark fears of ‘backtracking’ on climate pledges

 

Related Article

PENTINGNYA KAJIAN ILMIAH, PENGETAHUAN LOKAL DAN PARTISIPASI PUBLIK UNTUK KEADILAN IKLIM

PENTINGNYA KAJIAN ILMIAH, PENGETAHUAN LOKAL DAN PARTISIPASI PUBLIK UNTUK KEADILAN IKLIM

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menyoroti keadilan iklim sebagai isu yang penting dan prioritas menjadi pusat diskusi. Melalui laporannya, IPCC mengakui pentingnya nilai dari kajian ilmiah dan pengetahuan lokal dalam memahami dan mengevaluasi proses adaptasi iklim untuk menurunkan resiko perubahan iklim dan mencapai keadilan iklim. Demikian menurut Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Perkumpulan Pikul, Indonesia menjelaskan Pentingnya Laporan dari IPCC terkait apa saja dampak dan adaptasinya dalam hal keadilan iklim melalui acara Webinar “Calling For Environmental and Climate Justice in G20” (Tuntutan Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim di Forum G20) pada 26 Agustus 2022.

Menurut Torry Kuswardono, dari 3000 halaman laporan tersebut yang menarik terutama dalam isu-isu keadilan iklim. Laporan ini cukup menarik yang menyebutkan bagaimana efektif dan menerapkan prinsip keadilan iklim. “Kita lihat prinsip-prinsip keadilan iklim disana. Laporan ini dari awal menjelaskan prinsip-prinsip keadilan, ada bab-bab khusus terkait ketidaksetaraan, contoh ketidakadilan dan menyoroti apa keadilan yang perlu dibahas dalam diskusi dan debat seputar perubahan iklim ini,” jelasnya.

Jadi untuk keadilan iklim, strategi adaptasi dan proyek keadilan iklim, banyak LSM yang melakukan solusi bagian mitigasi dan adaptasi sebagai bagian hak dasar dan untuk melakukan keadilan iklim. Agar melibatkan semua orang untuk membicarakan keadilan iklim planet ini dan membuat hak dasar penting ada di laporan tersebut.

“Di laporan 6 menjelaskan adanya ketidaksetaraan dan pengakuan terhadap kelompok yang berbeda-beda. Ini yang perlu kita akui, berdayakan dan berikan dukungan. Bahwa untuk keadilan iklim adanya ketidaksetaraan kekuatan antara negara di dalam negara,” lanjut Torry.

Di Indonesia ketidakadilan itu terjadi dalam 3 tahun terakhir dimana semua orang membicarakan tentang menurunkan ruang demokrasi. Padahal kalau dibandingkan dari rekomendasi laporan ini bahwa partisipasi dan pengakuan dari suara masyarakat amat penting kalau mau menyelesaikan masalah iklim.

Dalam hal perspektif keadilan iklim bisa dikatakan adaptasi yang sukses. 60 persen laporan ini menyebutkan bahwa adaptasi dari program yang dibuat pemerintah dan agen internasional agar dipertimbangkan lebih fokus pada masyarakat rentan, masyarakat adat dan lingkungan hidup. Sedangkan dalam hal mitigasi, ketidakadilan akan lebih besar daripada adaptasinya.

Ketidakadilan Iklim yang Terjadi pada Masyarakat Adat dan Lokal

Ruth Spencer, Perwakilan Negara Kepulauan Kecil, Antigua dan Barbuda menyampaikan bahwa di tingkat lokal negaranya ada distribusi tidak adil tentang kekuatan dan kesejahteraan. Dalam ketidakadilan iklim adalah eksklusi saat masyarakat tertinggal dari kebijakan seputar iklim. “Sangat penting di kelompok tingkat lokal memiliki suara karena di negara saya pada saat mengambil keputusan lingkungan tidak ada budget, uang dan ekosistem yang bisa diperbaiki. Perlindungan untuk kami sangat penting dari berbagai badai, topan dan bencana yang meningkat,” jelasnya.

Yang terjadi di negaranya, banyak investor datang untuk membuat hotel. Masyarakat lokal kehilangan tempat yang dilindungi. Sejak covid, pemerintah sudah menulis ulang peraturan dan membiarkan area itu menerima investor datang dimana kami hidup mencari mata pencaharian, ikan dan sebagainya. Pemerintah melakukan itu secara diam-diam. Anda mengetahui setelah ada keputusan yang sudah terjadi, tidak ada komunikasi dan diskusi, tidak ada akses informasi penting. Ini yg membuat frustasi dan banyak konflik. Kalau ada konsultasi hanya di perkotaan tidak di masyarakat lokal.

Kami menuntut akses informasi, lokasi, periodenya dan kami bisa melihat apakah memang semestinya begitu. Tanpa adanya komunikasi dan akses informasi dan menjadikan investor mendapatkan hak di area terlindungi membuat banyak ketidakadilan kesenjangan. 

Mardiana, Perwakilan Masyarakat Adat dari Indonesia menyampaikan kearifan dan pengetahuan lokal serta kebiasaan dalam menjaga,,memanfaatkan sumberdaya alam dan hutan serta kerusakan alam yang dialami saat ini. Berbagai ancaman karena kerusakan alam hutan dan perampasan lahan.

Sebelum ada perkebunan sawit dan pertambangan batubara, Mardiana dan masyarakat adat lainnya merasa hidup  sejahtera walaupun tidak ada uang. Tapi setelah adanya perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batubara hidupnya merasa terhimpit dan tidak merdeka lagi. Mereka kembali dijajah orang-orang kita sendiri. Mereka kehilangan sumber kehidupan, sumber ekonomi, lumbung padi, sumber kesehatan apotek di hutan, buah-buahan, air bersih ikan, buaya pun tidak ada.

“Kami bernafas dalam debu, bermandikan limbah. Kalau ini berlanjut tidak ada kata sehat dan sejahtera bagi masyarakat adat. Kami berjuang mempertahankan lingkungan, hak-hak, kami selalu berhadapan dengan penegak hukum, pemerintah. Kami dianggap tidak mendukung pembangunan. Itulah yang terjadi pada kami masyarakat adat di Barito Timur, Kalimantan Tengah,” lanjut Mardiana.

Masyarakat adat menghormati hutan, Tapi pemerintah, pengusaha, pihak-pihak perijinanlah yang menghancurkan hutan dan lingkungannya. “Kami meminta pemerintah Indonesia sahkan RUU masyarakat adat dan di G20 tolong evaluasi lagi perizinan perkebunan sawit di seluruh Indonesia, khususnya di Kalimantan Tengah, Kabupaten Barito Timur. Kami meminta evaluasi perizinan perkebunan dan tambang, kembalikan hak hidup kami pulihkan lingkungan yang rusak, tanam hutan yang gundul kami siap membantu,” tegasnya.

Val Munduruku, Pegiat Masyarakat Adat dari Brasil juga menyampaikan bagaimana masyarakat di negaranya menolak dan berjuang karena ancaman tambang ilegal sebagai Isu utama. Situasinya sudah berdampak pada komunitas masyarakat sekitar sungai (seperti sungai Taparaja) dan berdampak pada area lainnya. Situasinya sangat kritis.

“Kami berjuang mempertahankan wilayah kami karena izin tambang yang diberikan oleh pemerintah. Kami yang terkena dampak mempengaruhi lingkungan kami, sumber makanan kami, sumber air.  Kamilah yang tetap ada di tempat tersebut setelah mereka mengambil sumberdaya alam kami. Beberapa tahun ini telah terjadi kerusakan alam, deforestasi karena tambang illegal,” ungkap Val Munduruku.

Sementara itu Anggalia Putri, Sub WG AFOLU and Rights (Agriculture, Forestry and Other Land Use and Rights), sub kelompok kerja terkait pertanian, hutan, penggunaan lahan dan hak atas tanah untuk perubahan iklim menjelaskan terkait perlindungan berbasis hak dan restorasi untuk ekosistem alam bagi keadilan iklim. “Saya berharap apa yang dilakukan kelompok kerja dan sub kerja G20 bisa beresonansi dengan Anda dan perjuangan Anda semua. Mengapa kami disini, kami tidak hanya mendengarkan suara pemerintah saja. Tapi juga mendengarkan suara organisasi masyarakat sipil dan masyarakat untuk mempromosikan pembangunan ekonomi sosial, hak asasi manusia dan prinsip tidak meninggalkan siapapun seperti yang disampaikan bung Torry,” jelas Anggalia Putri.

G20 memiliki komitmen pada AFOLU, ada komitmen pada keanekaragaman hayati dan alami, mencakup tanggung jawab konservasi perlindungan dan penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Dan ini meningkatkan komitmen mereka baik jangka pendek maupun jangka panjang terkait degradasi tanah dan pembiayaan. Mereka mengakui pembiayaan kerja-kerja alam dan aspek-aspeknya.  Dan dalam mengakselerasi mitigasi.(*)

Related Article

Diskusi Publik Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat dalam FOLU Net Sink 2030

Diskusi Publik Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat dalam FOLU Net Sink 2030

Forestry and other Land Uses (Kehutanan dan penggunaan lahan lain/FOLU) Net Sink merupakan keadaan ketika sektor hutan dan lahan menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskannya ke atmosfer. Saat ini, alih-alih menjadi penyerap emisi karbon, sektor hutan dan lahan di Indonesia justru menyumbang lebih dari 40% keseluruhan emisi karbon Indonesia.  Sehingga, aspirasi pemerintah untuk mewujudkan FOLU Net Sink pada tahun 2030 perlu diapresiasi.

Bagaimana FOLU Net Sink dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat? Apakah program Perhutanan Sosial dapat mendukung? Lantas bagaimana dengan masyarakat adat dan komunitas lokal?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Forest Digest bekerja sama dengan Yayasan Madani Berkelanjutan menyelenggarakan Seri III Diskusi Publik Menjaga Hutan, Menjaga Indonesia: Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat dalam Rencana FOLU Net Sink 2030, dilaksanakan pada:

📆 Rabu, 13 Juli 2022
⏰ Jam 13.00 – 16.00 WIB
📌 Zoom Meeting

Related Article

WE’RE HIRING: PROGRAM ASSISTANT AT MADANI BERKELANJUTAN

WE’RE HIRING: PROGRAM ASSISTANT AT MADANI BERKELANJUTAN

Yayasan Madani Berkelanjutan (Madani) is a non-profit organization that aims to strengthen various local and national initiatives in saving Indonesian forests by bridging relations amongst stakeholders (government, private, civil society) in order to achieve innovative joint solutions of the land and forest governance.

Indonesia has committed to reducing carbon emissions with the target 29%-41% of the BAU level in 2030, which is reflected in the Nationally Determined Contribution (NDC). This target is a national achievement that certainly requires all parties’ participation, including policymakers and the community at the sub-national level. In addition, low-carbon development is an important direction for green development policies and strategy which has been outlined in the 2020-2024 RPJMN. The concept of low-carbon development and the NDC target needs to be integrated into every aspect of development planning, both at the Central and Regional Governments. There is a need for synchronization of methodologies, institutions, and development planning between national and sub-national that supports the achievement of carbon emission reduction targets and the implementation of green development. This is an opportunity to facilitate and mobilize government support, particularly local governments, NGOs, and youth groups to implement and/or encourage the increase in ambitions for climate targets and actions in Indonesia.

Job Summary

We are currently expanding our team and looking for Program Assistant (PA). The candidate will assist Madani’s program related to Climate Change Advocacy.

Under the direction and supervision of the Program Officer (PO), selected candidate is expected to help PO taking care of several jobs, including but not limited to: operations, administration, research, networking and convening to support the program.

Duties and Responsibilities:  

  1. Assist PO in implementing the program, from preparation, resource allocation and management, to activity reporting
  2. Collect and manage the program’s database
  3. Be actively involved in the process of Madani’s program study preparation, report and proposal
  4. Prepare program administration and finance documents, as well as assist in monitoring and managing program finances
  5. Process the data and information related to relevant issues and provide analysis / supporting study for program implementation
  6. Establish good communication and relations with partners, networks, including Central Government, especially the Local Government
  7. Stay abreast of relevant Government policies and the dynamic of climate change issues
  8. Have the ability to advocate environmental, climate change, low carbon development, NDC, and other issues
  9. Be actively involved in Madani’s activities and committed to do all assigned tasks
  10. Continuously improve personal capacity and help increase organization capacity

Qualifications:

  1. Preferred a Bachelor (S1) Degree graduated from Environmental Science / Environmental Geography / Forestry / Development Economics
  2. At least two years’ experience in the same position. Preferably have experience working in the field of climate change / forest governance, and familiar with the planning and development processes of the Central and or Regional Governments
  3. Familiar with planning, monitoring, evaluating, and reporting processes
  4. Demonstrate the ability to conduct research / analysis related to certain issues for the needs of Program implementation
  5. Experience in advocating and building networks with CSOs or local communities working on environmental issues
  6. Experience in managing project administration and finance
  7. Proficient in Microsoft Office and preferably able to operate analysis tools
  8. Able to communicate using English both orally and in writing 
  9. Demonstrate the ability to work alone and in a team, accustom to analytical thinking, creative and detail oriented
  10. Eager to learn new thing and has a great sense of humor

Please send your application via this link by July 17th at the latest.

Please indicate your application by putting the following code in the subject line: PA – MADANI

Related Article

Pentingnya Sinergi Antarpemangku Kepentingan untuk Mencapai Indonesia FOLU Net Sink 2030 dan Net Zero Emission 2050

Pentingnya Sinergi Antarpemangku Kepentingan untuk Mencapai Indonesia FOLU Net Sink 2030 dan Net Zero Emission 2050

[Madani News] Kebijakan Indonesia FOLU Net Sink 2030 (IFNET 2030) merupakan bentuk keseriusan pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis iklim, khususnya dalam mencapai net zero emissions pada 2060 atau lebih cepat. Laporan IPCC ke-6 menegaskan bahwa tanpa kebijakan dan aksi iklim yang lebih kuat menuju 2030, kenaikan suhu bumi akan melebihi 3 °C, jauh dari ambang batas 1,5 °C sesuai dengan target Persetujuan Paris.

Salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam menahan laju kenaikan suhu global berwujud Nationally Determined Contribution (NDC) yang turut menarget sektor FOLU (17,2% dari 29% dalam CM1) dan visi pembangunan rendah karbon serta berketahanan iklim yang tertuang dalam Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050.

Selain menjadi tumpuan pengurangan emisi Indonesia, sektor FOLU juga menjadi penopang utama pembangunan ekonomi sampai saat ini. “Untuk mendorong pencapaian FOLU Net Sink sudah saatnya kita beranjak dari paradigma yang memandang manfaat dan nilai ekonomi hutan hanya dari kayu. Padahal, banyak potensi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Agar penerapan kebijakan Indonesia FOLU Net Sink 2030 berjalan efektif, harus ada sinergi antara rencana pengelolaan hutan, dengan memaksimalkan peluang-peluang yang ada, termasuk kontribusi dari para pelaku usaha. Diperlukan kolaborasi antara pihak swasta, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk mencapai komitmen iklim.” Demikian pesan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, pada 16 Juni 2022, saat membuka Serial Diskusi Publik Menjaga Hutan, Menjaga Indonesia pertama bertajuk “Peran Bisnis Kehutanan dalam Mencapai FOLU Net Sink 2030” yang diselenggarakan Forest Digest bersama Yayasan Madani Berkelanjutan.

Serial Diskusi Publik I ini dihadiri oleh empat narasumber, antara lain Ir. Istanto, M.Sc., Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan, Ditjen PHL, KLHK; Prof. Dodik Ridho Nurrochmat, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University; Dharsono Hartono, CEO PT Rimba Makmur Utama; dan Purwadi Soeprihanto, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Diskusi dimoderasi oleh Galuh Sekar Arum dari Forest Digest.

Asep Sugih Suntana menjelaskan bahwa Pengelolaan Hutan Berkelanjutan telah lama digagas dan diusung oleh berbagai lembaga pemerintah dan nonpemerintah, baik pada level internasional maupun nasional. Menurutnya, bisnis kehutanan Indonesia juga telah bertransformasi dari yang awalnya hanya bergantung pada Hasil Hutan Kayu (HHK) ke arah Multi Interests Forestry, yaitu kehutanan multiproduk, multiusaha, dan multijasa. Direktur Utama Forest Digest ini kemudian menyimpulkan bahwa IFNET 2030 adalah kebijakan baru yang perlu ditilik dan didukung dengan baik melalui proses pengayaan pengetahuan dari pihak-pihak yang beragam.

Sementara itu, Ir. Istanto, M.Sc., Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan, Ditjen PHL KLHK, menyampaikan bahwa Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) menjadi tulang punggung pencapaian Indonesia FOLU Net Sink 2030, khususnya SILIN (silvikultur intensif) dan RIL-C (Reduced Impact Logging for Climate). Ia juga menekankan bahwa Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang berorientasi kayu harus beranjak ke agroforestry melalui multiusaha kehutanan.

Dharsono Hartono, CEO PT Rimba Makmur Utama (RMU), sangat optimis dengan target IFNET, meskipun ia merasa bahwa pencapaiannya masih memerlukan kegiatan dan regulasi yang meyakinkan. Berdasarkan pengalamannya mengelola Mentaya-Katingan Project, ia percaya bahwa kunci untuk mewujudkan perubahan yang benar-benar transformatif adalah menjalin kemitraan erat dengan masyarakat lokal.

Purwadi Soeprihanto, Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), menjelaskan bahwa perlu ada insentif yang lebih agar target komitmen iklim bisa tercapai dan leverage untuk mendorong faktor pengungkit dalam peningkatan serapan hutan.

Prof. Dodik Ridho Nurrochmat, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, menekankan pentingnya semangat kolaborasi dan sinergi antarpihak dalam menyukseskan IFNET 2030 yang merupakan kepentingan bersama. Ia juga mengingatkan bahwa IFNET 2030 membutuhkan pendanaan sekitar Rp200 triliun yang 80% diperkirakan akan berasal dari sektor swasta, sehingga perlu ada daya tarik khusus bagi pihak swasta.

Diskusi kali ini adalah diskusi pertama dari serangkai Diskusi Publik Menjaga Hutan, Menjaga Indonesia yang akan diselenggarakan Forest Digest bersama Yayasan Madani Berkelanjutan sampai Agustus 2022. Semua paparan narasumber dari sesi diskusi pertama dapat Anda unduh di bawah ini

Related Article

id_IDID