Madani

Tentang Kami

INDONESIA PAVILION AT COP26: TIME FOR ACTION INDONESIA

INDONESIA PAVILION AT COP26: TIME FOR ACTION INDONESIA

From 31 October to 12 November, the UK will host the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) located in Glasgow, Scotland. COP26 aims to accelerate climate action to achieve the goals of the Paris Agreement and the UNFCCC. COP26 is important because this decade is the last opportunity for us to scale up climate action to achieve the 1.5-degree goal.

In order to welcome this grand agenda, civil society organizations, Madani Berkelajutan Foundation, Walhi, Kemitraan, and LTKL took part in the Indonesian pavilion at COP26.

READS ALSO: Inclusive And Collaborative Climate Action Under The Next Generation Leaderships: NPS Contributions to Long Term Development Strategy

One of the activities that will be held is a discussion with the theme Inclusive And Collaborative Climate Action Under The Next Generation Leaderships: NPS Contributions to Long Term Development Strategy, On Tuesday, 9, November 13.20 to 14.40 WIB.

In this discussion, a number of presenters were present, namely the Executive Director of the Partnership, Laode Muhammad Syarif, Adat Women Leaders Ammatoa Kajang Community, Ramlah, Prokilm-Social Forestry of Nagari Sirukam West Sumatra, Selfi Suryani, Head of Gorontalo District, Prof. Nelson Promalingo, Adat Youth Leaders from Dusun Silit West Kalimantan, and Duayam x Krealogi, Hanna Keraf.

Register yourself to take part in the event at the following link www.indonesiaunfccc.com

Related Article

Peluang Mencapai Komitmen Iklim Indonesia Dengan Elaborasi Kebijakan Bahan Bakar Nabati

Peluang Mencapai Komitmen Iklim Indonesia Dengan Elaborasi Kebijakan Bahan Bakar Nabati

[Madani News] Indonesia merupakan salah satu negara yang serius dalam mengembangkan bahan bakar nabati atau BBN yang dibuktikan dengan adanya kebijakan energy mix policy atau bauran energi sejak 2006. Di mana dorongan awalnya adalah untuk mencapai kedaulatan energi dan peningkatan ekonomi terutama melepaskan ketergantungan dari energi fosil dan menjadi salah satu strategi penurunan emisi gas rumah kaca nasional. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad diskusi virtual “Menakar Aktualisasi Kebijakan Bahan Bakar Nabati Nasional Guna Mencapai Komitmen Iklim Indonesia” yang diselenggarakan pada Selasa, 07 September 2021.

Nadia Hadad juga menyampaikan bahwa strategi kebijakan BBN sudah tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia serta strategi pencapaian net zero emission. Namun, tantangan dari pengembangan BBN nasional masih cukup didominasi oleh satu komoditas, yakni sawit.

Knowledge Management Manager Yayasan Madani Berkelanjutan, Anggalia Putri atau Anggi, yang bertindak sebagai pemantik diskusi menyampaikan bahwa dalam NDC, bahan bakar nabati atau juga yang sering disebut biofuel diproyeksi memainkan peran sentral mencapai target NDC 2030.

Anggi juga menyampaikan bahwa terdapat tiga impian menuju Indonesia tangguh, pertama yakni terkait transformasi ekonomi menuju pembangunan yang berkelanjutan, kedua, mencapai ketahanan dan kemandirian energi, dan juga mencapai NDC Indonesia 2030 dan net zero emissions. “Impian ini tidak dapat dilepaskan satu sama lain untuk tujuan Indonesia pada 2030. Indonesia sudah sangat maju, Indonesia sudah memiliki komitmen iklim, kebijakan kita sudah dibungkus dengan kebijakan yang rendah karbon”, ujar Anggi. 

Dalam diskusi ini hadir beberapa narasumber seperti Dr.Ir.Arifin Rudiyanto,M.Sc dari Kedeputian Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, kemudian Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Usaha Bioenergi, Direktorat Bioenergi Kementerian ESDM, Agus Saptono,SE,M.M, dan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR). 

Simak Diskusi “Menakar Aktualisasi Kebijakan Bahan Bakar Nabati Nasional Guna Mencapai Komitmen Iklim Indonesia” di Channel Youtube Yayasan Madani Berkelanjutan.

Dapatkan paparan dari para narasumber diskusi “Menakar Aktualisasi Kebijakan Bahan Bakar Nabati Nasional Guna Mencapai Komitmen Iklim Indonesia” dengan mengunduh di lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Mendorong Penerapan Green Budget Tagging dan Scoring System di Provinsi Maluku

Mendorong Penerapan Green Budget Tagging dan Scoring System di Provinsi Maluku

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan dalam mendukung aksi pengendalian perubahan iklim adalah dengan pengembangan mekanisme penandaan anggaran (budget tagging) serta mengembangkan instrumen pembiayaan inovatif.

Mekanisme penandaan anggaran merupakan proses identifikasi besaran anggaran yang digunakan untuk membiayai output yang spesifik ditujukan untuk sesuai dengan program tematik yang menjadi target (BKF, 2016). 

Dalam hal ini pemerintah daerah diharapkan dapat mengidentifikasi alokasi anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mengidentifikasi instrumen pendanaan apa yang masih dapat dimanfaatkan dalam mendanai pelaksanaan aksi dan mitigasi perubahan iklim daerah sehingga anggaran perubahan iklim mampu dikelola secara efektif dan efisien serta mendukung efektivitas pelaksanaan aksi dan mitigasi perubahan iklim khususnya. 

Terkait dengan hal ini, Yayasan Madani Berkelanjutan bersama para  ahli di bidang penandaan anggaran mengadakan pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System di Provinsi Maluku pada 30 Juni sampai 1 Juli, di Kota Ambon. 

Program Officer NDC Yayasan Madani Berkelanjutan, Erlangga menyebut bahwa tujuan Yayasan Madani Berkelanjutan mengadakan pelatihan tersebut adalah untuk mendorong Pemprov Maluku menyelaraskan RPJMD dengan RAD GRK agar nantinya dapat mengakses sumber dana hijau lainnya yang dapat mendukung Pemprov Maluku selain dari APBD yang telah dimiliki.

Di kesempatan yang sama, Peneliti dari BKF yang juga bertindak sebagai pelatih di pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System di Provinsi Maluku,  Joko Tri Haryanto, mengapresiasi inisiatif yang dilakukan Yayasan Madani Berkelanjutan terkait dengan pelatihan ini. “Pelatihan ini adalah bentuk transfer pengetahuan supaya di masa depan daerah dapat melakukan mekanisme ini secara mandiri dalam penyusunan RPJMD dan APBD” ujar Joko.

Menurut Joko, budget tagging, budget scoring, performance scoring merupakan tools atau serangkaian mekanisme tata kelola administrasi penganggaran. Hal ini sangat penting karena setiap rupiah yang dikeluarkan dari APBD dapat ditelusuri outcomenya. 

Selama ini 30-40% APBD tidak bermanfaat bagi masyarakat, padahal tren anggaran transfer ke daerah dan dana desa itu terus meningkat tiap tahunnya”, tegas Joko.

Melalui pelatihan ini Yayasan Madani Berkelanjutan berharap kapasitas OPD Provinsi Maluku dalam melakukan manajemen penganggaran dan penentuan program prioritas program hijau agar daerah dapat berperan dalam memobilisasi sumber-sumber pendanaan baik publik dan non publik.

Dapatkan informasi terkait dengan pelatihan Green Budget Tagging dan Scoring System di Provinsi Maluku dengan mengunduh di lampiran yang tersedia di bawah ini.

Related Article

Perlu Transformasi Besar Untuk Mencapai Target NDC dan Net Zero Emisi

Perlu Transformasi Besar Untuk Mencapai Target NDC dan Net Zero Emisi

[MadaniNews, Jakarta, 21/04/2021] Untuk mampu mencapai target komitmen iklim Indonesia atau Nationally Determined Contribution (NDC) dan net zero emisi Indonesia, maka transformasi besar-besaran merupakan keniscayaan. Pernyataan tersebut disampaikan Strategic Engagement Director Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad dalam diskusi virtual Earth Day Forum yang mengangkat tema “Melestarikan Hutan untuk Mitigasi Perubahan Iklim” pada Rabu, 21 April 2021.

Diskusi virtual Earth Day Forum ini diadakan oleh Katadata yang membahas strategi dan upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Kementerian Keuangan terkait program perhutanan sosial untuk mendukung upaya pemerintah dalam mitigasi perubahan iklim, termasuk ide pembuatan Kampung Iklim. 

Keberhasilan KKI WARSI dalam menerapkan program Perhutanan Sosial di Jambi untuk penyimpanan karbon bisa menjadi contoh sukses yang diharapkan mampu memberikan semangat bagi banyak daerah dengan luas tutupan hutan alam yang besar untuk lebih menjaga hutan. 

Di kesempatan yang sama, Nadia Hadad juga menyampaikan bahwa Program Kampung Iklim (Proklim) yang dikembangkan saat ini adalah contoh nyata bahwa menjaga hutan bukan hanya dapat melestarikan lingkungan tapi juga mampu meningkatkan perekonomian. “Yayasan Madani Berkelanjutan sangat mendukung kegiatan mitigasi perubahan iklim ini melalui Proklim, saat ini kami telah mendukung kegiatan ini di Desa Lampo, Donggala, Sulawesi Tengah dan juga di Nagari Sirukam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat yang bekerjasama dengan Komunitas Warsi”, ujar Nadia.

Diskusi yang membahas upaya mitigasi perubahan iklim ini juga dihadiri oleh Djoko Hendratto selaku Direktur Utama BPDLH Kementerian Keuangan, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam, dan Direktur KKI WARSI, Rudy Syaf. 

Direktur KKI WARSI, Rudy Syaf menyebut bahwa perhutanan sosial benar-benar merupakan program yang mampu menjaga hutan. Rudy menegaskan bahwa pada saat masyarakat diberikan hak dan akses untuk mengelola hutan, maka disaat yang bersamaan hutan semakin terlindungi.  “Setelah dapat izin pengelolaan hutan desa, dari 2013 sampai sekarang yang dulunya masih ada deforestasi sekarang zero deforestasi”, ujar Rudy.

Sementara itu, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam mengatakan bahwa pemerintah sudah memiliki fokus terkait masalah lingkungan dan perubahan iklim sebagaimana yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Menurutnya, pemerintah telah menyusun prioritas nasional terkait perubahan iklim, lingkungan hidup dan ketahanan nasional. 

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, pemerintah memprioritaskan ketiga persoalan ini yakni perubahan iklim, lingkungan hidup, dan ketahanan nasional”, ujar. Perwujudan dari komitmen pemerintah tersebut menurut Medrizal telah dimanifestasikan melalui pembangunan rendah karbon. 

Di sisi lain, masalah pendanaan menjadi faktor penting untuk melakukan sejumlah upaya mitigasi perubahan iklim. Direktur Utama BPDLH, Kementerian Keuangan, Djoko Hendratto mengatakan dalam mengukur efektivitas penggunaan dana untuk pengendalian perubahan iklim, BPDLH memiliki beberapa poin penting, yakni, jika dana bersumber dari APBN, maka poin ketepatan sasaran adalah hal utama. Sedangkan bila dana bersumber dari pendonor sudah pasti ada kesepakatan-kesepakatan tentang target dan ukurannya menerunkan emisinya seperti apa dan disetujui Kementerian/Lembaga (K/L) terkait.

Dapatkan materi narasumber dari diskusi virtual Earth Day Forum yang mengangkat tema “Melestarikan Hutan untuk Mitigasi Perubahan Iklim” dengan mengunduh bahan yang tersedia di bawah ini. 

Related Article

Anggaran Perubahan Iklim Masuk RPJMN 2020-2024

Anggaran Perubahan Iklim Masuk RPJMN 2020-2024

Pengendalian perubahan iklim telah masuk dalam prioritas nasional keenam di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Program prioritasnya adalah peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon.


Untuk memenuhi komitmen dan target itu, peran APBN menjadi sangat vital sebagai instrumen fiskal dalam mendorong proses transformasi ekonomi hijau tersebut. Berdasarkan Second Biennial Update Report (2nd BUR) tahun 2018, Indonesia membutuhkan pendanaan untuk pengendalian perubahan iklim sebesar Rp3.461 triliun hingga tahun 2030. Atau setiap tahun memerlukan Rp266,2 triliun.


Dari kebutuhan anggaran ini, APBN hanya dapat memenuhi sekitar 34 persennya atau Rp86,7 triliun per tahunnya. Ini telah direalisasikan ke dalam penandaan anggaran perubahan iklim atau Climate Budget Tagging (CBT) sejak 2016 sampai dengan 2020.

Anggaran perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1 persen dari APBN. Selama lima tahun terakhir, 88,1 % dari total anggaran perubahan iklim dibelanjakan dalam bentuk green infrastructure yang berfungsi sebagai roda penggerak perekonomian sekaligus modal utama transformasi ekonomi hijau di Indonesia.


Indonesia masih memiliki financial gap yang besar untuk memenuhi target kebutuhan pendanaan. Sehingga diperlukan dukungan pendanaan yang sangat besar untuk meningkatkan ketahanan iklim di Indonesia.

Related Article

Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia

Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia

[Jakarta, 24 November 2020] Beberapa saat lalu, tepatnya pada tanggal 21 Agustus 2020, Green Climate Fund (GCF) atau dikenal juga sebagai Dana Iklim Hijau menyetujui proposal pemerintah Indonesia untuk mengakses dana pembayaran berbasis hasil untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD+) sebesar 103,8 juta dollar AS atau setara dengan 1,54 triliun rupiah. 

Dana ini diberikan sebagai pembayaran atas keberhasilan Indonesia dalam menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan pada periode tahun 2014-2016 sebesar 20,3 juta tCO2e. Keberhasilan Indonesia dalam mengakses dana ini adalah indikator awal kepercayaan dunia terhadap Indonesia saat ini. 

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya, ikut memberikan apresiasi kepada pemerintah Indonesia atas pencapain Indonesia dalam menurunkan angka deforestasi telepas dari perdebatan banyak pihak terkait angkat tersebut. Apresiasi ini disampaikan Teguh Surya dalam diskusi virtual talkshop “Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia” yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan pada Selasa, 24 November 2020. 

Harapan kita pada pendanaan dari Green Climate Fund ini tentu sangat besar, dana yang besar ini harus kita manfaatkan sebesar mungkin, kita juga berharap masyarakat dapat mengakses dan akhirnya dana yang besar dapat efektif”, ujar Teguh. 

Dalam diskusi terbatas ini, Analis Kebijakan pada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Dewa Ekayana menjadi pemateri kunci yang menjelaskan tentang Green Climate Fund sampai dengan berbagai cara untuk mengakses pendanaan ini. 

Dewa Ekayana menjelaskan bahwa GCF adalah amanat dari The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk membantu negara-negara berkembang mencapai komitmen iklimnya dalam Nationally Determined Contribution (NDC). “GCF sendiri adalah sumber pendanaan terbesar yang ada saat ini untuk melawan dampak perubahan iklim global”, ujar Dewa Ekayana.

Analis Kebijakan ini juga menyebut bahwa semua pihak dapat mengakses pendanaan ini dengan berkolaborasi bersama lembaga yang sudah terakreditasi. Ia juga mendorong bagi semua pelaku maupun pegiat perlindungan lingkungan, hutan, dan alam, untuk bersama-sama mengajukan proposal demi alam Indonesia yang lebih baik. 

Dapatkan materi diskusi Peluang Green Climate Fund untuk Perlindungan Hutan Indonesia dengan mengunduh materi yang tersedia di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Related Article

Dana Perubahan Iklim dan BPDLH

Dana Perubahan Iklim dan BPDLH

Sudah sepantasnya acungan jempol kita berikan kepada Pemerintah Indonesia yang telah berhasil berkontribusi di dunia internasional dalam usaha mengerem laju perubahan iklim. Kontribusi nyata Indonesia tersebut dibuktikan dengan penghargaan yang diterima Indonesia berupa dana kompensasi US$ 103,78 juta atau sekitar Rp 1,52 triliun dari Green Climate Fund (GCF) belum lama ini.


Dana kompensasi ini diberikan karena Indonesia telah berhasil mengurangi gas rumah kaca dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan sebagaimana yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Tercatat sepanjang periode 2014- 2020, laju deforestasi di Indonesia turun dari level 3,51 juta ton setara karbondioksida ke level 0,40 juta ton setara karbondioksida.


Pembuktian Indonesia dalam upaya memerangi dampak perubahan iklim atau yang lebih tepat disebut krisis iklim bukan hanya telah terealisasi dari dana internasional GCF, tapi juga sebelumnya Indonesia telah menerima dana perubahan iklim yang berasal dari pemerintah Norwegia sebesar sebesar Rp 840 miliar.


Keberhasilan Indonesia tersebut tentu patut kita banggakan. Pasalnya, di tengah pandemi yang masih menghantui serta krisis lingkungan dunia yang semakin mengkhawatirkan, Indonesia keluar dengan penghargaan atas pencapaian dalam upaya menekan dampak krisis iklim dunia.

Namun, sebagai bangsa yang bijak, alangkah baiknya pencapaian tersebut tidak lantas membuat kita cepat berpuas hati, karena agenda memerangi krisis iklim masih harus melalui jalan terjal yang panjang.

Terkait dengan agenda perlawanan terhadap krisis iklim dunia, Indonesia telah menetapkan target yang terbilang cukup baik. Target yang termanifestasikan dalam Nationally Determined Contribution (NDC), yakni dengan target penurunan emisi gas rumah kaca sebanyak 29% dari business as usual (BAU) 2030 dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional. NDC sendiri merupakan bagian penting dari Persetujuan Paris atau Paris Agreement yang berisi pernyataan komitmen banyak negara dalam menghadapi perubahan iklim.

Menguji BPDLH

Setelah uang dalam jumlah besar masuk ke kantong pemerintah Indonesia, tentu menjadi wajar jika publik mulai bertanya-tanya mengenai alokasi penggunaan dana internasional tersebut.

Untuk menjawab beragam pertanyaan serta spekulasi yang akan muncul, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan sebuah institusi khusus yang bertugas sebagai pengelolaan dana tersebut. Institusi tersebut bernama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup atau yang disingkat BPDLH.

BPDLH adalah badan yang dirancang untuk menghimpun pendanaan perlindungan lingkungan hidup serta memiliki kemampuan untuk menyalurkannya pada pos-pos prioritas yang berkomitmen pada kepentingan pemulihan dan pelestarian lingkungan hidup. BPDLH akan menyalurkan dana di antaranya terkait dengan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, konservasi, keragaman hayati, dan berbagai kearifan lokal yang harus dilindungi.

Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan dana yang berkait dengan kepentingan lingkungan seperti halnya dana internasional perubahan iklim, BPDLH tentu harus memiliki grand design yang sesuai dengan ambisi dan tantangan Indonesia di masa yang akan datang.

Sumber pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang sedang terbatas. Situasi pandemi korona (Covid-19) pun menjadi ujian berat bagi BPDLH yang akan beroperasi tahun ini. Ujian tersebut harus dijawab dengan baik untuk menjaga kepercayaan dan reputasi di mata masyarakat dan dunia.

Dalam pengelolaan dana tersebut, ada beberapa pos penting yang dapat menjadi sasaran utama BPDLH. Pertama, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berbasis lingkungan. Sejalan dengan maksud dan tujuan dari pemulihan lingkungan, maka menyasar UMKM berbasis lingkungan adalah hal utama yang paling tepat. UMKM yang berbasis pada program Perhutanan Sosial adalah contoh terbaik untuk mendapatkan dukungan pendanaan hijau dari BPDLH.

Selain menyelamatkan lingkungan, menyalurkan dana pada sektor Perhutanan Sosial juga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat yang kini sangat tertekan oleh pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.

Kedua, penanganan kerusakan lingkungan. Dalam penanganan kerusakan lingkungan, skema insentif dapat menjadi pilihan tepat. Lebih tepatnya, pemerintah dapat menyalurkan pendanaan pada kelompok masyarakat yang menjaga kelestarian lingkungan, hutan, dan alam serta kepada perusahaan yang tertib dalam penerapan aktivitas produksi sehingga menghilangkan dampak kerusakan terhadap lingkungan.

Seperti halnya dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kebiasaan perusahaan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar (slash and burn) harus dihentikan dengan skema insentif yang tepat. Skema tersebut dapat berupa dukungan pengadaan alat berat untuk membantu pembukaan lahan yang lebih ramah lingkungan.

Sedangkan kelompok masyarakat siaga api dapat diberikan dukungan berupa peralatan mitigasi serta pendanaan operasional. Skema insentif dapat dikatakan sebagai wujud terbaik dalam pencegahan terjadi karhutla di tanah air. Bukankah negeri ini ingin segera lepas dari ancaman karhutla yang mengintai setiap tahun.

Ketiga, reward atau penghargaan bagi daerah penjaga lingkungan. Selama ini ada anggapan yang berkembang bagi daerah tentang hutan yang sangat mengkhawatirkan, yakni hutan sama dengan kutukan. Keberadaan hutan disebut sebagai kutukan lantaran menjadi dilema dalam pembangunan. Daerah yang cenderung masih memiliki hutan yang lestari, seolah dituntut untuk tetap menjaga kelestarian hutan tersebut. Di sisi lain, tuntutan akan pembangunan begitu mendesak sehingga membuat pemerintah daerah (pemda) kesulitan untuk menggenjot perekonomian.

Dengan adanya penghargaan bagi daerah yang berprestasi dalam menjaga lingkungan khususnya hutan, daerah akan terbantu dari segi pendanaan untuk melakukan pembangunan. Penghargaan ini pun dengan sendirinya akan menjadi stimulus bagi daerah untuk lebih kreatif memanfaatkan keberadaan hutan dengan baik, karena pada dasarnya hutan memiliki nilai ekonomi dan non-ekonomi yang sangat besar untuk masa depan. Alhasil, anggapan bahwa hutan adalah kutukan bisa berubah menjadi hutan adalah berkah bagi daerah.

Saat krisis semakin di depan mata, Indonesia jelas harus melakukan lompatan besar. Dengan pembentukan BPDLH, kita berharap Indonesia bukan hanya berfokus untuk keluar dari pandemi Covid-19, melainkan juga fokus untuk keluar dari ancaman krisis iklim yang saat ini sedang melanda dunia. Ibarat kata pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.

Penulis: Delly Ferdian

Peneliti Madani Berkelanjutan Jakarta

Tulisan ini sudah dimuat di Harian Kotan edisi 22 September 2020.

Related Article

PEMERINTAH INDONESIA SEDANG MENYIAPKAN LAPORAN NDC

PEMERINTAH INDONESIA SEDANG MENYIAPKAN LAPORAN NDC

Pemberitaan Media edisi Minggu IV Februari 2020 ini memuat tentang Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan laporan kondisi terkini terkait upaya penurunan emisi sebagai Nationally Determined Contribution atau NDC di Indonesia pada Maret 2020.

Pemerintah juga berharap akan memperoleh masukan dari para pemangku kepentingan tentang dokumen terkini NDC serta meningkatkan kepedulian dan pemahaman terhadap komitmen bersama dalam implementasi NDC.

Pemberitaan lain ada terkait dengan 6 isu utama Program KLHK yang disampaikan dalam Rapat KLHK bersama Komite II DPD.

Berita lain adalah terkait Penyerahan SK Perhutanan Sosial yang dilakukan oleh Presiden di Kabupaten Siak. Presiden menyerahkan SK Perhutanan Sosial untuk 39 SK Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan, serta 2 Hutan Adat pada 9 kabupaten dan 10 KPH Provinsi Riau.

Sementara itu, capaian Perhutanan Sosial hingga Februari 2020 mencapai 4,062 Juta Ha, dengan jumlah SK Izin/hak 6.464 SK bagi 821.371 Kepala Keluarga (KK). Untuk pengakuan dan penetapan hutan adat seluas 35.150 Ha yang tersebar dalam 65 Masyarakat hukum adat dengan 36.438 Kepala Keluarga dan Indikatif hutan adat seluas 915.004 Hektar terdapat di 22 provinsi dan 48 kabupaten.

Untuk pemberitaan media di Minggu IV Februari 2020 selengkapnya, silakan unduh materi yang tersedia di tautan di bahwa ini. Semoga Bermanfaat.

Related Article

Ekonomi Global dan Krisis Iklim

Ekonomi Global dan Krisis Iklim

Untuk saat ini, satu-satunya kepastian dari kondisi ekonomi global adalah ketidakpastian. Oleh karena itu, menjadi wajar jika banyak negara mulai memikirkan kepentingannya sendiri untuk survive melawan ketidakpastian tersebut.

Lantaran sebuah ketidakpastian, banyak pihak mengatakan bahwa di 2020, nilai-nilai kemanusiaan secara global akan terpinggirkan bahkan luntur oleh kepentingan negara masing-masing. Asumsi tersebut muncul setelah konferensi tingkat tinggi PBB yang membahas perubahan iklim yakni The 25th session of the Conference of the Parties (COP25) yang diselenggarakan di Madrid Desember 2019, berakhir mengecewakan. Komitmen iklim dunia yang seharusnya semakin diperkuat lantaran ancaman dari krisis iklim yang semakin nyata, malah berakhir dengan kompromi politik semata.

Kekecewaan dari hasil COP25 tersebut bahkan disampaikan oleh petinggi PBB yakni Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres yang mengatakan bahwa warga dunia telah kehilangan momentum untuk menunjukkan ambisinya dalam hal mitigasi, adaptasi, serta memberikan sumbangan dalam rangka menghambat krisis iklim.

Kenyataannya, banyak negara yang seharusnya menjadi patron untuk memerangi krisis iklim malah bersikap politis karena lebih mementingkan kepentingannya sendiri sehingga mengendurkan komitmen iklim negaranya. 

Ketidakpastian pun berlanjut dengan berbagai ancaman yang mungkin dapat terjadi seperti indikasi meningkatnya tensi antar negara. Sensitifitas antar negara yang semakin tinggi disinyalir mampu memantik agresi militer. Lihat saja, di awal 2020, Presiden Amerika, Donald Trump menggemparkan dunia atas peristiwa pembunuhan Jenderal Militer Iran, Qasem Soleimani. 

Tidak lepas dari peristiwa tersebut, Indonesia pun pada 2020 ini terseret dalam ketegangan antar negara melalui kasus perbedaan pendapat dalam menentukan batas wilayah perairan yakni antara zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan Nine Dash Line.

Kemudian, munculnya kebijakan-kebijakan proteksionisme yang berujung kepada ketidakstabilan perekonomian. Contoh yang paling signifikan yakni perang dagang antar negara seperti perang dagang antara Amerika dan China yang dapat dikatakan sebagai perang dagang yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian.

Terkait dengan perang dagang, Indonesia sendiri kini berhadapan dengan Uni Eropa akibat aksi penahanan keran pasar sawit karena dianggap menghambat tumbuhnya pasar domestik eropa. Jika hal ini terus berlanjut, pemerintah Indonesia pun wajib memutar otak untuk memastikan tersedianya pasar untuk menjamin agar CPO Indonesia tetap survive. Toh, CPO sendiri adalah produk unggulan penghasil devisa terbesar hingga membuat Indonesia ketergantungan. 

Ancaman Iklim

Selain dengan beberapa kemungkinan tersebut, belum lama ini World Economic Forum dalam riset yang berjudul Global Risks Perception Survey 2019-2020 membeberkan bahwa ekonomi dunia akan terhadap oleh isu-isu lingkungan yang semakin sentral. Riset ini menyebut isu lingkungan khususnya yang terkait dengan iklim, mendominasi menjadi lima besar indikator risiko jangka panjang kategori likelihood sebagai penghambat ekonomi secara global. 

Kelima indikator tersebut yakni ; pertama, cuaca ekstrem (extreme weather). Cuaca ekstrim ini sendiri diprediksi akan membuat bumi semakin panas hingga 3 derajat Celcius pada akhir abad ini. Pemanasan global tersebut akan membuat es di kutub mulai mencair sehingga menyebabkan kenaikan permukaan air laut yang cukup mengkhawatirkan. CEO Principles for Responsible Investment (PRI), Fiona Reynolds mengatakan bahwa mustahil pemerintah dapat menurunkan suhu bumi menjadi 2,7 derajat Celcius tanpa dipaksa melakukan tindakan cepat.

Kedua, kegagalan aksi iklim (climate action failure). Dengan gagalnya berbagai kebijakan maupun komitmen iklim yang dibuat untuk memerangi krisis iklim yang sudah di depan mata, maka dampaknya akan terasa bagi generasi di masa yang akan datang. Hal inilah yang memungkinkan perekonomian dunia semakin dalam ketidakpastian. Salah satu bukti akan terjadinya kegagalan dalam aksi iklim adalah mengecewakannya hasil di COP25 yang lalu. 

Ketiga, bencana alam (natural disaster). Dengan semakin tidak menentunya kondisi bumi akibat dari krisis iklim, bencana alam pun seolah tidak bisa dihindari. Ketika bencana terjadi, bukan hanya mengancam korban jiwa, tapi secara lebih besar adalah mengancam masa depan perekonomian. Karena ketika suatu dari terdampak bencana dan sulit untuk melakukan rehabilitas dan rekonstruksi maka perekonomian daerah lain yang saling ketergantungan ikut melamban bahkan bisa jadi lumpuh. Oleh karena itu, sejak lama dunia telah menetapkan prioritas pemulihan pascabencana selain terhadap korban manusia juga terhadap perekonomian di dalam kerangka sendai frame work for disaster risk reduction.

Keempat, hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss). Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) memperingatkan bahwa 1 juta spesies dalam risiko kepunahan. IPBES juga memaparkan bahwa sebagian besar target global 2020 untuk perlindungan alam yang diuraikan dalam Rencana Strategis untuk Keanekaragaman Hayati (target keanekaragaman hayati Aichi) tidak akan terpenuhi. Tentu kekayaan alam yang hilang, sama artinya dunia akan kehilangan keseimbangan sehingga ujungnya mengganggu stabilitas ekonomi. 

Kelima, bencana lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia (human-made environmental disasters). Dalam kasus ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut bahwa 99 persen kebakaran hutan dan lahan (karhutla) adalah ulah dari manusia. Manusia yang serakah, pada kenyataan telah merusak alam untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Padahal merusak alam untuk melakukan ekspansi bisnis juga tidak berarti akan meningkatkan kualitas dari ekonomi itu sendiri. Kerusakan alam justru akan lebih memperburuk perekonomian. 

Ancaman perekonomian dari segi lingkungan tersebut dapat dikatakan sangat realistik, namun masih dianggap sebelah mata karena banyak negara menganggap mampu bertahan dari ancaman tersebut seorang diri. Padahal, ancaman yang begitu besar tersebut tidak akan selesai jika tidak mendapatkan perlawanan bersama, karena yang diancam adalah bumi, dan negara adalah bagian kecil dari penghuni bumi itu sendiri. (*)

Related Article

id_IDID